Lima jam berlalu dalam keheningan di dalam kamar, Adelia terbangun dengan kepala yang berat, merasa kebingungan dan tidak nyaman. Dia membuka matanya perlahan, dan ketika dia melirik jam di samping tempat tidurnya, keheranan menyergapnya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Adelia bergumam sendiri dengan bingung, "apa yang terjadi? Kenapa sudah sore?" Dia meraba-raba ingatan di benaknya, mencoba mencari tahu apa yang mungkin membuatnya tidur begitu lama. Pada awalnya, semuanya terasa samar, dan kemudian, seperti kilat, ingatannya kembali terbentuk. "Melinda dan Afgan, ke mana mereka?" Adelia seolah-olah bertanya kepada dinding kamar. Dengan langkah berat, Adelia berdiri dan melangkah menuju ke balkon untuk memantau keadaan. Tidak jauh dari sana, terlihat bayangan Melinda yang sedang bersenda gurau dengan Afgan, sementara Achmed dan Kanya sedang meneruskan pekerjaan mereka menata kebun. Tatapan Adelia kosong saat itu juga, dia tidak bisa menangis lagi walau hatinya terasa
Melinda menatap Kanya dengan tulus, "Nyonya Besar, jangan biarkan masa lalu Adelia menghentikan kebahagiaan masa depan Afgan. Kita bisa membantunya menemukan kebahagiaannya di tempat lain. Afgan membutuhkan keluarga yang utuh dan bahagia." Kanya menarik nafas dalam-dalam, mendengar Melinda memanggilnya Nyonya Besar, membuatnya sedikit tersanjung. "Hmm, aku akan berbicara dengan Afgan, tapi aku tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi. Adelia adalah bagian dari keluarga kami juga." Melinda tersenyum puas, "Terima kasih, Sayang. Aku yakin kita semua bisa mencapai kebahagiaan bersama." Kanya menarik Achmed agar keluar dari ruangan, meninggalkan Melinda dengan senyum kemenangannya. Dia tahu dia berhasil meyakinkan Kanya, dan sekarang saatnya untuk mengarahkan perasaan Afgan. Malam pun tiba dan suasana di rumah semakin tegang. Afgan memutuskan tidur di kamar lain bersama dengan Melinda. Mendengar hal itu, Adelia mencoba menyembunyikan perasaannya di balik senyuman palsu. Afgan terlih
Setelah menguatkan dirinya dan berulang kali berpikir, Adelia memutuskan menghubungi Afgan untuk menanyakan mengenai liontin yang sudah diberikan kepada Melinda. Namun, sangat mengesalkan bagi Adelia karena Afgan sama sekali tidak menjawab panggilan yang dibuatnya, berapa kali pun dia mencoba untuk menghubungi lewat ponsel. Tidak ada satu pun pesan yang dibalas Afgan. Adelia menghela napas panjang dan menghempaskan dirinya ke ranjang dengan kesal. Tanpa sengaja, ponselnya terjatuh ke lantai. Kretak! Dengan panik, Adelia meraih ponsel yang terantuk cukup keras. "Aihh, retak!" pekik Adelia saat melihat layar ponsel yang sudah retak. Suasana hatinya semakin buruk karena itu. Wanita itu mengembuskan napas dengan kasar. "Belum gajian juga!" Dengan hati yang berat, Adelia meletakkan ponselnya ke nakas. "Hari-hari sedang tidak berjalan dengan baik," gumamnya dengan perasaan yang berat. Adelia kembali membaringkan dirinya yang terasa lelah di atas ranjang dan menatap kosong langit-lang
