"Saya minta maaf, Ayrin," ucap Reygan dengan suara rendah, matanya memandang lurus ke arah wanita yang duduk di hadapannya. "Saya tidak bermaksud melakukannya."Tidak ada jawaban. Reygan masih terus berusaha berbicara dengan Ayrin sejak malam itu. Namun, wajah Ayrin terlihat begitu dingin dan jauh, membuatnya merasa semakin hancur karena telah menyakiti wanita itu."Ayrin, saya benar-benar menyesal," ucap Reygan dengan suara rendah, matanya terus memandang ke arah wanita di hadapannya. "Saya tahu aku sudah membuatmu menderita, tapi saya berjanji saya akan melakukan segalanya untuk memperbaikinya."Ayrin hanya menggelengkan kepalanya dengan getir. Wajahnya terlihat tegang dan penuh dengan kesedihan yang mendalam. "Kamu tetap nggak bisa mengerti sama sekali," ucapnya dengan suara yang penuh dengan kepahitan. "Apa yang kamu lakukan telah menyakiti aku lebih dari yang bisa kamu bayangkan. Aku nggak bisa memaafkanmu.""Saya benar-benar menyesal, Ayrin," ucap Reygan dengan suara yang penuh
“Maafkan Mama, Ayra. Karena tidak bisa menjalankan tugas Mama sebagai ibu untukmu." "Maafkan aku juga, Ray. Maaf karena aku tidak bisa memenuhi permintaanmu dengan hidup bahagia.” Kata-kata itu sering Ayrin ucapkan hampir setiap malam sebelum tidur. Dia merasa dunianya hancur setelahReygan merampas kehormatannya malam itu. Rasanya seperti dia terseret ke dalam pusaran gelap yang tak berujung. Penderitaannya tidak hanya mengakibatkan rasa sakit fisik, tetapi juga mempengaruhi kestabilan emosionalnya. Dua kali dia hampir menyerah pada keputusasaan yang membelenggunya. Pertama, dengan menelan pil obat tidur dalam dosis berlebihan, dan yang kedua, dengan menusuk pergelangan tangannya sendiri di kamarnya yang sunyi.
Dengan gemetar, Ayrin memejamkan matanya ketika pintu ruangan perawatannya terbuka. Suara lembut yang dikenalnya segera menembus ruangan, dan dia membuka matanya dengan cepat. Di samping ranjangnya, berdiri sosok yang paling dia cintai saat ini."Hai, Sayang," sapa Haris perlahan, senyum hangat menghiasi wajahnya saat dia mendekat ke arah ranjang Ayrin.Ayrin langsung menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca, tatapan penuh kerinduan dan kesedihan. Seolah semua perasaannya tumpah ruah dalam satu tatapan."Papa di sini, Sayang," ujar Haris sambil membelai lembut kepala Ayrin. Setiap sentuhan lembut dari ayahnya seolah menghapuskan kesedihannya, namun juga memperkuat air matanya yang mengalir tanpa henti.“Jangan menangis, Sayang. Papa sudah ada di sini,” bisik
Dinginnya ruangan rumah sakit menyelimuti Ayrin saat dia memasuki kamar di mana Reygan terbaring lemah. Luka dan memar di wajah dan tubuhnya menimbulkan rasa ngeri di dalam diri Ayrin. “Mas,” panggilnya dengan berat hati, tetapi tidak ada jawaban. Pria itu terbaring tak berdaya, tanpa tanda-tanda kesadaran. Ayrin merasa sesak, perasaannya bercampur aduk di dalam kebisingan pikirannya. Dia menelan ludahnya, merasakan getaran di dalam dada. Rasa sakitnya muncul kembali, tidak hanya fisik, tetapi juga emosional. Meskipun dia membenci Reygan, dia tidak pernah menginginkan pria itu terluka sedemikian rupa. Berulang kali, dia berdoa agar Reygan hilang dari hidupnya. Tetapi di saat seperti ini, dia menyadari bahwa bahkan kebencian yang teramat dalam pun tidak mampu menghapuskan rasa kasih yang tersimpan di lubuk hatinya
