Suara Maya terdengar penuh dengan harapan dan cinta, tetapi tetap tidak ada jawaban. Silvia masih terdiam di dalam kamar, terjebak dalam labirin emosionalnya sendiri.Achmed, yang berada di samping Maya, mengamati keadaan dengan hati yang penuh dengan kegelisahan. Dia tidak bisa membayangkan seberapa dalam rasa sakit yang dirasakan oleh cucunya, dan dia merasa sangat tidak berdaya dalam situasi ini.Di tengah keheningan yang terasa semakin menyedihkan, mereka bertiga terus berharap bahwa Silvia akhirnya akan membuka hatinya dan membiarkan mereka masuk, sehingga mereka bisa mencari jalan keluar bersama-sama. Namun, mereka juga sadar bahwa proses penyembuhan tidak akan mudah, dan mereka semua harus bersabar dalam menghadapinya.Setelah momen yang terasa seperti keabadian, Silvia akhirnya membuka pintu sedikit. Wajahnya yang masih dipenuhi dengan jejak air mata dan ekspresi bingung memperlihatkan betapa sulitnya bagi dirinya untuk menghadapi situasi ini. Dia menata
Silvia, yang belum sepenuhnya menyadari permainan yang sedang dimainkan oleh Melinda, merasa sedikit terhibur oleh senyum kecil yang ditunjukkan oleh wanita itu. Namun, ada sesuatu yang tidak wajar di balik senyum itu, sesuatu yang membuat hati Silvia berdebar-debar dengan tidak enak.Di tengah-tengah ruang yang penuh dengan ketegangan, mereka saling bertatapan, masing-masing menyimpan rahasia dan keinginan mereka sendiri. Meskipun kedamaian sementara terasa hadir, namun suasana yang tegang masih menggelayuti ruangan, menandakan bahwa masalah-masalah yang ada masih belum terselesaikan sepenuhnya. Dalam kegelapan yang tersembunyi, intrik-intrik yang lebih dalam dan tersembunyi pun mulai merayap ke permukaan, menambah rumitnya keadaan yang sudah komplit.Sementara itu, di dalam hati Silvia, pikiran yang tidak terduga muncul. "Aku lebih memilih Afgan sebagai ayahku," gumamnya dengan suara kecil, sambil menghadapkan pandangannya ke arah luar jendela. Pikiran itu membuatnya
Melinda merenungkan rencana-rencana busuknya sambil menenangkan gemuruh dalam napasnya, memastikan bahwa setiap langkah yang akan dia ambil akan membuat Adelia dan Afgan merasakan penderitaan yang sama seperti yang dia alami selama ini. Dengan hati yang dipenuhi dengan dendam dan kebencian, dia bersiap untuk melancarkan serangan balasannya dengan kekuatan penuh.Sementara itu, di luar, suasana tegang masih menggelayuti ruangan, menandakan bahwa bahaya sedang mengancam dari balik kedamaian yang palsu. Dalam ketegangan yang semakin meningkat, Melinda siap untuk mengambil langkah-langkah ekstrem untuk mencapai tujuannya, tidak peduli apa pun konsekuensinya.***Malam menjelang dan kesunyian yang menyelimuti rumah itu, suasana begitu tegang dan penuh dengan ketidakpastian. Achmed memilih untuk tidur di kamar tamu, meninggalkan suasana yang sepi di kamar utama. Sementara itu, Maya memutuskan untuk tidur bersama Silvia di kamar utama, mencoba memberikan dukungan dan k
"Benarkah?" Afgan bertanya sambil mencium pipi kecil milik putrinya."Iya, Dad paling tampan dari semua papa yang ada di dunia," ujar Joanne dengan yakin."Ah, kamu membuat wajah Ayahmu bersemu merah. Sudah ... sudah, mari makan!" Adelia berkata-kata sambil tersenyum. Kedua tangannya memegang piring berisi lauk ikan yang sudah dimasak dengan asam manis.Sebuah sajian yang sangat disukai oleh Afgan. Biasanya pria itu hanya tahu menikmati sajian seperti itu di restoran."Wah, ini nampaknya lezat sekali," puji Afgan dengan mata berbinar-binar menatap lauk yang disajikan dengan hangat.Mereka makan siang dengan penuh canda tawa dan keharmonisan. Di sekitar meja makan, suara ceria mereka memenuhi ruangan, suasana hangat dan akrab. Adelia, Afgan, Joanne, dan Lucas berbagi cerita dan tertawa bersama, menikmati momen kebersamaan yang telah lama mereka rindukan.Kehangatan yang seharusnya terjadi sejak pernikahan mereka terasa hadir, meny
