Ayrin menatap tajam ke arah Reygan, mencoba menunjukkan keteguhan hatinya. Bibirnya tersenyum tipis, tetapi matanya memancarkan keputusan yang bulat. "Kamu harus tetap pergi dari sini! Maaf karena aku nggak bisa memenuhi fantasi kamu tentang kebersamaan kita," ujarnya dengan suara tegas.
Reygan menatap Ayrin dengan tatapan tajam yang penuh dengan kekecewaan. "Pria itu sudah meninggal, kan? Jadi apa lagi yang mau kamu tunggu?" bentak Reygan dengan nada yang tajam, seolah-olah mencoba merobohkan benteng keteguhan hati Ayrin. "Kalau memang ini hanya soal anak kamu, saya janji akan membantumu mencarinya. Tapi tolong jangan jauhi saya seperti ini, Rin."
Tanpa ragu, tangan Ayrin melambai dengan keras menampar pipi Reygan. Wajahnya langsung memerah karena amarah yang membuncah. "Jangan pernah melewati batas, Mas! Setelah apa yang kamu lakukan sama aku. Kamu nggak pant
Dalam perjalanan mereka menemui Madeline Maddison, Ayrin terus mencoba menenangkan diri dan mempersiapkan segala kemungkinan yang akan mereka hadapi. Namun, ketika akhirnya mereka bertemu dengan Madeline, Ayrin merasa seolah dunianya hancur berkeping-keping.“Dimana Ayra? Di mana kau menyembunyikan anakku, huh?” tanya Ayrin dengan suara gemetar, mencoba menahan amarah yang membara di dalam dirinya.Madeline menatap Ayrin dengan wajah yang penuh kebingungan. "Maaf, aku tidak tahu apa yang kau bicarakan. Aku hanya seorang pengurus apartemen, saya tidak tahu apa-apa tentang anakmu."“Jangan berpura-pura lagi wanita sialan! Atau aku akan segera memanggil polisi untuk menangkapmu,” teriak Ayrin sambil mencengkeram bahu wanita berambut pirang itu itu.
Dengan wajah yang penuh kepuasan atas kemenangannya, Daisha melihat Ayrin dengan tatapan tajam. "Kamu ingin tahu di mana Ayra berada, bukan? Aku akan memberitahumu, tapi ada satu syarat," ucapnya dengan suara yang penuh dengan keangkuhan.Ayrin menatap Daisha dengan mata yang dipenuhi dengan campuran antara kebingungan, ketakutan, dan keputusasaan. Namun, di dalam hatinya, ada bara kemarahan yang semakin berkobar. "Apa syaratnya?" tanyanya dengan suara yang gemetar."Berlututlah di hadapanku, Ayrin, dan mungkin aku akan mempertimbangkan untuk memberimu informasi tentang Ayra," desak Daisha dengan nada sombong, matanya menyipit menatap Ayrin dengan penuh kepuasan atas penderitaan yang dia ciptakan.Ayrin merasakan darahnya mendidih dalam amarah. Dia ingin menolak tawaran itu dengan segala cara, tetapi bayangan Ayra y
“Katakan! Siapa yang membawa Ayra pergi?" desak Ayrin dengan suara yang hampir berteriak. “Atau aku akan membunuhmu sekarang juga.”Daisha tersenyum sambil menatap Ayrin dengan tatapan yang penuh dengan kesenangan. "Oh, Ayrin, sekarang kamu mau tahu? Pria itu adalah orang yang sangat kamu kenal," kata Daisha dengan nada yang penuh dengan ketenangan.Ayrin merasa kesabarannya sudah berada di ambang batas. Dengan gemetar, dia mendekati Daisha. Dia menggores wajah kakaknya itu. Walau hanya sedikit, dia merasa harus menekan Daisha. “Jangan berputar-putar lagi! Katakan siapa pria itu! Katakan sekarang juga!" desaknya dengan jerit tertahan.Daisha hanya tersenyum lebar, senyum yang penuh dengan kemenangan dan kepuasan. "Pria itu adalah seorang bernama Raymond, dan dia mengaku sebagai su
