Sisil berjalan lebih dulu di depan Smith. Mereka terlihat luar biasa dengan penampilan masing-masing.
Saat melihat dua gadis cantik itu berjalan berbarengan, mungkin para pemuda akan mengira sedang berada di surga, hingga bisa bertemu bidadari.
Siapa saja yang melihat Sisil dan Smith sekarang, pasti akan sangat terpesona. Para perempuan akan merasa iri, sedangkan kaum lelaki mendadak ingin menikah saat itu pula.
Namun, hal berbeda terjadi pada Janu. Pemuda itu tidak melihat Sisil sama sekali. Ia menjadi sangat sibuk memperhatikan gadis lainnya yang tidak lain adalah Smith.
Janu bahkan sampai berdiri dan mengucek kedua matanya lantaran tidak percaya bahwa gadis yang tampak sangat anggun dan memukau itu memang calon istrinya, si Gadis Singa Jantan, Smith!
Smith mengenakan dress hitam sederhana yang bagian lengannya berupa renda-renda kecil. Di lehernya juga terpasang sebuah kalung
Sinta mulai bernapas lega ketika orang-orang seperti sudah melupakan ucapan Smith yang sangat menyebalkan tentang almarhum ibunya. Ia memang sangat tidak suka jika masa lalu itu dikupas kembali, khawatir jika segala kejahatannya diketahui oleh sang suami.Selama ini Smith memang tidak pernah mengadukan apapun pada Hendry soal kelakuan Sinta di belakang sang ayah. Bagaimana sikap Sinta pada almarhum Lisa, juga segala usaha keras perempuan itu untuk mencegah sang ayah agar tidak peduli pada Lisa saat dulu masih sakit keras.Ketika Hendry menanyakan pada Smith apakah ia menelepon sang ayah untuk memberitahukan kematian ibunya, Smith hanya menggeleng dan mengatakan bahwa ia tidak ingin mengingat-ingat saat kematian Lisa. Smith tidak menerangkan pada Hendry bahwa Sinta-lah yang telah mengangkat telepon itu, lalu berbicara sangat kasar dan buruk padanya.Semua kebungkaman Smith itu, bukan lantaran ia menutup-nutupi kejahatan Sinta. Melain
"Janu, maafkan mamaku. Mungkin Mama hanya mencemaskan pacar Smith yang tidak kunjung datang. Khawatir kalau terjadi apa-apa dengannya di jalan," sahut Sisil yang mencoba meringis di saat batinnya hampir remuk."Sisil! Kebiasaan! Berhentilah menjadi orang naif! Kau tahu benar apa maksud Mama. Dan sebagai pemuda cerdas semestinya Janu mengerti juga. Sekarang katakan pada kami, apa hubunganmu dengan Smith yang sebenarnya? Tidak usah berputar-putar mempermainkan perasaan putriku!" Sinta sampai berdiri karena kemarahan yang sudah melewati ubun-ubun."Benar, Tante. Kami, maksudku, aku dan Smith sudah menjalin hubungan khusus. Bahkan malam ini aku bermaksud untuk melamar Smith," tegas Janu tanpa ragu. Membuat Smith tersenyum puas sembari meletakkan garpu dan pisau kecil yang sedari tadi ia gunakan untuk makan. Smith mengusap mulutnya menggunakan tisu dengan santainya, merayakan kemenangan yang sebentar lagi akan menjadi miliknya. Malam ini dan seterusnya.