Afgan tersenyum lega lalu berkata, "Bukankah itu kabar baik? Dia yang berselingkuh!"Afgan terkejut oleh tatapan tajam Achmed yang diikuti dengan tamparan yang keras ke wajahnya. Dia terguncang, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Menggosok pipinya yang terasa terbakar, dia menatap Ayahnya dengan tatapan campuran antara kesedihan dan kebingungan."Dad?""Bodoh! Mau dibawa ke mana wajah keluarga Al-Futtaim?" ucap Achmed dengan suara berat, ekspresinya penuh dengan kemarahan dan kekecewaan.Afgan merasakan getaran emosi yang mendalam di dalam dirinya. Dia tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab. Dia merasa malu dan menyesal atas tindakannya, tetapi pada saat yang sama, dia juga merasa kesal atas perlakuan yang tidak adil ini."Dad, aku..." Afgan mencoba membuka mulutnya untuk membela diri, tetapi kata-katanya tercekat di tenggorokannya."Aku tidak ingin mendengar alasanmu," potong Achmed dengan keras. "Bila kalian
Melinda, yang tersenyum penuh kebahagiaan menyaksikan kembalinya suaminya, merasa terharu melihat kebingungan dan rasa ingin tahu apa yang sudah dilakukan sang mertua sehingga Afgan patuh dengan arahannya. Dengan lembut, dia memandang mereka berdua, mencoba menenangkan diri dengan senyumnya yang hangat."Ayah Afgan kembali, bukan?" tanya Melinda dengan suara kecil, mencoba mencari konfirmasi dari Afgan sendiri.Afgan mengangguk dengan hati yang berat, masih tersenyum yang penuh kepalsuan. "Ya, sayang. Ayah Afgan telah kembali," jawabnya lembut, mencoba memberi penjelasan yang sederhana tapi memadai kepada Silvia yang menatapnya dengan penuh harap.Maya merasa terharu dengan keadaan putranya. Dia mengerti bagaimana rasa sakit hati yang harus ditelan pria itu. Maya tahu, suaminya pasti sudah memberikan ancaman kepada Afgan. Namun, semua itu dilakukan agar Silvia tetap bahagia. Dia merasa sangat menyayangi gadis kecil tersebut."Mom, berdamai dengan Dad, ayo
Dalam keadaan yang semakin melemah, Afgan berusaha untuk tetap sadar dan kuat. Dia mendengarkan suara-suara sekitar yang terasa kabur dan jauh, seperti datang dari kejauhan. Setetes demi setetes, kesadaran mulai meredup, dan dunia seakan berputar di sekitarnya.Di tengah-tengah keadaan yang suram itu, bayangan Adelia dan kedua anaknya muncul di benaknya. Dia memikirkan wajah-wajah mereka yang lembut, suara tawa mereka yang ceria, dan kehangatan keluarga yang selalu mengisi hari-harinya. Afgan merasa rindu yang mendalam dan kesedihan yang tak terkatakan saat dia menyadari bahwa mungkin dia tidak akan pernah lagi melihat mereka.Namun, di tengah keputusasaan itu, Afgan merasa terusik oleh keinginan yang kuat untuk bertahan hidup. Dia memikirkan janji-janjinya kepada Adelia dan anak-anaknya, janji untuk selalu bersama mereka, melindungi dan mencintai mereka sepanjang hidupnya. Pikiran itu memberinya kekuatan baru, kekuatan untuk bertahan dan berjuang, meskipun segalanya t
Dalam hati kecil, Bob menertawakan majikannya yang arogan itu. Namun, royalitas dan ketulusan dari Bob tidak dapat diragukan.Sebagai asisten yang bisa diandalkan, Bob segera bergerak dan menempatkan Afgan ke dalam kamar presidential dan mendapatkan perawatan khusus.Afgan perlahan membuka matanya sementara Bob sedang mengupas apel untuk dirinya sendiri."Eh, kamu sudah sadar," sapa Bob terkejut dan segera meletakkan apel dengan pisau kecil di samping meja. Buah yang seharusnya diberikan kepada pasien, dimakannya tanpa permisi."Uhm, aku sedang mengupas apel untukmu," ucap Bob sedikit berbohong."Ughh, seberapa ... parah ... fisikku?" Afgan bertanya dengan suara terpatah-patah."Tidak parah, hanya luka ringan di beberapa tempat. Kaki Tuan memang mengalami patah tulang, tetapi itu tidak menyebabkan kelumpuhan total.""Kelumpuhan?"Bob menggelengkan kepalanya sekali lagi. "Tidak, Tuan. Anda hanya perlu melatih pergerakan kaki set
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Afgan seraya mengecup mesra kening istrinya. Adelia terlihat cantik dalam gaun berwarna merah muda, memancarkan pesona yang memikat semua orang yang hadir. Senyumnya yang menawan membuat suasana semakin hangat dan penuh kebahagiaan.Taman yang indah menjadi latar belakang acara tersebut, dihiasi dengan dekorasi menarik yang dipenuhi balon berwarna-warni. Meja-meja penuh dengan hidangan lokal yang menggugah selera.Afgan sengaja mempersiapkan semua makanan khas lokal Indonesia supaya dapat mencerminkan kekayaan budaya dan rasa yang istimewa. Semua tamu yang diundang tampak menikmati setiap momen, tertawa dan berbincang dalam suasana yang meriah.Afgan sengaja memilih suasana taman ini untuk memberikan kesan alami dan romantis. Cahaya lampu hias yang tergantung di antara pepohonan menambah kehangatan malam itu, menciptakan suasana yang sempurna untuk merayakan ulang tahun Adelia."Tempat ini benar-benar indah, Afgan," kat
