"Aku mohon." Viona berbisik lirih. "Aku sudah lama tidak menjenguk Tirta. Sebentar saja."Satu tangan Padma terangkat untuk mengusap lengan telanjang Viona naik turun. Usapannya terasa begitu lambat hingga membuat Viona panas dingin. Bisakah dia kabur sekarang?Demi apapun juga, Viona lebih suka menunggu Tirta di kamarnya alih-alih bersama Padma dan menjalankan tugasnya sebagai istri. Dia bahkan sudah mual membayangkan melakukan itu bersama Padma."Kamu lupa janjimu, hm?" Rahang Padma mengeras."J-Janji apa?" Viona membeku saat hidung mancung Padma menyusuri lehernya. Mengendus pelan sebelum melabuhkan kecupan yang membuat tubuhnya kian mengigil."Kamu berjanji akan melayaniku jika aku sudah membayar biaya pengobatan Tirta. Aku sudah memenuhi janjiku. Sekarang giliranmu. Jangan pura-pura lupa, Viona!" Padma menggeram marah.Masalahnya Viona memang benar-benar lupa karena memikirkan kondisi Tirta yang tak kunjung bangun dari komanya."Aku tidak bisa." Viona menguatkan diri untuk mengat
Dia segera menggeledah laci meja kerja Padma yang untungnya tidak dikunci dan menemukan apa yang dia cari pada laci pertama yang dia buka.Sebuah buku harian hitam yang pernah Viona lihat beberapa kali karena Yuanita tak pernah bercerita apa isi buku itu.Setelah menutup laci dan memastikan tidak ada yang berubah di ruang kerja itu, Viona segera keluar dari sana. Tidak lupa mematikan lampu sebelum kembali mengunci pintu.Begitu sampai di kamarnya sendiri, perut Viona mendadak dihantam rasa mual yang hebat. Dia berlari ke kamar mandi lalu memuntahkan isi perutnya di sana.Butuh waktu beberapa menit bagi Viona untuk mencerna apa yang terjadi padanya. Sejak beberapa hari terakhir dia sering mual dan muntah tanpa alasan yang jelas.Dan kemungkinan hanya ada dua. Dia sedang sakit atau—Viona menutup mulutnya sendiri begitu menyadari kemungkinan kedua."Aku tidak mungkin hamil, kan?" bisiknya dengan raut cemas.Saat merenggut kehormatannya malam itu, Viona ingat betul Padma tidak menggunakan
Seperti biasa, kasak-kusuk tentang dirinya masih santer berembus di kalangan pegawai The Union. Apalagi Padma tidak pernah memberikan klarifikasi sampai detik ini.Panggilan 'Pembunuh', 'Gold Digger' dan 'Si Muka Dua' sudah kenyang Viona terima. Sekuat tenaga dia mengabaikannya dan memilih fokus pada pekerjaan.Tepat jam sembilan malam, Viona sampai di rumah.Dia rindu Sabda dan aroma tubuhnya yang wangi khas bayi. Tetapi sebelum menemui putranya itu, Viona harus memberitahu Padma tentang kehamilannya."Bik, Mas Padma udah pulang dari kantor, kan?" tanyanya pada Bik Sari yang baru turun dari lantai dua."Udah, Mbak. Ada di ruang kerjanya sekarang. Wajah Bik Sari tampak gelisah. "Mbak Dita mau ketemu Tuan?"Viona mengangguk. "Ada yang mau saya bicarakan."Kegelisahan yang tergambar di wajah Bik Sari kian menjadi-jadi. "Lebih baik besok, Mbak. Nanti Tuan marah kalau diganggu jam segini."Alih-alih setuju dengan saran Bik Sari, Viona justru merasa perempuan paruh baya itu menyembunyikan
