Viona melambaikan tangan pada Mandala yang mengantarnya sampai ke depan lobi apartemen. Begitu mobil itu menghilang dari pandangannya, Viona berbalik lalu mengayunkan langkah menuju lift.Di luar hujan masih turun dengan deras. Angin berembus kencang dan sesekali petir menyambar. Cuaca dingin kian menambah rasa kantuk yang Viona rasakan. Apalagi hari ini dia juga sangat lelah.Viona bahkan merasa langkahnya mulai oleng saat masuk ke lift yang lengang, bersama dengan seorang lelaki yang sejak tadi ikut menunggu lift bersamanya.Viona melempar senyum tipis tanda sopan santun lalu menekan angka sepuluh, di mana unitnya berada. Untuk ketiga kalinya dalam lima menit terakhir, Viona kembali menguap lebar.Denting halus yang menandakan lift berhenti, menyadarkan Viona yang hampir memejamkan mata sambil menyandarkan tubuhnya ke lift.Dia melangkah keluar lalu kembali terseok-seok menyusuri lorong yang lengang untuk menuju unitnya yang terletak paling ujung. Begitu sampai, dia merogoh ransel u
"Tapi aku peduli!" Alfie mencengkeram kerah kemeja Khadafi. Napasnya yang keras berembus di pipi adik tirinya itu. "Sebagai alter ego, aku akan melindungi Padma dan orang-orang yang dia sayangi."Jika dulu kamu berhasil melenyapkan Yuanita, maka kali ini aku tidak akan membiarkan kamu menyentuh Viona. She's mine!" tegasnya dengan kemarahan yang kental pada setiap kata.Khadafi tidak pernah percaya Padma memiliki alter ego. There's no such thing in this world. Padma pasti hanya mengarang sebuah cerita untuk menyembunyikan sisi kejamnya.Namun Khadafi sama sekali tidak takut. Dia sudah menyiapkan berbagai rencana untuk menghancurkan Padma dan kerajaan bisnisnya. Semuanya sudah dirancang dengan begitu cermat."Kamu pikir aku takut padamu, Padma?" Khadafi mencoba melepaskan cengkeraman Alfie dari kerah kemejanya meski nihil. Alfie sama sekali tidak bergeming."Panggil aku Alfie!" desis Alfie dengan kilat kemarahan di matanya. "Dan tentu saja kamu harus takut. Aku tidak murah hati seperti
"Aku tidak perlu persetujuanmu." Alfie memilih mengangkat koper itu di atas kepalanya hingga Viona tidak bisa menjangkaunya. "Kalau masih ingin selamat, kamu harus pindah ke rumahku."Kemalahan berkobar di mata bulat Viona. Sama sekali tidak menakutkan bagi Alfie karena sekali lagi pikirannya justru berkelana ke mana-mana begitu melihat Viona marah.Mungkin sebaiknya energi untuk marah itu dihabiskan di atas tempat tidur. Rasanya pasti luar biasa. Apalagi di luar hujan juga masih turun dengan deras."Kalau aku tidak mau?" Viona masih memasang sikap galakDia masih kesal karena Alfie menerobos masuk begitu saja, menciumnya, lalu sekarang memaksanya pindah. Padahal dia tidak ingin satu rumah dengan lelaki itu lagi.Memang apa yang terjadi sampai dia harus pindah ke sana? Ini pasti hanya akal-akalan Alfie saja. Lelaki itu kan berubah aneh belakangan ini.Alfie menurunkan kopernya ke lantai lalu mendekati Viona hingga perempuan itu mundur dan akhirnya bisa ke mana-mana lagi saat punggungn