"Janu datang kemari untuk melamarku. Dia mau bertanggung jawab dan menjadi ayah untuk bayi yang ada di perutku. Itu artinya masalah selesai. Bayi ini bisa lahir tanpa aib untuk siapa pun. Lalu Sisil, semestinya dia tidak marah atau sakit hati jika aku menikah dengan Janu. Kenapa? Karena Sisil dan Janu tidak memiliki hubungan apa-apa. Mereka hanya teman. Akan beda masalahnya jika Sisil adalah istri Janu. Lantas datang perempuan lain yang mengobrak-abrik rumah tangga mereka!"Smith menatap tajam Sinta ketika mengucapkan kalimat terakhir itu. Ia sampai berkaca-kaca dan bergetar tangannya karena selama ini hanya diam meski Sinta sudah sangat menyakiti dirinya. Barulah malam ini ia akan benar-benar memulai pembalasannya.Sontak saja mata Sinta menjadi terbelalak. Ia tidak menyangka jika Smith akan mampu membalikkan keadaan dan membuatnya diam tak berkutik lagi. Apa yang diucapkan Smith sungguh membuatnya mati kutu.Sedangkan Sisil, ia te
Janu mengemudikan motornya dengan pelan saja. Ia bingung harus membawa Smith ke mana.Jantung Janu bahkan terus berdetak kencang karena merasa dirinya seperti membawa kabur anak gadis orang. Tapi Janu hanya diam karena mengerti kalau Smith masih sangat marah atas apa yang terjadi di rumahnya."Apa bensinmu habis?" tanya Smith dengan suara dingin, sedingin malam ini."Tidak. Kenapa Smith?" ujar Janu yang sesaat menoleh ke belakang."Kalau begitu kemudikan motormu dengan benar! Apa kau sengaja membuat motormu berjalan seperti keong supaya ayahku bisa mengejar?" bentak Smith sampai membuat telinga Janu mendengung.Namun Janu malah tersenyum. Ia tahu, jika Smith sudah mulai berteriak padanya, artinya suasana hati gadis itu sudah kembali normal atau setidaknya telah membaik."Apa kau tidak mendengarku!" teriak Smith lebih keras karena Janu tidak kunjung memp
Janu dipersilakan masuk oleh putra dari pemilik kost. Ia diminta menunggu sebentar di ruang tamu selagi ibu kost dipanggil.Janu pun menunggu dengan perasaan tidak tenang. Jantungnya bahkan sudah seperti kereta ekspres saja, sangat cepat."Ee Janu. Ibu kira siapa. Ada apa?" tanya Ibu kost ramah yang kemudian duduk di hadapan Janu."Begini Bu, eem ... jam malamnya sudah hampir berakhir ya Bu?" ucap Janu basa-basi. Ia sedikit bingung harus memulai meminta izin dari mana."Iya, sekitar lima menitan lagi. Ada apa memangnya? Kamu barusan datang dengan gadis yang sangat cantik 'kan? Siapa dia? Saya belum pernah melihatnya ke sini sebelumnya. Apa dia pacarmu?" kata Ibu kost menggoda.Perempuan paruh baya itu sungguh tidak mengenali Smith karena penampilannya memang sangat jauh berbeda dari penampilan Smith saat dulu berkunjung ke kost Janu untuk kerja kelompok ataupun menitipkan b
Janu telah merebahkan tubuhnya sedari tadi. Tapi matanya masih saja terjaga. Pikiran pemuda itu sedang sangat kusut tampaknya.Besok ia dan Smith ada jadwal kuliah. Ia juga harus bekerja di restoran. Janu memikirkan bagaimana dengan Smith kalau ia tinggalkan.Di sisi lain, ada PR besar yang harus ia selesaikan segera, yakni membawa Smithkembali ke rumahnya. Janu sadar benar, akan tidak baik jika Smith terlalu lama bersamanya.Namun, Janu memang tidak menyinggung perihal tersebut sama sekali karena tahu kalau Smith tidak akan pernah mau pulang dalam keadaan emosi yang menggunung. Janu ingin memberi waktu pada Smith untuk menenangkan dirinya sendiri dulu."Besok aku akan berbicara padanya agar mau pulang. Pasti ayahnya sangat cemas sekarang," gumam Janu dalam keterjagaan.Ring ... ring ....Janu terjingkat mendengar ponselnya berdering. Ia segera merogoh sakunya dengan pikiran bertanya-tanya, siapa orang yang menelepon selarut itu. Lantas
