Melinda segera mengirimkan link lokasi mereka saat ini dengan tangan gemetar. Dia tahu, bila dia tidak mengirimkan titik lokasi, maka dia akan menjadi sasaran empuk kemarahan Afgan nanti.
Sesudah mendapatkan link lokasi, Afgan segera mengendarai mobilnya dengan panik menuju titik lokasi yang diberikan.
Sementara di dalam ruangan tersebut, Adelia merasa mulai gelisah pada saat seorang pria gendut berkacamata dengan kumis tebal masuk ke dalam ruangan.
Pria gendut itu menatap kedua wanita di hadapannya dengan pandangan liar. Adelia menelan saliva dengan penuh kegelisahan karena tidak pernah melakukan hal seperti ini, tetapi tekadnya sudah bulat. Dia merasa harus terlepas dari kukungan pernikahan paksa dengan pewaris arrogant yang tidak tahu jelas arah pernikahan miliknya tersebut.
"Selamat Siang, jadi ini adalah berkas dan dokumen yang harus Anda tanda tangani. Bacalah persyaratan dan peraturan tertulis yang harus dipenuhi dengan kesepakatan bersama."<
Sampai di rumah, Afgan tidak menghiraukan sapaan dari kepala pelayan atau pun petugas keamanan. Pria itu hanya segera menggendong Adelia dengan gelisah menuju ke kamarnya.Kepala Pelayan memandang tuan dan nyonya rumahnya dengan panik dan berjalan mengikuti mereka di belakang."Tuan, apakah butuh memanggil dokter?" tanya Kepala Pelayan dengan suara bergetar."Tidak, biarkan saja dia beristirahat. Tinggalkan kami.""Tapi, Tuan ... Nyonya, dia ...""Tinggalkan kami!" seru Afgan dengan mata merah menoleh ke arah Kepala Pelayan yang merasa takut dan langsung mematung di tempat."Ba-baik." Kepala Pelayan dan pelayan lainnya segera meninggalkan kamar utama itu dan menutup pintunya.Afgan memandang tubuh Adelia dengan jijik. Bayangan dalam benaknya bahwa pria gendut itu sudah mencumbu semua titik sensitif pada tubuh milik Adelia.Afgan segera bergerak ke kamar mandi dan mengisi bath tub penuh dengan air hangat dan sabun aroma.
Sang ayah melanjutkan, "Aku tak ingin anakku mengabaikan tugasnya untuk memberi keselamatan dan bertanggung jawab penuh atas istri. Kamu harus lebih bertanggung jawab, Afgan. Ceritakan kepada Ayah, mengapa dia bisa meminjam uang sebanyak itu?" Afgan menceritakan dengan singkat tentang Adelia yang menginginkan perceraian lalu berusaha mengembalikan uang mahar. "Kalian gila!" bentak Achmed lalu menampar Afgan dengan kuat, sehingga pria itu terduduk di lantai. Achmed adalah seorang yang keras dalam mendidik anak. Ayahnya langsung mengomel dan memberikan nasehat panjang lebar. Afgan meresapi kata-kata sang ayah sambil menundukkan kepala, merenungkan tindakannya yang gegabah. Meskipun tamparan itu menyakitkan, itu juga adalah pelajaran keras yang dihadapi Afgan. Afgan tidak berani memengan pipinya yang mulai terasa panas dan nyeri. "Sudahlah, Ayah. Aku minta maaf," ujar Afgan dengan suara yang sedikit tercekat. Sang ayah menghela nafas panjang sebelum berkata, "Kamu kepala keluarga se