"Apa?" Viona merasa tenggorakannya tercekat setelah mendengar ucapan Alfie. "Mas Khadafi adik tiri Mas Padma? Bagaimana mungkin?"Mata Alfie menyipit. "Kamu tidak melihat konferensi pers Padma pagi ini?""Aku wisuda, Al." Viona mengingatkan. Benaknya masih bertanya-tanya bagaimana mungkin Khadafi adalah adik tiri Padma sedangkan lelaki itu tak pernah bercerita padanya."Ceritanya panjang. Aku akan ceritakan di jalan. Sekarang kamu kemasi barang-barangmu dan ikut aku pulang. Hanya rumahku yang aman untuk saat ini."Viona masih bergeming sementara Alfie bergerak cepat memindahkan baju-bajunya dari lemari ke dalam koper. "Tapi kenapa dia ingin membunuhku, Al?" tanyanya pelan.Sikap lelaki itu sangat baik hingga dia tidak menaruh curiga sedikit pun. Jika Khadafi memang ingin membunuhnya, bukankah dia punya banyak kesempatan saat mereka masih di Solo?Gerakan Alfie yang tengah mengepak baju Viona seketika terhenti. Dia menoleh pada Viona yang masih menatapnya dengan alis bertaut."Khadafi
Alfie menghela napas panjang. "Padma sudah mencoba bicara baik-baik dengan Khadafi, tapi upayanya gagal. Apa kamu tahu, dia juga yang sudah membuat kekacauan di The Union."Viona mengerjap. "Maksudmu?""Kebakaran di The Union Bandung dan keracunan pada customer di Surabaya adalah ulah Khadafi semua. Orang-orangku sudah menemukan buktinya."Dia menyuap pegawai agar mau melakukan apa yang dia inginkan. Sepertinya dia punya layout dapur The Union hingga bisa merencanakan kebakaran yang punya dampak besar."Tak ada lagi kata-kata yang bisa Viona katakan saat ini. Dia pikir kekejarnan Alfie sudah melebihi ambang batas manusia biasa, tetapi ternyata Khadafi lebih gila lagi."Viona."Viona tersentak ketika tiba-tiba Alfie meraih kedua tangannya dan menatapnya lekat. Sepasang mata kelam yang biasanya menunjukan kemarahan dan kebencian itu terlihat begitu berbeda malam ini.Apa Alfie sudah tidak lagi membenci dan menaruh dendam padanya atas kematian Yuanita?"Aku mohon jangan pernah bicara pad
Saat terbangun keesokan paginya, Viona langsung menuju kamar bayı. Ternyata Sabda sudah bangun dan sedang menyusu dalam gendongan Bu Retno.Perempuan paruh baya itu tersenyum senang saat melihat Viona. Begitu juga dengan Sabda. Bayi tampan itu mengulurkan tangannya pertanda minta digendong.Viona tertawa lalu mengambil alih Sabda yang masih menyusu. Dielusnya pipi gembil Sabda yang bergerak-gerak karena menyedot susu dari botol."Ibu senang sekali waktu dengar kabar dari Bik Sari kalau Mbak Viona mau tinggal di sini," ucap Bu Retno setelah beberapa saat hanya ada suara decap Sabda yang menyedot susu.Viona tersenyum. Dia juga senang bisa kembali ke rumah ini dan mencium aroma tubuh Sabda yang khas bayi. Apalagi aroma ketiaknya. Duh, juara!"Mas Padma bilang apa sama Bik Sari, Bu?" Viona iseng bertanya. Dia ingin tahu apakah Padma atau Alfie mengatakan alasan sebenarnya dia pindah kembali ke rumah ini untuk sementara."Cuma bilang Mbak Viona mau kembali ke sini. Saya kira Mbak Viona sa
Viona menganga sementara Padma tampak tenang-tenang saja. Bagaimana bisa Padma mengatakan rujuk dengan begitu mudah?"Aku benar-benar serius dengan ucapanku di Solo dulu, Viona. Alfie menyukai kamu. Tapi berhubung ini adalah pengalaman pertamanya, dia tidak tahu bahwa itu adalah perasaan cinta.""Nggak mungkin, Mas." Viona menggeleng kuat-kuat. "Alfie tidak suka padaku. Dia hanya tertantang untuk menaklukkan aku yang suka membangkang. Dia mungkin baru menemukan perempuan yang berani membantah ucapannya."Gagasan Alfie menyukainya terdengar begitu menggelikan. Padma memang mengatakan kalimat yang sama dulu. "Apa kamu percaya kalau aku mengatakan Alfie menyukaimu?"Waktu itu Viona menggeleng dan menjawab dengan tegas. "Tidak.”Dan sampai saat ini dia masih tidak percaya Alfie menyukainya. Kalau Padma mengatakan Alfie bernafsu padanya, nah, dia baru percaya."Tidak juga." Padma melipat tangannya di atas meja. "Alfie tidak pernah peduli dengan perempuan mana pun. Bahkan pada Yuanita."Vio
