Wajah mereka hanya berselisih beberapa sentimeter, dan meskipun Afgan masih tertidur dalam keadaan mabuk, ekspresi wajahnya terlihat tenang tanpa rasa bersalah sama sekali.
Mata Adelia membesar dalam kejutan. Dia merasakan detakan jantungnya melonjak. Pernafasannya terhenti sejenak, terkejut dengan kontak yang tak terduga ini. Wajahnya memerah, dan dia merasa kehangatan merayap dari bibirnya ke seluruh tubuhnya.
Adelia teringat dengan sentuhan dari pria misterius di malam naas sebelum hari pernikahannya.
Dalam keheningan yang penuh ketegangan, mereka hanya terdiam sejenak, bibir mereka masih bertemu dalam sentuhan yang ringan. Adelia merasa waktu berhenti sejenak, dan dia merasakan getaran aneh dalam dirinya. Mereka berdua tetap berada dalam jarak yang sangat dekat, seolah-olah dunia di sekitar mereka menghilang.
Namun, ketika Afgan merintih pelan dalam tidurnya, Adelia segera melepaskan pegangan tangannya dan menyentuh bibirnya yang sekarang merasa
Dalam hening malam yang gelap, Afgan terdampar di lorong-lorong ingatannya yang gelap. Dia merasakan kebingungan yang melanda pikirannya, seakan-akan rohnya tersesat di antara kenangan buruk yang terus menghantuinya. Desiran angin malam menerpa wajahnya, menciptakan atmosfer yang mencekam dan menakutkan.Afgan tiba-tiba menemukan dirinya berdiri di depan rumahnya yang terbakar. Kobaran api yang mengamuk melalap segala sesuatu di sekitarnya. Dia merasa nyeri di dada, luka emosional yang dalam kembali menghantamnya. Dalam kegelapan, bayangan-bayangan api menciptakan siluet-siluet menyeramkan, menciptakan tarian kekacauan yang menari di dinding-dinding rumah yang hangus.Dia tidak menyadari bahwa dia sedang berada di alam mimpi. Kondisinya di alam nyata sedang berkeringat dan terlihat kepanikan dalam tidurnya."Mengapa aku ditinggalkan sendiri?" bisik Afgan kepada dirinya sendiri, suaranya gemetar oleh kebingungan dan ketakutan. Namun, tidak ada jawaban yang datang, kecuali suara gemuruh
Melinda merasa bingung dan mematung di tempatnya berdiri."Melinda?" Afgan segera mendekati Melinda sambil memegang pipinya yang terasa nyeri.Melinda masih berusah merakit potongan misteri mengenai hubungan yang ada di antara Adelia dengan Afgan."Aku tidak salah dengan? Kalian ... Kalian suami istri?" tanya Melinda dengan bingung.Afgan meraih tangan Melinda, tetapi wanita itu segera menepisnya dengan kasar. Seolah-olah dia merasa ditipu oleh kedua orang yang menatapnya dengan pemikiran masing-masing."Melinda, dengarkan aku dulu," ucap Afgan dengan lembut, sementara Adelia merasa api cemburu semakin membakar dirinya."Iya, kamu tidak salah dengar! Kami adalah suami istri dan kami baru saja menikah!" seru Adelia dengan mata menantang Melinda."Pria ganteng yang ingin kamu kejar itu adalah suami sahku. Maka kamu adalah pelakor!" seru Adelia sambil keluar dari meja resepsionis. Dia merasa harus memperjuangkan pernikahan ini daripada h
Adelia kembali ke meja resepsionis untuk menjawab panggilan. [Apa katamu? Edward Ofel?] [Iya, Mrs. Smule. Apakah ada yang salah?] [Cepat kamu tunjukkan jalan ke kamar presidensial suite. Dia adalah pemilik saham perkapalan terbesar dari Ofel group. Jangan sampai dia kecewa. Lupakan pencatatan administrasi apa pun!] [Ba-baik, Mrs. Smule] Adelia hendak menutup panggilan, tetapi masih terdengar suara dari seberang. [Layani dia dengan baik, atau bila dia kecewa, maka aku harus memecatmu] [Ba-baik,] Adelia menelan salivanya dengan cepat lalu segera berlari kembali ke lobby untuk membungkuk hormat kepada Edward Ofel yang masih memandangnya dengan wajah hangat. "Maaf, Tuan Edward. Kamar Anda sudah tersedia. Sa-saya akan mengantarkan Tuan sampai ke kamar Anda," ucap Adelia dengan gusar dan canggung. Pada saat itu juga Melinda mengandeng tangan Afgan masuk ke dalam hotel. Melinda tadi berlari tanpa mengambil tas miliknya sehingga mereka kembali ke hotel setelah berdamai. Afgan meliri