Afgan masuk ke dalam kamar 1808 dengan pikiran yang bercabang-cabang. Antara melakukan semua yang dia rencanakan dengan perasaan yang saling bertentangan.Aroma wangi parfum yang lembut dan pintu yang terbuka membuat Afgan mulai terlena.Melinda sudah berbaring di atas ranjang yang sudah ditaburi dengan bunga-bunga. Melinda bergaya manja dengan sebelah tangan menopang kepalanya. Paha putih dan mulus sengaja terpampang sehingga Afgan menelan salivanya dengan cepat."Sayang, aku sudah lama menunggumu," sapa Melinda lalu berdiri dan bergerak ke bar mini untuk mengambil minuman yang sudah dipersiapkan. Di luar dugaannya, Afgan sudah memeluknya dari belakang dan tangannya mulai merajela dengan nakal."Hmm, kamu harum sekali," puji Afgan sambil menghirup dalam-dalam aroma yang dimiliki oleh Melinda.Afgan mengernyitkan alis sekilas karena aroma parfum yang bercampur dengan keringat Melinda membuatnya menjadi sedikit aneh."Afgan, minum dulu. Kita
Sesampainya di rumah, Afgan bergegas dengan langkah besar menuju ke lantai dua, kamar Adelia dan mengedornya dengan kuat.Adelia yang sudah terlelap dalam tidurnya, terpaksa membuka pintu dengan langkah malas dan mengucek mata di hadapan pria itu."Ada apa? Ini sudah malam, apakah aku tidak punya hak untuk tidur?" tanya Adelia sambil menguap lebar.Afgan menatap istrinya dengan tatapan tajam. "Bersihkan kamarku!"Mendengar hal itu, Adelia membulatkan kedua matanya. "Kamu pikir aku pembantumu?""Saya memerintahmu sebagai atasanmu!" bentak Afgan lalu menarik tangan Adelia sehingga Adelia mengikuti langkahnya menuju ke kamar utama."Afgan, lepaskan! Ini sakit!""Ini bukan kantor dan ini di luar jam kerja!" pekik Adelia, tetapi pria itu sama sekali tidak menghiraukannya melainkan tetap menarik tangannya untuk mengikuti langkahnya.Afgan mengunci pintu kamar utama setelah mereka berada di dalam kamar. Afgan melepaskan tangan Adelia.
Dalam hati, Afgan berjanji untuk memeriksa lebih detail besok pagi. Afgan berencana menelusuri semua jejak rekaman CCTV di lokasi lain untuk mengetahui siapa yang bekerja pada malam tersebut. PAda pengecekan pertama, Afgan hanya fokus melihat ke CCTV yang arahnya tepat ke koridor pintu masuk kamar."Nah, sudah siap, Tuan Besar. Aku akan kembali ke kamarku karena ini sudah jam dua malam dan besok aku harus kembali bekerja karena jatah cutiku sudah habis. Permisi."Adelia berkata-kata sambil memutar tubuhnya dan mengangkat ember berisi kain pel dan setumpuk sprei kotor seperti layaknya seorang pelayan. Tubuhnya penuh keringat dan dia merasa gerah."Tunggu!" seru Afgan menghentikan langkah Adelia. Pria itu berdiri lalu melangkah dari ranjang menuju ke arah Adelia dengan tatapan penuh arti. Dia hendak mencium aroma Adelia yang berkeringat sekali lagi untuk menyakinkan dugaannya."Aku harus memeriksamu, untuk meyakinkan bahwa kamu tidak membawa barang milikku.
