Petugas keamaan melirik makanan yang masih banyak jumlahnya di atas meja pasien.
"Jangan lama-lama. Nyonya Besar berpesan, atau biarkan saya yang menyuap Tuan saja?"
Nancy melirik petugas keamanan itu dengan wajah kesal lalu menjawab, "baiklah, suruh Nyonya sendiri yang datang untuk menyuap pasien. Apakah dia tidak mengerti bahwa ini adalah makanan pertama semenjak pasien baru sadar?"
"Harus pelan-pelan menyuapnya atau semua isi perutnya akan terkejut!"
"Pergilah, saya hanya makan, bukan melakukan sesuatu yang tidak etis dengan perawat ini," ucap Afgan dengan tegas lalu menerima suapan dari Nancy.
"Atau kamu ingin menyaksikan saya mengunyah sampai habis?"
Afgan melirik petugas keamanan itu dengan tatapan menyindir.
"Maaf, Tuan. Maksud saya bukan itu." Petugas keamanan itu merasa serba salah atas apa yang terjadi, sehingga dia memutuskan pamit diri.
"Saya akan menunggu di luar saja."
Pintu ditutup dan Nancy bernapas denga
Bab 312Nancy berusaha menghubungi Bob. Di sisi lain, Bob menerima panggilan melalui telepon genggamnya dari Nancy dengan hati berdebar. Dia segera mengatur pertemuan dengan Nancy di kafe terdekat. Saat dia tiba di kafe, dia melihat Nancy sudah menunggu di sudut ruangan dengan wajah gelisah."Bob, aku sangat khawatir," ujar Nancy begitu Bob duduk di hadapannya.Bob mencoba menenangkan Nancy. "Tenanglah, Nancy. Apa yang Afgan katakan padamu?"Nancy menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab, "Dia ingin bertemu dengan Achmed, ayahnya. Dia merasa sudah waktunya untuk mengungkapkan kebenaran tentang kecelakaan yang menewaskan suami Adelia.""Wanita itu memang sudah gila, memasukkan ide yang membingungkan Afgan. Aku belum tahu apa yang dia inginkan saat ini dengan membuat semuanya menjadi kacau," ujar Bob dengan kesal sambil menyeruput kopinya.Bob mengangguk, mengerti urgensi dari situasi ini. "Kita harus melakukannya dengan hati-hati. Achmed mu
Mereka bertiga tiba di Rumah Sakit beberapa saat kemudian dan langsung bergegas menuju ke kamar pasien di mana Afgan berada.Tanpa mengalami hambatan, mereka masuk ke kamar Afgan karena semua petugas keamanan mengenal Achmed Al-Futtaim dengan baik."Dad," sapa Afgan pada saat melihat sang ayah yang hadir di hadapannya saat ini. Dia merasa lemah dan sangat membutuhkan dukungan dari ayahnya."Putraku, maafkan Ayah karena baru bisa menemuimu saat ini. Ayah sangat menyesali atas apa yang sudah kamu alami," ujar Achmed dengan mata berkaca-kaca. Pria tua itu melangkah pelan mendekati Afgan sambil berkata-kata, kemudian duduk di sebelah kanan sisi ranjang. Lidahnya merasa kelu menyaksikan semua monitor dan alat medis yang terpasang di tubuh Afgan."Wanita itu sudah membuatmu sangat menderita," lanjutnya dengan suara parau."Melinda?" Afgan menatap sang ayah dengan wajah polos.Achmed mengangguk pelan sambil berusaha mengatur napasnya yang tua.