Bab 18 "Maaf," ucap Edward berusaha sopan. Degh! Tiba-tiba lampu lift menyala kembali, Adelia bernapas dengan lega. "Sudah menyala," ujarnya sambil melihat ke arah Edward. "Wajahmu memerah." Edward berkata sambil tersenyum. Dia merasa Adelia cukup menarik. "Afgan adalah suamimu dan kalian baru menjalani Pernikahan Paksa?" tanya Edward tiba-tiba. Adelia diam dan memilih tidak melihat ke arah Edward. Dia menatap layar tombol lift dengan gusar, dia merasa waktu berjalan sangat lama sekali sampai akhirnya lift itu sampai ke lantai presidensial suite. Ting! Pintu lift terbuka, Adelia merentangkan tangannya dengan sikap professional lalu membungkukkan tubuhnya sambil memegang kartu lift dan menyodorkannya kepada Edward. "Silakan Tuan Edward, ini adalah kartu elektronik untuk pintu lift. Semoga Anda betah dengan pelayanan yang kami sediakan," ucap Adelia dengan bahasa baku yang sopan. Edward masuk sambi
"Bagaimana bila aku mentraktirmu makan malam?" ucap Edward memecahkan keheningan di antara mereka.Adelia kembali menghapus air mata yang mengalir dengan buru-buru."Aku ingin pulang ke rumah saja," ucap Adelia dengan lirih.Saat tiba di depan rumah Afgan, Adelia turun dari mobil dengan berat hati. Dia berterima kasih kepada Tuan Edward untuk tumpangan yang diberikan olehnya.Sesaat hendak memutar tubuhnya, Adelia baru menyadari keanehan."Bagaimana kamu bisa tahu alamat dan mengantarku ke sini?"Edward tersenyum dengan hangat, "bukankah tadi sudah sangat jelas, kamu adalah istri yang baru menikah dengan Afgan, pewaris arogan itu."Edward terkekeh dengan ucapannya sendiri."Sudah cukup lama Aku dan Afgan saling mengenal."Adelia mengangguk lalu mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Sekuriti membuka pintu gerbang tinggi tersebut dan menyapa dengan sopan."Kamu tidak mengundangku masuk untuk sekedar minum kopi?" tan
Sama seperti pagi sebelumnya, Adelia sampai di hotel tempatnya bekerja dengan langkah lesu. Bagaimana pun dia harus tetap bekerja agar dapat melunasi hutang sang ayah yang masih belum lunas walau sudah menerima mahar yang cukup banyak.Mendengar instruksi dari CEO-nya bawah ada rapat kerja, Adelia langsung menuju ruangan tempat para hotelliers biasanya di-briefing untuk rapat tersebut.Adelia memasuki ruangan rapat dengan langkah ragu. Sudah ada beberapa karyawan di sana dan juga CEO, Mrs. Smule.Tanpa curiga, dia melihat sekeliling ruangan, mencari tempat duduk. Ketika pandangannya jatuh pada sosok duduk di tengah-tengah kursi rapat, hatinya hampir berhenti berdetak. Ada rasa terkejut yang begitu mendalam menghantamnya ketika menyadari bahwa orang itu adalah Afgan, suami yang membencinya."Afgan!?"Dia memandangnya dengan mata terbelalak, bibirnya terkatup rapat mencoba menahan kejutan dan kecemasan yang melanda hatinya.Pandangan mer
