"Oh." Dengan gamang Viona mengambil buket itu dari tangan Mandala karena tidak ingin mengecewakannya. "Terima kasih, Mas."Sejujurnya dia tidak berharap ada yang memberinya buket bunga. Tetapi tidak etis juga rasanya jika menolak buket bunga sebagus ini. Siapa tahu Mandala sudah susah payah memilihnya."Mau makan siang bersama? Atau kamu menunggu sesorang?"Viona yang sedang mencium aroma bunga yang segar di tangannya sontak mendongak pada Mandala. "Nggak, sih. Tapi aku mau ke makam Kak Nita sekarang."Mandala melihat jam di pergelangan tangannya. Dia hanya punya waktu dua jam sebelum kembali ke kantor karena pekerjaannya belum selesai.Dia sengaja mencuri waktu agar bisa mengunjungi Viona yang diwisuda. Bahkan dia sendiri yang memilih buket bunga meski tidak tahu apa bunga kesukaan Viona."Bagaimana kalau kita makan siang dulu? It's on me. Anggap saja sebagai hadiah kelulusan kamu.""Tapi-""Please," sela Mandala penuh harap. "Aku harus kembali ke kantor dalam waktu satu jam."Tak pu
Padma berhenti sebentar dan menyapukan pandangan pada kerumunan di hadapannya. Dia bisa melihat asisten pribadi Arya berdiri di sudut paling depan dan sedang sibuk bicara di ponsel.Tentu saja Arya akan mengirim seseorang untuk menyimak konferensi pers-nya. Bisa dipastikan setelah ini Aryasatya Adikara akan menelepon atau mungkin mengirim orang untuk menghajarnya.Tidak masalah. Alfie akan selalu siap menghadapi ayahnya. Jika perlu, kali ini mereka akan melibatkan polisi juga."Saya berharap konferensi pers hari ini bisa menjawab tentang semua rumor yang beredar di media sosial." Padma menutup keterangannya sambil melempar senyum tipis.Menit demi menit selanjutnya, Padma sibuk menjawab pertanyaan para wartawan tentang pengakuannya hari ini.Sebisa mungkin dia menjawab tanpa menyudutkan pihak mana pun termasuk ayahnya, meski semua pertanyaan itu terdengar tendensiusPadma tahu lawan politik Arya sengaja menggunakan kesempatan ini untuk menghabisi reputasi lelaki itu. Biar saja. Toh Ar
"Jadi bagaimana?"Viona mendongak dari piringnya yang sudah kosong, lalu menatap Mandala yang sedang menunggu jawabannya. "Mas Mandala yakin?"Mandala mengangguk mantap. "Aku sudah lihat CV kamu dan aku rasa kamu cocok untuk posisi itu."Viona mengetuk-ngetuk meja dengan kening berkerut. Beberapa menit yang lalu, Mandala menawarinya posisi sebagai personal assistant.Itu artinya dia akan hanya akan membantu Mandala di kantor. Bukan hanya di kantor, kemungkinan dia juga akan membantu Mandala dalam urusan pribadinya."Mas Mandala yakin aku punya kualifikasi untuk posisi itu? Aku kan bukan lulusan Administrasi Bisnis.""Kalau nggak yakin, aku nggak akan menawari kamu, Viona. Aku lihat kamu well-organized, punya manajemen waktu dan skill komunikasi yang baik."Kamu juga bukan orang yang senang menggosip hingga rahasia perusahaan akan aman di tangan kamu. Dan... kamu juga mahir mengoperasikan beberapa software yang dipakai di kantor."Viona tidak merasa seperti yang Mandala sebutkan tadi,