Nama itu terdengar seperti melodi yang manis di telinganya, dan wajahnya muncul di dalam bayangan gelap di hadapannya.Lima tahun yang lalu, mereka bertemu dalam sebuah acara pesta, di mana keponakannya, Edward, membawa Adelia sebagai pasangan dansa.Adam masih ingat betapa terpesonanya dia saat itu oleh kehadiran Adelia. Wajah dan penampilan wanita itu sangat mirip dengan mendiang istrinya, membuatnya tercengang dan tak bisa berkedip.Adelia, dengan senyum manisnya dan gerakannya yang anggun, menyihirnya dalam sekejap.Dalam kilatan lampu pesta, Adam melihat bayangan istrinya yang telah tiada, dan dia merasakan hatinya tergetar oleh gelombang nostalgia dan kesedihan yang mendalam.Ketika mereka memiliki kesempatan untuk berdansa sebagai pasangan, Adam merasa seperti dia berada di alam semesta yang sama sekali berbeda, di mana waktu berhenti berputar dan kehilangan tidak lagi terasa menyakitkan.Tetapi, seiring malam berakhir, kenyataan kemb
Adam membalas senyuman wanita itu dengan senyuman manis. "Maka aku akan menjadi milikmu."Sekali lagi mereka berciuman dengan penuh gairah. Sarah terhanyut dan merasa tidak berdaya, tetapi dalam ruang kecil hatinya yang tersisa, dia tahu dengan pasti bahwa Adam bukanlah tipe pria yang akan dengan mudah jatuh hati padanya.Dia menyadari bahwa perasaan Adam padanya hanyalah alat yang dimanfaatkannya untuk menyakiti Melinda lebih dalam lagi. Tetapi, meskipun dia sadar akan ini, dia terus menekan perasaannya sendiri, membiarkan dirinya larut dalam penipuan terhadap hatinya.Setiap hari, Sarah merasa semakin terjebak dalam permainan Adam. Dia memberi dirinya alasan bahwa ini adalah cara untuk menjaga Melinda tetap aman, meskipun di lubuk hatinya, dia tahu bahwa ini hanya sebuah pembenaran dari nafsu dan ketakutan akan kehilangan Adam.Saat malam tiba, Adam mengajaknya keluar untuk makan malam romantis, dan Sarah setuju tanpa ragu.Meskipun dia menyadari
Melinda menggelengkan kepala, matanya kosong memandang ke dalam ruangan. "Aku tidak tahu," ucapnya pelan. "Aku merasa seperti semua impianku hancur, seperti tidak ada lagi yang bisa kuinginkan."Sarah merangkulnya lebih erat. "Tetapi, Melinda, kamu masih punya banyak hal di depanmu. Kehidupanmu tidak berakhir di sini."Melinda menatap sahabatnya dengan pandangan yang penuh keraguan. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua ini? Bagaimana aku bisa mempercayai seseorang lagi setelah ini?""Bagaimana membuktikan kebenaran bahwa aku hanya difitnah oleh Adam? Semua ini adalah jebakannya."Sarah tersenyum lembut. "Kamu mempunyai hak untuk didampingi seorang pengacara hukum, aku akan mengurusnya dan percayalah, tidak semua pria seperti Adam. Semua ini mungkin hanya salah paham."Melinda mengernyitkan alisnya perlahan, mencoba menyerap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. Namun, perjalanan untuk pulih dari luka ini masih terasa sangat jauh baginya dan kebe
Adam tersenyum dengan licik lalu melanjutkan kalimatnya di depan microphone yang sedang dipegang."Yayasan Melinda i-care sudah menipu publik dengan penjualan tiket konser di acara pertandingan baseball ini. Seharusnya saya mendapatkan applause untuk keberhasilan menjebak pelaku yang sudah menipu tiket kalian, bukan?"Perkataan Adam mendapat seru riuh dari para penonton. Mereka merasa keadilan sudah ditegakkan untuk mereka.Dua orang polisi wanita segera menarik dan memasangkan borgol ke tangan Melinda yang disatukan di belakang punggungnya."I-ini tidak benar! Kamu jahat sekali!" seru Melinda sambil berusaha meronta, tetapi dua orang yang memegangnya sangat kuat."Kamu juga melakukan hal yang sama terhadap keluarga Al-Futtaim, Sayang. Adelia adalah seorang wanita yang baik. Bila saya arus memilih, maka saya akan memilih Adelia menjadi istri yang layak menggantikan mendiang istriku karena wanita itu memiliki semua yang tidak kamu miliki."Me
