Sama seperti pagi sebelumnya, Adelia sampai di hotel tempatnya bekerja dengan langkah lesu. Bagaimana pun dia harus tetap bekerja agar dapat melunasi hutang sang ayah yang masih belum lunas walau sudah menerima mahar yang cukup banyak.
Mendengar instruksi dari CEO-nya bawah ada rapat kerja, Adelia langsung menuju ruangan tempat para hotelliers biasanya di-briefing untuk rapat tersebut.
Adelia memasuki ruangan rapat dengan langkah ragu. Sudah ada beberapa karyawan di sana dan juga CEO, Mrs. Smule.
Tanpa curiga, dia melihat sekeliling ruangan, mencari tempat duduk. Ketika pandangannya jatuh pada sosok duduk di tengah-tengah kursi rapat, hatinya hampir berhenti berdetak. Ada rasa terkejut yang begitu mendalam menghantamnya ketika menyadari bahwa orang itu adalah Afgan, suami yang membencinya.
"Afgan!?"
Dia memandangnya dengan mata terbelalak, bibirnya terkatup rapat mencoba menahan kejutan dan kecemasan yang melanda hatinya.
Pandangan mer
Melinda mengatakan dengan suara manja yang sengaja diperkeras agar dapat di dengar oleh orang lain juga, selain Adelia.Karyawan dan hotelier yang lain hanya tersenyum karena mereka tahu, Adelia adalah tokoh yang ingin diganggu Melinda, sehingga mereka memilih diam sebagai sikap professionalisme dalam bekerja.Melinda berkata dengan sombong, membuat Adelia kesal. Apalagi ketika tahu jika pemilik hotel itu adalah suaminya sendiri.Selain Melinda, belum ada yang tahu bahwa Afgan, sang pemilik hotel yang ganteng tetapi arogan itu adalah suaminya. Adelia mengepalkan tangannya erat-erat.Namun, Adelia tak bisa apa-apa karena pernikahan mereka pun rahasia, tak diketahui oleh orang-orang."Apa maumu, Melinda?" Suara Adelia terdengar meninggi. Tatapan tajam dilayangkan kepada Melinda.Mrs. Smule dan Afgan sudah selesai berbicara dan mereka kembali ke ruang rapat untuk mengambil berkas yang tertinggal.Merasakan suasana mencekam dari kedua wan
"Sayang, aku akan menjemputmu nanti sore sepulang kerja, maaf bila tidak dapat menemanimu makan siang."Suara yang dikenalinya membuat Adelia mulai merasa kesal lagi. Dia memilih berpura-pura tidak melihat. Adelia tahu bahwa Afgan dan Melinda sedang menuju ke arahnya."... tapi, aku ingin sekamar denganmu." Ucapan manja dari Melinda membuat darah Adelia semakin mendidih.Dengan ketus, dia keluar dari meja resepsionis dan sengaja melewati depan kedua sejoli yang membuatnya jijik itu dengan membawa sebuah kotak kardus yang berisi cukup banyak dokumen di tangannya."Kalian membuatku jijik. Pergilah mencari kamar bila tidak tahan lagi!" Adelia lalu melirik ke arah Afgan yang terlihat mulai terpancing amarah di matanya."Sebagai pemilik hotel, tentunya kamu mempunyai hak atas semua kunci kamar, hati-hati !" Adelia mendekati Afgan lalu setengah berbisik,"Pilih kamar yang tidak punya kamera pengintai!"Usai mengatakan demikian, Adelia terkekeh lalu
Adelia memandang Edward dengan tatapan penasaran. "Mengapa harus menginap sampai akhir pekan dan apa yang ingin kamu buktikan?" tanya Adelia.Edward memberikan senyuman hangat lalu menyeka sisa air mata di pipi Adelia dengan jempolnya."Aku tidak suka lihat wanita secantik kamu harus menangis seperti ini. Bagaimana bila aku menghiburmu dengan mentraktirmu makan malam? Hmm, kamu berhutang dua cangkir kopi untukku, bukan?"Edward memangku tangannya di dagu dengan tatapan hangat, membuat hati Adelia mulai berdebar. Dia berusaha menyimpan rasa canggungnya dengan membawa kardus karton menuju ke gudang.Edward membantu Adelia memasukkan kardus yang tadi dipegangnya ke dalam gudang. "Bagaimana dengan tawaranku? Jam berapa kita akan makan malam?"Adelia masih merasa tidak nyaman bila harus pulang di malam. Selama ini, pandangan Afgan kepadanya sudah sangat tidak baik, bagaimana bila dia masih pulang malam juga? Hal itu sudah pasti akan membuat Afgan lebih