Saat ini Mandala merasa di atas angin jika dibandingkan dengan Alfie. Viona lebih cocok dengannya yang bisa hidup di mana saja.Sementara Alfie punya gaya hidup kelas atas yang tidak bisa makan di warung tegal seperti ini. Mandala bahkan yakin Alfie tidak akan melahap makanan yang dipesan Viona."Maksud kamu, aku suka Viona?"Mandala mengangkat bahu dan menatap Alfie dengan penuh selidik. "Kamu tidak mungkin menyusul Viona ke sini kalau kamu tidak menyukainya."Padahal kamu bisa saja menyuruh Viona yang ke kantor untuk menemuimu jika memang memang ada urusan di antara kalian berdua. Correct me if I'm wrong, Al."Mandala sialan! Apa dia berubah profesi menjadi dukun atau cenayang?"Nih." Viona meletakkan sepiring nasi yang sudah tidak terlihat lagi karena tertutup oleh berbagai macam lauk payur dan sayur.Alfie menganga melihat gunungan di hadapannya. Dia tidak mungkin makan dengan porsi sebanyak itu. "Apa ini, Viona?"Viona duduk di samping Alfie dengan tangan terlipat di depan dada "
Sudah satu jam Viona bersimpuh di samping makam Yuanita. Dari mulutnya meluncur semua cerita yang selama ini dia pendam.Kesedihannya, kegelisahannya, kemarahannya, rasa sakit hatinya dan entah apa lagi yang bercokol di dalam dadanya.Viona juga bercerita tentang Sabda, seakan-akan Yuanita bisa mendengarnya. "Dia sudah bisa tengkurap sendiri sekarang, Kak. Anaknya lincah sekali. Dia juga mewarisi mata, hidung dan dagu Kak Nita."Viona berhenti sebentar untuk mengusap pipinya yang sudah basah. Beruntung Mandala sangat bijak dengan tidak menemaninya ke atas sini. Mungkin Mandala ingin memberinya privasi."Kak, aku sangat merindukanmu," bisik Viona sesaat sebelum tangisnya pecah.Dia pikir bisa menjalani hidupnya dengan tangguh seperti yang dia bisikkan pada dirinya sendiri setiap pagi. Tetapi saat wisuda tadi, Viona baru menyadari dia benar-benar sebatang kara di dunia ini.Tak ada lagi janin dalam kandungan yang menemaninya selama beberapa minggu. Lagi-lagi Viona ditinggal seorang diri
Mindi membuka pintu lebih lebar agar tamu yang dia maksud bisa masuk. Alfie menghela napas panjang saat melihat seorang lelaki paruh baya menampakkan diri di hadapannya.Kali ini lelaki itu datang sendiri tanpa kehadiran pengawalnya seperti biasa. Alfie menggertakkan gigi lalu meminta Mindi menutup pintu dan meninggalkan mereka berdua.Alfie bangkit lalu menghampiri Arya yang sudah duduk di sofa. "Ada perlu apa ke sini, Pak Tua?" desisnya begitu mengenyakkan bokongnya di seberang Arya.Arya tidak langsung menjawab. Dia mengamati Alfie untuk beberapa waktu. Setelah mendengar isi konferensi pers tadi pagi, dia sempat mencari tahu apa itu DID atau kepribadian ganda.Akhirnya dia mengerti mengapa anaknya bisa berubah kepribadian menjadi sangat berani padanya. Rupanya itu adalah alter ego dari Padma."Jadi kamu adalah alter ego Padma?" Arya menatap Alfie waspada.Dia ingat betul bagaimana Alfie mencekiknya dan mengalahkan empat orang pengawalnya hingga babak belur. Jelas alter ego Padma in
Viona melambaikan tangan pada Mandala yang mengantarnya sampai ke depan lobi apartemen. Begitu mobil itu menghilang dari pandangannya, Viona berbalik lalu mengayunkan langkah menuju lift.Di luar hujan masih turun dengan deras. Angin berembus kencang dan sesekali petir menyambar. Cuaca dingin kian menambah rasa kantuk yang Viona rasakan. Apalagi hari ini dia juga sangat lelah.Viona bahkan merasa langkahnya mulai oleng saat masuk ke lift yang lengang, bersama dengan seorang lelaki yang sejak tadi ikut menunggu lift bersamanya.Viona melempar senyum tipis tanda sopan santun lalu menekan angka sepuluh, di mana unitnya berada. Untuk ketiga kalinya dalam lima menit terakhir, Viona kembali menguap lebar.Denting halus yang menandakan lift berhenti, menyadarkan Viona yang hampir memejamkan mata sambil menyandarkan tubuhnya ke lift.Dia melangkah keluar lalu kembali terseok-seok menyusuri lorong yang lengang untuk menuju unitnya yang terletak paling ujung. Begitu sampai, dia merogoh ransel u
