Dua pria dewasa yang sama tinggi dan memiliki tingkat ketampanan hampir seimbang, dibarengi dengan kemampuan berkelahi yang patur diacungi jempol.
Namun, sebelum pertarungan semakin intens, suara sirene polisi mulai terdengar semakin dekat. Pintu live bar terbuka lebar, dan dua petugas polisi memasuki tempat itu dengan tegas. Mereka memisahkan Afgan dan Edward yang masih berusaha saling serang.
"Berhenti! Polisi!" teriak salah satu petugas dengan keras, mencoba meredakan pertarungan yang memanas.
Afgan dan Edward, terengah-engah dan terlihat terluka, akhirnya dihadapkan dengan kenyataan bahwa pertarungan mereka telah berakhir. Petugas polisi segera memborgol keduanya dan menempatkan mereka dalam mobil polisi.
Dalam perjalanan ke kantor polisi, suasana dalam mobil polisi terasa hening. Afgan dan Edward duduk di belakang dengan tatapan marah, merenungkan konsekuensi dari pertarungan yang terjadi di live bar mewah Jakarta. Mereka sadar bahwa malam yang penuh
Adelia ingin sekali bertanya, tetapi tidak memiliki keberanian yang cukup berarti sehingga dia hanya menelan salivanya dengan kasar dan melanjutkan tugasnya untuk mengoles luka akibat terhantam ke lantai yang penuh puing botol pada saat berkelahi dengan Edward tadi."Saya tertimpa balok kayu yang terbakar pada saat kecil," ucap Afgan dengan suara datar, seolah-olah mengerti akan apa yang ada dalam hati Adelia.Adelia mengelus pelan luka bakar yang terdiri dari daging yang tumbuh tidak beraturan selayaknya kulit asli."Sakit?"Afgan menggelengkan kepalanya pelan. Di luar dugaan, Adelia memeluk tubuh Afgan dari belakang. "Maafkan aku."Afgan terkejut dengan tindakan Adelia yang tiba-tiba merangkul pinggangnya. Tiba-tiba terlintas bayangan Adelia disentuh oleh pria lain sekali lagi."Apa-apa ini!" bentak Afgan tiba-tiba dan menepis tangan Adelia dengan jijik."Kamu jangan memanfaatkan situasi! Keluar dari kamarku sekarang! Pergi!"
Hanya butuh sepuluh menit, Adelia sudah kembali ke kamar Afgan dengan sebuah bantal dan selimut di tangannya. Adelia juga sudah memakai pakaian tidur di atas lutut yang terdapat dua tali tipis.Adelia bergerak menuju ke sofa di ruangan tamu untuk membentangkan selimutnya di sofa yang dibatasi dengan sekat kaca mewah di dalam kamar Afgan."Hei, mengapa pakaianmu setipis itu? Jangan katakan kau mau menggodaku," ejek Afgan yang masih bahkan belum bisa memakai pakaian karena lukanya belum kering.Dia hanya menyembunyikan dirinya di dalam selimut karena pendingin ruangan yang sudah mulai bekerja dengan baik.Adelia melirik pakaiannya sendiri lalu tersenyum sinis mendengar ejekan Afgan. "Ini hanya pakaian tidur, Afgan. Tidak usah dibesar-besarkan."Afgan memandang Adelia dengan tatapan tajam. "Pakaian setipis itu, Adelia? Apa, kau berpikir kita sedang berlibur di pantai atau apa? Seperti itukah caramu memancing lirikan pria yang menjadi calon pembeli jas