"Bagaimana harimu, Adelia?" tanya Afgan tiba-tiba dengan suara yang terdengar hampa, seolah-olah dia hanya mencoba mencari topik pembicaraan."Baik," jawab Adelia singkat, tanpa memberikan rincian apa pun. Dia malah sibuk menjulurkan kepala untuk melihat makanan apa yang bisa dia makan di meja panjang tersebut.Mereka mulai menyuap makanan di atas piring mereka, tetapi tidak ada suara lain kecuali suara sendok dan garpu menyentuh piring. Semuanya terasa terkendali dan formal, tanpa kehangatan atau kedekatan di antara mereka.Walaupun makanan yang disajikan sangat lezat, tetapi atmosfer dingin dan kaku itu menyelimuti mereka seperti kabut malam yang menyelimuti kota.Meskipun mereka berada di tengah-tengah kemewahan, tetapi kekosongan dalam hubungan mereka jelas terlihat.Adelia masih bertanya-tanya dalam hati, mengapa Afgan tiba-tiba mengajak makan malam. Namun, makanan yang enak membuatnya tidak mempedulikan hal itu. Perutnya terasa lapar dan haru
Adelia kesakitan pada perutnya. Asam lambung membuatnya kembung dan merasa nyeri di ulu hati, sehingga pandangannya mulai berputar. Saat itu dia sedang memegang piring makanan lalu terjatuh ke lantai.Suara pecahan piring yang terdengar sampai ke telinga Afgan di kamar sebelah. Tidak ada yang sanggup membuka pintu walau Afgan sudah mengedor dengan kuat.Adelia memegang perutnya dengan wajah yang pucat dan gemetar menahan sakit."To.. long!" teriaknya lirih menahan sakit.Afgan bahkan sudah berusaha menghancurkan pintu karena panik, apalagi saat terdengar rintihan dari Adelia, menandakan sedang terjadi sesuatu yang buruk.Pintu kayu yang mewah dan kuat itu tidak mudah dirobohkan. Afgan meringgis menahan sakit pada bahunya yang berusaha mendobrak pintu berkali-kali namun tidak berhasil.Akhirnya kepala pelayan berlari kecil mengambil kunci cadangan dan menghampiri Afgan.Pintu terbuka, dan Afgan segera berlari menghampir Ade
Afgan menatap Adelia yang masih tertidur dengan nyenyak di ranjangnya. Hari sudah malam dan dia memutuskan untuk berbaring sejenak di sebelah Adelia dengan maksud menjaganya, tetapi rasa lelah dan kantuk menyerangnya sehingga pria itu pun tertidur sampai pagi.Matahari menyelinap dan menyambut mereka dengan kehangatan. Adelia terbangun dan merasakan tangan yang berat memeluk pinggangnya.Kedua mata Adelia langsung membulat tajam, dengan kasar menepis tangan Afgan karena terkejut."Aowh!" Adelia meringgis karena baru menyadari jarum infus di tangannya.Sekilas di liriknya pria yang menjadi suaminya tersebut. Batang hidung yang mancung sepadan dengan rahangnya yang tegas, membuat wajah Afgan sempurna dan sangat menarik.Sesaat kemudian, Afgan membuka matanya dan pandangan mereka saling bertemu. Adelia mengerjapkan matanya berkali-kali karena merasa canggung."Kalau sudah sembuh, silakan kembali ke kamarmu! Di sini terasa sempit dan kamu