Afgan bekerja hingga larut malam dan memutuskan tidur di dalam kamar yang sebelumnya ditempati Adelia. Pria itu terbaring di ranjang Adelia dengan mata menatap ke langit-langit kamar. Tatapannya kosong. Sesekali dia memeluk bantal dan mengenggam selimut milik Adelia dan menarik napas dalam-dalam, berusaha mencium aroma istri murahannya. Afgan merasakan desiran yang aneh karena ternyata dia tidak bisa memungkiri bahwa dia sangat merindukan wanita itu. Sementara di tempat lain, Adelia juga tidak dapat memberi istirahat yang baik kepada kedua matanya. Pikirannya terasa suntuk dan bercabang-cabang. Adelia meratapi takdirnya yang telah berubah begitu cepat. Dia terombang-ambing di antara harapan untuk kebahagiaan masa depan dan kenyataan pahit bahwa Afgan telah mendapatkan kebahagiaannya. Sesekali, Adelia keluar dari kamar untuk mencari angin segar, duduk sendirian di sofa, melihat fotonya bersama Afgan di dinding. Satu-satunya foto yang dimilikinya karena sang ayah yang bersikeras me
Seusai mengatakan hal tersebut, Adelia segera berlalu dari hadapan mereka. Di luar dugaannya, Afgan menarik tangannya. "Mau ke mana?" tatapan tajam dilayangkan Afgan. "Mengambil barangku dan memindahkannya ke front office. Bukankah selama seminggu ini pekerjaanku adalah berpindah-pindah terus sampai hati kalian puas?" Adelia berkata-kata lalu menepis tangan Afgan. Dengan langkah gusar dan beban hati yang berat, Adelia melangkah pergi sambil menahan air mata yang sudah menumpuk di kedua pelupuk matanya. Samar-samar Adelia mendengar suara manja dari Melinda, "Afgan, anakmu sudah lapar, kita makan apa yang enak hari ini?" *** Hari demi hari berlalu, Adelia terus bekerja sebagai front office di hotel. Meskipun dia berusaha menahan emosinya di tempat kerja, kepedihan dalam hatinya semakin dalam. Setiap kali dia melihat cincin berkilau di jari Melinda, hatinya terasa seperti diremas oleh kehilangan yang terus membesar. Melinda selalu dengan sengaja membuat mereka berpapasan. Sementara
Adelia tidak menjawab dan tetap menangis sesunggukkan di atas pangkuan Edward yang memeluknya dengan erat. Edward mencium rambut Adelia dari belakang dan tidak berniat melepas wanita yang dicintainya itu. Dirinya sendiri juga sangat bingung dalam menghadapi pernikahan yang akan berlangsung tidak lama lagi. Sebuah pernikahan yang tidak dia inginkan atas jodoh yang dipilih oleh Ibundanya. Hati Edward sedang berperang melawan cinta yang tidak dapat dia berikan secara total kepada wanita yang sedang dipeluknya itu. Demikian juga dengan Adelia. Meskipun Adelia merasa sulit untuk menerima cinta Edward, keberadaan pria itu memberikan harapan kecil di tengah-tengah kegelapan yang melanda. Dia tahu bahwa proses penyembuhan membutuhkan waktu, dan Edward bersedia bersamanya melalui setiap langkahnya. Namun, semua tidak segampang yang ada dalam pikirannya. Waktu terus berjalan, setiap harinya Adelia bekerja seperti biasa dan Edward tetap berada di sisi Adelia, setia mendukungnya melalui setiap
"Mom, aku akan membatalkan pernikahan," ucap Edward pada panggilan jarak jauh yang tersambung dengan Maya Ofel, sang ibunda yang sedang berada di Dubai. "Kamu gila? Karena siapa kamu berkata seperti itu?" Maya merasa kesal dengan perkataan putranya. "Aku tidak mau dijodohkan seperti itu, Mom. Kita tidak akan berbahagia," ucap Edward berusaha membela dirinya. "Jadi apakah menginginkan istri miliik Al-Futtaim adalah sesuatu yang benar menurutmu? Akankah bahagia bila mengambil hak milik orang lain? Edward! Apa yang ada di dalam pikiranmu?" Maya Ofel mengomel panjang lebar sampai akhirnya menarik napas panjang lalu melanjutkan omelannya. "Jangan sampai Dad bertindak! Kamu dan istri milik keluarga Futtaim itu akan kacau!" ancam Maya tanpa berbasa-basi lagi. "Tidak, Mom, justru putra kesayangamu ini menghubungimu karena ingin agar Mom membantu. Kepada siapa lagi anakmu bisa mengadu?" "Come on, Mom ... " "Kamu mau Mom membantumu?" Maya mendeliknya kedua matanya lalu menjawab, "Kamu si
