Seusai mengatakan hal tersebut, Adelia segera berlalu dari hadapan mereka. Di luar dugaannya, Afgan menarik tangannya. "Mau ke mana?" tatapan tajam dilayangkan Afgan. "Mengambil barangku dan memindahkannya ke front office. Bukankah selama seminggu ini pekerjaanku adalah berpindah-pindah terus sampai hati kalian puas?" Adelia berkata-kata lalu menepis tangan Afgan. Dengan langkah gusar dan beban hati yang berat, Adelia melangkah pergi sambil menahan air mata yang sudah menumpuk di kedua pelupuk matanya. Samar-samar Adelia mendengar suara manja dari Melinda, "Afgan, anakmu sudah lapar, kita makan apa yang enak hari ini?" *** Hari demi hari berlalu, Adelia terus bekerja sebagai front office di hotel. Meskipun dia berusaha menahan emosinya di tempat kerja, kepedihan dalam hatinya semakin dalam. Setiap kali dia melihat cincin berkilau di jari Melinda, hatinya terasa seperti diremas oleh kehilangan yang terus membesar. Melinda selalu dengan sengaja membuat mereka berpapasan. Sementara
Adelia tidak menjawab dan tetap menangis sesunggukkan di atas pangkuan Edward yang memeluknya dengan erat. Edward mencium rambut Adelia dari belakang dan tidak berniat melepas wanita yang dicintainya itu. Dirinya sendiri juga sangat bingung dalam menghadapi pernikahan yang akan berlangsung tidak lama lagi. Sebuah pernikahan yang tidak dia inginkan atas jodoh yang dipilih oleh Ibundanya. Hati Edward sedang berperang melawan cinta yang tidak dapat dia berikan secara total kepada wanita yang sedang dipeluknya itu. Demikian juga dengan Adelia. Meskipun Adelia merasa sulit untuk menerima cinta Edward, keberadaan pria itu memberikan harapan kecil di tengah-tengah kegelapan yang melanda. Dia tahu bahwa proses penyembuhan membutuhkan waktu, dan Edward bersedia bersamanya melalui setiap langkahnya. Namun, semua tidak segampang yang ada dalam pikirannya. Waktu terus berjalan, setiap harinya Adelia bekerja seperti biasa dan Edward tetap berada di sisi Adelia, setia mendukungnya melalui setiap
"Mom, aku akan membatalkan pernikahan," ucap Edward pada panggilan jarak jauh yang tersambung dengan Maya Ofel, sang ibunda yang sedang berada di Dubai. "Kamu gila? Karena siapa kamu berkata seperti itu?" Maya merasa kesal dengan perkataan putranya. "Aku tidak mau dijodohkan seperti itu, Mom. Kita tidak akan berbahagia," ucap Edward berusaha membela dirinya. "Jadi apakah menginginkan istri miliik Al-Futtaim adalah sesuatu yang benar menurutmu? Akankah bahagia bila mengambil hak milik orang lain? Edward! Apa yang ada di dalam pikiranmu?" Maya Ofel mengomel panjang lebar sampai akhirnya menarik napas panjang lalu melanjutkan omelannya. "Jangan sampai Dad bertindak! Kamu dan istri milik keluarga Futtaim itu akan kacau!" ancam Maya tanpa berbasa-basi lagi. "Tidak, Mom, justru putra kesayangamu ini menghubungimu karena ingin agar Mom membantu. Kepada siapa lagi anakmu bisa mengadu?" "Come on, Mom ... " "Kamu mau Mom membantumu?" Maya mendeliknya kedua matanya lalu menjawab, "Kamu si