"Berhenti mengoceh seperti ibu-ibu! Fokus saja menyetir! Kau bahkan lebih bawel ketimbang Tante Sinta!" sergap Smith saat Janu berbicara panjang lebar membujuknya agar mau pulang dalam perjalanan menuju kampus."Smith, mau sampai kapan kau kabur dari rumah? Bukankah kita harus segera menikah?" Janu masih ngeyel dengan pendiriannya untuk mengajak Smith kembali ke rumahnya. Bukan lantaran ia takut pada ancaman ayahnya Smith, melainkan karena Janu percaya bahwa lari dari masalah tidak akan pernah membuat suatu masalah selesai. Bahkan hanya akan mempersulit keadaan saja."Aku tidak kabur dari rumah. Apa kau tidak tahu, sejak tadi malam para bodyguard Ayah selalu mengawasi kita?""Benarkah? Apa mereka juga mengintai kita sekarang?" tanya Janu sambil celingukan ke kanan dan ke kiri. Sejujurnya ia selalu merasa ada yang mengawasi setiap kali berada bersama Smith.Janu tidak mengerti jika perasaannya itu bukan tanpa a
Suasana di kediaman Tuan Hendry Sasongko masih tegang. Tidak ada banyak percakapan di sana. Suara Sinta yang biasanya selalu menggelegar dan meramaikan rumah itu juga tidak banyak terdengar.Suasana yang sangat menegangkan itu tidak lain adalah karena sikap Hendry yang mendadak menjadi sangat dingin. Segala pertikaian yang semalam terjadi masih juga terbayang di ingatan semua orang. Hendry bahkan tidak terlihat tersenyum sama sekali. Bibirnya begitu rapat, tatapan matanya sangat tajam, dan hampir tidak terdengar suaranya. Hendry hanya diam dengan tulang-tulang rahang yang mengeras menjadi batu."Hari ini Smith pergi ke kampus bersama dengan Janu. Kalau sampai petang nanti Janu tidak juga mengajak Smith pulang, aku pastikan pemuda itu tidak akan pernah bernapas selamanya," ucap Hendry dalam keheningan makan siang. Setelah sebelumnya yang terdengar hanyalah suara dentingan sendok, garpu, dan piring.Orang-orang di meja mak
Janu menelan ludah setelah mengetahui yang sebenarnya terjadi. Ia menghembuskan napas panjang, menyayangkan kecelakaan yang sampai menewaskan Sinta."Janu, Ayah minta maaf. Kau benar, Ayah sudah melakukan kesalahan besar. Kini semua telah terungkap. Sinta sudah menunjukkan siapa dia sebenarnya.""Tidak, Ayah sudah keliru jika meminta maaf padaku. Ayah tidak punya salah padaku," kata Janu memasang senyum lebar. Sama sekali tidak menunjukkan adanya kemarahan apalagi dendam."Tapi Ayah sudah mengusirmu dari rumah.""Tidak Ayah. Sejak awal itu bukan rumahku. Tapi sejak kecil, Smith telah tinggal dan tumbuh besar di sana. Ada banyak kenangan manis di rumah itu. Jadi, akan lebih tepat jika Ayah meminta maaf pada Smith.""Benar, itu semua benar. Ayah tahu kesalahan Ayah pada Smith tidak akan termaafkan.""Tidak Ayah. Smith sudah berjanji untuk memaafkan Ayah."Janu pun ke luar untuk memanggil Smith. Sesaat kemudian Janu kembali dengan mengga
Bruaaakkk!"Mama!" jerit Sisil saat melihat mobil yang ditumpangi Sinta bertabrakan dengan mobil lain.Sontak saja jalanan sekitar menjadi sangat ramai. Orang-orang mulai berkerumun untuk melihat lebih dekat kecelakaan itu.Sementara itu, Smith masih berada dalam dekapan Janu. Peristiwa kecelakaan itu berada tepat di belakang mereka. Suara dua mobil yang bertubrukan itu terdengar begitu keras di telinga mereka. Kerasnya tabrakan yang terjadi bahkan sampai membuat salah satu mobil terbalik.Sisil langsung menghentikan mobilnya begitu saja, tanpa menepi dulu. Ia ke luar dengan berlinang air mata. Berlari mendekat untuk melihat keadaan mamanya."Mama ...!" jerit Sisil lebih lantang melihat mamanya mengeluarkan banyak darah dari kepala dan telinga.Smith dan Janu langsung menoleh. Mereka mengenal dengan baik suara perempuan yang berteriak itu. Smith dan Janu langsung terbelalak karena mengenal mobil yang terlibat kecelakaan lalu lint