"Tapi aku peduli!" Alfie mencengkeram kerah kemeja Khadafi. Napasnya yang keras berembus di pipi adik tirinya itu. "Sebagai alter ego, aku akan melindungi Padma dan orang-orang yang dia sayangi."Jika dulu kamu berhasil melenyapkan Yuanita, maka kali ini aku tidak akan membiarkan kamu menyentuh Viona. She's mine!" tegasnya dengan kemarahan yang kental pada setiap kata.Khadafi tidak pernah percaya Padma memiliki alter ego. There's no such thing in this world. Padma pasti hanya mengarang sebuah cerita untuk menyembunyikan sisi kejamnya.Namun Khadafi sama sekali tidak takut. Dia sudah menyiapkan berbagai rencana untuk menghancurkan Padma dan kerajaan bisnisnya. Semuanya sudah dirancang dengan begitu cermat."Kamu pikir aku takut padamu, Padma?" Khadafi mencoba melepaskan cengkeraman Alfie dari kerah kemejanya meski nihil. Alfie sama sekali tidak bergeming."Panggil aku Alfie!" desis Alfie dengan kilat kemarahan di matanya. "Dan tentu saja kamu harus takut. Aku tidak murah hati seperti
"Bahkan selama seminggu terakhir aku tidak pernah hal-hal lain selain kamu, Viona. Dengan Darla pun, hubunganku benar-benar profesional. Meski dia mengirim sinyal, aku anggap itu sebagai rasa penasaran karena dulu aku batal menidurinya."Viona masih tidak habis pikir bagaimana bisa Alfie mengalami disfungsi ereksi, padahal beberapa menit yang lalu dia menjerit-jerit karena ulah lelaki itu?Entahlah. Tidak perlu dipikirkan juga. Malah bagus, kan? Kini hanya dia yang bisa merasakan performa Alfie yang luar biasa dan membuatnya nyaris pingsan.Mantap jaya!"Dulu teman tidurku memang selalu berganti. Tetapi setelah bertemu kamu, semuanya berubah total. Tidak ada lagi yang menarik selain kamu, karena kamu adalah candu untukku, ma cherie.""Maaf," Viona menggumam dengan kepala tertunduk. "Aku sudah mengamuk tanpa bertanya lebih dulu.""Tidak masalah," balas Alfie lalu terkekeh pelan. "Lagipula tinjumu sama sekali tidak terasa. Aku bahkan merasa seperti digelitiki."Untuk pertama kalinya set
Alfie tertawa sebentar sebelum bergerak pelan. Tetapi itu tidak bertahan lama.Alfie mulai kehilangan kendali saat merasakan milik Viona mencengkeramnya dengan kuat. Dia mengentak dengan keras dan kasar. Memuaskan rasa laparnya pada Viona yang seakan tak pernah berakhir.Meja yang menjadi tempat duduk Viona bahkan sampai berderit karena goncangan yang begitu cepat dan kasar di atasnya. Viona sendiri hanya bisa mengalungkan tangannya di leher Alfie dan susah payah bernapas untuk menerima dorongan keras dari Alfie.Alfie berkali-kali mengumpat. Rasanya terlalu hebat untuk bisa dia jabarkan hingga dia tidak bisa mengendalikan diri lagi. Sisi liarnya mengemuka ke permukaan, seolah Viona-lah yang menekan tombol on dalam dirinya.Alfie mendorong dengan keras dan sejauh-jauhnya hingga tubuh Viona berguncang hebat dalam pelukannya. Perempuan itu berteriak kecil dengan napas terengah, yang terdengar seperti melodi yang merdu di telinga Alfie.Tangan Viona mencakar punggung Alfie yang dipenuhi