Mandala menunjukkan layar ponselnya. Viona mencondongkan tubuh dan membaca sebaris pesan yang tertera di sana.[Ke ruanganku sekarang setelah rapat kamu selesai-Alfie. Btw, Mindi bilang kamu sudah punya PA. Bawa dia sekalian. Aku ingin tahu seperti apa PA yang kamu pilih.]Jantung Viona langsung berdegup kencang tanpa dikomando. Bagaimana reaksi Alfie setelah melihatnya ada di sini dan menjadi PA Mandala? Apa dia akan terkejut, marah, atau apa?Namun apa hak Alfie untuk marah? Toh lelaki itu tidak punya hak untuk melarangnya, bukan?"Ayo kita ke ruangan Alfie sekarang!" Suara Mandala menyentak lamunan Viona. "Dia bisa marah kalau aku terlambat datang."Viona meraih organizernya, lalu bangkit dan tergopoh-gopoh mengikuti langkah panjang Mandala menuju ruangan Alfie."Apa Pak Alfie memang suka mara-marah di kantor, Pak?"Derai tawa renyah Mandala terdengar. "Bukannya dia memang selalu dalam mode 'senggol-bacok'? Tapi tenang saja, dia seorang pemimpin yang baik dan selalu tahu apa yang d
"Bahkan selama seminggu terakhir aku tidak pernah hal-hal lain selain kamu, Viona. Dengan Darla pun, hubunganku benar-benar profesional. Meski dia mengirim sinyal, aku anggap itu sebagai rasa penasaran karena dulu aku batal menidurinya."Viona masih tidak habis pikir bagaimana bisa Alfie mengalami disfungsi ereksi, padahal beberapa menit yang lalu dia menjerit-jerit karena ulah lelaki itu?Entahlah. Tidak perlu dipikirkan juga. Malah bagus, kan? Kini hanya dia yang bisa merasakan performa Alfie yang luar biasa dan membuatnya nyaris pingsan.Mantap jaya!"Dulu teman tidurku memang selalu berganti. Tetapi setelah bertemu kamu, semuanya berubah total. Tidak ada lagi yang menarik selain kamu, karena kamu adalah candu untukku, ma cherie.""Maaf," Viona menggumam dengan kepala tertunduk. "Aku sudah mengamuk tanpa bertanya lebih dulu.""Tidak masalah," balas Alfie lalu terkekeh pelan. "Lagipula tinjumu sama sekali tidak terasa. Aku bahkan merasa seperti digelitiki."Untuk pertama kalinya set
Alfie tertawa sebentar sebelum bergerak pelan. Tetapi itu tidak bertahan lama.Alfie mulai kehilangan kendali saat merasakan milik Viona mencengkeramnya dengan kuat. Dia mengentak dengan keras dan kasar. Memuaskan rasa laparnya pada Viona yang seakan tak pernah berakhir.Meja yang menjadi tempat duduk Viona bahkan sampai berderit karena goncangan yang begitu cepat dan kasar di atasnya. Viona sendiri hanya bisa mengalungkan tangannya di leher Alfie dan susah payah bernapas untuk menerima dorongan keras dari Alfie.Alfie berkali-kali mengumpat. Rasanya terlalu hebat untuk bisa dia jabarkan hingga dia tidak bisa mengendalikan diri lagi. Sisi liarnya mengemuka ke permukaan, seolah Viona-lah yang menekan tombol on dalam dirinya.Alfie mendorong dengan keras dan sejauh-jauhnya hingga tubuh Viona berguncang hebat dalam pelukannya. Perempuan itu berteriak kecil dengan napas terengah, yang terdengar seperti melodi yang merdu di telinga Alfie.Tangan Viona mencakar punggung Alfie yang dipenuhi