Melinda mengatakan dengan suara manja yang sengaja diperkeras agar dapat di dengar oleh orang lain juga, selain Adelia.Karyawan dan hotelier yang lain hanya tersenyum karena mereka tahu, Adelia adalah tokoh yang ingin diganggu Melinda, sehingga mereka memilih diam sebagai sikap professionalisme dalam bekerja.Melinda berkata dengan sombong, membuat Adelia kesal. Apalagi ketika tahu jika pemilik hotel itu adalah suaminya sendiri.Selain Melinda, belum ada yang tahu bahwa Afgan, sang pemilik hotel yang ganteng tetapi arogan itu adalah suaminya. Adelia mengepalkan tangannya erat-erat.Namun, Adelia tak bisa apa-apa karena pernikahan mereka pun rahasia, tak diketahui oleh orang-orang."Apa maumu, Melinda?" Suara Adelia terdengar meninggi. Tatapan tajam dilayangkan kepada Melinda.Mrs. Smule dan Afgan sudah selesai berbicara dan mereka kembali ke ruang rapat untuk mengambil berkas yang tertinggal.Merasakan suasana mencekam dari kedua wan
"Sayang, aku akan menjemputmu nanti sore sepulang kerja, maaf bila tidak dapat menemanimu makan siang."Suara yang dikenalinya membuat Adelia mulai merasa kesal lagi. Dia memilih berpura-pura tidak melihat. Adelia tahu bahwa Afgan dan Melinda sedang menuju ke arahnya."... tapi, aku ingin sekamar denganmu." Ucapan manja dari Melinda membuat darah Adelia semakin mendidih.Dengan ketus, dia keluar dari meja resepsionis dan sengaja melewati depan kedua sejoli yang membuatnya jijik itu dengan membawa sebuah kotak kardus yang berisi cukup banyak dokumen di tangannya."Kalian membuatku jijik. Pergilah mencari kamar bila tidak tahan lagi!" Adelia lalu melirik ke arah Afgan yang terlihat mulai terpancing amarah di matanya."Sebagai pemilik hotel, tentunya kamu mempunyai hak atas semua kunci kamar, hati-hati !" Adelia mendekati Afgan lalu setengah berbisik,"Pilih kamar yang tidak punya kamera pengintai!"Usai mengatakan demikian, Adelia terkekeh lalu
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Afgan seraya mengecup mesra kening istrinya. Adelia terlihat cantik dalam gaun berwarna merah muda, memancarkan pesona yang memikat semua orang yang hadir. Senyumnya yang menawan membuat suasana semakin hangat dan penuh kebahagiaan.Taman yang indah menjadi latar belakang acara tersebut, dihiasi dengan dekorasi menarik yang dipenuhi balon berwarna-warni. Meja-meja penuh dengan hidangan lokal yang menggugah selera.Afgan sengaja mempersiapkan semua makanan khas lokal Indonesia supaya dapat mencerminkan kekayaan budaya dan rasa yang istimewa. Semua tamu yang diundang tampak menikmati setiap momen, tertawa dan berbincang dalam suasana yang meriah.Afgan sengaja memilih suasana taman ini untuk memberikan kesan alami dan romantis. Cahaya lampu hias yang tergantung di antara pepohonan menambah kehangatan malam itu, menciptakan suasana yang sempurna untuk merayakan ulang tahun Adelia."Tempat ini benar-benar indah, Afgan," kat
Nama itu terdengar seperti melodi yang manis di telinganya, dan wajahnya muncul di dalam bayangan gelap di hadapannya.Lima tahun yang lalu, mereka bertemu dalam sebuah acara pesta, di mana keponakannya, Edward, membawa Adelia sebagai pasangan dansa.Adam masih ingat betapa terpesonanya dia saat itu oleh kehadiran Adelia. Wajah dan penampilan wanita itu sangat mirip dengan mendiang istrinya, membuatnya tercengang dan tak bisa berkedip.Adelia, dengan senyum manisnya dan gerakannya yang anggun, menyihirnya dalam sekejap.Dalam kilatan lampu pesta, Adam melihat bayangan istrinya yang telah tiada, dan dia merasakan hatinya tergetar oleh gelombang nostalgia dan kesedihan yang mendalam.Ketika mereka memiliki kesempatan untuk berdansa sebagai pasangan, Adam merasa seperti dia berada di alam semesta yang sama sekali berbeda, di mana waktu berhenti berputar dan kehilangan tidak lagi terasa menyakitkan.Tetapi, seiring malam berakhir, kenyataan kemb