Adelia langsung terduduk dengan mata masih belum bisa menyesuaikan diri terhadap cahaya matahari yang masuk melalui tirai terbuka."Afgan, bagaimana kamu bisa masuk ke kamarku?" tanya Adelia sambil melihat ke dirinya sendiri. Menyadari pakaiannya masih lengkap, Adelia merasa aman lalu menghela napas panjang dan lega.Afgan tertawa kecil melihat tingkah istri murahannya itu. Sambil melangkah menuju ke jendela, Afgan berkata, "Kamu pikir aku sudah menyentuhmu?"Afgan menarik tirai lebih lebar sehingga sinar matahari menyilaukan Adelia. Adelia segera menyipitkan mata dan menutup matanya dengan sebelah tangan."Kamu, bahkan masih berada dalam panggilan genit dengan Edward sampai pagi. Apakah tidur bersama saja masih kurang? Masih harus tidur bersama sambil online?" tanya Afgan dengan penuh kecemburuan.Adelia membulatkan kedua matanya yang sudah berhasil beradaptasi. "Apa maksudmu? Kapan aku tidur dengan Edward?"Afgan memutar tubuhnya dan panda
Pertanyaan Adelia membuat senyum di Afgan hilang dan tiba-tiba berubah. Wajahnya kembali dingin dan dengan langkah kasar, pria arogan itu memakai kaosnya kembali lalu berdiri. "Wanita murahan sepertimu, gampang sekali diambil hatinya. Hanya sebuah ciuman dengan gairah karena kebutuhan, sudah bisa membuat pikiranmu menyimpulkan hal yang mustahil seperti itu, padahal kamu sedang bercermin." Afgan berkata sambil lalu, menuju ke arah pintu keluar lalu membuka pintunya. Pria pewaris arogan itu menghentikan langkahnya sejenak lalu menoleh ke arah Adelia yang masih belum habis rasa terkejutnya atas perkataan Afgan tadi. "Sepertinya, saya harus membayarmu sesekali!" Seusai berkata-kata, Afgan menutup pintu dengan kasar. Suara pintu yang dibanting membuat Adelia terperanjat. Air mata sukses mengalir membasahi wajahnya yang sudah dipoles bedak tipis. Adelia kembali mematut dirinya di depan cermin. Perkataan Afgan sangat jelas, bahwa dia tidak menilai dirinya sendiri di depan cermin. Tidak
Adelia semakin bingung karena situasi berubah dengan cepat. Dia sendiri memang menginginkan hal itu, tetapi semua tidak akan segampang yang mereka inginkan. Namun, perutnya tiba-tiba berbunyi nyaring, membuat kondisi mereka saat itu menjadi tidak romantis secara dadakan. "Aku lapar!" Perkataan itu yang malah keluar dari Adelia. Dia memang belum sarapan sama sekali di rumah tadi. Edward tertawa lalu melepaskan pelukannya digantikan dengan genggaman hangat ke tangan Adelia. Dengan lembut, Edward membimbing Adelia menuju ke hotel dekat pantai, di mana pada lantai pertama Hotel terdapat cafe. Baru saja mereka melangkah masuk ke dalam cafe tersebut, tiba-tiba terdengar sebuah suara seorang wanita memanggil Edward. "Edward?" panggil seorang wanita paruh baya dengan tatapan heran. Edward dan Adelia sama-sama menoleh ke arah suara yang jaraknya hanya satu meter tak jauh dari mereka berdiri saat ini. "Mom?" sahut Edward. Wanita paruh baya itu ternyata adalah Ibunda Edward bernama Maya
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Afgan seraya mengecup mesra kening istrinya. Adelia terlihat cantik dalam gaun berwarna merah muda, memancarkan pesona yang memikat semua orang yang hadir. Senyumnya yang menawan membuat suasana semakin hangat dan penuh kebahagiaan.Taman yang indah menjadi latar belakang acara tersebut, dihiasi dengan dekorasi menarik yang dipenuhi balon berwarna-warni. Meja-meja penuh dengan hidangan lokal yang menggugah selera.Afgan sengaja mempersiapkan semua makanan khas lokal Indonesia supaya dapat mencerminkan kekayaan budaya dan rasa yang istimewa. Semua tamu yang diundang tampak menikmati setiap momen, tertawa dan berbincang dalam suasana yang meriah.Afgan sengaja memilih suasana taman ini untuk memberikan kesan alami dan romantis. Cahaya lampu hias yang tergantung di antara pepohonan menambah kehangatan malam itu, menciptakan suasana yang sempurna untuk merayakan ulang tahun Adelia."Tempat ini benar-benar indah, Afgan," kat
