Malam panas kembali terjadi, napas kedua insan itu menderu-deru. Afgan, dalam kesadarannya menikmati titik-titik sensitif pada tubuh Adelia, membuat Adelia mendesah tanpa sadar. Dalam pikiran mereka terlintas sebuah malam yang pernah mereka alami tanpa sadar. Sesekali, Afgan mengernyitkan alisnya, tetapi setiap dia menghentikan gerakannya, Adelia akan membimbingnya kembali ke dalam gairah yang aneh. "Tidak, ini salah!" seru Afgan tiba-tiba. Sementara Adelia masih meracau tidak jelas karena tubuhnya masih terasa panas walau sudah mandi air dingin. "Adelia, kita tidak bisa berhubungan seperti ini. Kita akan menjalani ... " Perkataan Afgan terhenti, melihat Adelia yang menatapnya dengan mata berair. Wanita itu tahu, apa yang ingin pria itu katakan. Sebuah perceraian! Adelia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang kelelahan. Malam panas yang sudah hampir terjadi pun batal. Adelia memutar tubuhnya membelakangi Afgan. Perkataan pria itu tergiang dalam telinganya. "Dalam kondisi mab
Bab 93 Sinar matahari merambat masuk melalui celah-celah tirai yang tertiup angin pantai, suara deru ombak yang menyapa membuat Adelia merasa nyaman sekali dalam tidurnya. Wanita itu tersenyum dan memeluk bantalnya dengan sebuah kepuasan yang maksimal dirasakannya. Sepertinya dia bermimpi sedang memadu kasih dan kembali menjalani malam panas dengan pria misterius yang pernah merenggut kehormatannya. "Nyaman sekali, seolah-olah bukan mimpi," gumam Adelia sambil mengelus dada bidang milik Afgan dalam pelukannya. Tiba-tiba Adelia mengelus lebih tubuh pria yang dirasakannya begitu nyata dan sedang dipeluknya dalam tidur. "Mengapa terasa sangat nyata? lekuk dada bidang dan perut berkotak." gumam Adelia dalam hati, masih dengan mata terpejam. "Sudah cukup kamu merabaku? Jangan memancing lagi, biasanya pria tidak akan bisa menahan gairah terutama pagi hari," suara bariton nan arogan milik Afgan terdengar sangat jelas dan dekat. Adelia segera terduduk di ranjang dan melihat ke arah Afga
Sampai di rumah, Adelia ingin sekali membaringkan tubuhnya yang lelah, tetapi dia mendapatkan panggilan di ponselnya. Layar ponsel menunjukkan nama Mrs. Smith-CEO hotel. Dengan malas, Adelia mengangkat panggilan dari Mrs. Smith. ["Ya, Mrs. Smith. Ada apa?] ["Apa yang kau lakukan? Mengapa tidak datang bekerja hari ini? Bukankah jatah cutimu sudah habis?"] Adelia menjauhkan telinganya karena suara Mrs. Smith yang keras itu memekakkan telinganya. "Aku ... aku sakit," jawab Adelia berbohong. ["Sakit? Kamu berbohong, ada yang melihatmu sedang berjalan-jalan dengan tamu kita, Edward Ofel. Kalian mengarah ke pantai!"] Suara Mrs. Smith membuat Adelia semakin kesal lalu mematikan panggilan. "Edward? siapa yang mengatakannya?" tanya Adelia dengan bingung. Bagaimana bisa dia memiliki pengutit padahal dia tidak pernah merasa penting. Namun, ponselnya kembali berdering. ["Pokoknya kamu harus ke kantor hari ini juga, ada tamu terhormat yang harus kamu urus."] Click! Panggilan terputus se
