Ayrin menatap Reygan dengan kebingungan yang mendalam. Ada sesuatu yang aneh dalam sikap pria itu. Bibirnya tertutup erat, namun ekspresi wajahnya merekah dalam kesakitan yang tersamar. Raut wajahnya mengernyit, seolah-olah dia sedang berjuang menahan sesuatu yang tak terucap.
“Ada apa, Mas? Kaki kamu sakit?” tanya Ayrin, suaranya penuh dengan kekhawatiran yang tak tersembunyi. Matanya memperhatikan setiap gerakan Reygan dengan cermat, mencari tanda-tanda kesakitan yang lebih dalam.
Reygan menatap Ayrin dengan tajam, seolah-olah mencoba menembus kedalaman hatinya. “Tinggalkan saya sendiri!” bentaknya dengan keras, suaranya memecah keheningan yang menyelimuti ruangan. Tangannya menghempaskan tangan wanita itu yang bersentuhan dengan bahunya.
“Kamu kenapa?” desak Ayrin, keberanianny
“Raymond….!” desah Ayrin dengan penuh kenikmatan.Di dalam kabin yang kecil namun hangat itu, atmosfir keintiman masih terasa menyala. Sementara kabut malam yang menyelimuti kapal perlahan-lahan mulai surut, Ayrin dan Raymond masih terjaga dalam aliran cinta yang membara.Tubuh-tubuh mereka masih terpaut erat satu sama lain, memancarkan getaran yang mengisi ruangan. Di sudut, Ayra tertidur dengan tenang, tidak terganggu sedikit pun oleh pergulatan nafsu yang memenuhi ruang sempit itu.Dengan napas terengah-engah, Ayrin meraih nafasnya yang hilang. Bibirnya yang kini memerah karena dicium habis-habisan oleh Raymond masih terasa hangat. Dia mendekatkan wajahnya ke arah suaminya, menatap mata lelaki itu dengan penuh rasa syukur dan cinta yang tak terhingga.
“Ayra?” seru Ayrin, pandangan cemas mencari putrinya di sekitar kapal yang relatif sepi. Mereka berdua mulai menyusuri koridor kapal dengan langkah yang semakin cepat, mengetuk pintu-pintu kabin dengan penuh kekhawatiran.Tak ada jawaban. Suasana kapal yang sebelumnya penuh kebahagiaan dan ketenangan, kini berubah menjadi ketegangan dan kegelisahan. Ayrin merasa detak jantungnya semakin cepat, khawatir Ayra terjatuh atau terperangkap di suatu tempat.“Ayra, di mana kamu?” panggil Raymond dengan suara yang bergetar, berharap agar sang anak bisa menjawab panggilan mereka.Mereka berdua menuju ke dek, hati-hati memeriksa setiap sudut kapal. Pemandangan Bahama yang sebelumnya indah dan damai, kini menjadi latar belakang yang menciptakan kecemasan yang tak terungkap.
"Jangan terlalu memaksakan diri seperti kemarin, Mas," ujarnya lembut, suaranya penuh perhatian ketika menemui Reygan yang masih berada di tempat tidur.Reygan menggerutu pelan, raut wajahnya menunjukkan ketidakpuasan. “Padahal saya sudah menyuruhnya diam,” gumamnya, sedikit jengkel. Reygan berusaha menutupi keadaannya yang sebenarnya, tidak ingin membuat Ayrin semakin khawatir.Ketika semalam kakinya kembali kram sampai Beni harus membawanya ke kolam untuk berendam, dia tidak ingin wanita itu terus khawatir tentang kondisinya.“Jangan salahkan Beni, dia nggak kasih tahu aku apa-apa. Aku tahu sendiri waktu aku mau memeriksa kamu di kamar semalam.”Reygan menghela napas panjang, mencoba menahan emosinya yang bergolak. Dia menatap
Ayrin merasa hatinya berdebar kencang ketika Reygan memintanya untuk memijat tubuhnya. Kecurigaannya begitu besar, tetapi tidak ada yang bisa dia lakukan untuk menolak. “Kenapa? Apa kamu takut menyentuh tubuh saya?” tanya Reygan dengan nada tajam yang tak enak didengar. Seolah pria itu paling tahu cara membuat Ayrin merasa tak nyaman. Dia berbalik dan sekarang posisinya tubuhnya menjadi terlentang dan tatapannya terus menatap ke arah wanita itu. “Diamlah, dan jangan banyak bergerak!” jawab Ayrin dengan nada yang sama tajamnya. Dia mulai memijat tubuh Reygan dengan gerakan yang tegas, mencoba mengabaikan tatapan tajam yang terus mengawasinya. “Ada apa?”Reygan tertawa, tapi senyumnya tidak menyenangkan. “Apa sekarang kamu sudah terangsang melihat tubuh saya?” ejeknya dengan nada merendahkan.
