"Intinya, sekarang ... aku membawa kedua cucu ini ke hadapanmu! Mereka adalah cucu kandungmu!"
Achmed menoleh dan melihat kedua anak kecil yang duduk rapi dan sopan di sofa. Kedua anak kecil itu bahkan tidak berani memanggil Kakeknya apalagi mendekat dan memberi salam.
Semua masih terasa sangat membingungkan bagi kedua anak kecil itu.
Achmed memegang dadanya yang terasa sesak lalu mengepalkan tangannya, berusaha untuk mengatur napas sendiri.
Sesaat kemudian dia berdiri dan melangkah mendekati kedua cucu kandungnya, menatap mereka dalam-dalam. Menyadari kemiripan wajah yang sama dengan Afgan kecil.
"Bagaimana bila kalian berdua menjumpai Nenek kalian terlebih dahulu? Kakek Achmed mempunyai banyak hal untuk didiskusikan kepada Kakek kalian."
Kedua anak kecil itu saling bertukar pandang lalu mengangguk bersamaan setelah mereka sepakat dalam kekompakkan mereka.
Achmed mengangguk lalu melangkah kembali menuju ke meja kerjanya untuk menghub
Joanne dan Lucas berjalan di antara pepohonan yang rimbun, diiringi oleh pelayan yang setia mengawasi mereka dengan cermat. Mereka melangkah dengan penuh kegembiraan, mata mereka bersinar-sinar ketika mereka melihat berbagai bunga dan tanaman eksotis yang tumbuh di sepanjang jalan.Saat mereka mendekati taman, mereka melihat seorang wanita tua dengan penuh semangat membersihkan beberapa tanaman yang mulai menguning.Wanita beranbut putih itu terlihat begitu lekat dengan alam di sekitarnya, seperti bagian yang tak terpisahkan dari keindahan yang ada di taman itu."Siapa dia?" tanya Lucas dengan rasa ingin tahu yang besar, matanya terpaku pada wanita itu.Pelayan yang mengiringi langkah mereka tersenyum lembut. "Itu adalah Maya, Nenek kalian," jawabnya dengan penuh kasih. "Dia adalah wanita yang paling mencintai kebun ini, dan dia selalu menjaganya dengan penuh kasih sayang."Joanne dan Lucas terpesona oleh keteguhan Maya. Mereka ingin tahu lebih ban
Silvia menatap tajam ke arah neneknya, bibirnya sedikit bergetar. Dia merasa marah dan terkhianati oleh pengakuan neneknya tentang cucu baru.Lucas dan Joanne juga terdiam, tidak tahu apa yang harus mereka katakan atau lakukan di tengah kebingungan yang menyelimuti mereka.Lucas mendekati Maya dan menggengam sebelah tangannya. "Maaf, Nenek. Kami tidak tahu ada cucu lain, apakah kita boleh saling berkenalan, " tanya Lucas dengan suara terbata-bata, mencoba menjelaskan keadaan.Joanne menambahkan, "Kedatangan kami berdua hanya ingin mengenal Anda, Nenek. Kami tidak bermaksud merepotkan siapa pun."Silvia menatap tajam ke arah mereka. "Jadi mereka adalah cucu kandungmu, mereka berhak untuk mengenal keluarga ini, sama seperti kita semua."Gadis kecil itu menaikkan sudut bibirnya lalu menatap Lucas dan Joanne bergantian."Perkenalkan, saya adalah cucu yang paling disayangi oleh Kakek dan Nenek, tentunya sebelum kalian datang dan kemungkinan akan
Maya merenung sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Aku mengerti, sayang. Aku akan mencoba lebih baik lagi untuk membuatmu merasa dihargai. Kita akan bicarakan ini lebih lanjut di lain waktu."Sementara itu, Joanne hanya bisa menatap ke bawah dengan wajah yang sedih, terluka oleh perlakuan Silvia. Dia merasa tidak mengerti apa yang telah dilakukannya untuk membuat Silvia begitu marah padanya."Tunggu sebentar," ucap Maya sesaat kemudian. Maya segera menghampiri Joanne dan memeriksa lukanya, sementara Lucas membalas dengan mendorong SilviaLucas mendorong Silvia sampai gadis kecil itu terduduk di lantais, ekspresi kesal tergambar jelas di wajahnya. "Kenapa kamu melakukan itu, Silvia? Apa yang salah denganmu?""Eh?" Maya berusaha menarik Silvia yang ingin menaikkan sebelah tangannya dan melakukan perlawanan terhadap apa yang dilakukan Lucas.Silvia menatap Lucas dengan tajam, masih penuh dengan kemarahan. "Apa yang salah? Yang salah adalah kenyataan bahwa nenek menganggap kalian sebagai