Keheningan malam membuat suasana mencekam dalam kamar Adelia. Wanita itu menangis sampai tertidur.Namun, Adelia merasa tidak nyenyak dalam tidurnya, samar-samar terdengar erangan dari kamar sebelah. Adelia mengucek matanya dan melihat ke jam dinding."Pukul tiga, apakah dia belum tidur juga?" tanya Adelia kepada dirinya sendiri, menyadari erangan dari Afgan terdengar semakin keras.Dengan malas, Adelia melangkah mendekati dinding untuk mendenagr lebih jelas dan menebak apa yang terjadi pada Afgan."To .. long, aku takut ... Ibu!" teriak Afgan.Adelia mengercapkan matanya berkali-kali. Sepertinya Afgan mengigau dalam tidurnya. Dengan gelisah, Adelia berjalan mengelilingi kamarnya sendiri. Dia ingin masuk ke dalam kamar Afgan, tetapi dia takut pria itu akan memarahinya sekali lagi.Suara erangan yang lebih jelas dan keras membuat Adelia tidak tahan lagi. Adelia segera membuka pintu kamar dan terkejut karena Kepala Pelayan juga sedang berada d
Adelia memegang wajahnya sendiri dengan menahan rasa malu dan kesal bercampur aduk."Mengapa gampang sekali tertidur di pelukannya? Bodoh sekali!" pekik Adelia sambil menepuk kepalanya sendiri.Agar kondisinya tidak canggung, Adelia memutuskan segera mandi dan pergi bekerja seolah-olah tidak terjadi hal besar.Sementara di kamar sebelah, Afgan memutuskan untuk tidak pergi bekerja karena merasa tubuhnya masih sakit.Terdengar suara pintu diketuk pelan dari luar."Siapa?" tanya Afgan dengan ketus sambil bermain game online di ponselnya."Tuan, sarapan sudah siap. Apakah Tuan mau kami membawanya ke dalam kamar atau Tuan mau sarapan di ruang makan?" tanya pelayan kecil di depan pintu yang masih tertutup."Di mana istri yang tidak becus itu? Suruh dia mengantarkan makanan kepadaku. Saya sedang sakit dan sudah merupakan tugasnya untuk merawatku," balas Afgan setengah berteriak agar terdengar sampai ke ruangan sebelah di mana kamar Ade
"Hei! Apa maksudmu? Apakah seorang istri harus selalu menyiapkan pakaian untuk suami dan menyiapkan air untuk mandi suami?" Adelia berkacak pinggang dan membalas tatapan Afgan dengan ketajaman yang sama."Ya, kataku iya, betul! Tidak salah! Kamu adalah istri sah milikku!" Afgan mendekati Adelia dengan wajah dingin dan tampak sekali kemarahan dalam dirinya."Selama kamu masih milikku, maka saya berhak mengatur semua dari dirimu! Mengerti?"Afgan mendengus lalu memutar tubuhnya ke arah kamar mandi dan membuka pintunya lebar-lebar."Sekarang isi bathtub dengan air hangat! aku mau buih sabun yang banyak!"Bukannya menuruti perintah Afgan, wanita itu malah menaikkan sudut bibirnya ke atas lalu memutar tubuhnya hendak meninggalkan Afgan."Hei! Mau ke mana?" Afgan segera menghadang jalan Adelia dengan berdiri menghalangi pintu kamar."Minggir! Aku tidak punya waktu berdebat denganmu." Adelia berusaha menepis tubuh Afgan yang menghalangi jala
Melinda segera mengirimkan link lokasi mereka saat ini dengan tangan gemetar. Dia tahu, bila dia tidak mengirimkan titik lokasi, maka dia akan menjadi sasaran empuk kemarahan Afgan nanti.Sesudah mendapatkan link lokasi, Afgan segera mengendarai mobilnya dengan panik menuju titik lokasi yang diberikan.Sementara di dalam ruangan tersebut, Adelia merasa mulai gelisah pada saat seorang pria gendut berkacamata dengan kumis tebal masuk ke dalam ruangan.Pria gendut itu menatap kedua wanita di hadapannya dengan pandangan liar. Adelia menelan saliva dengan penuh kegelisahan karena tidak pernah melakukan hal seperti ini, tetapi tekadnya sudah bulat. Dia merasa harus terlepas dari kukungan pernikahan paksa dengan pewaris arrogant yang tidak tahu jelas arah pernikahan miliknya tersebut."Selamat Siang, jadi ini adalah berkas dan dokumen yang harus Anda tanda tangani. Bacalah persyaratan dan peraturan tertulis yang harus dipenuhi dengan kesepakatan bersama."