"Yang penting, saat ini, kami sudah menemukan bukti bahwa Melinda telah memberimu obat penenang secara berlebihan, menyebabkan keadaanmu seperti ini. Dia telah memanfaatkan situasi ini untuk menyakitimu dan memisahkanmu dari Adelia.""Banyak sekali, sampai dia juga berusaha membunuhku, Ayahmu!" seru Achmed kemudian, pria itu sudah tidak bisa menahan amarah dalam dirinya.Afgan merasa dunianya berputar. Segalanya terasa begitu tidak masuk akal, tetapi seiring dengan kata-kata Bob, kilatan memori mulai memenuhi pikirannya. Dia mulai mengingat potongan-potongan dari saat-saat sebelum kehilangan kesadarannya, dan semuanya mulai terungkap dengan jelas."Dia... Dia melakukan ini juga pada Ayah?" tanya Afgan dengan suara yang gemetar.Bob mengangguk tegas, mewakili Achmed yang mengenggam kepala tongkatnya dengan geram karena sedang mengontrol amarahnya sendiri. "Ya, Afgan. Dan sekarang, kami bersama-sama akan menghadapinya. Kita akan membuktikan kebenaran di pen
Dalam suasana yang tenang di dalam kamar rumah sakit, cahaya kecil dari lampu tidur menyulap ruangan menjadi ruang yang hangat dan intim. Afgan dan Adelia duduk berdampingan di tepi tempat tidur, saling berpandangan dengan tatapan yang penuh makna.Adelia memutuskan untuk tidak pergi dari Rumah Sakit karena dia sama sekali tidak ingin meninggalkan suaminya."Apa yang kau ingat dari masa lalu kita, Afgan?" tanya Adelia, suaranya lembut seperti sentuhan sayap kupu-kupu. Kedua mata beningnya menatap Afgan dengan sendu, ada rasa cinta yang teramat besar dalam hatinya.Afgan menarik napas dalam-dalam, mencoba merangkum kenangan yang telah lama terlupakan. "Maafkan aku, Sayang. Tapi aku tidak bisa mengingat apa pun. Dalam bayangangku, aku merasakan sebuah keinginan untuk memiliki beberapa ingatan saat-saat indah bersamamu, Adelia.""Tapi aku tidak bisa ingat apa pun, pernahkah kita berjalan di tepi pantai? Menikmati senja bersama? Atau pernahkah ada saat kita t
Keesokkan paginya, Melinda datang untuk mengunjungi Afgan dengan membawa sekeranjang buah-buahan. Tanpa wajah bersalah, dia mengetuk pintu kamar lalu masuk ke dalamnya.Melihat Adelia sedang tertidur dalam pelukan Afgan, wanita itu mengepalkan sebelah tangannya dengan kuat sehingga kuku-kukunya yang tajam patah dan patahannya jatuh ke lantai.Namun, Melinda tidak merasa sakit. Dia malah merasa hatinya lebih sakit. Kedua matanya memerah, tetapi dia merasa harus menahan amarah yang sudah membalut hampir sekujur tubuhnya."Adelia, Afgan, bangunlah. Aku membawakan sarapan untuk kalian," panggil Melinda sambil melangkah mendekati ranjang."Huh?" Adelia mengucek matanya dan mulai mengeliat kecil dalam pelukan Afgan."Sudah pagi?" tanya Adelia sambil menguap. Sudah lama dia tidak merasakan tidur se-nyenyak dan se-nyaman ini berada dalam pelukan pria yang sangat dirindukannya."Matahari sudah hampir membakar kalian," seloroh Melinda sambil menunjuk
"Kamu gila!" seru Afgan dengan kedua mata tajam melihat ke arah Melinda.Dengan segera dia menekan tombol bantuan. Beberapa saat kemudian, para perawat berdatangan lalu segera melakukan pertolongan bagi Adelia.Sementara Melinda ditahan oleh beberapa perawat pria."Lepaskan! atau aku akan memecatmu! Grrr!" Kedua mata Melinda penuh dengan sklera merah sementara perawat pria yang menahannya tidak gentar sama sekali walau mereka merasa diintimidasi dengan kalimat pedas dari Melinda."Lepaskan!" teriak Melinda sambil meronta-ronta."Tidak bisa, ini sudah masalah kemanusiaan. Kami sudah memanggil polisi. Anda bukan majikan kami lagi! Kami tidak mau bekerja kepada orang yang kehilangan akal seperti kamu!" seru salah seorang perawat pria yang memang sedari awalnya kurang suka dengan tindak-tanduk Melinda."Ini, masalah pembunuhan!" Afgan berkata dengan menahan rasa sakit. Pria itu tidak bisa mengikuti Adelia yang sudah dibawa pergi oleh perawat unt