"Baiklah, kalau begitu, Nenek temani Silvia pergi ke taman untuk bermain. Apakah Nenek mau?"Maya menatap Silvia dengan penuh belas kasihan. "Tentu saja, Silvia. Ayo pergi ke taman bermain.""Kita ajak Lucas dan Joanne sekalian.""Tidak, aku hanya ingin Nenek pergi bersamaku. Sementara kedua anak itu, mereka boleh kembali ke tempat di mana mereka datang tadi."Maya menatap Silvia lalu bergantian ke arah Lucas dan Joanne."Tidak apa-apa, Nenek. Kami memang sudah cukup bermain, kami akan kembali mencari Kakek Rafael."Maya mengembuskan napasnya dengan hati berat, dia sangat tidak menginginkan perpisahan ini, tetapi dia juga tidak mungkin membuat Silvia merasa tersingkirkan karena sebuah tamparan yang tidak dia sadari."Mari kita berangkat," ucap Nenek lalu menggandeng tangan Silvia.Silvia mengangguk dengan ragu, matanya masih memancarkan ketidakpuasan. "Baiklah, tetapi aku tidak tahu apakah aku bisa bersenang-senang dengan situa
"Apa maksud kalian? Apa yang terjadi di sini tadi?" Achmed bertanya seraya melirik ke arah pelayan yang mengiringi anak-anak tersebut sedari tadi.Pelayan itu mengangguk lalu menghampiri Achmed dan membisikkan sesuatu di telinga Kakek tua itu dengan sopan.Achmed menganggukkan kepala tanda mengerti."Ohh, kalian salah sangka," ucapnya pelan setelah mengerti mengenai situasi yang sedang terjadi.Dengan senyuman hangat, Achmed mendekati kedua anak kecil itu."Kalian tersinggung dengan kelakuan Silvia?"Joanne mengkerucutkan bibirnya dan menggelengkan kepala, sementara Lucas lebih memilih menjawab dengan jujur."Dia mungkin berpikir bahwa kita ingin merebut Kakek atau Nenek, tapi kami tidak pernah berpikiran untuk itu," ucap Joanne pelan dan berhati-hati."Kemarilah, dan beri Kakek sebuah pelukan," ucap Achmed dengan mata berkaca-kaca.Melihat kedua mata Kakeknya yang terasa sebuah ketulusan nan dalam, Joanne bergerak pelan
Pria tua itu sudah bekerja puluhan tahun sebagai asisten Achmed, tentu saja dia tahu bagaimana cara kerja Achmed setiap saatnya. Dia paling mengerti sifat Achmed yang keras dan sepak terjang pria itu sepanjang hidupnya.Pria itu menundukkan kepalanya dan merasa kalah telak. Nasib putranya akan berada di tangan Achmed kembali dan perjuangannya mendukung Melinda adalah sebuah tindakan sia-sia."Mengapa kamu memutuskan untuk mengkhianatiku? Apakah hal yang diberikan Melinda lebih baik daripada yang dapat kuberikan sepanjang hidupmu?"Pria bernama Bram itu menundukkan kepalanya lalu menghapus air mata yang membasahi kelopak matanya. Seorang pria tidak boleh menangis walau sudah tua, dengan punggung tangannya, Bram segera menyeka airmatanya."Dia memberikan jabatan kepala cabang kepada putraku. Aku sangat tahu bahwa putraku tidak begitu pintar dalam bekerja, tetapi tangan tua ini tidak mampu membantunya. Kemudian Anda ..."Bram melihat ke arah Achmed un
"Mama, aku boleh masuk?" Silvia mengetuk pintu sang bunda malam-malam. Melinda merasa tubuh dan pikirannya sangat lelah karena sudah bekerja sepanjang waktu, setiap hari dia mengatasi permasalahan di kantor yang sangat banyak, sementara Afgan tidak mampu mengurus apa pun karena masih koma."Tunggu sebentar." Dengan langkah lesu, dan tubuh yang terasa berat, Melinda bergerak untuk membuka pintu kamarnya.Silvia berdiri di depan pintu kamar dengan memeluk bonek kesayangannya."Mama," sapanya dengan kedua mata berkaca-kaca."Kamu kenapa?" Melinda segera menarik tangan Silvia dan membawanya ke dalam pelukan."Aku begitu takut, Mama.""Kemarilah dan ceritakan!"Melinda menggandeng Silvia masuk ke dalam kamar lalu menutup pintu. Dia menuntun anak gadisnya sampai duduk di tepi ranjang.Melinda melangkah ke bar mini dan menuangkan air hangat lalu menyodorkannya kepada Silvia."Minumlah, baru atur napasmu sebelum bercerita."