Melinda langsung menggandeng tangan kekasihnya, Afgan menuju ke restoran lantai 8 di mana mereka akan menikmati sarapan mewah yang disajikan hotel internasional tersebut.Melinda tidak berhenti mengoceh sementara Afgan masih penasaran dengan keberadaan Adelia.Di saat yang sama, Adelia sedang menyusun berkas ke dalam gudang kecil. Adelia mulai merasa kelelahan dan keringatan karena baru saja menaiki tangga bertingkat sampai ke lantai 5."Lagi-lagi tidak sarapan! Kalau begitu caranya, aku bisa mati muda," ucap Adelia berbicara dengan dirinya sendiri sembari memegang perutnya yang masih terasa nyeri."Siapa yang suruh enggak makan?"Adelia terkejut mendengar suara dari seorang pria yang ternyata Edward. Pria itu berdiri di depan pintu gudang dengan senyuman ramah yang hangat di wajahnya."Edward.""Sakit ya?" tanya Edward mendekati, melihat Adelia memegang perutnya."Ayo, daripada menunggu waktu makan siang yang masih butuh 3 jam
"Afgan, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Kami hanya duduk bersama untuk sarapan pagi secara kebetulan. Aku tidak tahu bahwa kamu juga akan ada di sini."Afgan menghela nafas dalam-dalam, tetapi masih marah. "Ini terlalu banyak kebetulan, Adelia. Aku tidak tahu harus percaya apa. Kenapa kau tidak memberi tahuku bahwa kau akan bertemu dengan Edward? Seharusnya kita sarapan bersama tadi pagi. Bukankah perutmu masih sakit?" Afgan menunjuk Adelia tepat di keningnya dengan telunjuknya."Afgan, aku benar-benar tidak tahu dia akan ada di sini. Ini memang kebetulan. Aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu." Adelia menjawab dengan cemas."Sakit hati? Ohh, tidak, kau terlalu berlebihan! Saya merasa malu! Ya! malu! Kau dengar itu?!""Kau benar-benar murahan!""Kamu ... "Adelia merasa sakit karena sudah diteriaki murahan banyak kali, tetapi dia masih berharap untuk memperbaiki situasi. "Afgan, aku minta maaf."Afgan terkejut oleh tang
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Afgan seraya mengecup mesra kening istrinya. Adelia terlihat cantik dalam gaun berwarna merah muda, memancarkan pesona yang memikat semua orang yang hadir. Senyumnya yang menawan membuat suasana semakin hangat dan penuh kebahagiaan.Taman yang indah menjadi latar belakang acara tersebut, dihiasi dengan dekorasi menarik yang dipenuhi balon berwarna-warni. Meja-meja penuh dengan hidangan lokal yang menggugah selera.Afgan sengaja mempersiapkan semua makanan khas lokal Indonesia supaya dapat mencerminkan kekayaan budaya dan rasa yang istimewa. Semua tamu yang diundang tampak menikmati setiap momen, tertawa dan berbincang dalam suasana yang meriah.Afgan sengaja memilih suasana taman ini untuk memberikan kesan alami dan romantis. Cahaya lampu hias yang tergantung di antara pepohonan menambah kehangatan malam itu, menciptakan suasana yang sempurna untuk merayakan ulang tahun Adelia."Tempat ini benar-benar indah, Afgan," kat
Nama itu terdengar seperti melodi yang manis di telinganya, dan wajahnya muncul di dalam bayangan gelap di hadapannya.Lima tahun yang lalu, mereka bertemu dalam sebuah acara pesta, di mana keponakannya, Edward, membawa Adelia sebagai pasangan dansa.Adam masih ingat betapa terpesonanya dia saat itu oleh kehadiran Adelia. Wajah dan penampilan wanita itu sangat mirip dengan mendiang istrinya, membuatnya tercengang dan tak bisa berkedip.Adelia, dengan senyum manisnya dan gerakannya yang anggun, menyihirnya dalam sekejap.Dalam kilatan lampu pesta, Adam melihat bayangan istrinya yang telah tiada, dan dia merasakan hatinya tergetar oleh gelombang nostalgia dan kesedihan yang mendalam.Ketika mereka memiliki kesempatan untuk berdansa sebagai pasangan, Adam merasa seperti dia berada di alam semesta yang sama sekali berbeda, di mana waktu berhenti berputar dan kehilangan tidak lagi terasa menyakitkan.Tetapi, seiring malam berakhir, kenyataan kemb