Mendadak Smith dan Janu menjadi buronan banyak orang. Anak buah Hendry dan orang-orang Sinta sedang berusaha keras melacak keberadaan pasangan muda itu. Sedangkan Sisil, diam-diam mengikuti mamanya.Baik Hendry maupun Sinta sama-sama sibuk menghubungi nomor ponsel Smith, tapi jelas tidak tersambung karena ponsel Smith ikut terbakar. Mereka lantas menghubungi Janu, tapi tidak bisa juga. Ponsel Janu terjatuh ketika lelaki itu pingsan."Bangs*t! Lihat saja, kalau aku sampai menemukan kalian, aku pastikan kalian mamp*s!" umpat Sinta sambil mengendarai mobilnya. Sesekali ia menagih informasi hasil dari pencarian anak buahnya.***"Apa kau yakin kau tidak apa-apa?" tanya Smith melihat suaminya yang masih tampak pucat."Aku baik-baik saja. Selama kau bersamaku, aku akan selalu baik," jawab Janu sambil memegang tangan istrinya. Ia juga menyunggingkan senyum yang membuat hati Smith leleh hingga tanpa sadar pipinya memerah.Di dalam angkot itu hanya a
Dengan dada hampir meledak, Hendry membuka pintu rumahnya. Tidak cukup sampai di situ, Hendry juga berteriak-teriak memanggil sang istri.Pak Jono yang melihat hal itu, menjadi sangat takut. Ia tahu majikannya sedang sangat murka setelah mendengarkan pengakuannya.Sejujurnya Pak Jono terhitung nekat. Sinta telah melarangnya untuk mengatakan pada siapa pun bahwa majikannya itu telah pergi ke lingkungan kost Smith. Tapi Pak Jono tidak bisa menyembunyikan apa yang ia ketahui. Tuan Hendry harus tahu semuanya, begitulah pikir Pak Jono."Ada apa, Ayah?" kata Sisil yang baru saja membuka kulkas di dapur untuk mengambil air dingin. Ia Langsung berlari menghampiri sang ayah yang terdengar murka menyebut nama mamanya."Di mana mamamu?" bentak Hendry dengan urat leher yang mencuat.Sisil menelan ludah. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya sampai membentak dirinya. Sisil merasa tidak melakukan suatu kesalahan apa pun."Mama ... Mama sedang ke luar, Ayah,"
Sudah barang tentu kalau wajah Hendry tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang luar biasa besar melihat lingkungan kost tempat Smith dan Janu tinggal telah hangus terbakar. Bahkan hingga kini api masih diusahakan untuk dipadamkan.Tanpa pikir panjang, Hendry langsung ke luar dari dalam mobilnya. Ia pun berlari mendekat, bertanya pada siapa saja yang ia temui terkait keberadaan putri dan menantunya. Tapi tentu saja semua yang ia tanyai menggeleng. Tidak ada satu pun yang mengenal orang bernama Smith dan Janu. Mereka bahkan tidak tahu siapa lelaki berkemeja hitam yang bertanya pada mereka.Benar, meski Hendry Sasongko adalah pengusaha sukses yang sering muncul dalam koran bisnis ataupun berita-berita di internet, bahkan televisi, kenyataannya sosoknya tidak menjadi penting dan berharga bagi orang-orang pinggiran di sana.Bagi mereka hidup adalah perjuangan tiada akhir. Tidak berjuang artinya tidak akan makan, sama dengan menggali lubang sendiri. Hal-hal terk
Janu melepas sendiri selang oksigen yang terpasang. Ia merasa kurang leluasa untuk berbicara. Tentu saja hal itu membuat Smith menanyakan kondisinya. Smith tampak sangat gusar melihat Janu yang masih pucat dan lemah."Tidak apa. Aku baik-baik saja. Melihatmu ada di hadapanku seperti ini membuatku langsung sembuh. Katakan padaku apa kau terluka? Apa ada tubuhmu yang terkena api?" kata Janu yang merasa seperti satu tahun tidak bertemu dengan istrinya."Sebagai orang yang baru sadar, kau terlalu banyak bicara," tukas Smith dengan wajah kesal, tapi hatinya sangat senang dan lega."Maafkan aku. Aku tidak bisa menahan diri. Selalu ingin berbicara saat bersamamu. Sekarang jawablah, apa kau terluka?""Tidak, aku baik-baik saja. Katakan padaku bagaimana dengan napasmu? Apa masih terasa sesak?" tanya Smith dengan jantung yang nyaris melompat ke luar."Tidak," jawab Janu yang kemudian menghela napas panjang untuk memastikan napasnya memang telah normal.