Melinda merasakan kelembutan di hatinya saat melihat putrinya yang terguncang. Dia menghampiri Silvia dan meraih tangannya dengan lembut."Tidak, Sayang. Kakek dan nenek tidak akan pernah meninggalkanmu. Kita akan melindungi mereka, bersama-sama. Tapi kita juga harus berhati-hati terhadap siapapun yang berusaha mengganggu kita."Wajah Silvia memancarkan rasa lega, tetapi kekhawatiran masih terlihat di matanya yang berkaca-kaca. "Apa yang akan kita lakukan sekarang, Mama?"Melinda menggenggam tangan Silvia dengan erat. "Kita akan menyelesaikan ini, Sayang. Bersama-sama, kita akan menyelesaikan ini.""Bagaimana menyelesaikannya? tanya Silvia dengan polosMelinda menghela napas dalam-dalam, mencoba merumuskan rencana selanjutnya. "Pertama, kita harus memastikan bahwa siapapun yang mengaku sebagai cucu kandungku benar-benar sah. Kita akan meminta seseorang untuk mencari data keluarga mereka lalu memverifikasi identitas mereka."Silvia mengangguk
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Afgan seraya mengecup mesra kening istrinya. Adelia terlihat cantik dalam gaun berwarna merah muda, memancarkan pesona yang memikat semua orang yang hadir. Senyumnya yang menawan membuat suasana semakin hangat dan penuh kebahagiaan.Taman yang indah menjadi latar belakang acara tersebut, dihiasi dengan dekorasi menarik yang dipenuhi balon berwarna-warni. Meja-meja penuh dengan hidangan lokal yang menggugah selera.Afgan sengaja mempersiapkan semua makanan khas lokal Indonesia supaya dapat mencerminkan kekayaan budaya dan rasa yang istimewa. Semua tamu yang diundang tampak menikmati setiap momen, tertawa dan berbincang dalam suasana yang meriah.Afgan sengaja memilih suasana taman ini untuk memberikan kesan alami dan romantis. Cahaya lampu hias yang tergantung di antara pepohonan menambah kehangatan malam itu, menciptakan suasana yang sempurna untuk merayakan ulang tahun Adelia."Tempat ini benar-benar indah, Afgan," kat
Nama itu terdengar seperti melodi yang manis di telinganya, dan wajahnya muncul di dalam bayangan gelap di hadapannya.Lima tahun yang lalu, mereka bertemu dalam sebuah acara pesta, di mana keponakannya, Edward, membawa Adelia sebagai pasangan dansa.Adam masih ingat betapa terpesonanya dia saat itu oleh kehadiran Adelia. Wajah dan penampilan wanita itu sangat mirip dengan mendiang istrinya, membuatnya tercengang dan tak bisa berkedip.Adelia, dengan senyum manisnya dan gerakannya yang anggun, menyihirnya dalam sekejap.Dalam kilatan lampu pesta, Adam melihat bayangan istrinya yang telah tiada, dan dia merasakan hatinya tergetar oleh gelombang nostalgia dan kesedihan yang mendalam.Ketika mereka memiliki kesempatan untuk berdansa sebagai pasangan, Adam merasa seperti dia berada di alam semesta yang sama sekali berbeda, di mana waktu berhenti berputar dan kehilangan tidak lagi terasa menyakitkan.Tetapi, seiring malam berakhir, kenyataan kemb