Ayrin begitu terguncang ketika mendengar jika Reygan akan akan menuntut Haris dan akan mengadukan peristiwa penganiayaannya kepada pihak yang berwajib.Aura tegang dan tak terucapkan mengisi ruangan saat Ayrin menatap pria itu, yang terbaring lemah di ranjang. Wajahnya penuh dengan luka dan memar, tetapi matanya tetap bersinar dengan keputusasaan.“Tuntutlah aku kalau kamu mau. Tapi jangan berani-beraninya kamu menyentuh Papa,” bentak Ayrin dengan suara yang bergetar, dipenuhi dengan api kemarahan yang menyala-nyala di dalam dirinya.Reygan menatapnya dengan tatapan lemah namun penuh dengan perasaan. "Bukan itu yang sebenarnya saya inginkan, Rin," jawabnya dengan lirih. Matanya mencari ke dalam mata Ayrin, mencari penyesalan atau mungkin kelembutan, tetapi yang dia temukan hanyalah kebencian yang d
Ayrin dan Reygan saling berhadapan, mata mereka memancarkan beragam emosi yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. “Bagaimana bisa kamu berbicara seperti itu, Rin? Anak itu darah dagingmu sendiri. Anak kita,” pekik Reygan, suaranya gemetar oleh emosi yang meluap dari dalam hatinya. Dia tidak pernah membayangkan akan terpisah dari anaknya, terutama saat dirinya sendiri masih hidup. Ayrin menatap suaminya dengan tatapan tajam, tidak terpengaruh oleh kepedihan di wajah suaminya. “Dari awal aku hanya bilang akan mempertahankan dan melahirkan anak ini,” jeritnya dengan histeris, suaranya terdengar pecah oleh emosi yang meluap-luap. "Bukan untuk mengasuhnya dan menerimanya." "Kalau kamu tidak mau mengurusnya, saya yang akan mengasuhnya. Tapi saya tidak bisa membiarkan anak kita diberikan pada orang lain!" sergah
Adrian Shaka Adinata lahir pada masa kehamilan Ayrin yang baru menginjak delapan bulan. Dia muncul ke dunia ini dengan rapuhnya, membawa harapan dan ketakutan dalam setiap detak jantungnya.“Bertahanlah, Sayang. Papa dan Mama ada di sini,” gumam Reygan saat melihat bayinya untuk pertama kali.Reygan menatapnya dengan campuran perasaan haru dan sedih. Bayi itu begitu kecil dan lemah, namun dalam tatapannya dia melihat kehidupan yang berharga. Hatinya berdebar keras, berharap agar sang anak bisa bertahan.Di sisi lain, kesedihan Reygan semakin dalam ketika melihat bagaimana Ayrin masih belum bisa menerima kehadiran putra mereka. Walaupun mereka telah berjuang melalui proses operasi caesar yang sulit, istrinya itu tampak seperti menutup diri dari kenyataan. Reygan mencoba mendekati Ayrin dengan bisikan lembut. “Rin, anak kita telah lahir...”Namun, Ayrin tetap tak tergugah. Dia memalingkan wajahnya, air mata mengalir di pipinya yang pucat. Dia tahu kondisi anaknya, bisa mendengar tangis
Ayrin baru saja kembali dari tempat prakteknya, tubuhnya dipenuhi dengan kelelahan yang melanda setelah seharian beraktivitas. Saat memasuki ruang tengah, langkahnya terhenti mendadak oleh suara tangisan Adrian yang memenuhi udara. Dia mengerutkan kening, mencoba untuk mengabaikan suara tersebut, tetapi semakin lama, tangisan itu semakin menusuk telinganya. “Aduh! Kenapa berisik sekali, sih?” keluh Ayrin ketika melangkah mendekati Ratna, pengasuh bayinya, yang tampak cemas menimang Adrian. Ratna menoleh dengan wajah penuh kekhawatiran. “Maaf, Bu. Rian terus menangis. Sepertinya dia sakit, Bu,” ujarnya dengan gemetar. “Nah, berilah dia obat. Tunggu apa lagi?!” sahut Ayrin dengan datar. Dia terus memandang ke arah lain karena tidak mau menatap wajah bayinya. “Sudah, Bu. Tapi demamnya belum turun juga. Dia tidak nafsu makan dan terus menangis.” Ratna melaporkan dengan nada yang bergetar. “Bawalah ke dokter kalau begitu!” seru Ayrin dengan kesal. Sudah tahu anak itu sakit. Kenapa m