Afgan mulai sadar bahwa dia mencintai Adelia, daripada menunggu gadis dalam foto yang bahkan tidak dapat dia temukan. "Kamu tahu? Kamu benar. Berikan satu sloki lagi, lalu saya akan segera pulang untuk mendapatkan istriku!" Bartender mengangguk lalu tertawa kecil, "Ternyata dia istrimu, mengapa kamu meributkan foto masa lalu yang buram." Bartender itu berkata-kata sambil meracik minumannya lalu menyodorkannya kepada Afgan. "Foto itu butuh diperbaiki, sehingga bisa dilihat dengan jelas, bukankah ada tukang edit foto yang bisa menunjukkan foto yang bagus walau sudah lama?" Afgan kembali terkejut karena selama ini, dia tidak pernah memikirkan hal tersebut. "Baiklah, saya akan pergi ke tukang edit foto besok," jawabnya lalu meneguk habis sloki yang disodorkan. Di luar dugaan, bartender itu malah tertawa nyaring, "Aku bisa kok edit foto. Menjadi bartender hanya pekerjaan tambahan untuk biaya kuliah." Afgan ragu menyerahkan foto itu ke tangan bartender yang tidak dia kenal. Dia meman
Adelia melangkah masuk ke lobi hotel dengan mata yang masih setengah terpejam, mencoba mengatasi rasa kantuk dan kelelahan yang menyelimuti dirinya. Rupanya, hotel yang biasanya tenang ini sekarang dipenuhi dengan keramaian persiapan acara pertunangan. Para pekerja hotel berlalu-lalang dengan sibuk, mengatur dekorasi, menyusun meja, dan memastikan segala sesuatu berjalan dengan lancar. Mona, rekan kerja Adelia yang mengambil shift mala semalam, sedang sibuk dengan pekerjaannya di meja resepsionis, menoleh ketika Adelia mendekatinya. "Mon, hotel ini benar-benar ramai hari ini, ya? Ada apa ini?" tanya Adelia dengan suara rendah sambil meletakkan tas ranselnya di meja. Mona melirik Adelia dengan wajah tidak senang tanpa tersenyum lalu menjawab. "Ada acara pertunangan keluarga Gonzales yang akan diadakan di sini. Mereka memesan beberapa kamar untuk tamu undangan." "Mengapa kamu lama sekali? Aku sudah kecapean dari tadi.Seharusnya ini pekerjaanmu!" Mona segera menyodorkan buku daftar t
Adelia duduk di depan meja resepsionisnya, sambil tertawa kecil, wanita itu menyimpan uang dua ribu itu dalam lacinya. Hanya dalam waktu singkat, tamu-tamu lain mulai berdatangan. Dia sama sekali tidak berkesempatan untuk memikirkan tentang Emily dan uang dua ribu yang diberikan itu. Setelah menyelesaikan proses check-in untuk tamu berikutnya, Adelia langsung beralih dengan sigap untuk membantu tamu-tamu lain yang tengah melakukan proses registrasi. Meskipun hatinya masih penuh dengan pertanyaan dan sedikit kecemburuan mengenai Edward dan Emily, Adelia tetap berusaha memberikan pelayanan yang ramah dan profesional kepada semua tamu. Beberapa tamu mengajukan pertanyaan tentang fasilitas hotel, sementara yang lain membutuhkan rekomendasi tempat makan di sekitar. Adelia dengan lincah menjawab setiap pertanyaan dengan senyuman, berusaha menyamarkan perasaannya yang bercampur antara rasa ingin tahu dan kecemburuan yang tadi muncul. Sementara dia sibuk dengan tugasnya, pikirannya sesekali
"Dia tunangan Edward dan Melinda sudah bertunangan dengan Afgan. Dua pasangan tajir itu akan menikah minggu depan, dan kita ... syukurlah aku memiliki kalian berdua untuk menemani hari tuaku nanti," ujar Adelia sambil mengelus perutnya. Usai berkata-kata sendiri, Adelia melangkah kecil menuju ke stand makanan untuk mengisi perutnya yang lapar. Adelia tidak menyadari bagaimana Afgan selalu memperhatikan semua gerakannya dalam diam. Melihat Adelia yang mengelus perutnya beberapa kali, Afgan sedikit curiga, tetapi pada saat Adelia melahap makanan dengan rakus, Afgan tertawa sendiri. "Dia ternyata lapar, dasar kampungan." Beberapa saat kemudian, acara dilanjutkan dengan makan malam mewah. Adelia segera mundur ke sudut ruangan dengan seporsi kue yang belum selesai dikunyahnya. Berusaha menenangkan diri, dia mencoba menikmati kue di mangkuk kertas yang dipegangnya sambil melihat tamu-tamu yang menikmati momen bersama. Tiba-tiba, ekor matanya melihat bayangan Afgan dan Melinda mendekat. A