Adam membalas senyuman wanita itu dengan senyuman manis. "Maka aku akan menjadi milikmu."Sekali lagi mereka berciuman dengan penuh gairah. Sarah terhanyut dan merasa tidak berdaya, tetapi dalam ruang kecil hatinya yang tersisa, dia tahu dengan pasti bahwa Adam bukanlah tipe pria yang akan dengan mudah jatuh hati padanya.Dia menyadari bahwa perasaan Adam padanya hanyalah alat yang dimanfaatkannya untuk menyakiti Melinda lebih dalam lagi. Tetapi, meskipun dia sadar akan ini, dia terus menekan perasaannya sendiri, membiarkan dirinya larut dalam penipuan terhadap hatinya.Setiap hari, Sarah merasa semakin terjebak dalam permainan Adam. Dia memberi dirinya alasan bahwa ini adalah cara untuk menjaga Melinda tetap aman, meskipun di lubuk hatinya, dia tahu bahwa ini hanya sebuah pembenaran dari nafsu dan ketakutan akan kehilangan Adam.Saat malam tiba, Adam mengajaknya keluar untuk makan malam romantis, dan Sarah setuju tanpa ragu.Meskipun dia menyadari
Melinda menggelengkan kepala, matanya kosong memandang ke dalam ruangan. "Aku tidak tahu," ucapnya pelan. "Aku merasa seperti semua impianku hancur, seperti tidak ada lagi yang bisa kuinginkan."Sarah merangkulnya lebih erat. "Tetapi, Melinda, kamu masih punya banyak hal di depanmu. Kehidupanmu tidak berakhir di sini."Melinda menatap sahabatnya dengan pandangan yang penuh keraguan. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua ini? Bagaimana aku bisa mempercayai seseorang lagi setelah ini?""Bagaimana membuktikan kebenaran bahwa aku hanya difitnah oleh Adam? Semua ini adalah jebakannya."Sarah tersenyum lembut. "Kamu mempunyai hak untuk didampingi seorang pengacara hukum, aku akan mengurusnya dan percayalah, tidak semua pria seperti Adam. Semua ini mungkin hanya salah paham."Melinda mengernyitkan alisnya perlahan, mencoba menyerap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. Namun, perjalanan untuk pulih dari luka ini masih terasa sangat jauh baginya dan kebe
Adam tersenyum dengan licik lalu melanjutkan kalimatnya di depan microphone yang sedang dipegang."Yayasan Melinda i-care sudah menipu publik dengan penjualan tiket konser di acara pertandingan baseball ini. Seharusnya saya mendapatkan applause untuk keberhasilan menjebak pelaku yang sudah menipu tiket kalian, bukan?"Perkataan Adam mendapat seru riuh dari para penonton. Mereka merasa keadilan sudah ditegakkan untuk mereka.Dua orang polisi wanita segera menarik dan memasangkan borgol ke tangan Melinda yang disatukan di belakang punggungnya."I-ini tidak benar! Kamu jahat sekali!" seru Melinda sambil berusaha meronta, tetapi dua orang yang memegangnya sangat kuat."Kamu juga melakukan hal yang sama terhadap keluarga Al-Futtaim, Sayang. Adelia adalah seorang wanita yang baik. Bila saya arus memilih, maka saya akan memilih Adelia menjadi istri yang layak menggantikan mendiang istriku karena wanita itu memiliki semua yang tidak kamu miliki."Me