Belum sempat Adelia menjawab pertanyaan dari kedua mertuanya, terdengar gedoran keras dari luar pintu. Achmed mengernyitkan alisnya lalu berkata, "Siapa yang berani kurang ajar seperti itu?" Untuk mencegah agar kemarahan kedua mertuanya tidak semakin meningkat, Adelia segera menaikkan kedua tangannya. "Aku akan membuka pintunya, mungkin ada sesuatu yang penting," ucap Adelia sambil melangkah menuju ke arah pintu. Betapa terkejutnya Adelia saat membuka pintu tersebut, karena yang berada di depan pintu adalah Afgan yang sudah memasang wajah dengan aura pembunuh. "Afg ... " Afgan mendorong tubuh Adelia dengan kasar hingga tubuh Adelia mundur ke belakang sambil berkata dengan suara tinggi, "Siapa tamu terhormat yang kau layani sekarang, dasar wanita m... " Perkataan Afgan terputus karena kedua matanya melihat keberadaan kedua orang tuanya yang juga menatapnya dengan wajah heran. "Daa, Dad ... Mom ...," teriak Afgan lalu melangkah memeluk sang ibunda dengan gaya seolah-olah tidak be
Adelia dan Afgan terdiam di dalam mobil mewah berbentuk persegi itu. Tidak ada yang bisa mereka lakukan karena Ayah dan Ibunda Afgan yang memegang kendali saat ini. Afgan saja harus menurut apabila ibundanya sudah bersikeras terhadap segala sesuatu, sama seperti malam ini. "Kami akan menikmati liburan kami bersama dengan kalian, kuharap kalian bisa meluangkan waktu walau hanya seminggu," ucap Kanya sambil menepuk-nepuk punggung tangan Adelia dengan senyuman hangat di wajahnya yang berbinar-binar karena merasa senang, sementara Adelia duduk di samping Afgan. Achemed duduk di depan, di samping kursi supir. Mereka berbincang-bincang dengan ramah kecuali Afgan dan Adelia yang lebih memilih untuk diam. "Bagaimana bila kita pergi ke bioskop malam ini, Mom ingin melihat serial action terbaru," ucap Kanya tiba-tiba. "Tidak usah, bukankah di dalam mansion juga ada ruang movie? Papa memiliki banyak pekerjaan, kalian bisa menonton di mansion sementara Afgan dan Papa bisa membahas beberapa ma
Bab 97 Kamar yang dihiasi dengan bunga-bunga segar dan aroma lilin yang harum menciptakan suasana romantis. Adelia dan Afgan duduk di ujung tempat tidur, wajah mereka mencerminkan kecanggungan. Dalam hati, mereka mempertanyakan bagaimana kamar mereka seperti sengaja dipersiapkan dengan indah seperti layaknya untuk pasangan yang akan menjalani malam pertama. Adelia duduk di tepi ranjang yang mewah itu dengan nada kesal lalu berkata, "Ini sungguh tidak masuk akal, Afgan. Mengapa kita harus dinikahkan begitu saja? Kita bahkan tidak saling mencintai." Afgan coba menenangkan Adelia dengan duduk di sampingnya. "Kita bisa membuat ini berjalan dengan baik. Mungkin kita akan menemukan kesamaan di antara perbedaan kita," ucap Afgan lalu menatap kedua mata bening Adelia dalam-dalam. Mereka saling menatap cukup lama sebelum akhirnya Adelia mendengkus dan mengerutkan kening karena teringat dengan panggilan ponsel Afgan yang membelikan tas mewah untuk Melinda, sementara dia tidak pernah membeli
Afgan mendekatkan diri dan mencengkram leher kemeja Adelia, "Kamu tahu apa, Adelia? Kamu tidak mengerti sepenuhnya apa yang terjadi di hidupku. Kamu tidak tahu bagaimana aku berjuang untuk mencapai ini." "Berjuang? Kamu hanya membuat alasan. Kamu tidak bisa memberikan apa-apa yang aku butuhkan dari seorang suami." "Lepaskan!" teriak Adelia. Afgan buru-buru melepaskan tangannya. Afgan mengernyitkan alisnya lalu bertanya. "Memangnya, apa yang kau butuhkan dari seorang suami?" Adelia terdiam dan merasa pria di hadapannya itu sangat bodoh. Dia terlalu sibuk memberikan semuanya kepada Melinda, sementara dia tidak pernah memperhatikannya sebagai seorang istri. Afgan berusaha tenang lalu berkata, "Jika kamu memberiku kesempatan, mungkin kita bisa memahami satu sama lain. Jangan membuat kesimpulan terlalu cepat." Adelia mencibir, "Tidak ada kesempatan yang bisa mengubah kenyataan, Afgan. Kamu hanyalah penyesalan besar dalam hidupku." Atmosfer kamar semakin tegang. Pertengkaran mencapai