Ayrin terduduk di lantai kamar, tubuhnya gemetar di bawah tekanan emosi yang tak tertahankan. Air mata mengalir deras membasahi pipinya saat dia terus-menerus teringat akan kata-kata kejam Daisha. Setiap kata seperti belati yang menusuk ke dalam hatinya, meninggalkan luka yang semakin dalam.Di tengah-tengah tangisannya, bayangan Raymond muncul di benaknya. “Ayra… dia… dia baik-baik saja, Lily. Aku… aku yakin suatu hari nanti kau bisa menemukannya.” “Benarkah dia baik-baik saja, Ray,” gumam Ayrin dalam kesedihannya yang menyakitkan. Mungkinkah Raymond hanya mengatakan itu untuk menenangkannya, ataukah memang dia benar-benar tahu bahwa Ayra berada dalam keadaan yang aman? pikirnya dengan getir. Segalanya terasa tidak nyata baginya. Dia tidak tahu lagi apa yang harus dipercayai. Apakah Daisha benar-benar bisa dipercaya dengan semua informasi yang dia berikan? Ataukah ini hanya bagian dari rencananya untuk menyakitinya lebih dalam lagi?“Tolong buka pintunya, Rin! Kamu bisa sakit kala
Hari demi hari berlalu, dan Reygan tetap setia menemani Ayrin, meskipun gadis itu bersikap dingin dan sering kali mengabaikannya. Meski terkadang terluka oleh sikap dingin mantan istrinya itu, dia tetap bertahan.Reygan terus berusaha mencari keberadaan Ayra, mengikuti setiap petunjuk dan jejak yang bisa dia temukan. Meskipun sulit dan tidak pasti, dia tidak pernah kehilangan harapan untuk menyatukan kembali Ayrin dengan putrinya.Di tengah-tengah semua itu, saat Ayrin jatuh sakit, Reygan dengan sabar merawatnya. Dia mengurusnya dengan penuh perhatian meskipun sikap wanita itu masih tidak berubah."Kamu harus minum obat ini, Rin" ujar Reygan dengan lembut, sambil menawarkan gelas obat yang sudah disiapkan.Dia memandang wajah pucat dan lesu mantan istrinya dengan penuh perasaan. “Mau sampai kapan kamu menyakiti diri sendiri seperti ini, Rin?” "Aku nggak butuh obat itu," sahut Ayrin dengan nada yang tegas, menolak gelas obat yang ditawarkan Reygan. “Aku cuma mau ketemu sama anakku.”
"Mungkin lebih baik kamu istirahat dulu, Rin," desak Reygan dengan suara yang penuh perhatian, berdiri di antara Ayrin dan pintu keluar. "Kondisimu belum sepenuhnya membaik. Saya khawatir."Ayrin menatap Reygan dengan tatapan yang campuran antara kesal dan keputusasaan. "Aku butuh udara segar. Aku nggak bisa terus berdiam di sini," ucapnya dengan suara yang bergetar, mencerminkan keinginannya untuk membebaskan diri dari penjara pikirannya yang gelap.Reygan menggeleng dengan lembut. "Saya tahu, tapi saya rasa kamu belum cukup kuat untuk pergi.”Ayrin menarik napas dalam-dalam, merasakan kelelahan yang menyelubunginya. “Aku muak di sini,” ujarnya dengan nada kasar dan menyindir.“Kalau begitu biarkan saya menemani kamu,” tawarnya dengan lembu
Dengan hati yang masih berdebar-debar dari insiden di jalan tadi, Reygan membawa Ayrin kembali ke apartemennya. Dia memandang wanita itu dengan penuh kekhawatiran.“Kamu baik-baik aja, kan? Nggak ada yang terluka?” tanya Reygan kemudian.Ayrin menggeleng lemah. “Aku mau istirahat,” katanya dengan pelan.“Oke, kita pulang sekarang,” sahut Reygan sambil menggendong tubuh Ayrin.Sepanjang perjalanan, Reygan merenungkan cara-cara untuk menghibur Ayrin atau setidaknya bisa membuatnya melupakan semua kesedihannya, meski hanya sebentar.Setibanya di apartemen, Reygan dengan lembut menempatkan tubuh Ayrin di atas sofa, lalu dia beranjak menuju dapur untuk mengambil segelas air untuk wan
Mereka berdiri di depan pintu apartemen keluarga Robert, dengan Ayrin menatap bangunan itu dengan harapan dan ketegangan yang sulit ditutupi.Ayrin menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu dengan hati-hati.Saat pintu terbuka, tampaklah seorang pria paruh baya dengan rambut beruban yang tersusun rapi. William Robert, pemilik apartemen tersebut, menyambut mereka dengan tatapan heran di matanya. "Maaf, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya, suaranya terdengar lembut namun penuh kebingungan.Ayrin mencoba menjelaskan tujuan kedatangannya dengan suara yang gemetar, "Saya ingin menanyakan apakah Raymond pernah menitipkan putri saya, Ayra, di sini. Kami sedang mencarinya."Wajah William terasa berkerut, mencoba mengingat-ingat. "Ah, Ayra... Ya, Raymond pernah menit