Viona terkesiap dengan serangan tiba-tiba dari Padma. Dia tahu apa yang lelaki itu inginkan sekarang. Tetapi demi Tuhan, Viona tidak ingin melakukannya lagi.Dia jijik dengan sikap Padma yang membawa perempuan murahan ke rumah. Dia juga khawatir terhadap keselamatan janin yang ada dalam kandungannya saat ini.Bagaimana kalau Padma bersikap kasar dan menyakiti janin mereka?Lagipula tubuh Viona masih belum biasa dengan sentuhan Padma. Dia bahkan harus bolak-balik ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perut setelah Padma menyentuhnya dua hari yang lalu."Bercintalah denganku, Viona," bisik Padma saat bibirnya menyapu sepanjang rahang Viona, lalu terus turun menyusuri kehangatan leher Viona dan menghirup dalam-dalam aroma vanila yang menguar dari sana.Sementara satu tangannya menelusup ke balik tengkuk Viona. Mengusapnya dengan lembut sebelum turun ke dadanya untuk melucuti kancing kemeja perempuan itu.Padma tidak tahu apa yang merasuki tubuhnya. Tetapi sejak dia menyentuh Viona dua mal
"Dari mana saja kamu?"Langkah Viona yang melintasi ruang tamu terhenti. Dia memutar tubuhnya dan mendapati Padma duduk di sofa ruang tamu dengan satu kaki ditumpukan pada kaki lainnya.Tidak perlu menjadi cenayang untuk tahu Padma sedang diliputi kemarahan. Dari matanya yang berkilat tajam, rahang mengeras dan tangan yang terkepal, Viona tahu sebentar lagi suami iblisnya akan beraksi.Entah melontarkan kata-kata tajam yang menyakitkan atau mengintimidasinya dengan sentuhan fisik yang jelas-jelas dia hindari. Iblis yang satu itu pasti punya segudang rencana dalam otak kriminalnya.Namun, Viona tak peduli.Malam ini dia tidak punya tenaga meladeni sikap Padma yang berubah-ubah. Yang dia inginkan hanya meringkuk di atas tempat tidur sambil memeluk Sabda yang beraroma minyak telon."Bukan urusan Mas lan." Viona melengos lalu melanjutkan langkahnya menuju kamar.Tadi Bu Retno sudah mengirim pesan dan memberitahu Sabda sudah terlelap tanpa drama. Bayi kecil itu rupanya benar-benar menuruti
"Satu lagi, malam ini ada pengajian untuk memperingati kematian Yuanita, tetapi sebagai adik kamu justru mengunjungi kekasihmu yang tidak bisa apa-apa. Adik macam apa kamu, Viona?"Tubuh Viona mulai gemetar. Ketenangan yang susah payah dia bangun sejak tadi kembali goyah.Kali ini bukan karena rasa takut yang biasanya dia rasakan setiap kali mendapatkan intimidasi dari lan, tetapi karena kemarahan, sakit hati, benci, jijik dan kecewa yang luar biasa.Jika biasanya Viona selalu merasa bersalah setiap kali Padma menggunakan nama Yuanita untuk menyerang mentalnya, maka kali ini kalimat itu hanya menyulut emosinya."Berhenti bersikap seolah-olah Mas Padma sangat mencintai dan peduli pada Kak Nita. Kelakuan Mas Padma bahkan sangat menjijikkan," semburnya tanpa gentar.Rahang Padma kian mengetat mendengar hinaan yang ditujukan Viona padanya. "Apa katamu tadi?""Apa perlu aku ulangi lagi?" Viona maju hingga jarak mereka kian terkikis."Kelakuan Mas Padma sangat menjijikkan. Mas Padma hanya s
Begitu menyelinap masuk, dia langsung mengunci pintu lalu luruh ke lantai sambil mengusap bibirnya dengan kasar. Seolah dengan itu bisa menghilangkan jejak bibir Padma yang membuatnya mual dan jijik.Bayangan Yuanita yang syok karena melihat Padma berselingkuh kembali melintas. Oh, Yuanita yang malang. Dia bahkan sedang hamil besar saat pengkhiatan itu terjadi di depan matanya.Tetapi bukankah dia juga merasakan hal yang sama sekarang? Mereka sama-sama dikhianati oleh orang yang sama. Sialnya, perempuan murahan itu tak jauh lebih baik dari mereka berdua.Viona mengusap perutnya yang masih datar.Keputusannya sudah bulat. Dia akan pergi dari rumah ini dalam waktu satu minggu, setelah menemukan tempat pelarian yang tidak akan mungkin ditemukan oleh lan. Dia yakin suami iblisnya itu tidak akan melepasnya dengan mudah.Viona tidak akan sanggup bertahan hidup di bawah atap yang sama dengan Padma karena sejak awal landasan pernikahan ini tidak ada. Lebih tepatnya pernikahan ini seharusnya t