“Apa yang harus aku buktikan?”Reygan melirik Ayrin dengan mata tajam, menggertakkan gigi ketika menyadari getar suara yang menghiasi keteguhan wajah wanita itu. Tidak ada yang dapat menyembunyikan keraguan dan kegoyahan dalam diri Ayrin, dan Reygan berencana untuk memanfaatkannya.Reygan menatapnya dengan senyum kecil di bibirnya. “Cium saya, Rin. Biarkan saya merasakan sendiri kalau memang cintamu untuk saya sudah nggak tersisa,” godanya, seraya menggerakkan satu tangannya yang bebas untuk meraih wajah Ayrin.Reygan merasakan guncangan di tangan Ayrin yang kini gemetar di atas tangannya. "Bagaimana?" godanya memecah keheningan yang terasa semakin intens.Ayrin merasa hatinya berdegup kencang. Tangannya yang gemetar menyentuh bibir Reygan dengan
Ayrin mengikuti Reygan ke kamarnya dengan kesal. Tatapannya begitu tajam ketika pandangannya bertemu dengan mata pria itu."Apa-apaan sikapmu tadi, Mas?" desaknya dengan nada yang penuh kekesalan.Reygan menatapnya dengan dingin. Api amarah semakin berkobar dalam diri Reygan. Melihat mantan istrinya yang masih dicintainya tengah berpelukan dengan terapisnya sendiri, membuatnya hampir kehilangan kendali. "Seharusnya kamu tanyakan pertanyaan itu pada dirimu sendiri. Pantaskah sikapmu yang begitu mesra dengan orang yang kamu pekerjakan?"“Apanya yang mesra? Beni cuma membantuku. Jangan berlebihan!” bentak Ayrin, raut wajahnya mencerminkan kemarahan yang membara.Reygan membalas dengan geraman. "Bantuan apa, huh? Bantuan untuk memuaskanmu?" desaknya,
Dalam keheningan pesawat yang membawanya ke London, Ayrin terduduk di kursi dengan pandangan kosong. Air mata mengalir deras tanpa henti, mewarnai pipinya yang pucat.Kenangan pahit tentang orang-orang yang dicintainya memenuhi pikirannya, merobek hatinya seperti belati tajam. Sekarang, semua telah hilang, dan dia merasa sepi, tersudut, dan hancur karena kesalahannya.Ketika ingatan itu kembali menyeruak dalam ingatannya, tangisnya semakin tak terbendung. Bayangan bagaimana dia kehilangan Raymond untuk selamanya sangatlah menyiksanya.Terbayang begitu jelas bagaimana suara polisi yang mengetuk pintu apartemennya membawa berita tragis itu masih menghantui pikirannya seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir.“Anda harus ikut kami ke rumah sakit. Mr. Williams men
Ayrin menatap wajah suaminya dengan penuh cinta dan kelembutan. Dia mencoba meyakinkan Raymond jika ini bukanlah akhir segalanya. Namun, saat menyadari pria itu mulai mengucapkan pesan-pesannya.“ Hatinya terasa begitu sakit, seakan ada belati yang menghujam dadanya. "Apa pun yang terjadi aku tidak mau kau terus menyalahkan dirimu sendiri, Lily. Berjanjilah padaku, apa pun yang terjadi nantinya… kau… kau harus hidup bahagia,” ujar Raymond dengan terputus-putus.Ayrin menggeleng. Dia berbisik lirih. “Kalau begitu tetaplah bersamaku, Ray.”“Jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri atas apa yang terjadi, Lily. Denganku atau tanpa kehadiranku kau harus bahagia. Berjanjilah, Sayang.”“Aku… aku… bagaimana… aku bisa hidup bahagia tanpa
Ayrin duduk dengan gelisah di sebuah bangku kayu yang menghadap kolam. Hatinya dipenuhi dengan berbagai perasaan, harapan, dan kecemasan. Dia terus memandangi jalan setapak yang mengarah ke taman, menunggu kehadiran Lily. Frans telah berjanji untuk membawa gadis itu ke sana, dan saat itu akhirnya tiba.Ketika Lily muncul di kejauhan, melangkah mendekatinya dengan perlahan, Ayrin merasa ada kehangatan yang tak bisa dijelaskan dalam hatinya. Gadis itu tumbuh menjadi remaja cantik, penuh pesona, namun di mata Ayrin, Lily masih seperti anak kecil yang dulu pernah hilang dari pelukannya.Mereka saling pandang untuk beberapa saat, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keheningan itu begitu penuh makna, seolah semua yang ingin mereka katakan sudah tercurah dalam tatapan mereka."Lily..." suara Ayrin bergetar saat dia akhirny