Nama itu terdengar seperti melodi yang manis di telinganya, dan wajahnya muncul di dalam bayangan gelap di hadapannya.Lima tahun yang lalu, mereka bertemu dalam sebuah acara pesta, di mana keponakannya, Edward, membawa Adelia sebagai pasangan dansa.Adam masih ingat betapa terpesonanya dia saat itu oleh kehadiran Adelia. Wajah dan penampilan wanita itu sangat mirip dengan mendiang istrinya, membuatnya tercengang dan tak bisa berkedip.Adelia, dengan senyum manisnya dan gerakannya yang anggun, menyihirnya dalam sekejap.Dalam kilatan lampu pesta, Adam melihat bayangan istrinya yang telah tiada, dan dia merasakan hatinya tergetar oleh gelombang nostalgia dan kesedihan yang mendalam.Ketika mereka memiliki kesempatan untuk berdansa sebagai pasangan, Adam merasa seperti dia berada di alam semesta yang sama sekali berbeda, di mana waktu berhenti berputar dan kehilangan tidak lagi terasa menyakitkan.Tetapi, seiring malam berakhir, kenyataan kemb
Adam membalas senyuman wanita itu dengan senyuman manis. "Maka aku akan menjadi milikmu."Sekali lagi mereka berciuman dengan penuh gairah. Sarah terhanyut dan merasa tidak berdaya, tetapi dalam ruang kecil hatinya yang tersisa, dia tahu dengan pasti bahwa Adam bukanlah tipe pria yang akan dengan mudah jatuh hati padanya.Dia menyadari bahwa perasaan Adam padanya hanyalah alat yang dimanfaatkannya untuk menyakiti Melinda lebih dalam lagi. Tetapi, meskipun dia sadar akan ini, dia terus menekan perasaannya sendiri, membiarkan dirinya larut dalam penipuan terhadap hatinya.Setiap hari, Sarah merasa semakin terjebak dalam permainan Adam. Dia memberi dirinya alasan bahwa ini adalah cara untuk menjaga Melinda tetap aman, meskipun di lubuk hatinya, dia tahu bahwa ini hanya sebuah pembenaran dari nafsu dan ketakutan akan kehilangan Adam.Saat malam tiba, Adam mengajaknya keluar untuk makan malam romantis, dan Sarah setuju tanpa ragu.Meskipun dia menyadari
Melinda menggelengkan kepala, matanya kosong memandang ke dalam ruangan. "Aku tidak tahu," ucapnya pelan. "Aku merasa seperti semua impianku hancur, seperti tidak ada lagi yang bisa kuinginkan."Sarah merangkulnya lebih erat. "Tetapi, Melinda, kamu masih punya banyak hal di depanmu. Kehidupanmu tidak berakhir di sini."Melinda menatap sahabatnya dengan pandangan yang penuh keraguan. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua ini? Bagaimana aku bisa mempercayai seseorang lagi setelah ini?""Bagaimana membuktikan kebenaran bahwa aku hanya difitnah oleh Adam? Semua ini adalah jebakannya."Sarah tersenyum lembut. "Kamu mempunyai hak untuk didampingi seorang pengacara hukum, aku akan mengurusnya dan percayalah, tidak semua pria seperti Adam. Semua ini mungkin hanya salah paham."Melinda mengernyitkan alisnya perlahan, mencoba menyerap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. Namun, perjalanan untuk pulih dari luka ini masih terasa sangat jauh baginya dan kebe
Adam tersenyum dengan licik lalu melanjutkan kalimatnya di depan microphone yang sedang dipegang."Yayasan Melinda i-care sudah menipu publik dengan penjualan tiket konser di acara pertandingan baseball ini. Seharusnya saya mendapatkan applause untuk keberhasilan menjebak pelaku yang sudah menipu tiket kalian, bukan?"Perkataan Adam mendapat seru riuh dari para penonton. Mereka merasa keadilan sudah ditegakkan untuk mereka.Dua orang polisi wanita segera menarik dan memasangkan borgol ke tangan Melinda yang disatukan di belakang punggungnya."I-ini tidak benar! Kamu jahat sekali!" seru Melinda sambil berusaha meronta, tetapi dua orang yang memegangnya sangat kuat."Kamu juga melakukan hal yang sama terhadap keluarga Al-Futtaim, Sayang. Adelia adalah seorang wanita yang baik. Bila saya arus memilih, maka saya akan memilih Adelia menjadi istri yang layak menggantikan mendiang istriku karena wanita itu memiliki semua yang tidak kamu miliki."Me
