Alfie terpaku dengan tubuh menegang dan wajah kaku. Viona hamil? Mengapa dia tidak tahu? Mengapa Viona tidak pernah mengatakannya?Alfie memang tidak pernah menyukai bayi. Kedekatannya dengan Sabda pun baru terjalin beberapa hari yang lalu karena terpaksa.Namun bayangan dia memiliki anak sungguh mengganggunya akhir-akhir ini. Apalagi Padma selalu berkata suatu saat nanti dia pasti akan jadi ayah yang baik. Tidak seperti Arya yang senang menyiksa anaknya.Lantas siapa sangka impian itu hampir menjadi kenyataan jika saja Viona memberitahunya lebih awal. Dia pasti akan menjaga bayi itu karena dia tidak ingin seperti Arya."Berapa minggu?" tanya Alfie lagi. Cengkeramannya di lengan Viona mengendur.Ada sebuah perasaan asing yang lagi-lagi menyerbunya. Sial! Mengapa dia nyaris tidak bisa mengenali dirinya sendiri akhir-akhir ini? Perasaan apa ini?Viona mendongak dengan mata basah dengan menjawab dengan nada pahit. "Sebelas minggu."Alfie tidak tahu sebesar apa janin yang berusia sepuluh
Alfie melajukan mobilnya ke sebuah sasana tinju yang pernah dia kunjungi beberapa bulan lalu. Hanya itu satu-satunya tempat yang tepat untuk melampiaskan kemarahannya saat ini.Tempat itu lengang sore ini karena memang tidak ada jadwal latihan. Tetapi Alfie sudah kenal dengan penjaganya. Dia diizinkan masuk setelah membayar sejumlah biaya.Setelah melepas jas, dia membuangnya sembarangan. Begitu juga dengan kemeja yang membalut tubuhnya. Menonjolkan otot dada yang liat, dengan tato di punggung kiri dan terus menyambung sampai ke dada.Sebelum memulai latihan sore ini, Alfie lebih dulu pemanasan untuk melemaskan otot-totonya. Baru setelah itu dia mengambil pembungkus tangan dari rak dan memakainya.Selesai dengan pembungkus tangan yang membungkus pergelangan dan telapak tangan, Alfie memakai sarung tangan untuk melindungi tulang-tulang di tangannya dari bahaya patah tulang.Tujuan Alfie hanya satu, meninju samsak sekencang dan sebanyak mungkin untuk meluapkan gejolak amarah yang masih
Kali ini Mandala menganga sejadi-jadinya. Di awal kedatangan Viona ke Solo, perempuan itu berulang kali mengatakan ingin menggugat cerai Alfie.Namun lambat laun pikirannya berubah setelah Mandala membujuknya. Begitu juga dengan Padma. Setidaknya itu yang Mandala dengar dari Viona lewat pesan-pesan singkat yang dikirimkan padanya.Mandala pikir hubungan mereka membaik karena Viona berniat memberitahu Alfie tentang kehamilannya. Viona juga bercerita Alfie sudah mulai berinteraksi dengan Sabda.Ternyata itu semua hanyalah ilusi. Alfie tetaplah Alfie, yang tidak peduli pada orang lain sama sekali. Dia tidak segan menyakiti orang lain yang dianggap sudah mengusiknya."Apa yang terjadi, Al?" Mandala tahu Alfie tidak akan menjawab pertanyaannya, tetapi dia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya.Namun di luar dugaan, Alfie justru bercerita tentang Viona yang menyembunyikan kehamilannya. Dia justru tahu setelah janin itu tidak ada. Itu pun dari mulut Khadafi.Bukan hanya itu, Alfie