Sampai di rumah, Afgan tidak menghiraukan sapaan dari kepala pelayan atau pun petugas keamanan. Pria itu hanya segera menggendong Adelia dengan gelisah menuju ke kamarnya.Kepala Pelayan memandang tuan dan nyonya rumahnya dengan panik dan berjalan mengikuti mereka di belakang."Tuan, apakah butuh memanggil dokter?" tanya Kepala Pelayan dengan suara bergetar."Tidak, biarkan saja dia beristirahat. Tinggalkan kami.""Tapi, Tuan ... Nyonya, dia ...""Tinggalkan kami!" seru Afgan dengan mata merah menoleh ke arah Kepala Pelayan yang merasa takut dan langsung mematung di tempat."Ba-baik." Kepala Pelayan dan pelayan lainnya segera meninggalkan kamar utama itu dan menutup pintunya.Afgan memandang tubuh Adelia dengan jijik. Bayangan dalam benaknya bahwa pria gendut itu sudah mencumbu semua titik sensitif pada tubuh milik Adelia.Afgan segera bergerak ke kamar mandi dan mengisi bath tub penuh dengan air hangat dan sabun aroma.
Sang ayah melanjutkan, "Aku tak ingin anakku mengabaikan tugasnya untuk memberi keselamatan dan bertanggung jawab penuh atas istri. Kamu harus lebih bertanggung jawab, Afgan. Ceritakan kepada Ayah, mengapa dia bisa meminjam uang sebanyak itu?" Afgan menceritakan dengan singkat tentang Adelia yang menginginkan perceraian lalu berusaha mengembalikan uang mahar. "Kalian gila!" bentak Achmed lalu menampar Afgan dengan kuat, sehingga pria itu terduduk di lantai. Achmed adalah seorang yang keras dalam mendidik anak. Ayahnya langsung mengomel dan memberikan nasehat panjang lebar. Afgan meresapi kata-kata sang ayah sambil menundukkan kepala, merenungkan tindakannya yang gegabah. Meskipun tamparan itu menyakitkan, itu juga adalah pelajaran keras yang dihadapi Afgan. Afgan tidak berani memengan pipinya yang mulai terasa panas dan nyeri. "Sudahlah, Ayah. Aku minta maaf," ujar Afgan dengan suara yang sedikit tercekat. Sang ayah menghela nafas panjang sebelum berkata, "Kamu kepala keluarga se
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Afgan seraya mengecup mesra kening istrinya. Adelia terlihat cantik dalam gaun berwarna merah muda, memancarkan pesona yang memikat semua orang yang hadir. Senyumnya yang menawan membuat suasana semakin hangat dan penuh kebahagiaan.Taman yang indah menjadi latar belakang acara tersebut, dihiasi dengan dekorasi menarik yang dipenuhi balon berwarna-warni. Meja-meja penuh dengan hidangan lokal yang menggugah selera.Afgan sengaja mempersiapkan semua makanan khas lokal Indonesia supaya dapat mencerminkan kekayaan budaya dan rasa yang istimewa. Semua tamu yang diundang tampak menikmati setiap momen, tertawa dan berbincang dalam suasana yang meriah.Afgan sengaja memilih suasana taman ini untuk memberikan kesan alami dan romantis. Cahaya lampu hias yang tergantung di antara pepohonan menambah kehangatan malam itu, menciptakan suasana yang sempurna untuk merayakan ulang tahun Adelia."Tempat ini benar-benar indah, Afgan," kat
Nama itu terdengar seperti melodi yang manis di telinganya, dan wajahnya muncul di dalam bayangan gelap di hadapannya.Lima tahun yang lalu, mereka bertemu dalam sebuah acara pesta, di mana keponakannya, Edward, membawa Adelia sebagai pasangan dansa.Adam masih ingat betapa terpesonanya dia saat itu oleh kehadiran Adelia. Wajah dan penampilan wanita itu sangat mirip dengan mendiang istrinya, membuatnya tercengang dan tak bisa berkedip.Adelia, dengan senyum manisnya dan gerakannya yang anggun, menyihirnya dalam sekejap.Dalam kilatan lampu pesta, Adam melihat bayangan istrinya yang telah tiada, dan dia merasakan hatinya tergetar oleh gelombang nostalgia dan kesedihan yang mendalam.Ketika mereka memiliki kesempatan untuk berdansa sebagai pasangan, Adam merasa seperti dia berada di alam semesta yang sama sekali berbeda, di mana waktu berhenti berputar dan kehilangan tidak lagi terasa menyakitkan.Tetapi, seiring malam berakhir, kenyataan kemb