Masih dengan bara kemarahan yang menguasai dirinya, Viona menatap Alfie nyalang. "Darlal Kamu main gila dengan dia, kan? Tadi aku bertemu Darla di lobi hotel dan dia bilang baru kembali dari kamarmu, Kalian juga makan malam—"Mendadak telinga Alfie terasa tuli. Aroma vanilla yang sedari tadi menyerang penciuman membuatnya tak bisa menahan diri lagi.Dengan satu tangannya yang bebas, dia meraih dagu Viona dan menyambar bibirnya sebelum perempuan itu memiliki kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya.Alfie menggeram kasar begitu bibirnya kembali merasakan kelembutan bibir Viona yang manis dan hangat setelah seminggu lebih dia hanya bisa membayangkannya dalam angan-angan.Alfie masih bisa merasakan Viona yang berusaha melepaskan diri dengan menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk menghindari dari pagutannya.Namun akhirnya Viona tidak berkutik saat satu tangan Alfie bergeser ke belakang tengkuk dan menahannya dengan keras.Digigitnya bibir tipis itu, diisapnya dengan keras seb
Mandala susah payah menahan tawa karena rasanya tidak etis menertawakan orang yang sedang menahan tangis karena terlalu marah.Viona sama saja seperti Savannah, yang terlalu cepat menyimpulkan bahkan sebelum mencari tahu kebenarannya.Padahal apa susahnya bertanya? Toh bertanya itu tidak dilarang."Masalah nggak akan selesai kalau kamu terus mengedepankan asumsi dibanding fakta. Pastikan dulu kebenarannya pada Alfie, atau kamu akan menyesal karena mengambil kesimpulan yang salah"Aku nggak mau ketemu dia." Viona menggeleng sambil mengusap bulir bening yang membasahi pipinya."Jangan buat perjalanan jauh kamu ke sini jadi sia-sia, Viona. Kita tidak tahu mengapa Darla ada di sini. Kita juga tidak tahu apa dia benar-benar makan malam berdua dengan Alfie di sini, sedangkan Mindi juga menginap di hotel ini."Kita bahkan tidak tahu apakah dia benar-benar ke kamar Alfie berdua saja, atau itu hanya karangan Darla. Ada banyak hal yang belum kita ketahui dengan pasti sekarang," ujar Mandala sab
Viona meremas tangannya dengan gugup.Dalam beberapa menit lagi dia akan bertemu dengan Alfie, tetapi jantungnya sudah bertalu-talu kencang sejak pesawat yang dia tumpangi mendarat di bandara.Kira-kira bagaimana reaksi Alfie saat melihatnya? Apa Alfie akan marah karena dia tiba-tiba ada di sini tanpa pemberitahuan? Apa Alfie akan menyuruhnya pergi seperti kemarin-kemarin?"Rileks, Vi." Mandala seolah mengerti kegelisahan Viona karena sejak tadi perempuan itu terlihat gugup. "Bertemu dengan Alfie tidak semengerikan itu."Aku khawatir Alfie marah, Sikap dia, kan, nggak bisa diprediksi "Viona berterus terang. Dia menggigit bibir bawahnya untuk meredakan kepanikan yang kian bergejolak dalam dirinya.Saat tiba di bandara tadi, dia sempat merias wajahnya sebentar di kamar mandi agar terlihat lebih cantik-harapannya, sih, begitu- ketika bertemu Alfie.Dia bahkan merasa sangat bersemangat karena sebentar lagi akan bertemu Alfie setelah seminggu lebih menjalani perang dingin yang membuat dada
Semoga saja otaknya menemukan alasan yang cemerlang agar Alfie tidak menelannya hidup-hidup."Good." Mandala mengangguk puas lalu mengajak Mindi keluar dari restoran untuk menyusul Alfie sebelum lelaki itu marah lagi.Mereka langsung meluncur menuju kantor Guzman yang ada di sebuah bangunan bersejarah yang bertebaran di Paris. Lelaki itu mengucapkan selamat datang dan langsung mengajak mereka ke ruang rapatSelagi Mindi asyik mengamati detail arsitektur di dalam gedung itu, Alfie dan Mandala memulai pembicaraan serius tentang rencana Guzman yang ingin membuka The Union di kota ini.Mindi sendiri tidak mengerti apa yang mereka bicarakan karena seluruh pembicaraan itu dilakukan dengan menggunakan bahasa Prancis yang tidak die pahami.Mindi justru lebih tertarik mengamati Darla-asisten pribadi Guzman-yang tak kalah cantiknya dengan Savannah, keponakan Mandala. Darla bukan hanya cantik, tetapi juga sangat fashionable.Diam-diam Mindi melihat dirinya yang terbalut dalam setelan blazer abu-