Ucapan Mandala membuat Alfie ikut menoleh. Mereka bersitatap untuk beberapa detik sebelum Alfie kembali memandang langit-langit sasana dengan tatapan menerawang."Hidup Padma dikelilingi oleh ular berbisa, Mandala. Bukan hanya orang tuanya yang toxic, keluarga ibunya juga brengsek.""Aku tahu kamu mencoba melindungi Padma," jawab Mandala maklum. "Tapi apa yang kamu lakukan pada Viona sudah keterlaluan, Al. Aku bahkan yakin Padma juga tidak menginginkan hal ini. lya, kan?"Alfie terdiam.Padma memang tidak pernah ingin menceraikan Viona. Di matanya, hanya perempuan itu yang bisa merawat dan menyayangi Sabda dengan tulus.Itu sebabnya Alfie membuat host-nya itu 'tidur' agar tidak bisa melarangnya menceraikan Viona. Tapi dia yakin ini adalah yang terbaik untuk Padma.Masalah Sabda, Alfie yakin bayi itu akan terbiasa tanpa Viona. Ini hanya tentang waktu saja. Mereka akan kembali melanjutkan hidup seolah Viona tidak pernah ada."Sebenarnya apa yang kamu dapatkan setelah menyiksa psikis Vio
Setelah cukup lama berbaring di atas tempat tidur, Viona menyadari ada sesuatu yang mengganjal di bawah bantalnya.Terdorong oleh rasa penasaran, Viona mengangkat benda itu dan menemukan satu set baju tiduryang dipakai Sabda semalam. Dia mengambil dua helai kain itu lalu mendekatkannya ke hidung.Aroma Sabda masih melekat dengan sempurna di sana dan sedikit mengobati kerinduan Viona. Bu Retno pasti menyembunyikan baju Sabda di bawah bantal agar tidak dipergoki oleh Alfie Jahanam.Ada secarik kertas yang juga terselip di bawah bantal. Dengan pandangan mengabur, Viona membaca tulisan Bu Retno yang tampak berantakan karena mungkin ditulis dengan terburu-buru."Mbak, Ibu terpaksa ikut Tuan karena takut Den Sabda diapa-apakan. Tapi Ibu berdoa semoga Mbak Viona bisa bertemu Den Sabda lagi. Maaf, cuma baju itu yang bisa Ibu tinggalkan. Mbak Viona sehat-sehat, ya. Biar bisa ketemu Den Sabda lagi."Air mata Viona kembali menitik dengan deras. Dipeluknya baju Sabda dengan kuat sambil meringkuk
Perempuan 22 tahun itu terlihat rapuh. Tetapi tekad yang terpancar di kedua matanya tak bisa diabaikan begitu saja.Dan itu yang membuat Mandala kian tertarik pada Viona. Masalahnya, apa Viona mau menerima perasaannya? Apa dia tidak terlalu cepat jika mengungkapkan perasaannya sekarang?Namun Mandala tidak bisa menunggu lagi. Sudah terlalu lama dia diam melihat Alfie memperlakukan Viona dengan sangat buruk.Dia ingin Viona tahu masih ada lelaki normal yang siap menjaga dan memperlakukannya dengan penuh kasih sayang."Tidak. Dia hanya kecewa karena aku tidak memberitahukan tentang kehamilanku." Viona mengurai senyum pahit.Mandala menggeleng tak percaya.Bahkan setelah Alfie memperlakukan Viona dengan tidak manusiawi, perempuan itu masih berupaya melindunginya dengan tidak mengatakan tuduhan Alfie yang sangat kejam dan tidak berdasar.Terbuat dari apa hati Viona? Alfie benar-benar sudah membuang sebongkah berlian hanya untuk menyelamatkan egonya yang sebesar kacang kedelai. Alfie breng
"Kamu yakin dengan keputusan yang kamu buat?"Viona mengangguk mantap. Tak ada keraguan sedikit pun yang tergambar di wajahnya. "Saya tidak pernah seyakin ini dalam hidup saya, Pak."Viona sudah memutuskan untuk keluar dari kota ini atau dia akan terjebak dalam kenangan menyakitkan tentang masa lalunya. Lebih cepat lebih baik."Kamu bisa bekerja di sini selama yang kamu mau."Bibir Viona mengurai senyum tipis pada Khadafi yang masih terlihat kacau setelah dihajar Alfie kemarin. Hari ini dia bekerja untuk yang terakhir kalinya sebelum menghadap Khadafi dan menyampaikan pengunduran dirinya."Sebelum terima kasih atas tawarannya, tapi saya tidak bisa. Saya akan kembali ke Jakarta dan melanjutkan wisuda.""Apa saya menimbulkan masalah antara kamu dengan suami kamu? Apa kalian bertengkar hebat karena ucapan saya kemarin?" Khadafi mencondongkan tubuh dengan raut serius.'Bukan hanya bertengkar hebat. Kami bahkan bercerai,’ batin Viona dalam hati."Tidak ada apa-apa." Viona berbohong. Dia ti
