"Ya, semuanya bohong demi menunjang reputasinya di depan publik. Bahkan jika ada wartawan meliput ke rumah kami, papa sudah wanti-wanti dari jauh-jauh hari agar saya dan mama mengatakan hal yang baik-baik saja.”Padma menunduk. Sementara Devita memijat pelipisnya dengan satu tangan sambil mendesah berat. Apa yang terungkap malam ini benar-benar menjadi pukulan berat bagi semuanya."Papa bahkan tidak pernah mendukung cita-cita saya sebagai chef. Saya susah payah mencari sponsor dan bekerja paruh waktu di Prancis untuk bisa memenuhi kebutuhan saya di sana."Padahal papa selalu mengatakan 'bangga' karena saya berhasil menjadi chef andal dan memiliki start up kuliner di usia muda. Tetapi ini semua hanya kebohongan belaka."Sekarang mereka berdua tahu, tragedi ini bermula dari Arya yang tidak pantas disebut sebagai suami dan ayah. Karena lelaki itu juga, ada nyawa yang terbuang sia-sia dan begitu banyak penderitaan yang ditimbulkan."Saya tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah at
"Apa kamu selalu melakukan ini?"Viona yang tengah mengobati luka di buku-buku tangan Alfie sontak mendongak. "Melakukan apa?"Alfie menunjuk dengan dagunya. "Mengobati luka orang lain dengan telaten."Viona kembali meniup luka Alfie yang baru saja dia bersihkan sebelum menutupnya dengan perban. Tadi dia sempat menemui perawat dan meminta peralatan untuk membersihkan luka.Alfie kembali merasakan desir di dada saat Viona meniup lukanya dengan telaten.Apa luka memang harus ditiup seperti itu? Entahlah. Tetapi rasanya nyaman juga. Mungkin Alfie harus sering membuat luka di tangan agar Viona bisa meniupnya.Alfie menggeleng. Buru-buru mengusir pemikiran yang sungguh aneh dan tidak masuk akal itu. Ada apa, sih, dengan otaknya ini? Sejak kemarin sepertinya sedikit eror."Setahuku, ini yang dilakukan orang normal, Al. Membantu orang lain yang membutuhkan bantuan.""Apa menurutmu aku butuh bantuan?"Pertanyaan itu kembali membuat Viona mendongak. Alfie menatapnya lekat, tetapi kali ini tida
"Entah berapa lama aku menghajar lelaki itu. Anaknya hanya bisa diam. Lalu setelah orang itu terkapar, anak itu menatapku dan berkata, "Terima kasih, Om. Tadi saya mau dicekik karena uang hasil mengamen dipalak oleh preman". Kamu bisa bayangkan, Vio?"Viona bisa merasa matanya memanas setelah mendengar cerita Alfie. Dia membayangkan betapa tidak berdayanya anak itu saat Alfie datang dan menghajar ayahnya."Kamu pasti berpikir orang tua tidak akan menyakiti anaknya, kan? Kenyataannya, ada banyak orang tua di dunia ini yang tidak pantas disebut sebagai orang tua. Dan anak-anak yang belum bisa melawan, hanya bisa menerima itu semua."Walau dia sendiri terlahir dari keluarga yang sangat harmonis, tetapi Viona sendiri sering mendengar berita kekerasan terhadap anak. Apa yang Alfie katakan memang benar.Terkadang rumah dan orang tua justru menjadi tempat yang paling membahayakan untuk anak."Tapi jangan khawatir, aku memanggil ambulans dan mengirim lelaki bajingan itu ke rumah sakit. Aku ju