Sementara Padma masih berkutat dengan rencana jahatnya untuk membuat Viona menderita, salah satu orang kepercayaannya sudah tiba dan sedang berbincang-bincang dengan sekretarisnya."Pak Mandala kapan sampai? How's Lombok?" tanya Fira sambil mengibas rambut cokelat bergelombangnya ke belakang dengan gaya yang dibuat-buat.Mandala adalah salah satu orang kepercayaan lan. Dialah yang menciptakan konsep restoran yang bernaung di bawah Lion Capital hingga perusahaan itu masuk ke dalam perusahaan kuliner terbesar di Indonesia.Sampai saat ini, Lion Capital sudah memiliki lima merek restoran yang berdiri di seluruh Indonesia, yang terdiri dari tujuh puluh cabang yang tersebar di berbagai kota dan terus bertambah seiringnya waktu.Itu semua berkat kolaborasi yang apik antara Mandala dan lan, yang sama-sama sekolah di sebuah sekolah memasak ternama di Paris.Satu bulan terakhir, Mandala fokus membuka cabang restoran mereka yang ketujuh puluh satu di kota Lombok.Namun pagi ini Padma mendadak me
Terdengar helaan napas yang begitu berat dari seberang. Viona tidak tahu apa yang membuat Alfie begitu lama mengatakan jawabannya. Tetapi anehnya dia tetap menunggu."Aku menyukaimu, Viona. I really do. Butuh waktu lama bagiku untuk mendefinisikan perasaan ini. Kamu sendiri sudah tahu bahwa segala hal tentangmu adalah rasa yang baru."Ada jeda lagi. Sementara Viona membeku di kursi begitu mendengar pernyataan Alfie."Tapi kemudian aku sadar satu hal, aku terpacu untuk berubah menjadi lebih baik setelah mengenal kamu. Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya."Aku bahkan tidak peduli jika seluruh dunia membenciku. Tapi aku sangat marah ketika kamu mengatakan muak dengan sikapku. Aku tidak ingin kamu memandangku seperti itu. Aku ingin kamu memandangku sebagai lelaki yang baik, Didit."Suara Alfie terdengar bergetar dan entah kenapa Viona makin merasakan kesepian, kesendirian dan kesedihan yang Alfie tanggung."Aku benar-benar serius saat mengatakan aku tidak suka melihatmu dengan
Kepalang tanggung. Meski tidak mengerti mengapa mulutnya mengucapkan ajakan untuk menikah lagi, Tetapi Alfie tidak bisa mundur sekarang.Kalimat itu mungkin terdengar impulsive bagi Alfie, tetapi setelah mengatakannya secara langsung di hadapan Viona, sakit di kepalanya mendadak menguap.Begitu juga dengan gelombang kemarahan yang membakar dirinya, kini mendadak surut begitu saja. Berganti dengan harapan semoga Viona mau kembali padanya.Viona mengerjap, lalu menggeleng beberapa kali sebagai tanda dia tidak percaya dengan ucapan Alfie. "Dan kamu pikir aku akan mengiakan permintaanmu?""Kenapa tidak? Sabda membutuhkanmu dan aku.... membutuhkanmu juga." Lidah Alfie terasa kelu saat mengucapkan tiga kata terakhir yang baru saja keluar dari mulutnya."Kita tidak harus menikah, Al." Viona mendesah lelah. "Pernikahan kita yang kemarin adalah sebuah bencana. Kamu terus menyakitiku dan aku makin benci padamu. Tidak bisakah kita tetap seperti ini?"Kalimat itu menohok Alfie hingga dia sempat m