Melihat Adelia yang melangkah ke kamar mandi, Afgan merasakan frustasi yang memuncak seiring pertengkaran yang semakin intens. Dia memutuskan untuk mengambil nafas segar dan tidur di kamar lain, berharap jeda sejenak bisa membantu meredakan ketegangan. Afgan mengambil bantal dan bersiap-siap untuk membuka pintu, tetapi di saat yang sama, dia melihat ayahnya berdiri tak jauh dari pintu. Achmed mencari minuman segar dan tanpa sengaja berpapasan dengan kehadiran Afgan yang memeluk bantal. Dengan sorot mata penuh kecurgiaan Achmed membuka suara, "Afgan, ada apa denganmu? Mengapa kamu memeluk bantal dan selimut? Apakah ini menandakan kamu hendak tidur di kamar lain?" Afgan tertegun, tidak menyangka bahwa ayahnya ada di sana. Tatapannya yang tajam seakan-akan membaca setiap ketegangan yang dirasakannya. Afgan menghela nafas, "Tidak, bantal dan selimut ini jumlahnya terlalu banyak. Aku sekalian keluar hanya butuh waktu sendiri untuk mencari minuman segar." Achmed menyodorkan sebotol minum
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Afgan seraya mengecup mesra kening istrinya. Adelia terlihat cantik dalam gaun berwarna merah muda, memancarkan pesona yang memikat semua orang yang hadir. Senyumnya yang menawan membuat suasana semakin hangat dan penuh kebahagiaan.Taman yang indah menjadi latar belakang acara tersebut, dihiasi dengan dekorasi menarik yang dipenuhi balon berwarna-warni. Meja-meja penuh dengan hidangan lokal yang menggugah selera.Afgan sengaja mempersiapkan semua makanan khas lokal Indonesia supaya dapat mencerminkan kekayaan budaya dan rasa yang istimewa. Semua tamu yang diundang tampak menikmati setiap momen, tertawa dan berbincang dalam suasana yang meriah.Afgan sengaja memilih suasana taman ini untuk memberikan kesan alami dan romantis. Cahaya lampu hias yang tergantung di antara pepohonan menambah kehangatan malam itu, menciptakan suasana yang sempurna untuk merayakan ulang tahun Adelia."Tempat ini benar-benar indah, Afgan," kat
Nama itu terdengar seperti melodi yang manis di telinganya, dan wajahnya muncul di dalam bayangan gelap di hadapannya.Lima tahun yang lalu, mereka bertemu dalam sebuah acara pesta, di mana keponakannya, Edward, membawa Adelia sebagai pasangan dansa.Adam masih ingat betapa terpesonanya dia saat itu oleh kehadiran Adelia. Wajah dan penampilan wanita itu sangat mirip dengan mendiang istrinya, membuatnya tercengang dan tak bisa berkedip.Adelia, dengan senyum manisnya dan gerakannya yang anggun, menyihirnya dalam sekejap.Dalam kilatan lampu pesta, Adam melihat bayangan istrinya yang telah tiada, dan dia merasakan hatinya tergetar oleh gelombang nostalgia dan kesedihan yang mendalam.Ketika mereka memiliki kesempatan untuk berdansa sebagai pasangan, Adam merasa seperti dia berada di alam semesta yang sama sekali berbeda, di mana waktu berhenti berputar dan kehilangan tidak lagi terasa menyakitkan.Tetapi, seiring malam berakhir, kenyataan kemb