Adam membalas senyuman wanita itu dengan senyuman manis. "Maka aku akan menjadi milikmu."Sekali lagi mereka berciuman dengan penuh gairah. Sarah terhanyut dan merasa tidak berdaya, tetapi dalam ruang kecil hatinya yang tersisa, dia tahu dengan pasti bahwa Adam bukanlah tipe pria yang akan dengan mudah jatuh hati padanya.Dia menyadari bahwa perasaan Adam padanya hanyalah alat yang dimanfaatkannya untuk menyakiti Melinda lebih dalam lagi. Tetapi, meskipun dia sadar akan ini, dia terus menekan perasaannya sendiri, membiarkan dirinya larut dalam penipuan terhadap hatinya.Setiap hari, Sarah merasa semakin terjebak dalam permainan Adam. Dia memberi dirinya alasan bahwa ini adalah cara untuk menjaga Melinda tetap aman, meskipun di lubuk hatinya, dia tahu bahwa ini hanya sebuah pembenaran dari nafsu dan ketakutan akan kehilangan Adam.Saat malam tiba, Adam mengajaknya keluar untuk makan malam romantis, dan Sarah setuju tanpa ragu.Meskipun dia menyadari
Melinda menggelengkan kepala, matanya kosong memandang ke dalam ruangan. "Aku tidak tahu," ucapnya pelan. "Aku merasa seperti semua impianku hancur, seperti tidak ada lagi yang bisa kuinginkan."Sarah merangkulnya lebih erat. "Tetapi, Melinda, kamu masih punya banyak hal di depanmu. Kehidupanmu tidak berakhir di sini."Melinda menatap sahabatnya dengan pandangan yang penuh keraguan. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua ini? Bagaimana aku bisa mempercayai seseorang lagi setelah ini?""Bagaimana membuktikan kebenaran bahwa aku hanya difitnah oleh Adam? Semua ini adalah jebakannya."Sarah tersenyum lembut. "Kamu mempunyai hak untuk didampingi seorang pengacara hukum, aku akan mengurusnya dan percayalah, tidak semua pria seperti Adam. Semua ini mungkin hanya salah paham."Melinda mengernyitkan alisnya perlahan, mencoba menyerap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. Namun, perjalanan untuk pulih dari luka ini masih terasa sangat jauh baginya dan kebe
Adam tersenyum dengan licik lalu melanjutkan kalimatnya di depan microphone yang sedang dipegang."Yayasan Melinda i-care sudah menipu publik dengan penjualan tiket konser di acara pertandingan baseball ini. Seharusnya saya mendapatkan applause untuk keberhasilan menjebak pelaku yang sudah menipu tiket kalian, bukan?"Perkataan Adam mendapat seru riuh dari para penonton. Mereka merasa keadilan sudah ditegakkan untuk mereka.Dua orang polisi wanita segera menarik dan memasangkan borgol ke tangan Melinda yang disatukan di belakang punggungnya."I-ini tidak benar! Kamu jahat sekali!" seru Melinda sambil berusaha meronta, tetapi dua orang yang memegangnya sangat kuat."Kamu juga melakukan hal yang sama terhadap keluarga Al-Futtaim, Sayang. Adelia adalah seorang wanita yang baik. Bila saya arus memilih, maka saya akan memilih Adelia menjadi istri yang layak menggantikan mendiang istriku karena wanita itu memiliki semua yang tidak kamu miliki."Me