Frans tampak gelisah ketika dia menemui Ayrin di tempat prakteknya. Sejenak mereka hanya saling bertatapan, seolah kata-kata yang ingin diucapkan Frans begitu berat untuk disampaikan."Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, Rin," kata Frans akhirnya, suaranya terdengar gemetar.Ayrin menatapnya dengan cemas. "Ada apa sih, Frans? Kenapa akhir-akhir ini kamu aneh sekali?" desaknya, penasaran dan khawatir karena tidak biasanya Frans datang ke tempat prakteknya dengan ekspresi seperti ini."Kamu tidak sakit, kan?" tuntutnya lagi dengan nada gemetar, takut kalau-kalau ada sesuatu yang buruk terjadi pada sahabatnya.Frans menggelengkan kepalanya perlahan, tatapannya penuh kebimbangan. Dia menatap Ayrin dengan lekat, seakan mencari keberanian dalam pandangannya sebelum akhirnya
"Selamat datang, silakan duduk," sambut Ayrin dengan senyum tulus, matanya berbinar-binar bahagia.Lily dan Frans duduk di tempat yang telah disiapkan, dan tanpa menunggu lama, mereka mulai menyantap hidangan yang telah tersedia. Suasana terasa nyaman dan akrab, seolah mereka sudah menjadi satu keluarga besar."Wah, masakan Tante memang oke juga," puji Lily dengan jujur setelah mencicipi satu suapan. "Semuanya enak, Tan."Ayrin baru akan menjawab, tetapi Rania dengan cepat menyela. "Iya, dong. Masakan Mama emang yang paling enak," ujarnya penuh kebanggaan. Pujian itu membuat semua orang di meja makan tersenyum."Kalau begitu, aku main ke sini setiap hari deh, biar bisa makan enak terus," goda Lily sambil melirik ke arah Rania.
Setelah semua ketegangan ini mereda, Ayrin dan Reygan kembali ke rumah mereka sambil saling bergandengan tangan, perasaan lega dan bahagia terpancar dari wajah mereka."Hai, Sayang," sapa mereka pada anak-anaknya yang tengah duduk bersama di ruang keluarga. Rian dan Rania, yang sedang asyik dengan aktivitas mereka, segera menoleh bersamaan. Melihat kedua orang tuanya datang bersama dengan senyum bahagia membuat hati mereka meledak oleh kebahagiaan."Mama dan Papa nggak akan berpisah, kan?" tanya Rian dengan hati-hati setelah beberapa saat lamanya mereka duduk bersama. Ada kekhawatiran di balik tatapan matanya yang polos, kekhawatiran akan perpisahan yang mungkin terjadi lagi.Reygan tersenyum sambil menoleh ke arah Ayrin, tatapannya penuh kasih. "Bodoh kalau Papa melepaskan wanita sebaik Mama, Rian," katanya dengan
Setelah akhirnya pulih, Ayrin memutuskan untuk menemui Lily bersama Reygan.Saat mereka masuk, mata Lily menatap mereka dengan perasaan campur aduk. Tidak ada lagi sorot tajam dan kebencian seperti dulu. Yang terlihat di sana hanyalah penyesalan yang mendalam. Gadis itu menundukkan kepalanya, suaranya gemetar saat berkata, "Maafkan Lily, Tante. Maafkan sikap Lily selama ini."Ayrin merasakan gelombang kesedihan mengalir di hatinya. Dia mendekati Lily dengan langkah pelan dan mendekap tubuh gadis itu dengan lembut. "Maafkan Tante juga, Lily. Maaf karena sikap Tante membuatmu salah paham. Maaf karena membuatmu tidak nyaman selama ini," balasnya dengan suara bergetar.Lily pun menangis, menumpahkan segala penyesalan dan kesedihannya di dada Ayrin. Dalam dekapan hangat itu, semua ketegangan yang selama ini a