"Kamu tidak bisa menunggu sampai Sabda bangun?"Dahi Alfie mengerut tidak suka melihat Viona membereskan barang-barangnya. Demi Tuhan, ini masih jam tiga pagi. Viona bahkan hampir tidak tidur karena mereka baru selesai bicara jam setengah tiga."Pagi ini aku wisuda, Al. Jam tujuh pagi pintu auditorium sudah ditutup. Aku tidak mau terlambat.""Wisuda, ya." Alfie menggumam. Masih dengan pandangan tertuju pada Viona yang sedang memastikan barangnya tidak ada yang tertinggal.Perempuan itu mendekat ke atas tempat tidur, lalu mengecup kening dan pipi Sabda berulang kali. Bayi itu hanya menggeliat, lalu melanjutkan tidur sambil memeluk guling kesayangannya."Kabari aku kalau kalian sudah pulang. Aku mungkin akan berkunjung ke rumahmu besok," ujar Viona setelah berbalik menghadap Alfie. Di bahunya tercangklong ransel besar yang sepertinya cukup berat.Alfie bangkit lalu menarik ransel Viona dari bahunya. Perempuan itu menolak dan menepis tangan Alfie dengan keras."Kamu bilang ini yang dilak
"Oh." Dengan gamang Viona mengambil buket itu dari tangan Mandala karena tidak ingin mengecewakannya. "Terima kasih, Mas."Sejujurnya dia tidak berharap ada yang memberinya buket bunga. Tetapi tidak etis juga rasanya jika menolak buket bunga sebagus ini. Siapa tahu Mandala sudah susah payah memilihnya."Mau makan siang bersama? Atau kamu menunggu sesorang?"Viona yang sedang mencium aroma bunga yang segar di tangannya sontak mendongak pada Mandala. "Nggak, sih. Tapi aku mau ke makam Kak Nita sekarang."Mandala melihat jam di pergelangan tangannya. Dia hanya punya waktu dua jam sebelum kembali ke kantor karena pekerjaannya belum selesai.Dia sengaja mencuri waktu agar bisa mengunjungi Viona yang diwisuda. Bahkan dia sendiri yang memilih buket bunga meski tidak tahu apa bunga kesukaan Viona."Bagaimana kalau kita makan siang dulu? It's on me. Anggap saja sebagai hadiah kelulusan kamu.""Tapi-""Please," sela Mandala penuh harap. "Aku harus kembali ke kantor dalam waktu satu jam."Tak pu
Padma berhenti sebentar dan menyapukan pandangan pada kerumunan di hadapannya. Dia bisa melihat asisten pribadi Arya berdiri di sudut paling depan dan sedang sibuk bicara di ponsel.Tentu saja Arya akan mengirim seseorang untuk menyimak konferensi pers-nya. Bisa dipastikan setelah ini Aryasatya Adikara akan menelepon atau mungkin mengirim orang untuk menghajarnya.Tidak masalah. Alfie akan selalu siap menghadapi ayahnya. Jika perlu, kali ini mereka akan melibatkan polisi juga."Saya berharap konferensi pers hari ini bisa menjawab tentang semua rumor yang beredar di media sosial." Padma menutup keterangannya sambil melempar senyum tipis.Menit demi menit selanjutnya, Padma sibuk menjawab pertanyaan para wartawan tentang pengakuannya hari ini.Sebisa mungkin dia menjawab tanpa menyudutkan pihak mana pun termasuk ayahnya, meski semua pertanyaan itu terdengar tendensiusPadma tahu lawan politik Arya sengaja menggunakan kesempatan ini untuk menghabisi reputasi lelaki itu. Biar saja. Toh Ar
"Jadi bagaimana?"Viona mendongak dari piringnya yang sudah kosong, lalu menatap Mandala yang sedang menunggu jawabannya. "Mas Mandala yakin?"Mandala mengangguk mantap. "Aku sudah lihat CV kamu dan aku rasa kamu cocok untuk posisi itu."Viona mengetuk-ngetuk meja dengan kening berkerut. Beberapa menit yang lalu, Mandala menawarinya posisi sebagai personal assistant.Itu artinya dia akan hanya akan membantu Mandala di kantor. Bukan hanya di kantor, kemungkinan dia juga akan membantu Mandala dalam urusan pribadinya."Mas Mandala yakin aku punya kualifikasi untuk posisi itu? Aku kan bukan lulusan Administrasi Bisnis.""Kalau nggak yakin, aku nggak akan menawari kamu, Viona. Aku lihat kamu well-organized, punya manajemen waktu dan skill komunikasi yang baik."Kamu juga bukan orang yang senang menggosip hingga rahasia perusahaan akan aman di tangan kamu. Dan... kamu juga mahir mengoperasikan beberapa software yang dipakai di kantor."Viona tidak merasa seperti yang Mandala sebutkan tadi,