Baru saja Adelia hendak berdiri dari kursi yang dia duduki, pandangannya tiba-tiba kabur, Adelia kembali terhuyung dan tubuhnya limbung terduduk kembali ke kursinya. "Adelia, kamu baik-baik saja?" Rekan kerja memegang Adelia yang sudah terlihat pucat. "Tidak apa-apa, aku hanya kelelahan dengan kondisi ha ... , uhm maksudku, harus berdiri terus." Adelia terkejut karena hampir membocorkan keadaannya. Edward ternyata juga diam-diam memperhatikan Adelia, pada saat Adelia limbung, dia sudah tidak bisa menahan perasaannya lagi. Dengan langkah kasar, dia meninggalkan Emily yang terpana, melihat Edward sudah mendekati Adelia lalu menggendongnya ala bridal style keluar dari ruangan pesta. "UHm" Emliy terbengong dengan keadaan. Dengan menahan rasa malu, wanita itu segera lari mengikuti mereka. Afgan juga menyaksikan keadaan itu dan hendak menyusul, tetapi Melinda buru-buru bersandiwara dengan memegang perutnya. "Aowh, Sayang. Anakmu mulai menendang, ini sakit sekali." Fokus Afgan terpaksa
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Afgan seraya mengecup mesra kening istrinya. Adelia terlihat cantik dalam gaun berwarna merah muda, memancarkan pesona yang memikat semua orang yang hadir. Senyumnya yang menawan membuat suasana semakin hangat dan penuh kebahagiaan.Taman yang indah menjadi latar belakang acara tersebut, dihiasi dengan dekorasi menarik yang dipenuhi balon berwarna-warni. Meja-meja penuh dengan hidangan lokal yang menggugah selera.Afgan sengaja mempersiapkan semua makanan khas lokal Indonesia supaya dapat mencerminkan kekayaan budaya dan rasa yang istimewa. Semua tamu yang diundang tampak menikmati setiap momen, tertawa dan berbincang dalam suasana yang meriah.Afgan sengaja memilih suasana taman ini untuk memberikan kesan alami dan romantis. Cahaya lampu hias yang tergantung di antara pepohonan menambah kehangatan malam itu, menciptakan suasana yang sempurna untuk merayakan ulang tahun Adelia."Tempat ini benar-benar indah, Afgan," kat
Nama itu terdengar seperti melodi yang manis di telinganya, dan wajahnya muncul di dalam bayangan gelap di hadapannya.Lima tahun yang lalu, mereka bertemu dalam sebuah acara pesta, di mana keponakannya, Edward, membawa Adelia sebagai pasangan dansa.Adam masih ingat betapa terpesonanya dia saat itu oleh kehadiran Adelia. Wajah dan penampilan wanita itu sangat mirip dengan mendiang istrinya, membuatnya tercengang dan tak bisa berkedip.Adelia, dengan senyum manisnya dan gerakannya yang anggun, menyihirnya dalam sekejap.Dalam kilatan lampu pesta, Adam melihat bayangan istrinya yang telah tiada, dan dia merasakan hatinya tergetar oleh gelombang nostalgia dan kesedihan yang mendalam.Ketika mereka memiliki kesempatan untuk berdansa sebagai pasangan, Adam merasa seperti dia berada di alam semesta yang sama sekali berbeda, di mana waktu berhenti berputar dan kehilangan tidak lagi terasa menyakitkan.Tetapi, seiring malam berakhir, kenyataan kemb