Mindi mengusap tengkuknya seraya meringis canggung. "Iya. Saya baru tahu Pak Mandala punya keponakan bule."Terkadang dia merasa ngeri pada Alfie. Bosnya itu sering kali bisa membaca pikirannya dengan tepat. Apa dia punya kemampuan seperti cenayang?Dengan menggunakan mobil milik Savannah, mereka meluncur menuju Ritz Carlton yang akan menjadi tempat menginap Mandala, Alfie dan Mindi selama mereka ada di ParisSepanjang perjalanan, Savannah yang mengemudikan mobil sibuk menjelaskan café atau restoran yang hype di Paris, event pagelaran fashion pria dan haute couture yang akan digelar, dan hal-hal menarik lainnya.Savannah baru berhenti bicara saat Mandala berdeham keras, "Savie, kepala Om pusing mendengar kamu mengoceh tanpa henti."Savannah mengerucutkan bibir lalu menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti, "Dasar orang tua!"Setibanya di hotel, mereka berpisah di depan kamar masing-masing dan akan bertemu lagi saat makan malam di restoran. Sementara Savannah ikut masuk ke kamar Man
Viona juga bingung. Kalau Paris yang dituju Mandala adalah Pantai Parangtritis Yogyakarta yang sering disingkat 'Paris', dia tentu tidak akan bingung sebab bisa langsung berangkat untuk mengantar titipan Utami.Sayangnya, Paris yang dituju Mandala adalah ibukota negara Prancis yang berjarak belasan ribu kilometer dari Jakarta, dan hanya bisa ditempuh dengan perjalanan udara."Bagaimana kalau kamu antar saja ke Paris, Dit? Tante yang akan membiayai akomodasinya. Kan sekalian bisa antar berkas untuk Mandala juga. Daripada nanti dia bingung?"Viona melongo. Dia kira Utami bercanda. Tetapi perempuan paruh baya itu langsung mengakhiri panggilan setelah memintanya datang ke rumah untuk mengambil apa saja yang harus diantar pada Mandala."Mbak, kita sudah sampai,” tegur sopir begitu melihat Viona justru termangu di kursi belakang."Eh, itu... tolong antar saya ke rumah orang tuanya Pak Mandala, Pak Aris." Viona menyebut alamat kediaman Utami. Beruntung dia masih ingat dengan jelas segala det
Untuk pertama kalinya sejak satu minggu terakhir, Bik Sari melihat wajah Viona yang berseri-seri. Dan tak urung rasa ‘keponya' mencuat karena pagi ini Padma justru berangkat ke Paris."Mbak Viona nggak sedih ditinggal ke Paris selama satu minggu?" celetuk Bik Sari dengan nada sambil lalu agar tidak terkesan 'kepo'.Padahal dia memang 'kepo' akut.Biasanya kan pengantin baru akan terlihat sedih jika ditinggal pasangannya bekerja ke luar kota atau luar negeri. Tetapi Viona terlihat santai meski tidak ikut mengantar ke bandara karena Padma melarangnya."Nggak, Bik. Kan Mas Padma juga kerja di sana," jawab Viona sambil menyuapi Sabda.Sejak dia mulai bekerja lagi, bayi itu bangun lebih awal hingga dia bisa mengajaknya bermain dulu dan menyuapinya sebelum berangkat."Kirain Bibik, Mbak Viona ikut ke Paris juga. Sekalian hanimun gitu, Mbak. Siapa tahu pulang dari sana Sabda punya adik."Viona hanya tertawa lepas. Tawa yang akhirnya bisa keluar setelah seminggu terkungkung dalam perasaan mur