Adelia memandang Edward dengan tatapan penasaran. "Mengapa harus menginap sampai akhir pekan dan apa yang ingin kamu buktikan?" tanya Adelia.
Edward memberikan senyuman hangat lalu menyeka sisa air mata di pipi Adelia dengan jempolnya.
"Aku tidak suka lihat wanita secantik kamu harus menangis seperti ini. Bagaimana bila aku menghiburmu dengan mentraktirmu makan malam? Hmm, kamu berhutang dua cangkir kopi untukku, bukan?"
Edward memangku tangannya di dagu dengan tatapan hangat, membuat hati Adelia mulai berdebar. Dia berusaha menyimpan rasa canggungnya dengan membawa kardus karton menuju ke gudang.
Edward membantu Adelia memasukkan kardus yang tadi dipegangnya ke dalam gudang. "Bagaimana dengan tawaranku? Jam berapa kita akan makan malam?"
Adelia masih merasa tidak nyaman bila harus pulang di malam. Selama ini, pandangan Afgan kepadanya sudah sangat tidak baik, bagaimana bila dia masih pulang malam juga? Hal itu sudah pasti akan membuat Afgan lebih
"Bagaimana harimu, Adelia?" tanya Afgan tiba-tiba dengan suara yang terdengar hampa, seolah-olah dia hanya mencoba mencari topik pembicaraan."Baik," jawab Adelia singkat, tanpa memberikan rincian apa pun. Dia malah sibuk menjulurkan kepala untuk melihat makanan apa yang bisa dia makan di meja panjang tersebut.Mereka mulai menyuap makanan di atas piring mereka, tetapi tidak ada suara lain kecuali suara sendok dan garpu menyentuh piring. Semuanya terasa terkendali dan formal, tanpa kehangatan atau kedekatan di antara mereka.Walaupun makanan yang disajikan sangat lezat, tetapi atmosfer dingin dan kaku itu menyelimuti mereka seperti kabut malam yang menyelimuti kota.Meskipun mereka berada di tengah-tengah kemewahan, tetapi kekosongan dalam hubungan mereka jelas terlihat.Adelia masih bertanya-tanya dalam hati, mengapa Afgan tiba-tiba mengajak makan malam. Namun, makanan yang enak membuatnya tidak mempedulikan hal itu. Perutnya terasa lapar dan haru
Adelia kesakitan pada perutnya. Asam lambung membuatnya kembung dan merasa nyeri di ulu hati, sehingga pandangannya mulai berputar. Saat itu dia sedang memegang piring makanan lalu terjatuh ke lantai.Suara pecahan piring yang terdengar sampai ke telinga Afgan di kamar sebelah. Tidak ada yang sanggup membuka pintu walau Afgan sudah mengedor dengan kuat.Adelia memegang perutnya dengan wajah yang pucat dan gemetar menahan sakit."To.. long!" teriaknya lirih menahan sakit.Afgan bahkan sudah berusaha menghancurkan pintu karena panik, apalagi saat terdengar rintihan dari Adelia, menandakan sedang terjadi sesuatu yang buruk.Pintu kayu yang mewah dan kuat itu tidak mudah dirobohkan. Afgan meringgis menahan sakit pada bahunya yang berusaha mendobrak pintu berkali-kali namun tidak berhasil.Akhirnya kepala pelayan berlari kecil mengambil kunci cadangan dan menghampiri Afgan.Pintu terbuka, dan Afgan segera berlari menghampir Ade
Afgan menatap Adelia yang masih tertidur dengan nyenyak di ranjangnya. Hari sudah malam dan dia memutuskan untuk berbaring sejenak di sebelah Adelia dengan maksud menjaganya, tetapi rasa lelah dan kantuk menyerangnya sehingga pria itu pun tertidur sampai pagi.Matahari menyelinap dan menyambut mereka dengan kehangatan. Adelia terbangun dan merasakan tangan yang berat memeluk pinggangnya.Kedua mata Adelia langsung membulat tajam, dengan kasar menepis tangan Afgan karena terkejut."Aowh!" Adelia meringgis karena baru menyadari jarum infus di tangannya.Sekilas di liriknya pria yang menjadi suaminya tersebut. Batang hidung yang mancung sepadan dengan rahangnya yang tegas, membuat wajah Afgan sempurna dan sangat menarik.Sesaat kemudian, Afgan membuka matanya dan pandangan mereka saling bertemu. Adelia mengerjapkan matanya berkali-kali karena merasa canggung."Kalau sudah sembuh, silakan kembali ke kamarmu! Di sini terasa sempit dan kamu
Melinda langsung menggandeng tangan kekasihnya, Afgan menuju ke restoran lantai 8 di mana mereka akan menikmati sarapan mewah yang disajikan hotel internasional tersebut.Melinda tidak berhenti mengoceh sementara Afgan masih penasaran dengan keberadaan Adelia.Di saat yang sama, Adelia sedang menyusun berkas ke dalam gudang kecil. Adelia mulai merasa kelelahan dan keringatan karena baru saja menaiki tangga bertingkat sampai ke lantai 5."Lagi-lagi tidak sarapan! Kalau begitu caranya, aku bisa mati muda," ucap Adelia berbicara dengan dirinya sendiri sembari memegang perutnya yang masih terasa nyeri."Siapa yang suruh enggak makan?"Adelia terkejut mendengar suara dari seorang pria yang ternyata Edward. Pria itu berdiri di depan pintu gudang dengan senyuman ramah yang hangat di wajahnya."Edward.""Sakit ya?" tanya Edward mendekati, melihat Adelia memegang perutnya."Ayo, daripada menunggu waktu makan siang yang masih butuh 3 jam