Saat ini Mandala merasa di atas angin jika dibandingkan dengan Alfie. Viona lebih cocok dengannya yang bisa hidup di mana saja.Sementara Alfie punya gaya hidup kelas atas yang tidak bisa makan di warung tegal seperti ini. Mandala bahkan yakin Alfie tidak akan melahap makanan yang dipesan Viona."Maksud kamu, aku suka Viona?"Mandala mengangkat bahu dan menatap Alfie dengan penuh selidik. "Kamu tidak mungkin menyusul Viona ke sini kalau kamu tidak menyukainya."Padahal kamu bisa saja menyuruh Viona yang ke kantor untuk menemuimu jika memang memang ada urusan di antara kalian berdua. Correct me if I'm wrong, Al."Mandala sialan! Apa dia berubah profesi menjadi dukun atau cenayang?"Nih." Viona meletakkan sepiring nasi yang sudah tidak terlihat lagi karena tertutup oleh berbagai macam lauk payur dan sayur.Alfie menganga melihat gunungan di hadapannya. Dia tidak mungkin makan dengan porsi sebanyak itu. "Apa ini, Viona?"Viona duduk di samping Alfie dengan tangan terlipat di depan dada "
Terdengar helaan napas yang begitu berat dari seberang. Viona tidak tahu apa yang membuat Alfie begitu lama mengatakan jawabannya. Tetapi anehnya dia tetap menunggu."Aku menyukaimu, Viona. I really do. Butuh waktu lama bagiku untuk mendefinisikan perasaan ini. Kamu sendiri sudah tahu bahwa segala hal tentangmu adalah rasa yang baru."Ada jeda lagi. Sementara Viona membeku di kursi begitu mendengar pernyataan Alfie."Tapi kemudian aku sadar satu hal, aku terpacu untuk berubah menjadi lebih baik setelah mengenal kamu. Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya."Aku bahkan tidak peduli jika seluruh dunia membenciku. Tapi aku sangat marah ketika kamu mengatakan muak dengan sikapku. Aku tidak ingin kamu memandangku seperti itu. Aku ingin kamu memandangku sebagai lelaki yang baik, Didit."Suara Alfie terdengar bergetar dan entah kenapa Viona makin merasakan kesepian, kesendirian dan kesedihan yang Alfie tanggung."Aku benar-benar serius saat mengatakan aku tidak suka melihatmu dengan
Kepalang tanggung. Meski tidak mengerti mengapa mulutnya mengucapkan ajakan untuk menikah lagi, Tetapi Alfie tidak bisa mundur sekarang.Kalimat itu mungkin terdengar impulsive bagi Alfie, tetapi setelah mengatakannya secara langsung di hadapan Viona, sakit di kepalanya mendadak menguap.Begitu juga dengan gelombang kemarahan yang membakar dirinya, kini mendadak surut begitu saja. Berganti dengan harapan semoga Viona mau kembali padanya.Viona mengerjap, lalu menggeleng beberapa kali sebagai tanda dia tidak percaya dengan ucapan Alfie. "Dan kamu pikir aku akan mengiakan permintaanmu?""Kenapa tidak? Sabda membutuhkanmu dan aku.... membutuhkanmu juga." Lidah Alfie terasa kelu saat mengucapkan tiga kata terakhir yang baru saja keluar dari mulutnya."Kita tidak harus menikah, Al." Viona mendesah lelah. "Pernikahan kita yang kemarin adalah sebuah bencana. Kamu terus menyakitiku dan aku makin benci padamu. Tidak bisakah kita tetap seperti ini?"Kalimat itu menohok Alfie hingga dia sempat m