Achmed berdiri lalu berkata, "baiklah, kami akan pergi untuk mengecek keadaan Adelia. Kamu berisitirahat saja di sini. Sembuhkan kepalamu dulu. Adelia tidak akan mengalami masalah besar."Bob menganggukkan kepalanya lalu menambahkan dengan sedikit guyonan. "Dia saja bisa selamat dari kobaran api, kalau hanya pisau buah kecil, tidak akan ada masalah besar."Perkataannya mendapat lirikan tajam dari Afgan."Hum, saya akan mengikuti Tuan Besar." Bob buru-buru menyusul langkah Achmed yang sudah sampai di pintu kamar.Bob melambaikan tangannya lalu menutup pintu.Afgan bermonolog dengan dirinya sendiri dalam keheningan ruangan. "Betul, tidak akan ada masalah besar yang terjadi. Dia akan baik-baik saja. Api saja tidak mampu merengut nyawanya."Afgan berusaha menarik napas dalam-dalam agar hatinya tenang. Sementara di luar ruangan, dekat pintu besar utama rumah sakit tersebut, ada beberapa keributan.Melihat itu, Achmed dan Bob tertarik untuk
Seorang petugas keamaan maju selangkah lalu memberikan hormat dengan menautkan sebelah tangannya ke kepala dan menjawab dengan sopan."Kami lupa membawa alat bukti, tadi kami kembali untuk mengambilnya dan ternyata para wartawan sudah berkumpul dan ini yang terjadi."Achmed mengangguk tanda mengerti. "Baiklah!""Pak Polisi, sudah boleh membawanya pergi ke kantor untuk proses pemeriksaan. Saya akan mengutus pengacara kami untuk memproses tuntutan bagi tersangka," lanjutnya.Kedua petugas kepolisian yang menahan Melinda menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Mereka lalu menarik Melinda untuk kembali menuju ke mobil polisi.Tiba-tiba Melinda berteriak dalam kepanikannya. "Siapa pun yang bisa menyewakan pengacara terbaik untuk memenangkan kasusku, saya akan memberikan hal eksklusif bagi mereka untuk mewawancaraiku!"Mendengar perkataan Melinda, semua wartawan sangat bersemangat. "Kami mau, kami akan mengurus pengacara terbaik untukmu. Kamu past
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Afgan seraya mengecup mesra kening istrinya. Adelia terlihat cantik dalam gaun berwarna merah muda, memancarkan pesona yang memikat semua orang yang hadir. Senyumnya yang menawan membuat suasana semakin hangat dan penuh kebahagiaan.Taman yang indah menjadi latar belakang acara tersebut, dihiasi dengan dekorasi menarik yang dipenuhi balon berwarna-warni. Meja-meja penuh dengan hidangan lokal yang menggugah selera.Afgan sengaja mempersiapkan semua makanan khas lokal Indonesia supaya dapat mencerminkan kekayaan budaya dan rasa yang istimewa. Semua tamu yang diundang tampak menikmati setiap momen, tertawa dan berbincang dalam suasana yang meriah.Afgan sengaja memilih suasana taman ini untuk memberikan kesan alami dan romantis. Cahaya lampu hias yang tergantung di antara pepohonan menambah kehangatan malam itu, menciptakan suasana yang sempurna untuk merayakan ulang tahun Adelia."Tempat ini benar-benar indah, Afgan," kat
Nama itu terdengar seperti melodi yang manis di telinganya, dan wajahnya muncul di dalam bayangan gelap di hadapannya.Lima tahun yang lalu, mereka bertemu dalam sebuah acara pesta, di mana keponakannya, Edward, membawa Adelia sebagai pasangan dansa.Adam masih ingat betapa terpesonanya dia saat itu oleh kehadiran Adelia. Wajah dan penampilan wanita itu sangat mirip dengan mendiang istrinya, membuatnya tercengang dan tak bisa berkedip.Adelia, dengan senyum manisnya dan gerakannya yang anggun, menyihirnya dalam sekejap.Dalam kilatan lampu pesta, Adam melihat bayangan istrinya yang telah tiada, dan dia merasakan hatinya tergetar oleh gelombang nostalgia dan kesedihan yang mendalam.Ketika mereka memiliki kesempatan untuk berdansa sebagai pasangan, Adam merasa seperti dia berada di alam semesta yang sama sekali berbeda, di mana waktu berhenti berputar dan kehilangan tidak lagi terasa menyakitkan.Tetapi, seiring malam berakhir, kenyataan kemb