Adam membalas senyuman wanita itu dengan senyuman manis. "Maka aku akan menjadi milikmu."Sekali lagi mereka berciuman dengan penuh gairah. Sarah terhanyut dan merasa tidak berdaya, tetapi dalam ruang kecil hatinya yang tersisa, dia tahu dengan pasti bahwa Adam bukanlah tipe pria yang akan dengan mudah jatuh hati padanya.Dia menyadari bahwa perasaan Adam padanya hanyalah alat yang dimanfaatkannya untuk menyakiti Melinda lebih dalam lagi. Tetapi, meskipun dia sadar akan ini, dia terus menekan perasaannya sendiri, membiarkan dirinya larut dalam penipuan terhadap hatinya.Setiap hari, Sarah merasa semakin terjebak dalam permainan Adam. Dia memberi dirinya alasan bahwa ini adalah cara untuk menjaga Melinda tetap aman, meskipun di lubuk hatinya, dia tahu bahwa ini hanya sebuah pembenaran dari nafsu dan ketakutan akan kehilangan Adam.Saat malam tiba, Adam mengajaknya keluar untuk makan malam romantis, dan Sarah setuju tanpa ragu.Meskipun dia menyadari
Melinda menggelengkan kepala, matanya kosong memandang ke dalam ruangan. "Aku tidak tahu," ucapnya pelan. "Aku merasa seperti semua impianku hancur, seperti tidak ada lagi yang bisa kuinginkan."Sarah merangkulnya lebih erat. "Tetapi, Melinda, kamu masih punya banyak hal di depanmu. Kehidupanmu tidak berakhir di sini."Melinda menatap sahabatnya dengan pandangan yang penuh keraguan. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua ini? Bagaimana aku bisa mempercayai seseorang lagi setelah ini?""Bagaimana membuktikan kebenaran bahwa aku hanya difitnah oleh Adam? Semua ini adalah jebakannya."Sarah tersenyum lembut. "Kamu mempunyai hak untuk didampingi seorang pengacara hukum, aku akan mengurusnya dan percayalah, tidak semua pria seperti Adam. Semua ini mungkin hanya salah paham."Melinda mengernyitkan alisnya perlahan, mencoba menyerap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. Namun, perjalanan untuk pulih dari luka ini masih terasa sangat jauh baginya dan kebe
Adam tersenyum dengan licik lalu melanjutkan kalimatnya di depan microphone yang sedang dipegang."Yayasan Melinda i-care sudah menipu publik dengan penjualan tiket konser di acara pertandingan baseball ini. Seharusnya saya mendapatkan applause untuk keberhasilan menjebak pelaku yang sudah menipu tiket kalian, bukan?"Perkataan Adam mendapat seru riuh dari para penonton. Mereka merasa keadilan sudah ditegakkan untuk mereka.Dua orang polisi wanita segera menarik dan memasangkan borgol ke tangan Melinda yang disatukan di belakang punggungnya."I-ini tidak benar! Kamu jahat sekali!" seru Melinda sambil berusaha meronta, tetapi dua orang yang memegangnya sangat kuat."Kamu juga melakukan hal yang sama terhadap keluarga Al-Futtaim, Sayang. Adelia adalah seorang wanita yang baik. Bila saya arus memilih, maka saya akan memilih Adelia menjadi istri yang layak menggantikan mendiang istriku karena wanita itu memiliki semua yang tidak kamu miliki."Me
Melinda merenggangkan lehernya, mencoba untuk melihat lebih jelas ke arah panggung yang sedang disiapkan di tengah lapangan.Ia merasa detak jantungnya semakin kencang seiring dengan lama menunggu. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu dengan penuh harap.Adam Offel, telah memberinya petunjuk bahwa hari ini akan menjadi salah satu yang tak terlupakan. Dia ingin memberikan kesempatan kedua kepada pria itu.Dengan gaun pengantin yang indah melilit tubuhnya, Melinda merasa seperti sang ratu yang siap menerima mahkota kebahagiaan. Tetapi, di tengah kerumunan, ia tidak melihat bayangan Adam yang diharapkannya. Ketidakpastian mulai merayap di dalam pikirannya.Melinda duduk di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya. Menyaksikan pertandingan dengan perasaan tidak menentu.Tiba-tiba, lampu-lampu sorot mulai menyala, dan kerumunan berbisik-bisik dengan kegembiraan yang menggelora. Melinda merasakan kegelisahan memenuhi dadanya ketika seseorang mel