Masih dengan bara kemarahan yang menguasai dirinya, Viona menatap Alfie nyalang. "Darlal Kamu main gila dengan dia, kan? Tadi aku bertemu Darla di lobi hotel dan dia bilang baru kembali dari kamarmu, Kalian juga makan malam—"Mendadak telinga Alfie terasa tuli. Aroma vanilla yang sedari tadi menyerang penciuman membuatnya tak bisa menahan diri lagi.Dengan satu tangannya yang bebas, dia meraih dagu Viona dan menyambar bibirnya sebelum perempuan itu memiliki kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya.Alfie menggeram kasar begitu bibirnya kembali merasakan kelembutan bibir Viona yang manis dan hangat setelah seminggu lebih dia hanya bisa membayangkannya dalam angan-angan.Alfie masih bisa merasakan Viona yang berusaha melepaskan diri dengan menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk menghindari dari pagutannya.Namun akhirnya Viona tidak berkutik saat satu tangan Alfie bergeser ke belakang tengkuk dan menahannya dengan keras.Digigitnya bibir tipis itu, diisapnya dengan keras seb
Mandala susah payah menahan tawa karena rasanya tidak etis menertawakan orang yang sedang menahan tangis karena terlalu marah.Viona sama saja seperti Savannah, yang terlalu cepat menyimpulkan bahkan sebelum mencari tahu kebenarannya.Padahal apa susahnya bertanya? Toh bertanya itu tidak dilarang."Masalah nggak akan selesai kalau kamu terus mengedepankan asumsi dibanding fakta. Pastikan dulu kebenarannya pada Alfie, atau kamu akan menyesal karena mengambil kesimpulan yang salah"Aku nggak mau ketemu dia." Viona menggeleng sambil mengusap bulir bening yang membasahi pipinya."Jangan buat perjalanan jauh kamu ke sini jadi sia-sia, Viona. Kita tidak tahu mengapa Darla ada di sini. Kita juga tidak tahu apa dia benar-benar makan malam berdua dengan Alfie di sini, sedangkan Mindi juga menginap di hotel ini."Kita bahkan tidak tahu apakah dia benar-benar ke kamar Alfie berdua saja, atau itu hanya karangan Darla. Ada banyak hal yang belum kita ketahui dengan pasti sekarang," ujar Mandala sab
Viona meremas tangannya dengan gugup.Dalam beberapa menit lagi dia akan bertemu dengan Alfie, tetapi jantungnya sudah bertalu-talu kencang sejak pesawat yang dia tumpangi mendarat di bandara.Kira-kira bagaimana reaksi Alfie saat melihatnya? Apa Alfie akan marah karena dia tiba-tiba ada di sini tanpa pemberitahuan? Apa Alfie akan menyuruhnya pergi seperti kemarin-kemarin?"Rileks, Vi." Mandala seolah mengerti kegelisahan Viona karena sejak tadi perempuan itu terlihat gugup. "Bertemu dengan Alfie tidak semengerikan itu."Aku khawatir Alfie marah, Sikap dia, kan, nggak bisa diprediksi "Viona berterus terang. Dia menggigit bibir bawahnya untuk meredakan kepanikan yang kian bergejolak dalam dirinya.Saat tiba di bandara tadi, dia sempat merias wajahnya sebentar di kamar mandi agar terlihat lebih cantik-harapannya, sih, begitu- ketika bertemu Alfie.Dia bahkan merasa sangat bersemangat karena sebentar lagi akan bertemu Alfie setelah seminggu lebih menjalani perang dingin yang membuat dada
Semoga saja otaknya menemukan alasan yang cemerlang agar Alfie tidak menelannya hidup-hidup."Good." Mandala mengangguk puas lalu mengajak Mindi keluar dari restoran untuk menyusul Alfie sebelum lelaki itu marah lagi.Mereka langsung meluncur menuju kantor Guzman yang ada di sebuah bangunan bersejarah yang bertebaran di Paris. Lelaki itu mengucapkan selamat datang dan langsung mengajak mereka ke ruang rapatSelagi Mindi asyik mengamati detail arsitektur di dalam gedung itu, Alfie dan Mandala memulai pembicaraan serius tentang rencana Guzman yang ingin membuka The Union di kota ini.Mindi sendiri tidak mengerti apa yang mereka bicarakan karena seluruh pembicaraan itu dilakukan dengan menggunakan bahasa Prancis yang tidak die pahami.Mindi justru lebih tertarik mengamati Darla-asisten pribadi Guzman-yang tak kalah cantiknya dengan Savannah, keponakan Mandala. Darla bukan hanya cantik, tetapi juga sangat fashionable.Diam-diam Mindi melihat dirinya yang terbalut dalam setelan blazer abu-