Adam membalas senyuman wanita itu dengan senyuman manis. "Maka aku akan menjadi milikmu."Sekali lagi mereka berciuman dengan penuh gairah. Sarah terhanyut dan merasa tidak berdaya, tetapi dalam ruang kecil hatinya yang tersisa, dia tahu dengan pasti bahwa Adam bukanlah tipe pria yang akan dengan mudah jatuh hati padanya.Dia menyadari bahwa perasaan Adam padanya hanyalah alat yang dimanfaatkannya untuk menyakiti Melinda lebih dalam lagi. Tetapi, meskipun dia sadar akan ini, dia terus menekan perasaannya sendiri, membiarkan dirinya larut dalam penipuan terhadap hatinya.Setiap hari, Sarah merasa semakin terjebak dalam permainan Adam. Dia memberi dirinya alasan bahwa ini adalah cara untuk menjaga Melinda tetap aman, meskipun di lubuk hatinya, dia tahu bahwa ini hanya sebuah pembenaran dari nafsu dan ketakutan akan kehilangan Adam.Saat malam tiba, Adam mengajaknya keluar untuk makan malam romantis, dan Sarah setuju tanpa ragu.Meskipun dia menyadari
Melinda menggelengkan kepala, matanya kosong memandang ke dalam ruangan. "Aku tidak tahu," ucapnya pelan. "Aku merasa seperti semua impianku hancur, seperti tidak ada lagi yang bisa kuinginkan."Sarah merangkulnya lebih erat. "Tetapi, Melinda, kamu masih punya banyak hal di depanmu. Kehidupanmu tidak berakhir di sini."Melinda menatap sahabatnya dengan pandangan yang penuh keraguan. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua ini? Bagaimana aku bisa mempercayai seseorang lagi setelah ini?""Bagaimana membuktikan kebenaran bahwa aku hanya difitnah oleh Adam? Semua ini adalah jebakannya."Sarah tersenyum lembut. "Kamu mempunyai hak untuk didampingi seorang pengacara hukum, aku akan mengurusnya dan percayalah, tidak semua pria seperti Adam. Semua ini mungkin hanya salah paham."Melinda mengernyitkan alisnya perlahan, mencoba menyerap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. Namun, perjalanan untuk pulih dari luka ini masih terasa sangat jauh baginya dan kebe
Adam tersenyum dengan licik lalu melanjutkan kalimatnya di depan microphone yang sedang dipegang."Yayasan Melinda i-care sudah menipu publik dengan penjualan tiket konser di acara pertandingan baseball ini. Seharusnya saya mendapatkan applause untuk keberhasilan menjebak pelaku yang sudah menipu tiket kalian, bukan?"Perkataan Adam mendapat seru riuh dari para penonton. Mereka merasa keadilan sudah ditegakkan untuk mereka.Dua orang polisi wanita segera menarik dan memasangkan borgol ke tangan Melinda yang disatukan di belakang punggungnya."I-ini tidak benar! Kamu jahat sekali!" seru Melinda sambil berusaha meronta, tetapi dua orang yang memegangnya sangat kuat."Kamu juga melakukan hal yang sama terhadap keluarga Al-Futtaim, Sayang. Adelia adalah seorang wanita yang baik. Bila saya arus memilih, maka saya akan memilih Adelia menjadi istri yang layak menggantikan mendiang istriku karena wanita itu memiliki semua yang tidak kamu miliki."Me
Melinda merenggangkan lehernya, mencoba untuk melihat lebih jelas ke arah panggung yang sedang disiapkan di tengah lapangan.Ia merasa detak jantungnya semakin kencang seiring dengan lama menunggu. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu dengan penuh harap.Adam Offel, telah memberinya petunjuk bahwa hari ini akan menjadi salah satu yang tak terlupakan. Dia ingin memberikan kesempatan kedua kepada pria itu.Dengan gaun pengantin yang indah melilit tubuhnya, Melinda merasa seperti sang ratu yang siap menerima mahkota kebahagiaan. Tetapi, di tengah kerumunan, ia tidak melihat bayangan Adam yang diharapkannya. Ketidakpastian mulai merayap di dalam pikirannya.Melinda duduk di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya. Menyaksikan pertandingan dengan perasaan tidak menentu.Tiba-tiba, lampu-lampu sorot mulai menyala, dan kerumunan berbisik-bisik dengan kegembiraan yang menggelora. Melinda merasakan kegelisahan memenuhi dadanya ketika seseorang mel