Ayrin duduk dengan gelisah di sebuah bangku kayu yang menghadap kolam. Hatinya dipenuhi dengan berbagai perasaan, harapan, dan kecemasan. Dia terus memandangi jalan setapak yang mengarah ke taman, menunggu kehadiran Lily. Frans telah berjanji untuk membawa gadis itu ke sana, dan saat itu akhirnya tiba.Ketika Lily muncul di kejauhan, melangkah mendekatinya dengan perlahan, Ayrin merasa ada kehangatan yang tak bisa dijelaskan dalam hatinya. Gadis itu tumbuh menjadi remaja cantik, penuh pesona, namun di mata Ayrin, Lily masih seperti anak kecil yang dulu pernah hilang dari pelukannya.Mereka saling pandang untuk beberapa saat, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keheningan itu begitu penuh makna, seolah semua yang ingin mereka katakan sudah tercurah dalam tatapan mereka."Lily..." suara Ayrin bergetar saat dia akhirny
Frans tampak gelisah ketika dia menemui Ayrin di tempat prakteknya. Sejenak mereka hanya saling bertatapan, seolah kata-kata yang ingin diucapkan Frans begitu berat untuk disampaikan."Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, Rin," kata Frans akhirnya, suaranya terdengar gemetar.Ayrin menatapnya dengan cemas. "Ada apa sih, Frans? Kenapa akhir-akhir ini kamu aneh sekali?" desaknya, penasaran dan khawatir karena tidak biasanya Frans datang ke tempat prakteknya dengan ekspresi seperti ini."Kamu tidak sakit, kan?" tuntutnya lagi dengan nada gemetar, takut kalau-kalau ada sesuatu yang buruk terjadi pada sahabatnya.Frans menggelengkan kepalanya perlahan, tatapannya penuh kebimbangan. Dia menatap Ayrin dengan lekat, seakan mencari keberanian dalam pandangannya sebelum akhirnya
"Selamat datang, silakan duduk," sambut Ayrin dengan senyum tulus, matanya berbinar-binar bahagia.Lily dan Frans duduk di tempat yang telah disiapkan, dan tanpa menunggu lama, mereka mulai menyantap hidangan yang telah tersedia. Suasana terasa nyaman dan akrab, seolah mereka sudah menjadi satu keluarga besar."Wah, masakan Tante memang oke juga," puji Lily dengan jujur setelah mencicipi satu suapan. "Semuanya enak, Tan."Ayrin baru akan menjawab, tetapi Rania dengan cepat menyela. "Iya, dong. Masakan Mama emang yang paling enak," ujarnya penuh kebanggaan. Pujian itu membuat semua orang di meja makan tersenyum."Kalau begitu, aku main ke sini setiap hari deh, biar bisa makan enak terus," goda Lily sambil melirik ke arah Rania.
Setelah semua ketegangan ini mereda, Ayrin dan Reygan kembali ke rumah mereka sambil saling bergandengan tangan, perasaan lega dan bahagia terpancar dari wajah mereka."Hai, Sayang," sapa mereka pada anak-anaknya yang tengah duduk bersama di ruang keluarga. Rian dan Rania, yang sedang asyik dengan aktivitas mereka, segera menoleh bersamaan. Melihat kedua orang tuanya datang bersama dengan senyum bahagia membuat hati mereka meledak oleh kebahagiaan."Mama dan Papa nggak akan berpisah, kan?" tanya Rian dengan hati-hati setelah beberapa saat lamanya mereka duduk bersama. Ada kekhawatiran di balik tatapan matanya yang polos, kekhawatiran akan perpisahan yang mungkin terjadi lagi.Reygan tersenyum sambil menoleh ke arah Ayrin, tatapannya penuh kasih. "Bodoh kalau Papa melepaskan wanita sebaik Mama, Rian," katanya dengan
Setelah akhirnya pulih, Ayrin memutuskan untuk menemui Lily bersama Reygan.Saat mereka masuk, mata Lily menatap mereka dengan perasaan campur aduk. Tidak ada lagi sorot tajam dan kebencian seperti dulu. Yang terlihat di sana hanyalah penyesalan yang mendalam. Gadis itu menundukkan kepalanya, suaranya gemetar saat berkata, "Maafkan Lily, Tante. Maafkan sikap Lily selama ini."Ayrin merasakan gelombang kesedihan mengalir di hatinya. Dia mendekati Lily dengan langkah pelan dan mendekap tubuh gadis itu dengan lembut. "Maafkan Tante juga, Lily. Maaf karena sikap Tante membuatmu salah paham. Maaf karena membuatmu tidak nyaman selama ini," balasnya dengan suara bergetar.Lily pun menangis, menumpahkan segala penyesalan dan kesedihannya di dada Ayrin. Dalam dekapan hangat itu, semua ketegangan yang selama ini a