Afgan mulai sadar bahwa dia mencintai Adelia, daripada menunggu gadis dalam foto yang bahkan tidak dapat dia temukan. "Kamu tahu? Kamu benar. Berikan satu sloki lagi, lalu saya akan segera pulang untuk mendapatkan istriku!" Bartender mengangguk lalu tertawa kecil, "Ternyata dia istrimu, mengapa kamu meributkan foto masa lalu yang buram." Bartender itu berkata-kata sambil meracik minumannya lalu menyodorkannya kepada Afgan. "Foto itu butuh diperbaiki, sehingga bisa dilihat dengan jelas, bukankah ada tukang edit foto yang bisa menunjukkan foto yang bagus walau sudah lama?" Afgan kembali terkejut karena selama ini, dia tidak pernah memikirkan hal tersebut. "Baiklah, saya akan pergi ke tukang edit foto besok," jawabnya lalu meneguk habis sloki yang disodorkan. Di luar dugaan, bartender itu malah tertawa nyaring, "Aku bisa kok edit foto. Menjadi bartender hanya pekerjaan tambahan untuk biaya kuliah." Afgan ragu menyerahkan foto itu ke tangan bartender yang tidak dia kenal. Dia meman
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Afgan seraya mengecup mesra kening istrinya. Adelia terlihat cantik dalam gaun berwarna merah muda, memancarkan pesona yang memikat semua orang yang hadir. Senyumnya yang menawan membuat suasana semakin hangat dan penuh kebahagiaan.Taman yang indah menjadi latar belakang acara tersebut, dihiasi dengan dekorasi menarik yang dipenuhi balon berwarna-warni. Meja-meja penuh dengan hidangan lokal yang menggugah selera.Afgan sengaja mempersiapkan semua makanan khas lokal Indonesia supaya dapat mencerminkan kekayaan budaya dan rasa yang istimewa. Semua tamu yang diundang tampak menikmati setiap momen, tertawa dan berbincang dalam suasana yang meriah.Afgan sengaja memilih suasana taman ini untuk memberikan kesan alami dan romantis. Cahaya lampu hias yang tergantung di antara pepohonan menambah kehangatan malam itu, menciptakan suasana yang sempurna untuk merayakan ulang tahun Adelia."Tempat ini benar-benar indah, Afgan," kat
Nama itu terdengar seperti melodi yang manis di telinganya, dan wajahnya muncul di dalam bayangan gelap di hadapannya.Lima tahun yang lalu, mereka bertemu dalam sebuah acara pesta, di mana keponakannya, Edward, membawa Adelia sebagai pasangan dansa.Adam masih ingat betapa terpesonanya dia saat itu oleh kehadiran Adelia. Wajah dan penampilan wanita itu sangat mirip dengan mendiang istrinya, membuatnya tercengang dan tak bisa berkedip.Adelia, dengan senyum manisnya dan gerakannya yang anggun, menyihirnya dalam sekejap.Dalam kilatan lampu pesta, Adam melihat bayangan istrinya yang telah tiada, dan dia merasakan hatinya tergetar oleh gelombang nostalgia dan kesedihan yang mendalam.Ketika mereka memiliki kesempatan untuk berdansa sebagai pasangan, Adam merasa seperti dia berada di alam semesta yang sama sekali berbeda, di mana waktu berhenti berputar dan kehilangan tidak lagi terasa menyakitkan.Tetapi, seiring malam berakhir, kenyataan kemb