Alfie terperangah.Tadi sore dia baru mendapatkan kabar dari pengacaranya bahwa gugatan perceraian yang dia ajukan dikabulkan oleh hakim. Secara hukum mereka resmi bercerai hari ini.Seharusnya Viona tidak tahu karena Alfie sama sekali tidak mengatakan apa-apa. Dia juga tidak pernah datang ke persidangan. Lalu siapa yang memberitahu Viona?"Pengacaramu yang memberitahuku." Viona menjawab pertanyaan yang belum sempat terlontar dari mulut Alfie. Dia bisa melihat kebingungan di wajah Alfie."Di mata agama dan hukum, kita sudah bukan suami istri lagi. Aku berhak dekat dan pergi dengan siapa pun juga. Jadi, berhenti mengancamku atau mengatakan aku adalah milikmu. Aku benar-benar muak dengan sikapmu, Al."Viona berbalik lalu meninggalkan Alfie yang masih mematung di depan gedung. Tetapi langkahnya terhenti ketika Alfie kembali mencekal lengannya, lalu menariknya pergi dari sana."Alfie, lepas!" Viona mencoba melepaskan cekalan tangan Alfie. "Kamu menyakitiku, Al!"Tak ada yang terjadi. Jang
Puluhan menit kemudian, mereka sampai di tempat resepsi. Pelataran parkir tampak dipenuhi oleh deretan mobil mewah, yang menunjukkan sang penyelenggara acara berasal dari kalangan berada."Shall we?"Viona menatap lengan Mandala yang disodorkan padanya. Atas dasar kesopanan, Viona menyelipkan tangannya di lengan Mandala sebelum melangkah masuk menuju lobi.Setelah masuk ke bagian dalam gedung, Mandala langsung mengajak Viona untuk bertemu dengan keluarganya yang duduk di area VVIP yang khusus diperuntukkan untuk keluarga.Pada keluarganya, Mandala mengenalkan Viona sebagai personal assistant. Tetapi Viona bisa menangkap pandangan berbeda yang dilayangkan keluarga Mandala, terutama kedua orang tuanya.“PA atau pacar, Mandala?" goda ibunya yang sejak tadi tak berhenti memandangi Viona dengan wajah semringah."PA, Ma," jawab Mandala sabar meski dia sudah mengatakannya tiga kali. "Daripada aku terus ditanya sama orang-orang kenapa aku kondangan sendirian, lebih baik aku ajak Viona.""Ya,
Pertengkaran dengan Alfie benar-benar merusak suasana hati Viona di sisa hari itu.Dia paham Alfie sangat bermasalah dengan emosi. Si Sumbu Pendek itu mudah meledak jika ada hal yang berjalan di luar keinginannya. Tetapi, apa dia harus selalu mengancam agar keinginannya terpenuhi?Belum lagi pilihan katanya sangat ambigu dan membuat Viona harus berpikir keras sepanjang sore. Sejak kapan dia adalah milik Alfie? Bukankah mereka sudah bercerai?"Ada masalah?"Suara Mandala membuyarkan lamunan Viona, yang tanpa sadar mematung di depan deretan gaun yang tergantung di rak. Perempuan itu menoleh dengan seulas senyum yang dipaksakan."Tidak ada, Pak," balasnya singkat."Kamu yakin? Sejak tadi kamu sering melamun."Senyum Viona kian lebar. Dia mengenyahkan berbagai macam gejolak dalam pikirannya dan mengangguk untuk meyakinkan Mandala. "Saya hanya memikirkan pekerjaan, Pak."Mandala mendekat lalu mengambil satu gaun yang sejak tadi menarik perhatiannya. Gaun peach selutut model off-shoulder de
Setelah itu dia keluar dan menuju ruangan Mandala. Ada yang harus dia tanyakan pada lelaki itu karena Mandala-lah yang pernah berkunjung ke aparteman Fira saat perempuan itu sakit.Begitu sampai di ruangan Mandala, dia mendengar lelaki itu sedang bicara pada Viona. Lewat pintu yang tidak tertutup rapat, Alfie bisa menangkap percakapan itu."Viona, nanti malam kamu ada acara?"Viona yang tengah mengecek jadwal Mandala untuk satu minggu ke depan sontak menoleh pada lelaki itu. "Tidak ada, Pak. Ada yang bisa saya bantu?""Kalau begitu temani saya ke resepsi pernikahan sepupu saya, ya? Saya tidak nyaman kalau datang sendiri. Selain itu ada beberapa vendor yang bekerja sama dengan Lion Capital yang diundang."Menganggap itu adalah bagian dari pekerjaannya sebagai PA, Viona mengangguk hormat. "Apa baju untuk nanti malam sudah disiapkan?""Belum. Nanti sore jadwal saya kosong, kan?"Viona melihat ke organizer-nya lalu mengangguk."Kalau begitu nanti sore temani saya memilih jas, ya. Sekalian