Adam membalas senyuman wanita itu dengan senyuman manis. "Maka aku akan menjadi milikmu."Sekali lagi mereka berciuman dengan penuh gairah. Sarah terhanyut dan merasa tidak berdaya, tetapi dalam ruang kecil hatinya yang tersisa, dia tahu dengan pasti bahwa Adam bukanlah tipe pria yang akan dengan mudah jatuh hati padanya.Dia menyadari bahwa perasaan Adam padanya hanyalah alat yang dimanfaatkannya untuk menyakiti Melinda lebih dalam lagi. Tetapi, meskipun dia sadar akan ini, dia terus menekan perasaannya sendiri, membiarkan dirinya larut dalam penipuan terhadap hatinya.Setiap hari, Sarah merasa semakin terjebak dalam permainan Adam. Dia memberi dirinya alasan bahwa ini adalah cara untuk menjaga Melinda tetap aman, meskipun di lubuk hatinya, dia tahu bahwa ini hanya sebuah pembenaran dari nafsu dan ketakutan akan kehilangan Adam.Saat malam tiba, Adam mengajaknya keluar untuk makan malam romantis, dan Sarah setuju tanpa ragu.Meskipun dia menyadari
Melinda menggelengkan kepala, matanya kosong memandang ke dalam ruangan. "Aku tidak tahu," ucapnya pelan. "Aku merasa seperti semua impianku hancur, seperti tidak ada lagi yang bisa kuinginkan."Sarah merangkulnya lebih erat. "Tetapi, Melinda, kamu masih punya banyak hal di depanmu. Kehidupanmu tidak berakhir di sini."Melinda menatap sahabatnya dengan pandangan yang penuh keraguan. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua ini? Bagaimana aku bisa mempercayai seseorang lagi setelah ini?""Bagaimana membuktikan kebenaran bahwa aku hanya difitnah oleh Adam? Semua ini adalah jebakannya."Sarah tersenyum lembut. "Kamu mempunyai hak untuk didampingi seorang pengacara hukum, aku akan mengurusnya dan percayalah, tidak semua pria seperti Adam. Semua ini mungkin hanya salah paham."Melinda mengernyitkan alisnya perlahan, mencoba menyerap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. Namun, perjalanan untuk pulih dari luka ini masih terasa sangat jauh baginya dan kebe
Adam tersenyum dengan licik lalu melanjutkan kalimatnya di depan microphone yang sedang dipegang."Yayasan Melinda i-care sudah menipu publik dengan penjualan tiket konser di acara pertandingan baseball ini. Seharusnya saya mendapatkan applause untuk keberhasilan menjebak pelaku yang sudah menipu tiket kalian, bukan?"Perkataan Adam mendapat seru riuh dari para penonton. Mereka merasa keadilan sudah ditegakkan untuk mereka.Dua orang polisi wanita segera menarik dan memasangkan borgol ke tangan Melinda yang disatukan di belakang punggungnya."I-ini tidak benar! Kamu jahat sekali!" seru Melinda sambil berusaha meronta, tetapi dua orang yang memegangnya sangat kuat."Kamu juga melakukan hal yang sama terhadap keluarga Al-Futtaim, Sayang. Adelia adalah seorang wanita yang baik. Bila saya arus memilih, maka saya akan memilih Adelia menjadi istri yang layak menggantikan mendiang istriku karena wanita itu memiliki semua yang tidak kamu miliki."Me