Smith terbatuk-batuk. Tidak dipungkiri kepulan asap membuat dadanya menjadi sangat sesak. Juga penglihatan yang menjadi sangat terbatas. Ia berkedip beberapa kali karena asap itu juga membuat matanya perih.Janu masih mengira bahwa Smith yang alergi debu menjadi sangat tersiksa karena asap yang memenuhi bilik kost mereka. Ia lekas-lekas mengambil dua pakaian dari dalam lemari dan mencelupkannya ke dalam bak air. Dengan sigap Janu menutupkan baju itu ke hidung istrinya.Dari luar, suara teriakan Pak Herman memberi peringatan pada Smith dan Janu yang masih terperangkap api. Pak Herman menjadi sangat was-was melihat dua sandal yang ada di depan pintu kost nomor empat. Asal tahu saja, bagian depan bilik, termasuk atap dan pintu telah dipenuhi api. Tidak ada jalan bagi Smith dan Janu untuk ke luar."Smith jangan biarkan kain ini lepas dari mulutmu. Aku akan mengambil selimut," kata Janu setengah berteriak. Ia bersicepat menarik selimut putih yang ada di atas ranjang.
Pagi-pagi sekali Sinta telah rapi. Ia mengendap diam-diam ke luar dari kamar, tidak ingin diketahui oleh Hendry. Sinta akan melakukan pekerjaan besar hari ini. Sebuah pekerjaan yang akan sangat menyenangkan jika sampai berhasil dilakukan.Dengan cepat Sinta berjalan menuju lantai dasar. Ia bahkan membuka pintu rumah dengan hati-hati agar tidak ada orang rumah yang mendengar.Sinta tersenyum lebar saat melihat Pak Jono sedang mengelap mobil. Ia pun bergegas menghampiri Pak Jono."Pak, cepat antarkan aku!" perintah Sinta tanpa basa-basi. Semakin cepat ia pergi, akan semakin baik."Ke mana Nyonya?" tanya Pak Jono keheranan. Biasanya majikannya itu lebih memilih untuk ke luar dengan mengemudikan mobil sendiri. Selain itu, hari masih terlalu pagi untuk Nyonya Sinta bangun.Satu-satunya alasan Sinta memilih untuk ke luar diantar Pak Jono adalah lantaran ia tidak tahu pasti lokasi yang dituju sebab belum pernah ke sana. Meski Sinta mengantungi alamatnya,
Pak Jono menghembuskan napas panjang, bingung dengan tujuan dari sang majikan yang memintanya mengantar ke satu tempat dan berpindah ke tempat lain, tanpa tahu apa yang ingin dilakukan.Pak Jono mengamati ekspresi wajah sang majikan yang tampak tetap berkerut dahinya. Ia juga bisa melihat gurat kecemasan yang membuat sang majikan menatap ke arah jendela mobil, memandang entah."Tuan ... " panggil Pak Jono akhirnya setelah tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya."Ada apa Pak Jono?" sahut Hendry masih dengan kening mengernyit."Apa ... tadi Tuan ingin menemui Bibi Ipah?""Ya," jawab Hendry cepat dan singkat. Seolah sebagai tanda tidak boleh ada dialog lagi sesudahnya.Entah mengapa jawaban Hendry itu membuat Pak Jono menelan ludah. Sejujurnya Pak Jono ingin bertanya lebih lanjut menyoal tujuan majikannya itu menemui Bibi Ipah padahal hari sudah larut dan semestinya majikannya itu tahu kalau panti tentu sudah tutup.Pak Jono j