Viona menatap Tirta yang masih terbaring di atas tempat tidur dengan berbagai selang yang menempel di tubuhnya dengan mata berkaca-kaca.Sudah dua bulan lebih lelaki tampan itu terbaring di sana tanpa menunjukkan tanda-tanda kapan dia akan bangun. Mulanya, dia bertekad akan tetap setiap dan menunggu Tirta sampai dia sadar.Namun kemudian dia menyadari satu hal, perasaannya sudah tidak sama seperti dulu lagi.Sadar atau tidak, ada nama lain yang perlahan mulai menggeser posisi Tirta di hatinya. Yang tersisa dalam hatinya sekarang adalah rasa sayang sebagai teman.Bagaimanapun juga, Tirta pernah ada di saat-saat buruk dalam hidupnya. Dia adalah orang pertama-selain Yuanita-yang menyediakan bahu untuk bersandar setiap kali Viona merasa sedih.Dan empat tahun bukanlah hal mudah untuk melupakan itu semua.Namun Ibu Tirta benar, dia tidak mungkin terus menunggu Tirta sedangkan hidup harus terus berjalan. Ada Sabda yang menunggu dirinya saat ini."Maaf, Tirta," bisik Viona sambil meraih tang
"Bahkan selama seminggu terakhir aku tidak pernah hal-hal lain selain kamu, Viona. Dengan Darla pun, hubunganku benar-benar profesional. Meski dia mengirim sinyal, aku anggap itu sebagai rasa penasaran karena dulu aku batal menidurinya."Viona masih tidak habis pikir bagaimana bisa Alfie mengalami disfungsi ereksi, padahal beberapa menit yang lalu dia menjerit-jerit karena ulah lelaki itu?Entahlah. Tidak perlu dipikirkan juga. Malah bagus, kan? Kini hanya dia yang bisa merasakan performa Alfie yang luar biasa dan membuatnya nyaris pingsan.Mantap jaya!"Dulu teman tidurku memang selalu berganti. Tetapi setelah bertemu kamu, semuanya berubah total. Tidak ada lagi yang menarik selain kamu, karena kamu adalah candu untukku, ma cherie.""Maaf," Viona menggumam dengan kepala tertunduk. "Aku sudah mengamuk tanpa bertanya lebih dulu.""Tidak masalah," balas Alfie lalu terkekeh pelan. "Lagipula tinjumu sama sekali tidak terasa. Aku bahkan merasa seperti digelitiki."Untuk pertama kalinya set
Alfie tertawa sebentar sebelum bergerak pelan. Tetapi itu tidak bertahan lama.Alfie mulai kehilangan kendali saat merasakan milik Viona mencengkeramnya dengan kuat. Dia mengentak dengan keras dan kasar. Memuaskan rasa laparnya pada Viona yang seakan tak pernah berakhir.Meja yang menjadi tempat duduk Viona bahkan sampai berderit karena goncangan yang begitu cepat dan kasar di atasnya. Viona sendiri hanya bisa mengalungkan tangannya di leher Alfie dan susah payah bernapas untuk menerima dorongan keras dari Alfie.Alfie berkali-kali mengumpat. Rasanya terlalu hebat untuk bisa dia jabarkan hingga dia tidak bisa mengendalikan diri lagi. Sisi liarnya mengemuka ke permukaan, seolah Viona-lah yang menekan tombol on dalam dirinya.Alfie mendorong dengan keras dan sejauh-jauhnya hingga tubuh Viona berguncang hebat dalam pelukannya. Perempuan itu berteriak kecil dengan napas terengah, yang terdengar seperti melodi yang merdu di telinga Alfie.Tangan Viona mencakar punggung Alfie yang dipenuhi