Ayrin menatap wajah Lily yang pucat di ranjang rumah sakit sebelum operasi transplantasi ginjal yang sebentar lagi akan dilakukan. Hatinya serasa diremas melihat betapa rapuhnya gadis itu. Di dalam hatinya, ada perasaan yang tak terlukiskan. Entah dari mana datangnya perasaan ini, setiap kali berada di samping gadis ini, dia merasakan ada tali tak kasat mata yang mengikat mereka, seolah-olah Lily adalah bagian dari dirinya sendiri.Dengan lembut, Ayrin membelai kepala Lily, sentuhan yang penuh kasih dan kelembutan, seakan gadis itu adalah anaknya sendiri. "Cepatlah sembuh, Lily. Cepatlah kembali pulih. Izinkan Tante meminta maaf padamu. Izinkan Tante menjelaskan semuanya," bisik Ayrin dengan suara yang hangat namun penuh harap. Matanya berkaca-kaca, berharap agar gadis itu segera membuka mata indahnya lagi.Jika dulu Ayrin sangat tidak menyukai tatapan Lily yan
Reygan duduk di sudut ruang tunggu rumah sakit, dengan tatapan kosong yang menatap ke langit-langit putih yang terang. Setiap hari, ia merasa tersiksa oleh pertanyaan tak terjawab dan rasa bersalah yang membelit hatinya. Air mata sering kali tak bisa ia tahan lagi, mengalir deras ketika melihat Rania yang terbaring tak sadarkan diri di ranjang perawatan, dan Lily yang masih berjuang untuk hidupnya."Kalau memang dosa-dosaku lah yang menyebabkan semua ini. Tolong limpahkan semuanya padaku, Tuhan. Jangan pada anak istriku. Mereka tidak bersalah. Akulah yang penuh dosa," gumam Reygan dengan suara gemetar, bibirnya bergetar dalam keputusasaan yang mendalam.Tidak hanya Reygan yang dihantui rasa bersalah yang mendalam, tetapi juga Frans. Setiap hari, pria itu duduk di sisi ranjang Lily, memegang tangannya yang lemah, membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang. Kat
Reygan melangkah masuk ke dalam klub malam yang gemerlap, tempat di mana dia pertama kali bertemu dengan Lily. Lampu berwarna-warni yang berkedip-kedip dan musik yang menghentak keras tidak mampu mengalihkan perhatiannya dari kekhawatiran yang menghimpit hatinya. Dia menelusuri setiap sudut klub, berharap menemukan gadis itu di antara kerumunan orang. Namun, sia-sia. Lily tidak terlihat di mana pun."Di mana kamu, Lily?" bisiknya putus asa pada diri sendiri, suaranya tenggelam di tengah bisingnya musik. Rasa bersalah semakin mencengkeram hatinya dengan setiap detik yang berlalu tanpa menemukan gadis itu.Dia hampir tergoda untuk mengalihkan perasaannya dengan segelas minuman. Namun, saat tangan terulur menuju bar, ponselnya bergetar. Panggilan dari Ayrin menyentak kesadarannya."Lily, Mas. Kami sudah bertemu d
Ayrin dan Reygan kembali bersama ke rumah sakit. Langkah mereka terayun mantap, seakan sudah menemukan keputusan besar yang akan mengubah segalanya. Ketika Frans melihat mereka, matanya langsung menangkap sinyal yang jelas—Ayrin telah membuat keputusan untuk memaafkan suaminya."Jadi, inikah kejutannya?" kata Frans dengan tenang, matanya yang penuh pengertian menatap dalam ke mata Ayrin. Setelah Reygan pergi ke sudut lain ruangan untuk memberi keduanya privasi, mereka akhirnya mendapatkan kesempatan untuk berbicara."Maafkan aku, Frans," gumam Ayrin sambil menundukkan kepalanya, jemarinya saling meremas dengan gelisah. Dia merasa berat untuk mengucapkan kata-kata itu, tetapi tahu bahwa dia harus melakukannya.Frans mendekat dan memegang kedua pundak Ayrin dengan lembut namun tegas, memaksa wanita itu men