Janu tidur dengan pulas di atas lantai beralaskan karpet dan selimut tebal. Pada akhirnya, setelah berdebat cukup lama, ia hanya bisa mengalah dan menuruti permintaan istrinya untuk tidak tidur di ranjang.
Padahal apa salahnya jika ia tidur di ranjang? Janu bahkan tidak berani mengkhayal atau bermimpi macam-macam dengan Smith. Apalagi sampai bercinta sungguhan dengan istrinya itu!
Janu hanya ingin merasakan empuknya ranjang di kamar itu. Sebelumnya ia sudah menikmati empuknya sofa di ruang tamu, dan belum pernah sama sekali tidur di atas ranjang itu.
Janu berpikir kalau kadang-kadang pikiran Smith yang tidak-tidak, membuat dirinya berada dalam keadaan yang tidak menyenangkan.
Meskipun demikian, Janu bisa tidur dengan pulas di atas karpet. Hari ini cukup melelahkan bagi Janu karena banyaknya perselisihan yang terjadi di rumah mewah itu.
Sementara itu Smith yang tidur di atas ranjang nyatanya masih terjaga. Kebohongan telah membuat gadis itu me
Setelah mengumpulkan segenap keberaniannya lagi, Sisil kembali mengirimkan pesan kepada Janu. Ia tidak ingin menyerah begitu saja. Ia harus memastikan apakah Janu sudah membaca pesan itu atau belum.Sisil tidak hanya mengirimkan satu dua pesan saja. Tetapi ia langsung mengirimkan empat pesan sekaligus.Maka, sudah pasti kalau detak jantung Sisil belum juga terkendali setelah tanda centang dua pada pesan yang ia kirim berubah warnanya menjadi biru.Sisil menelan ludah. Matanya terus menatap lekat-lekat poselnya setelah ia melihat tulisan 'sedang mengetik' di samping foto profil sahabatnya sekaligus iparnya itu.Sisil bahkan nyaris tidak berkedip karena jantungnya seperti berhenti menunggu balasan dari Janu yang tidak kunjung selesai mengetik.Hal tersebut membuat Sisil bertanya-tanya, memangnya apa yang sedang diketikkan oleh pujaan hatinya itu hingga membutuhkan waktu yang begitu lama. Apakah Janu membalas pesan yang ia kirim dengan san
Pyaaar!Gelas yang dibawa Smith terjatuh ketika hendak diletakkan di atas meja yang ada di depannya. Pikiran yang kusut membuat Smith tanpa sengaja meletakkan gelas itu terlalu ke tepi.Sontak saja Janu yang sedang terlelap nyenyak langsung duduk dan mencari sumber suara itu. Ia khawatir ada maling yang menyusup masuk ke kamarnya dan tanpa sengaja menyenggol benda pecah belah.Mata Janu yang masih belum sepenuhnya terbuka, berusaha cermat saat menyisiri seluruh ruangan. Dalam kamar yang penerangannya temaram itu, Janu mendapati istrinya sedang duduk di atas sofa dengan pandangan sedikit tertunduk melihat pecahan gelas yang baru saja ia jatuhkan, yang terlihat berkilauan terkena cahaya lampu."Smith, apa terjadi sesuatu?" tanya Janu dengan wajah yang diliputi kecemasan. Pemuda itu pun langsung beranjak dan berjalan mendekati istrinya, meninggalkan segala rasa kantuk yang telah kabur jauh-jauh."Jangan-jangan, Biarkan saja! Nanti kau bisa terluka. Ak
Smith menarik napas panjang untuk melapangkan dadanya yang sesak. Entah bagaimana mimpi buruk itu sampai membuat napasnya seolah sedikit tertahan.Smith menoleh kembali pada suaminya. Ia bisa merasakan ketulusan dan perhatian dari suaminya itu, yang membuat dirinya akhirnya terdorong untuk menceritakan ketakutannya pada Janu."Sebenarnya hal yang membuatku cemas bukan hanya mimpi itu. Tetapi hubungan dari mimpi itu dengan kesalahan besar yang sudah aku lakukan," ucap Smith dengan gurat sesal di wajah. Meskipun keinginannya untuk membalas dendam pada Sinta dan Sisil lebih besar dari rumah mewah yang ia tempati, tidak bisa dipungkiri ada rasa bersalah yang menyekat hatinya lantaran telah melakukan kebohongan besar.Janu semakin penasaran. Ucapan istrinya itu membuat Janu semakin ingin tahu sebetulnya masalah apa yang telah disembunyikan oleh Smith. Sebab selama bertahun-tahun Janu mengenal Smith, belum pernah melihat gadis itu sedemikian takut seperti saat ini.