"Afgan, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Kami hanya duduk bersama untuk sarapan pagi secara kebetulan. Aku tidak tahu bahwa kamu juga akan ada di sini."Afgan menghela nafas dalam-dalam, tetapi masih marah. "Ini terlalu banyak kebetulan, Adelia. Aku tidak tahu harus percaya apa. Kenapa kau tidak memberi tahuku bahwa kau akan bertemu dengan Edward? Seharusnya kita sarapan bersama tadi pagi. Bukankah perutmu masih sakit?" Afgan menunjuk Adelia tepat di keningnya dengan telunjuknya."Afgan, aku benar-benar tidak tahu dia akan ada di sini. Ini memang kebetulan. Aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu." Adelia menjawab dengan cemas."Sakit hati? Ohh, tidak, kau terlalu berlebihan! Saya merasa malu! Ya! malu! Kau dengar itu?!""Kau benar-benar murahan!""Kamu ... "Adelia merasa sakit karena sudah diteriaki murahan banyak kali, tetapi dia masih berharap untuk memperbaiki situasi. "Afgan, aku minta maaf."Afgan terkejut oleh tang
Sesaat kemudian, lift kembali menyala. Afgan berdiri dengan arogan seolah-olah tidak melakukan kesalahan apa pun. Tidak ada pembicaraan di antara mereka sampai lift itu berada di lantai pertama hotel tersebut."Pulang! Tidak usah bekerja lagi hari ini!""Tapi, aku punya pakaian ganti." Adelia ingin menolak karena dia tidak mempunyai jatah cuti lagi dan dia tidak mau dianggap karyawan yang tidak becus.Afgan menarik tangan Adelia sampai menuju ke depan pintu mobilnya."Masuk!" perintahnya dengan kasar.Setelah Adelia masuk, Afgan membantu memasangkan selt belt untuk Adelia. Sesaat Afgan menautkan kedua alisnya, sekali lagi, aroma yang ada pada Adelia membuat dia teringat dengan wanita pada malam naas itu.Dalam hati, Afgan bertanya-tanya mengenai aroma Adelia dengan Melinda yang sangat jauh berbeda.Afgan melajukan mobilnya menuju ke rumah tanpa emosi. Pria itu sudah berhasil menetralkan temperatur dan detak jantungnya.Namun, t
Saat Melinda menyadari bahwa dia benar-benar tidak tahu parfum atau shampoo apa yang dipakai Adelia, dia merasa frustasi. Dia tahu bahwa Adelia sangat bersikap tertutup tentang preferensi pribadinya, tetapi Melinda merasa sangat penasaran."Aku harus mencoba, daripada aku kehilangan Afgan yang begitu kaya dan ganteng luar biasa!" pekik Melinda dengan panik.Dia memutuskan untuk mencoba mendapatkan informasi tersebut tanpa mengungkapkan maksud sebenarnya. Dengan penuh kecerdikan, dia memutuskan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak mencurigakan.Adelia baru saja selesai menghabiskan buburnya pada saat panggilan dari Melinda masuk.Adelia masih kesal dengan Melinda, tetapi dia tetap mengangkat panggilan karena ada kemungkinan panggilan tersebut berkaitan dengan ketidakhadirannya di tempat kerja saat ini."Adelia, kamu sakit? Mengapa tidak masuk setelah bertengkar dengan Afgan?" tanya Melinda berpura-pura simpati.Daripada menjawab pertanyaan Melinda, Adelia memilih mengalihk
Afgan mengepalkan tangannya dengan erat sehingga kuku-kukunya sudah menusuk dalam di telapak tangannya.Berulang kali dia mendengar pengulangan perkataan sang ayah dalam kepalanya: "Keturunan Al-Futtaim."Afgan memang pewaris tunggal sehingga kewajiban semua berada di pundaknya, tetapi dia mengalami dilema yang sangat berat. Bagaimana dia bisa menyentuh Adelia, sementara dia merasa jijik karena membayangkan tubuh wanita itu telah disentuh pria lain, tepatnya satu hari sebelum pernikahan.Akhirnya sepanjang hari, Afgan bekerja seperti orang yang kerasukan. Dia membuang semua pikiran tentang Adelia dan Melinda juga mengenai keturunan yang menjadi tanggung jawabnya.Afgan bekerja sampai lupa akan waktu, pria itu sama sekali tidak membiarkan karyawannya untuk berhenti dalam rapat mendadak yang diadakan. Dia bahkan tidak makan siang, demikian juga para karyawan yang mengikuti rapat."Tuan, maaf. Apakah kami boleh beristirahat sebentar? Kami juga butuh untuk makan siang."Afgan menatap deng