Melinda merenggangkan lehernya, mencoba untuk melihat lebih jelas ke arah panggung yang sedang disiapkan di tengah lapangan.Ia merasa detak jantungnya semakin kencang seiring dengan lama menunggu. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu dengan penuh harap.Adam Offel, telah memberinya petunjuk bahwa hari ini akan menjadi salah satu yang tak terlupakan. Dia ingin memberikan kesempatan kedua kepada pria itu.Dengan gaun pengantin yang indah melilit tubuhnya, Melinda merasa seperti sang ratu yang siap menerima mahkota kebahagiaan. Tetapi, di tengah kerumunan, ia tidak melihat bayangan Adam yang diharapkannya. Ketidakpastian mulai merayap di dalam pikirannya.Melinda duduk di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya. Menyaksikan pertandingan dengan perasaan tidak menentu.Tiba-tiba, lampu-lampu sorot mulai menyala, dan kerumunan berbisik-bisik dengan kegembiraan yang menggelora. Melinda merasakan kegelisahan memenuhi dadanya ketika seseorang mel
Setelah sampai di sana, Melinda langsung berpura-pura bertanya, mencari informasi, namun tidak ada yang mengetahui acara lain selain acara baseball yang memang setiap akhir pekan dilaksanakan di sana."Besok yang bertanding adalah group banteng dengan group singa. Apakah Anda ingin membeli tiket?" tanya petugas tanpa mencurigai apa pun.Wajah dan reaksinya datar, bahkan dia malas untuk melihat ke arah orang yang menanyakan tiket."Baik, terima kasih, aku sudah punya tiket masuk," sahut Melinda lalu bergerak keluar meninggalkan gedung.Malam harinya, wanita itu tidak bisa tidur. Sama sekali tidak bisa memberi istirahat kepada matanya yang sudah lelah.Sesekali dia mematut dirinya di depan cermin dengan memegang gaun yang indah.Keesokan harinya, Melinda terbangun dengan mata yang terasa berat di bawah kelopaknya. Goresan-goresan hitam di sekitar matanya menandakan betapa dalamnya tidur yang dia alami."Mama?" Silvia masuk ke kama
Bel pintu berbunyi, membuyarkan lamunannya yang dalam. Melinda menghela napas dalam-dalam, merenggangkan otot-ototnya yang tegang, lalu beranjak menuju pintu dengan langkah gontai. Dia menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka pintu."Siapa ya yang datang sekarang?" gumamnya pelan.Dengan ragu, ia membuka pintu dan dihadapkan pada seorang pria pengantar paket yang tersenyum ramah di depannya. Paket besar berwarna cokelat muda tergeletak di depan kakinya."Maaf mengganggu, Ma'am. Ini paket untuk Anda," kata pria itu sambil menyodorkan sebuah formulir pengiriman.Melinda mengangguk, mengambil formulir tersebut, dan menandatangani dengan cepat. Pikirannya masih melayang-layang antara rasa penasaran dan kekhawatiran.Pria pengantar itu kemudian menyerahkan paket tersebut kepadanya dengan senyuman hangat sebelum bergegas pergi. Melinda menutup pintu dan kembali ke dalam rumah dengan paket besar yang terasa begitu misterius di tangannya.Dengan hati-hati, ia memb
"Maaf, Nyonya Melinda. Kami hendak memberitahukan bahwa bahan material bangunan yang dipesan atas nama Melinda i-care sudah jatuh tempo. Sejumlah satu Milyar!"Hatinya berdegup kencang. Bagaimana mungkin dia berutang sebanyak itu atas sebuah proyek bangunan?"S-saya tidak pernah memesan apa pun," sahut Melinda dengan suara terputus-putus.Melinda berusaha memeriksa ingatannya, mencari-cari jejak apa pun yang bisa menjelaskan situasi ini, tetapi tidak ada yang muncul. Rasanya seperti terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar."Maaf, saya tidak yakin tentang hutang ini," ucap Melinda dengan suara gemetar, mencoba menutupi kepanikannya."Seseorang bernama Tuan Adam yang mengurus semuanya," sahut penagih hutang dengan nada tajam. "Dan dia menyatakan bahwa Anda bertanggung jawab atas pembayarannya. Bukankah semua material itu dikirim kepada Melinda i-care?"Melinda menelan salivanya yang terasa pahit, merasa seakan-akan dunianya runtuh sek