Setelah sampai di sana, Melinda langsung berpura-pura bertanya, mencari informasi, namun tidak ada yang mengetahui acara lain selain acara baseball yang memang setiap akhir pekan dilaksanakan di sana."Besok yang bertanding adalah group banteng dengan group singa. Apakah Anda ingin membeli tiket?" tanya petugas tanpa mencurigai apa pun.Wajah dan reaksinya datar, bahkan dia malas untuk melihat ke arah orang yang menanyakan tiket."Baik, terima kasih, aku sudah punya tiket masuk," sahut Melinda lalu bergerak keluar meninggalkan gedung.Malam harinya, wanita itu tidak bisa tidur. Sama sekali tidak bisa memberi istirahat kepada matanya yang sudah lelah.Sesekali dia mematut dirinya di depan cermin dengan memegang gaun yang indah.Keesokan harinya, Melinda terbangun dengan mata yang terasa berat di bawah kelopaknya. Goresan-goresan hitam di sekitar matanya menandakan betapa dalamnya tidur yang dia alami."Mama?" Silvia masuk ke kama
Bel pintu berbunyi, membuyarkan lamunannya yang dalam. Melinda menghela napas dalam-dalam, merenggangkan otot-ototnya yang tegang, lalu beranjak menuju pintu dengan langkah gontai. Dia menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka pintu."Siapa ya yang datang sekarang?" gumamnya pelan.Dengan ragu, ia membuka pintu dan dihadapkan pada seorang pria pengantar paket yang tersenyum ramah di depannya. Paket besar berwarna cokelat muda tergeletak di depan kakinya."Maaf mengganggu, Ma'am. Ini paket untuk Anda," kata pria itu sambil menyodorkan sebuah formulir pengiriman.Melinda mengangguk, mengambil formulir tersebut, dan menandatangani dengan cepat. Pikirannya masih melayang-layang antara rasa penasaran dan kekhawatiran.Pria pengantar itu kemudian menyerahkan paket tersebut kepadanya dengan senyuman hangat sebelum bergegas pergi. Melinda menutup pintu dan kembali ke dalam rumah dengan paket besar yang terasa begitu misterius di tangannya.Dengan hati-hati, ia memb
"Maaf, Nyonya Melinda. Kami hendak memberitahukan bahwa bahan material bangunan yang dipesan atas nama Melinda i-care sudah jatuh tempo. Sejumlah satu Milyar!"Hatinya berdegup kencang. Bagaimana mungkin dia berutang sebanyak itu atas sebuah proyek bangunan?"S-saya tidak pernah memesan apa pun," sahut Melinda dengan suara terputus-putus.Melinda berusaha memeriksa ingatannya, mencari-cari jejak apa pun yang bisa menjelaskan situasi ini, tetapi tidak ada yang muncul. Rasanya seperti terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar."Maaf, saya tidak yakin tentang hutang ini," ucap Melinda dengan suara gemetar, mencoba menutupi kepanikannya."Seseorang bernama Tuan Adam yang mengurus semuanya," sahut penagih hutang dengan nada tajam. "Dan dia menyatakan bahwa Anda bertanggung jawab atas pembayarannya. Bukankah semua material itu dikirim kepada Melinda i-care?"Melinda menelan salivanya yang terasa pahit, merasa seakan-akan dunianya runtuh sek