“Sepertinya kami tidak butuh tiket bulan madu sekarang. Saya masih sibuk dengan pekerjaan di kantor. Meira juga sepertinya cukup sibuk dengan pekerjaannya juga,” kilah Tian berusaha berkelit supaya tak usah ada bulan madu untuknya dan Meira.Lagi pula pernikahan yang tak dilandaskan oleh cinta untuk apa juga perlu menjalani bulan madu. Justru Tian menghindari menyentuh Meira dan melakukan kontak fisik dengan wanita itu. Ia tak mau sampai pernikahannya dengan Meira menghadirkan seorang anak tanpa cinta seperti dirinya ini.“Kalian kan baru menikah alias pengantin baru. Mama yakin kalau kalian mengambil cuti barang 3 hari, pasti akan diizinkan. Sayang sekali tiket bulan madu yang sudah kami pesan kalau kalian tidak berangkat.”Sesungguh Meira sangat ingin sekali pergi bulan madu bersama dengan Tian. Tetapi, melihat betapa keruhnya air muka Tian membuatnya takut dan meragu untuk menerima tiket bulan madu dari mertuanya.“Kenapa tidak Mama dan Papa saja yang pergi bulan madu kalau begitu
“Tian, kamu bawakan sekalian koper punya Meira.”Helena memindahkan paksa koper Meira ke tangan Tian. Lalu, dengan santainya ia menggandeng Meira dan berjalan cepat mendahului Tian agar tak perlu mendengarkan kicauan protes dari putra semata wayangnya tersebut.“Eh … kasian Kak Tian, Ma. Meira bisa bawa kopernya sendiri, kok,” tutur Meira dengan matanya yang beberapa kali menengok gelisah ke arah belakang.Sungguh, Meira kasihan karena Tian harus membawa beban kopernya juga, padahal sedari perjalan di pesawat paras Tian tidak hentinya tertekuk muram.Jujur Meira takut kalau sampai Tian memendam kesal yang semakin dalam padanya karena sudah lah dipaksa pergi berbulan madu, kini malah di tambah beban untuk membawakan koper miliknya.Mengamati bertambah keruh dan masamnya raut wajah Tian saja mampu membuat bulu romanya merinding. Seandainya saja bisa, ia ingin merebut kopernya kembali. Sayangnya tangan mertuanya ini begitu kuat menggandeng tangannya.“Sudah, biarkan saja, Mei. Toh, seben
Meira menyeret kopernya ke walk in closet karena ia ingin mengambil baju ganti untuk ia bawa ke kamar mandi.Namun, matanya membelak, seakan mau keluar dari tempatnya, tatkala melihat sekumpulan pakaian di kopernya berbeda jauh dengan yang ia siapkan sehari sebelum ia pergi kemari.Tak ada busana kasual yang biasa ia kenakan. Entah kemana pula hilangnya kaos-kaos dan celana jeans kesayangannya? Belum lagi gaun maxi dan midi selengan miliknya malah berganti dengan gaun mini di atas lutut dan bertali spageti.Melihatnya saja Meira sudah membuatnya bergidik ngeri. Ia sungguh tak terbiasa dengan pemandangan pakaian-pakaian kelewat seksi seperti yang berada di kopernya saat ini.Selam
Sambil mengenakan setelan santai miliknya, Tian terus merutuki dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia sempat terpesona pada penampilan Meira, padahal ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyentuh wanita itu.Sialnya, sisi kelaki-lakiannya yang membara susah sekali di kekang. Terlebih lagi terakhir kali hasratnya terpenuhi ketika malam laknat bersama dengan wanita jalang yang telah mengkhianatinya.Meski begitu, ada untungnya juga pagi ini ia mendapati penampilan seksi Meira. Kalau tidak, ia tidak akan mengetahui kalau ternyata miliknya masih bisa berfungsi dengan baik. Tian kira, miliknya tak ada bisa bereaksi lagi saat mengetahui kalau ia berhubungan badan dengan kekasihnya yang telah menjadi istri orang lain. Parahnya lagi wanita itu tengah mengandung, tetapi tak berkata jujur saat berhubungan dengannya.Membayangkannya lagi saja sudah membuat Tian ingin mual. Sebejat-bejatnya dirinya, ia tidak akan mau melakukan hubungan dengan wanita bersuami, kalau saja ia tidak dibohon