Setelah sampai di sana, Melinda langsung berpura-pura bertanya, mencari informasi, namun tidak ada yang mengetahui acara lain selain acara baseball yang memang setiap akhir pekan dilaksanakan di sana."Besok yang bertanding adalah group banteng dengan group singa. Apakah Anda ingin membeli tiket?" tanya petugas tanpa mencurigai apa pun.Wajah dan reaksinya datar, bahkan dia malas untuk melihat ke arah orang yang menanyakan tiket."Baik, terima kasih, aku sudah punya tiket masuk," sahut Melinda lalu bergerak keluar meninggalkan gedung.Malam harinya, wanita itu tidak bisa tidur. Sama sekali tidak bisa memberi istirahat kepada matanya yang sudah lelah.Sesekali dia mematut dirinya di depan cermin dengan memegang gaun yang indah.Keesokan harinya, Melinda terbangun dengan mata yang terasa berat di bawah kelopaknya. Goresan-goresan hitam di sekitar matanya menandakan betapa dalamnya tidur yang dia alami."Mama?" Silvia masuk ke kama
Bel pintu berbunyi, membuyarkan lamunannya yang dalam. Melinda menghela napas dalam-dalam, merenggangkan otot-ototnya yang tegang, lalu beranjak menuju pintu dengan langkah gontai. Dia menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka pintu."Siapa ya yang datang sekarang?" gumamnya pelan.Dengan ragu, ia membuka pintu dan dihadapkan pada seorang pria pengantar paket yang tersenyum ramah di depannya. Paket besar berwarna cokelat muda tergeletak di depan kakinya."Maaf mengganggu, Ma'am. Ini paket untuk Anda," kata pria itu sambil menyodorkan sebuah formulir pengiriman.Melinda mengangguk, mengambil formulir tersebut, dan menandatangani dengan cepat. Pikirannya masih melayang-layang antara rasa penasaran dan kekhawatiran.Pria pengantar itu kemudian menyerahkan paket tersebut kepadanya dengan senyuman hangat sebelum bergegas pergi. Melinda menutup pintu dan kembali ke dalam rumah dengan paket besar yang terasa begitu misterius di tangannya.Dengan hati-hati, ia memb
"Maaf, Nyonya Melinda. Kami hendak memberitahukan bahwa bahan material bangunan yang dipesan atas nama Melinda i-care sudah jatuh tempo. Sejumlah satu Milyar!"Hatinya berdegup kencang. Bagaimana mungkin dia berutang sebanyak itu atas sebuah proyek bangunan?"S-saya tidak pernah memesan apa pun," sahut Melinda dengan suara terputus-putus.Melinda berusaha memeriksa ingatannya, mencari-cari jejak apa pun yang bisa menjelaskan situasi ini, tetapi tidak ada yang muncul. Rasanya seperti terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar."Maaf, saya tidak yakin tentang hutang ini," ucap Melinda dengan suara gemetar, mencoba menutupi kepanikannya."Seseorang bernama Tuan Adam yang mengurus semuanya," sahut penagih hutang dengan nada tajam. "Dan dia menyatakan bahwa Anda bertanggung jawab atas pembayarannya. Bukankah semua material itu dikirim kepada Melinda i-care?"Melinda menelan salivanya yang terasa pahit, merasa seakan-akan dunianya runtuh sek