Ayrin duduk dengan gelisah di sebuah bangku kayu yang menghadap kolam. Hatinya dipenuhi dengan berbagai perasaan, harapan, dan kecemasan. Dia terus memandangi jalan setapak yang mengarah ke taman, menunggu kehadiran Lily. Frans telah berjanji untuk membawa gadis itu ke sana, dan saat itu akhirnya tiba.Ketika Lily muncul di kejauhan, melangkah mendekatinya dengan perlahan, Ayrin merasa ada kehangatan yang tak bisa dijelaskan dalam hatinya. Gadis itu tumbuh menjadi remaja cantik, penuh pesona, namun di mata Ayrin, Lily masih seperti anak kecil yang dulu pernah hilang dari pelukannya.Mereka saling pandang untuk beberapa saat, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keheningan itu begitu penuh makna, seolah semua yang ingin mereka katakan sudah tercurah dalam tatapan mereka."Lily..." suara Ayrin bergetar saat dia akhirny
Frans tampak gelisah ketika dia menemui Ayrin di tempat prakteknya. Sejenak mereka hanya saling bertatapan, seolah kata-kata yang ingin diucapkan Frans begitu berat untuk disampaikan."Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, Rin," kata Frans akhirnya, suaranya terdengar gemetar.Ayrin menatapnya dengan cemas. "Ada apa sih, Frans? Kenapa akhir-akhir ini kamu aneh sekali?" desaknya, penasaran dan khawatir karena tidak biasanya Frans datang ke tempat prakteknya dengan ekspresi seperti ini."Kamu tidak sakit, kan?" tuntutnya lagi dengan nada gemetar, takut kalau-kalau ada sesuatu yang buruk terjadi pada sahabatnya.Frans menggelengkan kepalanya perlahan, tatapannya penuh kebimbangan. Dia menatap Ayrin dengan lekat, seakan mencari keberanian dalam pandangannya sebelum akhirnya
"Selamat datang, silakan duduk," sambut Ayrin dengan senyum tulus, matanya berbinar-binar bahagia.Lily dan Frans duduk di tempat yang telah disiapkan, dan tanpa menunggu lama, mereka mulai menyantap hidangan yang telah tersedia. Suasana terasa nyaman dan akrab, seolah mereka sudah menjadi satu keluarga besar."Wah, masakan Tante memang oke juga," puji Lily dengan jujur setelah mencicipi satu suapan. "Semuanya enak, Tan."Ayrin baru akan menjawab, tetapi Rania dengan cepat menyela. "Iya, dong. Masakan Mama emang yang paling enak," ujarnya penuh kebanggaan. Pujian itu membuat semua orang di meja makan tersenyum."Kalau begitu, aku main ke sini setiap hari deh, biar bisa makan enak terus," goda Lily sambil melirik ke arah Rania.
Setelah semua ketegangan ini mereda, Ayrin dan Reygan kembali ke rumah mereka sambil saling bergandengan tangan, perasaan lega dan bahagia terpancar dari wajah mereka."Hai, Sayang," sapa mereka pada anak-anaknya yang tengah duduk bersama di ruang keluarga. Rian dan Rania, yang sedang asyik dengan aktivitas mereka, segera menoleh bersamaan. Melihat kedua orang tuanya datang bersama dengan senyum bahagia membuat hati mereka meledak oleh kebahagiaan."Mama dan Papa nggak akan berpisah, kan?" tanya Rian dengan hati-hati setelah beberapa saat lamanya mereka duduk bersama. Ada kekhawatiran di balik tatapan matanya yang polos, kekhawatiran akan perpisahan yang mungkin terjadi lagi.Reygan tersenyum sambil menoleh ke arah Ayrin, tatapannya penuh kasih. "Bodoh kalau Papa melepaskan wanita sebaik Mama, Rian," katanya dengan
Setelah akhirnya pulih, Ayrin memutuskan untuk menemui Lily bersama Reygan.Saat mereka masuk, mata Lily menatap mereka dengan perasaan campur aduk. Tidak ada lagi sorot tajam dan kebencian seperti dulu. Yang terlihat di sana hanyalah penyesalan yang mendalam. Gadis itu menundukkan kepalanya, suaranya gemetar saat berkata, "Maafkan Lily, Tante. Maafkan sikap Lily selama ini."Ayrin merasakan gelombang kesedihan mengalir di hatinya. Dia mendekati Lily dengan langkah pelan dan mendekap tubuh gadis itu dengan lembut. "Maafkan Tante juga, Lily. Maaf karena sikap Tante membuatmu salah paham. Maaf karena membuatmu tidak nyaman selama ini," balasnya dengan suara bergetar.Lily pun menangis, menumpahkan segala penyesalan dan kesedihannya di dada Ayrin. Dalam dekapan hangat itu, semua ketegangan yang selama ini a