Masih dengan bara kemarahan yang menguasai dirinya, Viona menatap Alfie nyalang. "Darlal Kamu main gila dengan dia, kan? Tadi aku bertemu Darla di lobi hotel dan dia bilang baru kembali dari kamarmu, Kalian juga makan malam—"Mendadak telinga Alfie terasa tuli. Aroma vanilla yang sedari tadi menyerang penciuman membuatnya tak bisa menahan diri lagi.Dengan satu tangannya yang bebas, dia meraih dagu Viona dan menyambar bibirnya sebelum perempuan itu memiliki kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya.Alfie menggeram kasar begitu bibirnya kembali merasakan kelembutan bibir Viona yang manis dan hangat setelah seminggu lebih dia hanya bisa membayangkannya dalam angan-angan.Alfie masih bisa merasakan Viona yang berusaha melepaskan diri dengan menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk menghindari dari pagutannya.Namun akhirnya Viona tidak berkutik saat satu tangan Alfie bergeser ke belakang tengkuk dan menahannya dengan keras.Digigitnya bibir tipis itu, diisapnya dengan keras seb
Mandala susah payah menahan tawa karena rasanya tidak etis menertawakan orang yang sedang menahan tangis karena terlalu marah.Viona sama saja seperti Savannah, yang terlalu cepat menyimpulkan bahkan sebelum mencari tahu kebenarannya.Padahal apa susahnya bertanya? Toh bertanya itu tidak dilarang."Masalah nggak akan selesai kalau kamu terus mengedepankan asumsi dibanding fakta. Pastikan dulu kebenarannya pada Alfie, atau kamu akan menyesal karena mengambil kesimpulan yang salah"Aku nggak mau ketemu dia." Viona menggeleng sambil mengusap bulir bening yang membasahi pipinya."Jangan buat perjalanan jauh kamu ke sini jadi sia-sia, Viona. Kita tidak tahu mengapa Darla ada di sini. Kita juga tidak tahu apa dia benar-benar makan malam berdua dengan Alfie di sini, sedangkan Mindi juga menginap di hotel ini."Kita bahkan tidak tahu apakah dia benar-benar ke kamar Alfie berdua saja, atau itu hanya karangan Darla. Ada banyak hal yang belum kita ketahui dengan pasti sekarang," ujar Mandala sab
Viona meremas tangannya dengan gugup.Dalam beberapa menit lagi dia akan bertemu dengan Alfie, tetapi jantungnya sudah bertalu-talu kencang sejak pesawat yang dia tumpangi mendarat di bandara.Kira-kira bagaimana reaksi Alfie saat melihatnya? Apa Alfie akan marah karena dia tiba-tiba ada di sini tanpa pemberitahuan? Apa Alfie akan menyuruhnya pergi seperti kemarin-kemarin?"Rileks, Vi." Mandala seolah mengerti kegelisahan Viona karena sejak tadi perempuan itu terlihat gugup. "Bertemu dengan Alfie tidak semengerikan itu."Aku khawatir Alfie marah, Sikap dia, kan, nggak bisa diprediksi "Viona berterus terang. Dia menggigit bibir bawahnya untuk meredakan kepanikan yang kian bergejolak dalam dirinya.Saat tiba di bandara tadi, dia sempat merias wajahnya sebentar di kamar mandi agar terlihat lebih cantik-harapannya, sih, begitu- ketika bertemu Alfie.Dia bahkan merasa sangat bersemangat karena sebentar lagi akan bertemu Alfie setelah seminggu lebih menjalani perang dingin yang membuat dada
Semoga saja otaknya menemukan alasan yang cemerlang agar Alfie tidak menelannya hidup-hidup."Good." Mandala mengangguk puas lalu mengajak Mindi keluar dari restoran untuk menyusul Alfie sebelum lelaki itu marah lagi.Mereka langsung meluncur menuju kantor Guzman yang ada di sebuah bangunan bersejarah yang bertebaran di Paris. Lelaki itu mengucapkan selamat datang dan langsung mengajak mereka ke ruang rapatSelagi Mindi asyik mengamati detail arsitektur di dalam gedung itu, Alfie dan Mandala memulai pembicaraan serius tentang rencana Guzman yang ingin membuka The Union di kota ini.Mindi sendiri tidak mengerti apa yang mereka bicarakan karena seluruh pembicaraan itu dilakukan dengan menggunakan bahasa Prancis yang tidak die pahami.Mindi justru lebih tertarik mengamati Darla-asisten pribadi Guzman-yang tak kalah cantiknya dengan Savannah, keponakan Mandala. Darla bukan hanya cantik, tetapi juga sangat fashionable.Diam-diam Mindi melihat dirinya yang terbalut dalam setelan blazer abu-