Melinda merenggangkan lehernya, mencoba untuk melihat lebih jelas ke arah panggung yang sedang disiapkan di tengah lapangan.Ia merasa detak jantungnya semakin kencang seiring dengan lama menunggu. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu dengan penuh harap.Adam Offel, telah memberinya petunjuk bahwa hari ini akan menjadi salah satu yang tak terlupakan. Dia ingin memberikan kesempatan kedua kepada pria itu.Dengan gaun pengantin yang indah melilit tubuhnya, Melinda merasa seperti sang ratu yang siap menerima mahkota kebahagiaan. Tetapi, di tengah kerumunan, ia tidak melihat bayangan Adam yang diharapkannya. Ketidakpastian mulai merayap di dalam pikirannya.Melinda duduk di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya. Menyaksikan pertandingan dengan perasaan tidak menentu.Tiba-tiba, lampu-lampu sorot mulai menyala, dan kerumunan berbisik-bisik dengan kegembiraan yang menggelora. Melinda merasakan kegelisahan memenuhi dadanya ketika seseorang mel
Setelah sampai di sana, Melinda langsung berpura-pura bertanya, mencari informasi, namun tidak ada yang mengetahui acara lain selain acara baseball yang memang setiap akhir pekan dilaksanakan di sana."Besok yang bertanding adalah group banteng dengan group singa. Apakah Anda ingin membeli tiket?" tanya petugas tanpa mencurigai apa pun.Wajah dan reaksinya datar, bahkan dia malas untuk melihat ke arah orang yang menanyakan tiket."Baik, terima kasih, aku sudah punya tiket masuk," sahut Melinda lalu bergerak keluar meninggalkan gedung.Malam harinya, wanita itu tidak bisa tidur. Sama sekali tidak bisa memberi istirahat kepada matanya yang sudah lelah.Sesekali dia mematut dirinya di depan cermin dengan memegang gaun yang indah.Keesokan harinya, Melinda terbangun dengan mata yang terasa berat di bawah kelopaknya. Goresan-goresan hitam di sekitar matanya menandakan betapa dalamnya tidur yang dia alami."Mama?" Silvia masuk ke kama
Bel pintu berbunyi, membuyarkan lamunannya yang dalam. Melinda menghela napas dalam-dalam, merenggangkan otot-ototnya yang tegang, lalu beranjak menuju pintu dengan langkah gontai. Dia menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka pintu."Siapa ya yang datang sekarang?" gumamnya pelan.Dengan ragu, ia membuka pintu dan dihadapkan pada seorang pria pengantar paket yang tersenyum ramah di depannya. Paket besar berwarna cokelat muda tergeletak di depan kakinya."Maaf mengganggu, Ma'am. Ini paket untuk Anda," kata pria itu sambil menyodorkan sebuah formulir pengiriman.Melinda mengangguk, mengambil formulir tersebut, dan menandatangani dengan cepat. Pikirannya masih melayang-layang antara rasa penasaran dan kekhawatiran.Pria pengantar itu kemudian menyerahkan paket tersebut kepadanya dengan senyuman hangat sebelum bergegas pergi. Melinda menutup pintu dan kembali ke dalam rumah dengan paket besar yang terasa begitu misterius di tangannya.Dengan hati-hati, ia memb
"Maaf, Nyonya Melinda. Kami hendak memberitahukan bahwa bahan material bangunan yang dipesan atas nama Melinda i-care sudah jatuh tempo. Sejumlah satu Milyar!"Hatinya berdegup kencang. Bagaimana mungkin dia berutang sebanyak itu atas sebuah proyek bangunan?"S-saya tidak pernah memesan apa pun," sahut Melinda dengan suara terputus-putus.Melinda berusaha memeriksa ingatannya, mencari-cari jejak apa pun yang bisa menjelaskan situasi ini, tetapi tidak ada yang muncul. Rasanya seperti terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar."Maaf, saya tidak yakin tentang hutang ini," ucap Melinda dengan suara gemetar, mencoba menutupi kepanikannya."Seseorang bernama Tuan Adam yang mengurus semuanya," sahut penagih hutang dengan nada tajam. "Dan dia menyatakan bahwa Anda bertanggung jawab atas pembayarannya. Bukankah semua material itu dikirim kepada Melinda i-care?"Melinda menelan salivanya yang terasa pahit, merasa seakan-akan dunianya runtuh sek