Ayrin menatap wajah Lily yang pucat di ranjang rumah sakit sebelum operasi transplantasi ginjal yang sebentar lagi akan dilakukan. Hatinya serasa diremas melihat betapa rapuhnya gadis itu. Di dalam hatinya, ada perasaan yang tak terlukiskan. Entah dari mana datangnya perasaan ini, setiap kali berada di samping gadis ini, dia merasakan ada tali tak kasat mata yang mengikat mereka, seolah-olah Lily adalah bagian dari dirinya sendiri.Dengan lembut, Ayrin membelai kepala Lily, sentuhan yang penuh kasih dan kelembutan, seakan gadis itu adalah anaknya sendiri. "Cepatlah sembuh, Lily. Cepatlah kembali pulih. Izinkan Tante meminta maaf padamu. Izinkan Tante menjelaskan semuanya," bisik Ayrin dengan suara yang hangat namun penuh harap. Matanya berkaca-kaca, berharap agar gadis itu segera membuka mata indahnya lagi.Jika dulu Ayrin sangat tidak menyukai tatapan Lily yan
Reygan duduk di sudut ruang tunggu rumah sakit, dengan tatapan kosong yang menatap ke langit-langit putih yang terang. Setiap hari, ia merasa tersiksa oleh pertanyaan tak terjawab dan rasa bersalah yang membelit hatinya. Air mata sering kali tak bisa ia tahan lagi, mengalir deras ketika melihat Rania yang terbaring tak sadarkan diri di ranjang perawatan, dan Lily yang masih berjuang untuk hidupnya."Kalau memang dosa-dosaku lah yang menyebabkan semua ini. Tolong limpahkan semuanya padaku, Tuhan. Jangan pada anak istriku. Mereka tidak bersalah. Akulah yang penuh dosa," gumam Reygan dengan suara gemetar, bibirnya bergetar dalam keputusasaan yang mendalam.Tidak hanya Reygan yang dihantui rasa bersalah yang mendalam, tetapi juga Frans. Setiap hari, pria itu duduk di sisi ranjang Lily, memegang tangannya yang lemah, membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang. Kat
Reygan melangkah masuk ke dalam klub malam yang gemerlap, tempat di mana dia pertama kali bertemu dengan Lily. Lampu berwarna-warni yang berkedip-kedip dan musik yang menghentak keras tidak mampu mengalihkan perhatiannya dari kekhawatiran yang menghimpit hatinya. Dia menelusuri setiap sudut klub, berharap menemukan gadis itu di antara kerumunan orang. Namun, sia-sia. Lily tidak terlihat di mana pun."Di mana kamu, Lily?" bisiknya putus asa pada diri sendiri, suaranya tenggelam di tengah bisingnya musik. Rasa bersalah semakin mencengkeram hatinya dengan setiap detik yang berlalu tanpa menemukan gadis itu.Dia hampir tergoda untuk mengalihkan perasaannya dengan segelas minuman. Namun, saat tangan terulur menuju bar, ponselnya bergetar. Panggilan dari Ayrin menyentak kesadarannya."Lily, Mas. Kami sudah bertemu d
Ayrin dan Reygan kembali bersama ke rumah sakit. Langkah mereka terayun mantap, seakan sudah menemukan keputusan besar yang akan mengubah segalanya. Ketika Frans melihat mereka, matanya langsung menangkap sinyal yang jelas—Ayrin telah membuat keputusan untuk memaafkan suaminya."Jadi, inikah kejutannya?" kata Frans dengan tenang, matanya yang penuh pengertian menatap dalam ke mata Ayrin. Setelah Reygan pergi ke sudut lain ruangan untuk memberi keduanya privasi, mereka akhirnya mendapatkan kesempatan untuk berbicara."Maafkan aku, Frans," gumam Ayrin sambil menundukkan kepalanya, jemarinya saling meremas dengan gelisah. Dia merasa berat untuk mengucapkan kata-kata itu, tetapi tahu bahwa dia harus melakukannya.Frans mendekat dan memegang kedua pundak Ayrin dengan lembut namun tegas, memaksa wanita itu men