Alfie terperangah.Tadi sore dia baru mendapatkan kabar dari pengacaranya bahwa gugatan perceraian yang dia ajukan dikabulkan oleh hakim. Secara hukum mereka resmi bercerai hari ini.Seharusnya Viona tidak tahu karena Alfie sama sekali tidak mengatakan apa-apa. Dia juga tidak pernah datang ke persidangan. Lalu siapa yang memberitahu Viona?"Pengacaramu yang memberitahuku." Viona menjawab pertanyaan yang belum sempat terlontar dari mulut Alfie. Dia bisa melihat kebingungan di wajah Alfie."Di mata agama dan hukum, kita sudah bukan suami istri lagi. Aku berhak dekat dan pergi dengan siapa pun juga. Jadi, berhenti mengancamku atau mengatakan aku adalah milikmu. Aku benar-benar muak dengan sikapmu, Al."Viona berbalik lalu meninggalkan Alfie yang masih mematung di depan gedung. Tetapi langkahnya terhenti ketika Alfie kembali mencekal lengannya, lalu menariknya pergi dari sana."Alfie, lepas!" Viona mencoba melepaskan cekalan tangan Alfie. "Kamu menyakitiku, Al!"Tak ada yang terjadi. Jang
Puluhan menit kemudian, mereka sampai di tempat resepsi. Pelataran parkir tampak dipenuhi oleh deretan mobil mewah, yang menunjukkan sang penyelenggara acara berasal dari kalangan berada."Shall we?"Viona menatap lengan Mandala yang disodorkan padanya. Atas dasar kesopanan, Viona menyelipkan tangannya di lengan Mandala sebelum melangkah masuk menuju lobi.Setelah masuk ke bagian dalam gedung, Mandala langsung mengajak Viona untuk bertemu dengan keluarganya yang duduk di area VVIP yang khusus diperuntukkan untuk keluarga.Pada keluarganya, Mandala mengenalkan Viona sebagai personal assistant. Tetapi Viona bisa menangkap pandangan berbeda yang dilayangkan keluarga Mandala, terutama kedua orang tuanya.“PA atau pacar, Mandala?" goda ibunya yang sejak tadi tak berhenti memandangi Viona dengan wajah semringah."PA, Ma," jawab Mandala sabar meski dia sudah mengatakannya tiga kali. "Daripada aku terus ditanya sama orang-orang kenapa aku kondangan sendirian, lebih baik aku ajak Viona.""Ya,
Pertengkaran dengan Alfie benar-benar merusak suasana hati Viona di sisa hari itu.Dia paham Alfie sangat bermasalah dengan emosi. Si Sumbu Pendek itu mudah meledak jika ada hal yang berjalan di luar keinginannya. Tetapi, apa dia harus selalu mengancam agar keinginannya terpenuhi?Belum lagi pilihan katanya sangat ambigu dan membuat Viona harus berpikir keras sepanjang sore. Sejak kapan dia adalah milik Alfie? Bukankah mereka sudah bercerai?"Ada masalah?"Suara Mandala membuyarkan lamunan Viona, yang tanpa sadar mematung di depan deretan gaun yang tergantung di rak. Perempuan itu menoleh dengan seulas senyum yang dipaksakan."Tidak ada, Pak," balasnya singkat."Kamu yakin? Sejak tadi kamu sering melamun."Senyum Viona kian lebar. Dia mengenyahkan berbagai macam gejolak dalam pikirannya dan mengangguk untuk meyakinkan Mandala. "Saya hanya memikirkan pekerjaan, Pak."Mandala mendekat lalu mengambil satu gaun yang sejak tadi menarik perhatiannya. Gaun peach selutut model off-shoulder de
Setelah itu dia keluar dan menuju ruangan Mandala. Ada yang harus dia tanyakan pada lelaki itu karena Mandala-lah yang pernah berkunjung ke aparteman Fira saat perempuan itu sakit.Begitu sampai di ruangan Mandala, dia mendengar lelaki itu sedang bicara pada Viona. Lewat pintu yang tidak tertutup rapat, Alfie bisa menangkap percakapan itu."Viona, nanti malam kamu ada acara?"Viona yang tengah mengecek jadwal Mandala untuk satu minggu ke depan sontak menoleh pada lelaki itu. "Tidak ada, Pak. Ada yang bisa saya bantu?""Kalau begitu temani saya ke resepsi pernikahan sepupu saya, ya? Saya tidak nyaman kalau datang sendiri. Selain itu ada beberapa vendor yang bekerja sama dengan Lion Capital yang diundang."Menganggap itu adalah bagian dari pekerjaannya sebagai PA, Viona mengangguk hormat. "Apa baju untuk nanti malam sudah disiapkan?""Belum. Nanti sore jadwal saya kosong, kan?"Viona melihat ke organizer-nya lalu mengangguk."Kalau begitu nanti sore temani saya memilih jas, ya. Sekalian