Alfie tidak langsung menjawab. Dia memajukan bar stool-nya hingga lutut mereka bersentuhan.Viona sontak memundurkan tubuh karena terlalu dekat dengan Alfie.Namun Alfie lebih dulu menarik lengannya hingga wajah mereka nyaris bersentuhan. Viona meneguk ludah gugup begitu mata kelam Alfie memakunya, lalu turun ke bibir dan berhenti di sana.Viona haya bisa memandang Alfie dengan waspada. Jaga-jaga kalau lelaki itu mendadak menciumnya tanpa aba-aba seperti beberapa hari yang lalu."Mungkin karena aku mulai mengenalmu,” balas Alfie sangat pelan hingga Viona sempat berpikir dia salah dengar. "Kamu tidak seburuk yang aku kira. Selama ini... aku mungkin sudah salah menilaimu."Suasana yang begitu lengang di dapur membuat Viona bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang berdegup lebih kencang dari biasanya. Pengakuan Alfie yang sudah lama dia tunggu akhirnya tercetus juga dari mulut lelaki itu."Kalau begitu tarik semua tuduhanmu tentang aku!" tuntut Viona. "Termasuk tuduhan bahwa aku tidu
Kesal pada dirinya sendiri karena tak kunjung bisa mengenyahkan bayang-bayang Alfie, Viona mematikan TV lalu bangkit dan beranjak menuju kamar.Namun baru dua langkah, dia mendengar suara dari arah ruang tamu. Sepertinya ada yang membuka pintu depan. Tubuh Viona seketika menegang.Hal pertama yang terlintas dalam benaknya adalah suara itu adalah perampok yang mencoba masuk ke rumah ini. Tetapi dia kemudia ingat bahwa rumah ini punya penjagaan yang sangat ketat.Ada dua pengawal yang berjaga di depan. Ditambah security yang berjaga di pos keamanan yang ada di depan pagar. Seharusnya tidak ada perampok yang bisa menerobos masuk.Jika bukan perampok, lalu siapa?Viona baru akan berpikir tentang apa yang harus dia lakukan saat sebuah suara berat dan serak yang familiar menyapa telinganya."Viona, kamu baik-baik saja?"Viona tersentak. Dia mengerjap saat melihat Alfie berjalan ke arahnya dengan tergesa. Dia tidak salah lihat, kan? Bukankah seharusnya Alfie masih ada di Bandung?"Are you ok
Persetan! Kalau dengan membayangkan Viona bisa membuatnya bergairah dan turn on, maka dia akan melakukannya. Alfie benar-benar butuh pelampiasan malam ini.Tepat saat celananya meluncur turun, ponsel Alfie yang tadi dilempar Darla ke atas tempat tidur berdering nyaring.Mengabaikan Darla yang baru saja akan menyenangkan miliknya, Alfie bergerak menuju tempat tidur lalu menyambar benda pipih itu dengan tidak sabar. Siapa tahu Viona yang meneleponnya.Darla yang sudah terlanjur bergairah, mengikuti Alfie dan mendorongnya ke tempat tidur agar dia bisa melanjutkan 'pekerjaannya'."Ada apa?" sapa Alfie kasar karena panggilan itu bukan berasal dari Viona melainkan pengawal yang dia utus untuk mendampingi perempuan itu."Nona Viona sudah sampai di rumah sejak jam delapan malam, Tuan. Tetapi ada sebuah mobil yang mengikuti kami."Alis Alfie bertaut. "Kamu memotret plat mobilnya?""Tidak, Tuan. Mobil itu berada cukup jauh dari mobil kami, tapi saya yakin dia mengikuti kami. Begitu kami masuk g