Adam membalas senyuman wanita itu dengan senyuman manis. "Maka aku akan menjadi milikmu."Sekali lagi mereka berciuman dengan penuh gairah. Sarah terhanyut dan merasa tidak berdaya, tetapi dalam ruang kecil hatinya yang tersisa, dia tahu dengan pasti bahwa Adam bukanlah tipe pria yang akan dengan mudah jatuh hati padanya.Dia menyadari bahwa perasaan Adam padanya hanyalah alat yang dimanfaatkannya untuk menyakiti Melinda lebih dalam lagi. Tetapi, meskipun dia sadar akan ini, dia terus menekan perasaannya sendiri, membiarkan dirinya larut dalam penipuan terhadap hatinya.Setiap hari, Sarah merasa semakin terjebak dalam permainan Adam. Dia memberi dirinya alasan bahwa ini adalah cara untuk menjaga Melinda tetap aman, meskipun di lubuk hatinya, dia tahu bahwa ini hanya sebuah pembenaran dari nafsu dan ketakutan akan kehilangan Adam.Saat malam tiba, Adam mengajaknya keluar untuk makan malam romantis, dan Sarah setuju tanpa ragu.Meskipun dia menyadari
Melinda menggelengkan kepala, matanya kosong memandang ke dalam ruangan. "Aku tidak tahu," ucapnya pelan. "Aku merasa seperti semua impianku hancur, seperti tidak ada lagi yang bisa kuinginkan."Sarah merangkulnya lebih erat. "Tetapi, Melinda, kamu masih punya banyak hal di depanmu. Kehidupanmu tidak berakhir di sini."Melinda menatap sahabatnya dengan pandangan yang penuh keraguan. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua ini? Bagaimana aku bisa mempercayai seseorang lagi setelah ini?""Bagaimana membuktikan kebenaran bahwa aku hanya difitnah oleh Adam? Semua ini adalah jebakannya."Sarah tersenyum lembut. "Kamu mempunyai hak untuk didampingi seorang pengacara hukum, aku akan mengurusnya dan percayalah, tidak semua pria seperti Adam. Semua ini mungkin hanya salah paham."Melinda mengernyitkan alisnya perlahan, mencoba menyerap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. Namun, perjalanan untuk pulih dari luka ini masih terasa sangat jauh baginya dan kebe
Adam tersenyum dengan licik lalu melanjutkan kalimatnya di depan microphone yang sedang dipegang."Yayasan Melinda i-care sudah menipu publik dengan penjualan tiket konser di acara pertandingan baseball ini. Seharusnya saya mendapatkan applause untuk keberhasilan menjebak pelaku yang sudah menipu tiket kalian, bukan?"Perkataan Adam mendapat seru riuh dari para penonton. Mereka merasa keadilan sudah ditegakkan untuk mereka.Dua orang polisi wanita segera menarik dan memasangkan borgol ke tangan Melinda yang disatukan di belakang punggungnya."I-ini tidak benar! Kamu jahat sekali!" seru Melinda sambil berusaha meronta, tetapi dua orang yang memegangnya sangat kuat."Kamu juga melakukan hal yang sama terhadap keluarga Al-Futtaim, Sayang. Adelia adalah seorang wanita yang baik. Bila saya arus memilih, maka saya akan memilih Adelia menjadi istri yang layak menggantikan mendiang istriku karena wanita itu memiliki semua yang tidak kamu miliki."Me