Alfie tidak langsung menjawab. Dia memajukan bar stool-nya hingga lutut mereka bersentuhan.Viona sontak memundurkan tubuh karena terlalu dekat dengan Alfie.Namun Alfie lebih dulu menarik lengannya hingga wajah mereka nyaris bersentuhan. Viona meneguk ludah gugup begitu mata kelam Alfie memakunya, lalu turun ke bibir dan berhenti di sana.Viona haya bisa memandang Alfie dengan waspada. Jaga-jaga kalau lelaki itu mendadak menciumnya tanpa aba-aba seperti beberapa hari yang lalu."Mungkin karena aku mulai mengenalmu,” balas Alfie sangat pelan hingga Viona sempat berpikir dia salah dengar. "Kamu tidak seburuk yang aku kira. Selama ini... aku mungkin sudah salah menilaimu."Suasana yang begitu lengang di dapur membuat Viona bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang berdegup lebih kencang dari biasanya. Pengakuan Alfie yang sudah lama dia tunggu akhirnya tercetus juga dari mulut lelaki itu."Kalau begitu tarik semua tuduhanmu tentang aku!" tuntut Viona. "Termasuk tuduhan bahwa aku tidu
Kesal pada dirinya sendiri karena tak kunjung bisa mengenyahkan bayang-bayang Alfie, Viona mematikan TV lalu bangkit dan beranjak menuju kamar.Namun baru dua langkah, dia mendengar suara dari arah ruang tamu. Sepertinya ada yang membuka pintu depan. Tubuh Viona seketika menegang.Hal pertama yang terlintas dalam benaknya adalah suara itu adalah perampok yang mencoba masuk ke rumah ini. Tetapi dia kemudia ingat bahwa rumah ini punya penjagaan yang sangat ketat.Ada dua pengawal yang berjaga di depan. Ditambah security yang berjaga di pos keamanan yang ada di depan pagar. Seharusnya tidak ada perampok yang bisa menerobos masuk.Jika bukan perampok, lalu siapa?Viona baru akan berpikir tentang apa yang harus dia lakukan saat sebuah suara berat dan serak yang familiar menyapa telinganya."Viona, kamu baik-baik saja?"Viona tersentak. Dia mengerjap saat melihat Alfie berjalan ke arahnya dengan tergesa. Dia tidak salah lihat, kan? Bukankah seharusnya Alfie masih ada di Bandung?"Are you ok
Persetan! Kalau dengan membayangkan Viona bisa membuatnya bergairah dan turn on, maka dia akan melakukannya. Alfie benar-benar butuh pelampiasan malam ini.Tepat saat celananya meluncur turun, ponsel Alfie yang tadi dilempar Darla ke atas tempat tidur berdering nyaring.Mengabaikan Darla yang baru saja akan menyenangkan miliknya, Alfie bergerak menuju tempat tidur lalu menyambar benda pipih itu dengan tidak sabar. Siapa tahu Viona yang meneleponnya.Darla yang sudah terlanjur bergairah, mengikuti Alfie dan mendorongnya ke tempat tidur agar dia bisa melanjutkan 'pekerjaannya'."Ada apa?" sapa Alfie kasar karena panggilan itu bukan berasal dari Viona melainkan pengawal yang dia utus untuk mendampingi perempuan itu."Nona Viona sudah sampai di rumah sejak jam delapan malam, Tuan. Tetapi ada sebuah mobil yang mengikuti kami."Alis Alfie bertaut. "Kamu memotret plat mobilnya?""Tidak, Tuan. Mobil itu berada cukup jauh dari mobil kami, tapi saya yakin dia mengikuti kami. Begitu kami masuk g