Adam membalas senyuman wanita itu dengan senyuman manis. "Maka aku akan menjadi milikmu."Sekali lagi mereka berciuman dengan penuh gairah. Sarah terhanyut dan merasa tidak berdaya, tetapi dalam ruang kecil hatinya yang tersisa, dia tahu dengan pasti bahwa Adam bukanlah tipe pria yang akan dengan mudah jatuh hati padanya.Dia menyadari bahwa perasaan Adam padanya hanyalah alat yang dimanfaatkannya untuk menyakiti Melinda lebih dalam lagi. Tetapi, meskipun dia sadar akan ini, dia terus menekan perasaannya sendiri, membiarkan dirinya larut dalam penipuan terhadap hatinya.Setiap hari, Sarah merasa semakin terjebak dalam permainan Adam. Dia memberi dirinya alasan bahwa ini adalah cara untuk menjaga Melinda tetap aman, meskipun di lubuk hatinya, dia tahu bahwa ini hanya sebuah pembenaran dari nafsu dan ketakutan akan kehilangan Adam.Saat malam tiba, Adam mengajaknya keluar untuk makan malam romantis, dan Sarah setuju tanpa ragu.Meskipun dia menyadari
Melinda menggelengkan kepala, matanya kosong memandang ke dalam ruangan. "Aku tidak tahu," ucapnya pelan. "Aku merasa seperti semua impianku hancur, seperti tidak ada lagi yang bisa kuinginkan."Sarah merangkulnya lebih erat. "Tetapi, Melinda, kamu masih punya banyak hal di depanmu. Kehidupanmu tidak berakhir di sini."Melinda menatap sahabatnya dengan pandangan yang penuh keraguan. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua ini? Bagaimana aku bisa mempercayai seseorang lagi setelah ini?""Bagaimana membuktikan kebenaran bahwa aku hanya difitnah oleh Adam? Semua ini adalah jebakannya."Sarah tersenyum lembut. "Kamu mempunyai hak untuk didampingi seorang pengacara hukum, aku akan mengurusnya dan percayalah, tidak semua pria seperti Adam. Semua ini mungkin hanya salah paham."Melinda mengernyitkan alisnya perlahan, mencoba menyerap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. Namun, perjalanan untuk pulih dari luka ini masih terasa sangat jauh baginya dan kebe
Adam tersenyum dengan licik lalu melanjutkan kalimatnya di depan microphone yang sedang dipegang."Yayasan Melinda i-care sudah menipu publik dengan penjualan tiket konser di acara pertandingan baseball ini. Seharusnya saya mendapatkan applause untuk keberhasilan menjebak pelaku yang sudah menipu tiket kalian, bukan?"Perkataan Adam mendapat seru riuh dari para penonton. Mereka merasa keadilan sudah ditegakkan untuk mereka.Dua orang polisi wanita segera menarik dan memasangkan borgol ke tangan Melinda yang disatukan di belakang punggungnya."I-ini tidak benar! Kamu jahat sekali!" seru Melinda sambil berusaha meronta, tetapi dua orang yang memegangnya sangat kuat."Kamu juga melakukan hal yang sama terhadap keluarga Al-Futtaim, Sayang. Adelia adalah seorang wanita yang baik. Bila saya arus memilih, maka saya akan memilih Adelia menjadi istri yang layak menggantikan mendiang istriku karena wanita itu memiliki semua yang tidak kamu miliki."Me
Melinda merenggangkan lehernya, mencoba untuk melihat lebih jelas ke arah panggung yang sedang disiapkan di tengah lapangan.Ia merasa detak jantungnya semakin kencang seiring dengan lama menunggu. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu dengan penuh harap.Adam Offel, telah memberinya petunjuk bahwa hari ini akan menjadi salah satu yang tak terlupakan. Dia ingin memberikan kesempatan kedua kepada pria itu.Dengan gaun pengantin yang indah melilit tubuhnya, Melinda merasa seperti sang ratu yang siap menerima mahkota kebahagiaan. Tetapi, di tengah kerumunan, ia tidak melihat bayangan Adam yang diharapkannya. Ketidakpastian mulai merayap di dalam pikirannya.Melinda duduk di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya. Menyaksikan pertandingan dengan perasaan tidak menentu.Tiba-tiba, lampu-lampu sorot mulai menyala, dan kerumunan berbisik-bisik dengan kegembiraan yang menggelora. Melinda merasakan kegelisahan memenuhi dadanya ketika seseorang mel