Melinda merenggangkan lehernya, mencoba untuk melihat lebih jelas ke arah panggung yang sedang disiapkan di tengah lapangan.Ia merasa detak jantungnya semakin kencang seiring dengan lama menunggu. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu dengan penuh harap.Adam Offel, telah memberinya petunjuk bahwa hari ini akan menjadi salah satu yang tak terlupakan. Dia ingin memberikan kesempatan kedua kepada pria itu.Dengan gaun pengantin yang indah melilit tubuhnya, Melinda merasa seperti sang ratu yang siap menerima mahkota kebahagiaan. Tetapi, di tengah kerumunan, ia tidak melihat bayangan Adam yang diharapkannya. Ketidakpastian mulai merayap di dalam pikirannya.Melinda duduk di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya. Menyaksikan pertandingan dengan perasaan tidak menentu.Tiba-tiba, lampu-lampu sorot mulai menyala, dan kerumunan berbisik-bisik dengan kegembiraan yang menggelora. Melinda merasakan kegelisahan memenuhi dadanya ketika seseorang mel
Setelah sampai di sana, Melinda langsung berpura-pura bertanya, mencari informasi, namun tidak ada yang mengetahui acara lain selain acara baseball yang memang setiap akhir pekan dilaksanakan di sana."Besok yang bertanding adalah group banteng dengan group singa. Apakah Anda ingin membeli tiket?" tanya petugas tanpa mencurigai apa pun.Wajah dan reaksinya datar, bahkan dia malas untuk melihat ke arah orang yang menanyakan tiket."Baik, terima kasih, aku sudah punya tiket masuk," sahut Melinda lalu bergerak keluar meninggalkan gedung.Malam harinya, wanita itu tidak bisa tidur. Sama sekali tidak bisa memberi istirahat kepada matanya yang sudah lelah.Sesekali dia mematut dirinya di depan cermin dengan memegang gaun yang indah.Keesokan harinya, Melinda terbangun dengan mata yang terasa berat di bawah kelopaknya. Goresan-goresan hitam di sekitar matanya menandakan betapa dalamnya tidur yang dia alami."Mama?" Silvia masuk ke kama
Bel pintu berbunyi, membuyarkan lamunannya yang dalam. Melinda menghela napas dalam-dalam, merenggangkan otot-ototnya yang tegang, lalu beranjak menuju pintu dengan langkah gontai. Dia menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka pintu."Siapa ya yang datang sekarang?" gumamnya pelan.Dengan ragu, ia membuka pintu dan dihadapkan pada seorang pria pengantar paket yang tersenyum ramah di depannya. Paket besar berwarna cokelat muda tergeletak di depan kakinya."Maaf mengganggu, Ma'am. Ini paket untuk Anda," kata pria itu sambil menyodorkan sebuah formulir pengiriman.Melinda mengangguk, mengambil formulir tersebut, dan menandatangani dengan cepat. Pikirannya masih melayang-layang antara rasa penasaran dan kekhawatiran.Pria pengantar itu kemudian menyerahkan paket tersebut kepadanya dengan senyuman hangat sebelum bergegas pergi. Melinda menutup pintu dan kembali ke dalam rumah dengan paket besar yang terasa begitu misterius di tangannya.Dengan hati-hati, ia memb
"Maaf, Nyonya Melinda. Kami hendak memberitahukan bahwa bahan material bangunan yang dipesan atas nama Melinda i-care sudah jatuh tempo. Sejumlah satu Milyar!"Hatinya berdegup kencang. Bagaimana mungkin dia berutang sebanyak itu atas sebuah proyek bangunan?"S-saya tidak pernah memesan apa pun," sahut Melinda dengan suara terputus-putus.Melinda berusaha memeriksa ingatannya, mencari-cari jejak apa pun yang bisa menjelaskan situasi ini, tetapi tidak ada yang muncul. Rasanya seperti terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar."Maaf, saya tidak yakin tentang hutang ini," ucap Melinda dengan suara gemetar, mencoba menutupi kepanikannya."Seseorang bernama Tuan Adam yang mengurus semuanya," sahut penagih hutang dengan nada tajam. "Dan dia menyatakan bahwa Anda bertanggung jawab atas pembayarannya. Bukankah semua material itu dikirim kepada Melinda i-care?"Melinda menelan salivanya yang terasa pahit, merasa seakan-akan dunianya runtuh sek