Adam membalas senyuman wanita itu dengan senyuman manis. "Maka aku akan menjadi milikmu."Sekali lagi mereka berciuman dengan penuh gairah. Sarah terhanyut dan merasa tidak berdaya, tetapi dalam ruang kecil hatinya yang tersisa, dia tahu dengan pasti bahwa Adam bukanlah tipe pria yang akan dengan mudah jatuh hati padanya.Dia menyadari bahwa perasaan Adam padanya hanyalah alat yang dimanfaatkannya untuk menyakiti Melinda lebih dalam lagi. Tetapi, meskipun dia sadar akan ini, dia terus menekan perasaannya sendiri, membiarkan dirinya larut dalam penipuan terhadap hatinya.Setiap hari, Sarah merasa semakin terjebak dalam permainan Adam. Dia memberi dirinya alasan bahwa ini adalah cara untuk menjaga Melinda tetap aman, meskipun di lubuk hatinya, dia tahu bahwa ini hanya sebuah pembenaran dari nafsu dan ketakutan akan kehilangan Adam.Saat malam tiba, Adam mengajaknya keluar untuk makan malam romantis, dan Sarah setuju tanpa ragu.Meskipun dia menyadari
Melinda menggelengkan kepala, matanya kosong memandang ke dalam ruangan. "Aku tidak tahu," ucapnya pelan. "Aku merasa seperti semua impianku hancur, seperti tidak ada lagi yang bisa kuinginkan."Sarah merangkulnya lebih erat. "Tetapi, Melinda, kamu masih punya banyak hal di depanmu. Kehidupanmu tidak berakhir di sini."Melinda menatap sahabatnya dengan pandangan yang penuh keraguan. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua ini? Bagaimana aku bisa mempercayai seseorang lagi setelah ini?""Bagaimana membuktikan kebenaran bahwa aku hanya difitnah oleh Adam? Semua ini adalah jebakannya."Sarah tersenyum lembut. "Kamu mempunyai hak untuk didampingi seorang pengacara hukum, aku akan mengurusnya dan percayalah, tidak semua pria seperti Adam. Semua ini mungkin hanya salah paham."Melinda mengernyitkan alisnya perlahan, mencoba menyerap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. Namun, perjalanan untuk pulih dari luka ini masih terasa sangat jauh baginya dan kebe
Adam tersenyum dengan licik lalu melanjutkan kalimatnya di depan microphone yang sedang dipegang."Yayasan Melinda i-care sudah menipu publik dengan penjualan tiket konser di acara pertandingan baseball ini. Seharusnya saya mendapatkan applause untuk keberhasilan menjebak pelaku yang sudah menipu tiket kalian, bukan?"Perkataan Adam mendapat seru riuh dari para penonton. Mereka merasa keadilan sudah ditegakkan untuk mereka.Dua orang polisi wanita segera menarik dan memasangkan borgol ke tangan Melinda yang disatukan di belakang punggungnya."I-ini tidak benar! Kamu jahat sekali!" seru Melinda sambil berusaha meronta, tetapi dua orang yang memegangnya sangat kuat."Kamu juga melakukan hal yang sama terhadap keluarga Al-Futtaim, Sayang. Adelia adalah seorang wanita yang baik. Bila saya arus memilih, maka saya akan memilih Adelia menjadi istri yang layak menggantikan mendiang istriku karena wanita itu memiliki semua yang tidak kamu miliki."Me
Melinda merenggangkan lehernya, mencoba untuk melihat lebih jelas ke arah panggung yang sedang disiapkan di tengah lapangan.Ia merasa detak jantungnya semakin kencang seiring dengan lama menunggu. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu dengan penuh harap.Adam Offel, telah memberinya petunjuk bahwa hari ini akan menjadi salah satu yang tak terlupakan. Dia ingin memberikan kesempatan kedua kepada pria itu.Dengan gaun pengantin yang indah melilit tubuhnya, Melinda merasa seperti sang ratu yang siap menerima mahkota kebahagiaan. Tetapi, di tengah kerumunan, ia tidak melihat bayangan Adam yang diharapkannya. Ketidakpastian mulai merayap di dalam pikirannya.Melinda duduk di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya. Menyaksikan pertandingan dengan perasaan tidak menentu.Tiba-tiba, lampu-lampu sorot mulai menyala, dan kerumunan berbisik-bisik dengan kegembiraan yang menggelora. Melinda merasakan kegelisahan memenuhi dadanya ketika seseorang mel