Melinda merenggangkan lehernya, mencoba untuk melihat lebih jelas ke arah panggung yang sedang disiapkan di tengah lapangan.Ia merasa detak jantungnya semakin kencang seiring dengan lama menunggu. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu dengan penuh harap.Adam Offel, telah memberinya petunjuk bahwa hari ini akan menjadi salah satu yang tak terlupakan. Dia ingin memberikan kesempatan kedua kepada pria itu.Dengan gaun pengantin yang indah melilit tubuhnya, Melinda merasa seperti sang ratu yang siap menerima mahkota kebahagiaan. Tetapi, di tengah kerumunan, ia tidak melihat bayangan Adam yang diharapkannya. Ketidakpastian mulai merayap di dalam pikirannya.Melinda duduk di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya. Menyaksikan pertandingan dengan perasaan tidak menentu.Tiba-tiba, lampu-lampu sorot mulai menyala, dan kerumunan berbisik-bisik dengan kegembiraan yang menggelora. Melinda merasakan kegelisahan memenuhi dadanya ketika seseorang mel
Setelah sampai di sana, Melinda langsung berpura-pura bertanya, mencari informasi, namun tidak ada yang mengetahui acara lain selain acara baseball yang memang setiap akhir pekan dilaksanakan di sana."Besok yang bertanding adalah group banteng dengan group singa. Apakah Anda ingin membeli tiket?" tanya petugas tanpa mencurigai apa pun.Wajah dan reaksinya datar, bahkan dia malas untuk melihat ke arah orang yang menanyakan tiket."Baik, terima kasih, aku sudah punya tiket masuk," sahut Melinda lalu bergerak keluar meninggalkan gedung.Malam harinya, wanita itu tidak bisa tidur. Sama sekali tidak bisa memberi istirahat kepada matanya yang sudah lelah.Sesekali dia mematut dirinya di depan cermin dengan memegang gaun yang indah.Keesokan harinya, Melinda terbangun dengan mata yang terasa berat di bawah kelopaknya. Goresan-goresan hitam di sekitar matanya menandakan betapa dalamnya tidur yang dia alami."Mama?" Silvia masuk ke kama
Bel pintu berbunyi, membuyarkan lamunannya yang dalam. Melinda menghela napas dalam-dalam, merenggangkan otot-ototnya yang tegang, lalu beranjak menuju pintu dengan langkah gontai. Dia menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka pintu."Siapa ya yang datang sekarang?" gumamnya pelan.Dengan ragu, ia membuka pintu dan dihadapkan pada seorang pria pengantar paket yang tersenyum ramah di depannya. Paket besar berwarna cokelat muda tergeletak di depan kakinya."Maaf mengganggu, Ma'am. Ini paket untuk Anda," kata pria itu sambil menyodorkan sebuah formulir pengiriman.Melinda mengangguk, mengambil formulir tersebut, dan menandatangani dengan cepat. Pikirannya masih melayang-layang antara rasa penasaran dan kekhawatiran.Pria pengantar itu kemudian menyerahkan paket tersebut kepadanya dengan senyuman hangat sebelum bergegas pergi. Melinda menutup pintu dan kembali ke dalam rumah dengan paket besar yang terasa begitu misterius di tangannya.Dengan hati-hati, ia memb
"Maaf, Nyonya Melinda. Kami hendak memberitahukan bahwa bahan material bangunan yang dipesan atas nama Melinda i-care sudah jatuh tempo. Sejumlah satu Milyar!"Hatinya berdegup kencang. Bagaimana mungkin dia berutang sebanyak itu atas sebuah proyek bangunan?"S-saya tidak pernah memesan apa pun," sahut Melinda dengan suara terputus-putus.Melinda berusaha memeriksa ingatannya, mencari-cari jejak apa pun yang bisa menjelaskan situasi ini, tetapi tidak ada yang muncul. Rasanya seperti terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar."Maaf, saya tidak yakin tentang hutang ini," ucap Melinda dengan suara gemetar, mencoba menutupi kepanikannya."Seseorang bernama Tuan Adam yang mengurus semuanya," sahut penagih hutang dengan nada tajam. "Dan dia menyatakan bahwa Anda bertanggung jawab atas pembayarannya. Bukankah semua material itu dikirim kepada Melinda i-care?"Melinda menelan salivanya yang terasa pahit, merasa seakan-akan dunianya runtuh sek