Melinda merenggangkan lehernya, mencoba untuk melihat lebih jelas ke arah panggung yang sedang disiapkan di tengah lapangan.Ia merasa detak jantungnya semakin kencang seiring dengan lama menunggu. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu dengan penuh harap.Adam Offel, telah memberinya petunjuk bahwa hari ini akan menjadi salah satu yang tak terlupakan. Dia ingin memberikan kesempatan kedua kepada pria itu.Dengan gaun pengantin yang indah melilit tubuhnya, Melinda merasa seperti sang ratu yang siap menerima mahkota kebahagiaan. Tetapi, di tengah kerumunan, ia tidak melihat bayangan Adam yang diharapkannya. Ketidakpastian mulai merayap di dalam pikirannya.Melinda duduk di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya. Menyaksikan pertandingan dengan perasaan tidak menentu.Tiba-tiba, lampu-lampu sorot mulai menyala, dan kerumunan berbisik-bisik dengan kegembiraan yang menggelora. Melinda merasakan kegelisahan memenuhi dadanya ketika seseorang mel
Setelah sampai di sana, Melinda langsung berpura-pura bertanya, mencari informasi, namun tidak ada yang mengetahui acara lain selain acara baseball yang memang setiap akhir pekan dilaksanakan di sana."Besok yang bertanding adalah group banteng dengan group singa. Apakah Anda ingin membeli tiket?" tanya petugas tanpa mencurigai apa pun.Wajah dan reaksinya datar, bahkan dia malas untuk melihat ke arah orang yang menanyakan tiket."Baik, terima kasih, aku sudah punya tiket masuk," sahut Melinda lalu bergerak keluar meninggalkan gedung.Malam harinya, wanita itu tidak bisa tidur. Sama sekali tidak bisa memberi istirahat kepada matanya yang sudah lelah.Sesekali dia mematut dirinya di depan cermin dengan memegang gaun yang indah.Keesokan harinya, Melinda terbangun dengan mata yang terasa berat di bawah kelopaknya. Goresan-goresan hitam di sekitar matanya menandakan betapa dalamnya tidur yang dia alami."Mama?" Silvia masuk ke kama
Bel pintu berbunyi, membuyarkan lamunannya yang dalam. Melinda menghela napas dalam-dalam, merenggangkan otot-ototnya yang tegang, lalu beranjak menuju pintu dengan langkah gontai. Dia menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka pintu."Siapa ya yang datang sekarang?" gumamnya pelan.Dengan ragu, ia membuka pintu dan dihadapkan pada seorang pria pengantar paket yang tersenyum ramah di depannya. Paket besar berwarna cokelat muda tergeletak di depan kakinya."Maaf mengganggu, Ma'am. Ini paket untuk Anda," kata pria itu sambil menyodorkan sebuah formulir pengiriman.Melinda mengangguk, mengambil formulir tersebut, dan menandatangani dengan cepat. Pikirannya masih melayang-layang antara rasa penasaran dan kekhawatiran.Pria pengantar itu kemudian menyerahkan paket tersebut kepadanya dengan senyuman hangat sebelum bergegas pergi. Melinda menutup pintu dan kembali ke dalam rumah dengan paket besar yang terasa begitu misterius di tangannya.Dengan hati-hati, ia memb
"Maaf, Nyonya Melinda. Kami hendak memberitahukan bahwa bahan material bangunan yang dipesan atas nama Melinda i-care sudah jatuh tempo. Sejumlah satu Milyar!"Hatinya berdegup kencang. Bagaimana mungkin dia berutang sebanyak itu atas sebuah proyek bangunan?"S-saya tidak pernah memesan apa pun," sahut Melinda dengan suara terputus-putus.Melinda berusaha memeriksa ingatannya, mencari-cari jejak apa pun yang bisa menjelaskan situasi ini, tetapi tidak ada yang muncul. Rasanya seperti terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar."Maaf, saya tidak yakin tentang hutang ini," ucap Melinda dengan suara gemetar, mencoba menutupi kepanikannya."Seseorang bernama Tuan Adam yang mengurus semuanya," sahut penagih hutang dengan nada tajam. "Dan dia menyatakan bahwa Anda bertanggung jawab atas pembayarannya. Bukankah semua material itu dikirim kepada Melinda i-care?"Melinda menelan salivanya yang terasa pahit, merasa seakan-akan dunianya runtuh sek