Ayrin menatap wajah Lily yang pucat di ranjang rumah sakit sebelum operasi transplantasi ginjal yang sebentar lagi akan dilakukan. Hatinya serasa diremas melihat betapa rapuhnya gadis itu. Di dalam hatinya, ada perasaan yang tak terlukiskan. Entah dari mana datangnya perasaan ini, setiap kali berada di samping gadis ini, dia merasakan ada tali tak kasat mata yang mengikat mereka, seolah-olah Lily adalah bagian dari dirinya sendiri.Dengan lembut, Ayrin membelai kepala Lily, sentuhan yang penuh kasih dan kelembutan, seakan gadis itu adalah anaknya sendiri. "Cepatlah sembuh, Lily. Cepatlah kembali pulih. Izinkan Tante meminta maaf padamu. Izinkan Tante menjelaskan semuanya," bisik Ayrin dengan suara yang hangat namun penuh harap. Matanya berkaca-kaca, berharap agar gadis itu segera membuka mata indahnya lagi.Jika dulu Ayrin sangat tidak menyukai tatapan Lily yan
Reygan duduk di sudut ruang tunggu rumah sakit, dengan tatapan kosong yang menatap ke langit-langit putih yang terang. Setiap hari, ia merasa tersiksa oleh pertanyaan tak terjawab dan rasa bersalah yang membelit hatinya. Air mata sering kali tak bisa ia tahan lagi, mengalir deras ketika melihat Rania yang terbaring tak sadarkan diri di ranjang perawatan, dan Lily yang masih berjuang untuk hidupnya."Kalau memang dosa-dosaku lah yang menyebabkan semua ini. Tolong limpahkan semuanya padaku, Tuhan. Jangan pada anak istriku. Mereka tidak bersalah. Akulah yang penuh dosa," gumam Reygan dengan suara gemetar, bibirnya bergetar dalam keputusasaan yang mendalam.Tidak hanya Reygan yang dihantui rasa bersalah yang mendalam, tetapi juga Frans. Setiap hari, pria itu duduk di sisi ranjang Lily, memegang tangannya yang lemah, membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang. Kat
Reygan melangkah masuk ke dalam klub malam yang gemerlap, tempat di mana dia pertama kali bertemu dengan Lily. Lampu berwarna-warni yang berkedip-kedip dan musik yang menghentak keras tidak mampu mengalihkan perhatiannya dari kekhawatiran yang menghimpit hatinya. Dia menelusuri setiap sudut klub, berharap menemukan gadis itu di antara kerumunan orang. Namun, sia-sia. Lily tidak terlihat di mana pun."Di mana kamu, Lily?" bisiknya putus asa pada diri sendiri, suaranya tenggelam di tengah bisingnya musik. Rasa bersalah semakin mencengkeram hatinya dengan setiap detik yang berlalu tanpa menemukan gadis itu.Dia hampir tergoda untuk mengalihkan perasaannya dengan segelas minuman. Namun, saat tangan terulur menuju bar, ponselnya bergetar. Panggilan dari Ayrin menyentak kesadarannya."Lily, Mas. Kami sudah bertemu d
Ayrin dan Reygan kembali bersama ke rumah sakit. Langkah mereka terayun mantap, seakan sudah menemukan keputusan besar yang akan mengubah segalanya. Ketika Frans melihat mereka, matanya langsung menangkap sinyal yang jelas—Ayrin telah membuat keputusan untuk memaafkan suaminya."Jadi, inikah kejutannya?" kata Frans dengan tenang, matanya yang penuh pengertian menatap dalam ke mata Ayrin. Setelah Reygan pergi ke sudut lain ruangan untuk memberi keduanya privasi, mereka akhirnya mendapatkan kesempatan untuk berbicara."Maafkan aku, Frans," gumam Ayrin sambil menundukkan kepalanya, jemarinya saling meremas dengan gelisah. Dia merasa berat untuk mengucapkan kata-kata itu, tetapi tahu bahwa dia harus melakukannya.Frans mendekat dan memegang kedua pundak Ayrin dengan lembut namun tegas, memaksa wanita itu men