Setelah sampai di sana, Melinda langsung berpura-pura bertanya, mencari informasi, namun tidak ada yang mengetahui acara lain selain acara baseball yang memang setiap akhir pekan dilaksanakan di sana."Besok yang bertanding adalah group banteng dengan group singa. Apakah Anda ingin membeli tiket?" tanya petugas tanpa mencurigai apa pun.Wajah dan reaksinya datar, bahkan dia malas untuk melihat ke arah orang yang menanyakan tiket."Baik, terima kasih, aku sudah punya tiket masuk," sahut Melinda lalu bergerak keluar meninggalkan gedung.Malam harinya, wanita itu tidak bisa tidur. Sama sekali tidak bisa memberi istirahat kepada matanya yang sudah lelah.Sesekali dia mematut dirinya di depan cermin dengan memegang gaun yang indah.Keesokan harinya, Melinda terbangun dengan mata yang terasa berat di bawah kelopaknya. Goresan-goresan hitam di sekitar matanya menandakan betapa dalamnya tidur yang dia alami."Mama?" Silvia masuk ke kama
Bel pintu berbunyi, membuyarkan lamunannya yang dalam. Melinda menghela napas dalam-dalam, merenggangkan otot-ototnya yang tegang, lalu beranjak menuju pintu dengan langkah gontai. Dia menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka pintu."Siapa ya yang datang sekarang?" gumamnya pelan.Dengan ragu, ia membuka pintu dan dihadapkan pada seorang pria pengantar paket yang tersenyum ramah di depannya. Paket besar berwarna cokelat muda tergeletak di depan kakinya."Maaf mengganggu, Ma'am. Ini paket untuk Anda," kata pria itu sambil menyodorkan sebuah formulir pengiriman.Melinda mengangguk, mengambil formulir tersebut, dan menandatangani dengan cepat. Pikirannya masih melayang-layang antara rasa penasaran dan kekhawatiran.Pria pengantar itu kemudian menyerahkan paket tersebut kepadanya dengan senyuman hangat sebelum bergegas pergi. Melinda menutup pintu dan kembali ke dalam rumah dengan paket besar yang terasa begitu misterius di tangannya.Dengan hati-hati, ia memb
"Maaf, Nyonya Melinda. Kami hendak memberitahukan bahwa bahan material bangunan yang dipesan atas nama Melinda i-care sudah jatuh tempo. Sejumlah satu Milyar!"Hatinya berdegup kencang. Bagaimana mungkin dia berutang sebanyak itu atas sebuah proyek bangunan?"S-saya tidak pernah memesan apa pun," sahut Melinda dengan suara terputus-putus.Melinda berusaha memeriksa ingatannya, mencari-cari jejak apa pun yang bisa menjelaskan situasi ini, tetapi tidak ada yang muncul. Rasanya seperti terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar."Maaf, saya tidak yakin tentang hutang ini," ucap Melinda dengan suara gemetar, mencoba menutupi kepanikannya."Seseorang bernama Tuan Adam yang mengurus semuanya," sahut penagih hutang dengan nada tajam. "Dan dia menyatakan bahwa Anda bertanggung jawab atas pembayarannya. Bukankah semua material itu dikirim kepada Melinda i-care?"Melinda menelan salivanya yang terasa pahit, merasa seakan-akan dunianya runtuh sek