Setelah sampai di sana, Melinda langsung berpura-pura bertanya, mencari informasi, namun tidak ada yang mengetahui acara lain selain acara baseball yang memang setiap akhir pekan dilaksanakan di sana."Besok yang bertanding adalah group banteng dengan group singa. Apakah Anda ingin membeli tiket?" tanya petugas tanpa mencurigai apa pun.Wajah dan reaksinya datar, bahkan dia malas untuk melihat ke arah orang yang menanyakan tiket."Baik, terima kasih, aku sudah punya tiket masuk," sahut Melinda lalu bergerak keluar meninggalkan gedung.Malam harinya, wanita itu tidak bisa tidur. Sama sekali tidak bisa memberi istirahat kepada matanya yang sudah lelah.Sesekali dia mematut dirinya di depan cermin dengan memegang gaun yang indah.Keesokan harinya, Melinda terbangun dengan mata yang terasa berat di bawah kelopaknya. Goresan-goresan hitam di sekitar matanya menandakan betapa dalamnya tidur yang dia alami."Mama?" Silvia masuk ke kama
Bel pintu berbunyi, membuyarkan lamunannya yang dalam. Melinda menghela napas dalam-dalam, merenggangkan otot-ototnya yang tegang, lalu beranjak menuju pintu dengan langkah gontai. Dia menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka pintu."Siapa ya yang datang sekarang?" gumamnya pelan.Dengan ragu, ia membuka pintu dan dihadapkan pada seorang pria pengantar paket yang tersenyum ramah di depannya. Paket besar berwarna cokelat muda tergeletak di depan kakinya."Maaf mengganggu, Ma'am. Ini paket untuk Anda," kata pria itu sambil menyodorkan sebuah formulir pengiriman.Melinda mengangguk, mengambil formulir tersebut, dan menandatangani dengan cepat. Pikirannya masih melayang-layang antara rasa penasaran dan kekhawatiran.Pria pengantar itu kemudian menyerahkan paket tersebut kepadanya dengan senyuman hangat sebelum bergegas pergi. Melinda menutup pintu dan kembali ke dalam rumah dengan paket besar yang terasa begitu misterius di tangannya.Dengan hati-hati, ia memb
"Maaf, Nyonya Melinda. Kami hendak memberitahukan bahwa bahan material bangunan yang dipesan atas nama Melinda i-care sudah jatuh tempo. Sejumlah satu Milyar!"Hatinya berdegup kencang. Bagaimana mungkin dia berutang sebanyak itu atas sebuah proyek bangunan?"S-saya tidak pernah memesan apa pun," sahut Melinda dengan suara terputus-putus.Melinda berusaha memeriksa ingatannya, mencari-cari jejak apa pun yang bisa menjelaskan situasi ini, tetapi tidak ada yang muncul. Rasanya seperti terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar."Maaf, saya tidak yakin tentang hutang ini," ucap Melinda dengan suara gemetar, mencoba menutupi kepanikannya."Seseorang bernama Tuan Adam yang mengurus semuanya," sahut penagih hutang dengan nada tajam. "Dan dia menyatakan bahwa Anda bertanggung jawab atas pembayarannya. Bukankah semua material itu dikirim kepada Melinda i-care?"Melinda menelan salivanya yang terasa pahit, merasa seakan-akan dunianya runtuh sek