Mindi mengusap tengkuknya seraya meringis canggung. "Iya. Saya baru tahu Pak Mandala punya keponakan bule."Terkadang dia merasa ngeri pada Alfie. Bosnya itu sering kali bisa membaca pikirannya dengan tepat. Apa dia punya kemampuan seperti cenayang?Dengan menggunakan mobil milik Savannah, mereka meluncur menuju Ritz Carlton yang akan menjadi tempat menginap Mandala, Alfie dan Mindi selama mereka ada di ParisSepanjang perjalanan, Savannah yang mengemudikan mobil sibuk menjelaskan café atau restoran yang hype di Paris, event pagelaran fashion pria dan haute couture yang akan digelar, dan hal-hal menarik lainnya.Savannah baru berhenti bicara saat Mandala berdeham keras, "Savie, kepala Om pusing mendengar kamu mengoceh tanpa henti."Savannah mengerucutkan bibir lalu menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti, "Dasar orang tua!"Setibanya di hotel, mereka berpisah di depan kamar masing-masing dan akan bertemu lagi saat makan malam di restoran. Sementara Savannah ikut masuk ke kamar Man
Viona juga bingung. Kalau Paris yang dituju Mandala adalah Pantai Parangtritis Yogyakarta yang sering disingkat 'Paris', dia tentu tidak akan bingung sebab bisa langsung berangkat untuk mengantar titipan Utami.Sayangnya, Paris yang dituju Mandala adalah ibukota negara Prancis yang berjarak belasan ribu kilometer dari Jakarta, dan hanya bisa ditempuh dengan perjalanan udara."Bagaimana kalau kamu antar saja ke Paris, Dit? Tante yang akan membiayai akomodasinya. Kan sekalian bisa antar berkas untuk Mandala juga. Daripada nanti dia bingung?"Viona melongo. Dia kira Utami bercanda. Tetapi perempuan paruh baya itu langsung mengakhiri panggilan setelah memintanya datang ke rumah untuk mengambil apa saja yang harus diantar pada Mandala."Mbak, kita sudah sampai,” tegur sopir begitu melihat Viona justru termangu di kursi belakang."Eh, itu... tolong antar saya ke rumah orang tuanya Pak Mandala, Pak Aris." Viona menyebut alamat kediaman Utami. Beruntung dia masih ingat dengan jelas segala det
Untuk pertama kalinya sejak satu minggu terakhir, Bik Sari melihat wajah Viona yang berseri-seri. Dan tak urung rasa ‘keponya' mencuat karena pagi ini Padma justru berangkat ke Paris."Mbak Viona nggak sedih ditinggal ke Paris selama satu minggu?" celetuk Bik Sari dengan nada sambil lalu agar tidak terkesan 'kepo'.Padahal dia memang 'kepo' akut.Biasanya kan pengantin baru akan terlihat sedih jika ditinggal pasangannya bekerja ke luar kota atau luar negeri. Tetapi Viona terlihat santai meski tidak ikut mengantar ke bandara karena Padma melarangnya."Nggak, Bik. Kan Mas Padma juga kerja di sana," jawab Viona sambil menyuapi Sabda.Sejak dia mulai bekerja lagi, bayi itu bangun lebih awal hingga dia bisa mengajaknya bermain dulu dan menyuapinya sebelum berangkat."Kirain Bibik, Mbak Viona ikut ke Paris juga. Sekalian hanimun gitu, Mbak. Siapa tahu pulang dari sana Sabda punya adik."Viona hanya tertawa lepas. Tawa yang akhirnya bisa keluar setelah seminggu terkungkung dalam perasaan mur