Mindi mengusap tengkuknya seraya meringis canggung. "Iya. Saya baru tahu Pak Mandala punya keponakan bule."Terkadang dia merasa ngeri pada Alfie. Bosnya itu sering kali bisa membaca pikirannya dengan tepat. Apa dia punya kemampuan seperti cenayang?Dengan menggunakan mobil milik Savannah, mereka meluncur menuju Ritz Carlton yang akan menjadi tempat menginap Mandala, Alfie dan Mindi selama mereka ada di ParisSepanjang perjalanan, Savannah yang mengemudikan mobil sibuk menjelaskan café atau restoran yang hype di Paris, event pagelaran fashion pria dan haute couture yang akan digelar, dan hal-hal menarik lainnya.Savannah baru berhenti bicara saat Mandala berdeham keras, "Savie, kepala Om pusing mendengar kamu mengoceh tanpa henti."Savannah mengerucutkan bibir lalu menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti, "Dasar orang tua!"Setibanya di hotel, mereka berpisah di depan kamar masing-masing dan akan bertemu lagi saat makan malam di restoran. Sementara Savannah ikut masuk ke kamar Man
Viona juga bingung. Kalau Paris yang dituju Mandala adalah Pantai Parangtritis Yogyakarta yang sering disingkat 'Paris', dia tentu tidak akan bingung sebab bisa langsung berangkat untuk mengantar titipan Utami.Sayangnya, Paris yang dituju Mandala adalah ibukota negara Prancis yang berjarak belasan ribu kilometer dari Jakarta, dan hanya bisa ditempuh dengan perjalanan udara."Bagaimana kalau kamu antar saja ke Paris, Dit? Tante yang akan membiayai akomodasinya. Kan sekalian bisa antar berkas untuk Mandala juga. Daripada nanti dia bingung?"Viona melongo. Dia kira Utami bercanda. Tetapi perempuan paruh baya itu langsung mengakhiri panggilan setelah memintanya datang ke rumah untuk mengambil apa saja yang harus diantar pada Mandala."Mbak, kita sudah sampai,” tegur sopir begitu melihat Viona justru termangu di kursi belakang."Eh, itu... tolong antar saya ke rumah orang tuanya Pak Mandala, Pak Aris." Viona menyebut alamat kediaman Utami. Beruntung dia masih ingat dengan jelas segala det
Untuk pertama kalinya sejak satu minggu terakhir, Bik Sari melihat wajah Viona yang berseri-seri. Dan tak urung rasa ‘keponya' mencuat karena pagi ini Padma justru berangkat ke Paris."Mbak Viona nggak sedih ditinggal ke Paris selama satu minggu?" celetuk Bik Sari dengan nada sambil lalu agar tidak terkesan 'kepo'.Padahal dia memang 'kepo' akut.Biasanya kan pengantin baru akan terlihat sedih jika ditinggal pasangannya bekerja ke luar kota atau luar negeri. Tetapi Viona terlihat santai meski tidak ikut mengantar ke bandara karena Padma melarangnya."Nggak, Bik. Kan Mas Padma juga kerja di sana," jawab Viona sambil menyuapi Sabda.Sejak dia mulai bekerja lagi, bayi itu bangun lebih awal hingga dia bisa mengajaknya bermain dulu dan menyuapinya sebelum berangkat."Kirain Bibik, Mbak Viona ikut ke Paris juga. Sekalian hanimun gitu, Mbak. Siapa tahu pulang dari sana Sabda punya adik."Viona hanya tertawa lepas. Tawa yang akhirnya bisa keluar setelah seminggu terkungkung dalam perasaan mur