Melinda merenggangkan lehernya, mencoba untuk melihat lebih jelas ke arah panggung yang sedang disiapkan di tengah lapangan.Ia merasa detak jantungnya semakin kencang seiring dengan lama menunggu. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu dengan penuh harap.Adam Offel, telah memberinya petunjuk bahwa hari ini akan menjadi salah satu yang tak terlupakan. Dia ingin memberikan kesempatan kedua kepada pria itu.Dengan gaun pengantin yang indah melilit tubuhnya, Melinda merasa seperti sang ratu yang siap menerima mahkota kebahagiaan. Tetapi, di tengah kerumunan, ia tidak melihat bayangan Adam yang diharapkannya. Ketidakpastian mulai merayap di dalam pikirannya.Melinda duduk di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya. Menyaksikan pertandingan dengan perasaan tidak menentu.Tiba-tiba, lampu-lampu sorot mulai menyala, dan kerumunan berbisik-bisik dengan kegembiraan yang menggelora. Melinda merasakan kegelisahan memenuhi dadanya ketika seseorang mel
Setelah sampai di sana, Melinda langsung berpura-pura bertanya, mencari informasi, namun tidak ada yang mengetahui acara lain selain acara baseball yang memang setiap akhir pekan dilaksanakan di sana."Besok yang bertanding adalah group banteng dengan group singa. Apakah Anda ingin membeli tiket?" tanya petugas tanpa mencurigai apa pun.Wajah dan reaksinya datar, bahkan dia malas untuk melihat ke arah orang yang menanyakan tiket."Baik, terima kasih, aku sudah punya tiket masuk," sahut Melinda lalu bergerak keluar meninggalkan gedung.Malam harinya, wanita itu tidak bisa tidur. Sama sekali tidak bisa memberi istirahat kepada matanya yang sudah lelah.Sesekali dia mematut dirinya di depan cermin dengan memegang gaun yang indah.Keesokan harinya, Melinda terbangun dengan mata yang terasa berat di bawah kelopaknya. Goresan-goresan hitam di sekitar matanya menandakan betapa dalamnya tidur yang dia alami."Mama?" Silvia masuk ke kama
Bel pintu berbunyi, membuyarkan lamunannya yang dalam. Melinda menghela napas dalam-dalam, merenggangkan otot-ototnya yang tegang, lalu beranjak menuju pintu dengan langkah gontai. Dia menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka pintu."Siapa ya yang datang sekarang?" gumamnya pelan.Dengan ragu, ia membuka pintu dan dihadapkan pada seorang pria pengantar paket yang tersenyum ramah di depannya. Paket besar berwarna cokelat muda tergeletak di depan kakinya."Maaf mengganggu, Ma'am. Ini paket untuk Anda," kata pria itu sambil menyodorkan sebuah formulir pengiriman.Melinda mengangguk, mengambil formulir tersebut, dan menandatangani dengan cepat. Pikirannya masih melayang-layang antara rasa penasaran dan kekhawatiran.Pria pengantar itu kemudian menyerahkan paket tersebut kepadanya dengan senyuman hangat sebelum bergegas pergi. Melinda menutup pintu dan kembali ke dalam rumah dengan paket besar yang terasa begitu misterius di tangannya.Dengan hati-hati, ia memb
"Maaf, Nyonya Melinda. Kami hendak memberitahukan bahwa bahan material bangunan yang dipesan atas nama Melinda i-care sudah jatuh tempo. Sejumlah satu Milyar!"Hatinya berdegup kencang. Bagaimana mungkin dia berutang sebanyak itu atas sebuah proyek bangunan?"S-saya tidak pernah memesan apa pun," sahut Melinda dengan suara terputus-putus.Melinda berusaha memeriksa ingatannya, mencari-cari jejak apa pun yang bisa menjelaskan situasi ini, tetapi tidak ada yang muncul. Rasanya seperti terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar."Maaf, saya tidak yakin tentang hutang ini," ucap Melinda dengan suara gemetar, mencoba menutupi kepanikannya."Seseorang bernama Tuan Adam yang mengurus semuanya," sahut penagih hutang dengan nada tajam. "Dan dia menyatakan bahwa Anda bertanggung jawab atas pembayarannya. Bukankah semua material itu dikirim kepada Melinda i-care?"Melinda menelan salivanya yang terasa pahit, merasa seakan-akan dunianya runtuh sek