“Bisa mati bosan kalau saya kebanyakan makan seafood ini, Ma! Saya mau pesan menu lain juga!” lontar Rafka mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan dan memesan makanan lain.Namun, belum sepenuhnya terangkat, tangannya sudah diturunkan paksa oleh Mamanya dengan menepuk kencang tangannya.“Jangan mengada-ada, Tian! Kalau kamu memesan menu lain, lantas siapa yang menghabiskan seafood sebanyak ini? Kamu mau kolesterol Mama dan Papa naik? Tega kah kamu kalau sampai perut Meira kembung kalau menyantap sendiri semua makanan ini?” Helaan nafas pasrah terdengar jelas dari bibir Tian. Ingin mengeluarkan bantahan, tetapi ia tidak ingin menjadi pusat perhatian karena Mamanya pasti bertambah garang kalau ia kembali menyanggah.Akhirnya disingkirkannya tiram di hadapannya dan diganti dengan ikan saja. Sepertinya kandungan ikan untuk menambah gairah seksual tak seganas tiram segar kegemarannya itu.Ah … Kalau saja ia berbulan madu dengan wanita yang ia cintai. Ia tidak perlu tersiksa seperti i
Sensasi pusing tidak kepalang terasa menyergapi kepala Meira begitu ia membuka mata. Dikerjapkan matanya berkali-kali, sebelum ia menyadari bahwa kepalanya menempel di permukaan yang terasa keras, bidang, dan lapang. Siapa yang menyangka ternyata kepala Meira menempel di dada telanjang Tian. Menyadari hal itu, ia langsung menjauh kan kepalanya karena tak ingin Tian marah-marah kalau tahu kepalanya menempel di dada lelaki itu.Untuk sesaat, Meira belum menyadari apa yang terjadi antara ia dan Tian. Tetapi, sewaktu melihat area sekitar pundak dan atas dadanya terbuka, Meira tak bisa menahan tangannya untuk tak menyingkap selimut yang membungkus tubuhnya dan Tian.“Jangan-jangan semalam aku sama Tian sudah melakukan itu!” batin Meira merapatkan selimut yang membungkus tubuh polosnya ini sampai menutupi dagunya.Seketika pikirannya berkelana pada ingatan semalam. Adegan demi adegan semalam samar-samar mulai menerobos dalam kepalanya.Dimulai dari kepalanya yang terasa pusing dan tubuhny
“Jangan mendekat!” larang Tian pada Meira yang ia lirik dari sudut matanya akan mendekat ke arahnya sambil menenteng kotak P3K.“Tapi luka kamu harus segera diobati. Nanti bisa infeksi kalau dibiarkan terlalu lama, Tian.”Meira tak memperdulikan larangan Tian dan terus melanjutkan langkahnya menuju tempat Tian sedang berdiri.Masa bodo kalau lelaki itu akan memarahi dan mengomelinya karena tak menuruti perintahnya. Intinya, Meira sudah sangat khawatir setengah mati karena memperhatikan kian derasnya darah yang mengalir dari tangan Tian. Seolah darah itu adalah air terjun yang tak mau berhenti berambai-ambai.“Saya bisa mengobati tangan saya sendiri! Lebih baik kamu menjauh saja. Saya enggak nyaman ada orang lain saat saya tidak mengenakan pakaian!” hardik Tian menarik dengan kasar tangannya yang akan diobati oleh Meira. “Apa sih masalahnya? Aku istri kamu, jadi wajar saja kalau aku melihat kamu dalam kondisi kayak gini. Lagian aku cuma mau mengobati luka kamu supaya enggak infeksi!”
“Minum lah pil ini! Saya belikan untukmu supaya bisa langsung meluruhkan yang ada di perutmu, seandainya yang tidak sengaja kita lakukan 3 hari lalu membuahkan hasil.” Alis Meira berkerut. Apa kah yang Tian maksud yaitu kejadian saat mereka tidak sengaja tidur bersama sewaktu bulan madu yang berakhir sehari lalu? Ah … kenapa otaknya lemot sekali. Tentu saja yang Tian maksud memang kejadian malam itu. Lagi pula kapan lagi mereka pernah berhubungan selain malam itu? Dalam keadaan sadar, mana sudi Tian menyentuhnya, meski mereka telah sah sebagai suami istri. Bulan madu mereka pun rasanya hambar. Tian memilih tidur di sofa setelah kejadian malam itu. Hari terakhir bulan madu mereka pun hanya dihabiskan dengan Tian yang sibuk bekerja dan Meira yang hanya bisa menyibukan diri dengan deretan ebook di kindle-nya. Kendati demikian, kenapa pula Tian sampai terpikirkan membelikan pil ini untuknya? Tidak mau kah Tian punya anak dari wanita biasa seperti Meira? Bukan kah di luaran sana, rat