Pengakuan Smith barusan, lebih dari sekadar mengejutkan Janu. Pemuda itu bahkan berpikir bahwa Smith sedang bercanda untuk menghilangkan ketakutannya.Rasa-rasanya tidak mungkin kalau Smith melakukan kebohongan perihal kehamilannya. Itu sangat tidak masuk akal. Memangnya untuk apa Smith pura-pura hamil? Bukankah hal itu tidak ada gunanya dan bahkan sudah membuat Smith berada dalam keadaan sulit beberapa kali."Itu sangat lucu Smith. Aku senang kau berusaha mengalihkan rasa takutmu dengan bergurau. Itu sangat bagus," ucap Janu sambil meringis.Namun wajah Smith tidak menunjukkan bahwa gadis itu sedang bercanda. Smith menggeleng dengan sangat serius dan berkata, "Tidak Janu, aku belum pernah seserius ini. Dengarkan pengakuanku baik-baik, aku TIDAK hamil. Jangankan hamil, pacar saja aku tidak punya. Juga tidak pernah dekat dengan lelaki. Jangankan bersetubuh dengan seorang pemuda, berciuman saja aku tidak pernah. Jadi mana mungkin aku bisa hamil?"Janu masih
Janu mendekatkan wajahnya pada Smith. Kini jarak wajah pasangan suami istri itu hanya satu jengkal saja. Tentu saja hal itu membuat detak jantung Smith menjadi semakin tidak terkendali. Bahkan ia juga merasakan darahnya berdesir sangat cepat sehingga menimbulkan sensasi tertentu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Yang jelas ada perasaan yang membuat hatinya merasa lebih senang."Terima kasih karena kau sudah memilihku untuk menjadi partner kebohonganmu. Aku sangat bersyukur karena kau berpikir untuk melakukan kebohongan besar itu."Janu sengaja mengambil jeda. Ia ingin mengamati wajah Smith dari jarak yang begitu dekat untuk beberapa saat.Janu tidak pernah membayangkan akan memiliki istri dengan paras yang sempurna seperti Smith. Ketika Janu melihat mata Smith yang indah kecoklatan ia bisa melihat kejernihan dari hati istrinya itu. Meskipun mungkin keadaan membuat Smith telah mengubahnya menjadi seseorang yang sanga
Hari masih sangat pagi. Matahari belum terasa panas. Tapi tidak demikian dengan hati Hendry. Lelaki itu sudah merasa begitu panas hatinya karena tidak bisa berhenti memikirkan persoalan yang dibicarakan oleh Sinta tadi malam, yakni tentang kebohongan Smith dan juga tindakan Sheira kepada Sisil.Hendry sudah terlihat rapi dengan kemeja dan jas bermerek berwarna hitam yang ia kenakan. Ia sengaja bersiap lebih awal dan tidak membangunkan sang istri yang masih tertidur pulas.Hendry memang berencana untuk tidak mengajak istrinya karena kehadiran Sinta di rumah Sheira nanti, mungkin hanya akan menimbulkan keributan yang lebih besar. Sedangkan Hendry bertandang ke rumah sahabat almarhum istrinya itu dengan tujuan untuk membicarakan semua dengan baik-baik.Meskipun video yang ditunjukkan Sinta padanya sudah membuat lelaki itu begitu bernafsu ingin membalas dengan tindakan yang lebih kejam, Hendry masih berusaha untuk menangani masalah itu dengan kepala dingin. Walau ba
Sheira nyaris tersedak nasi yang ia kunyah. Laporan dari Pak Karsam mendatangkan amarah yang mendadak mencuat, merusak ketenangan pagi di kediamannya. Sudah dengan intonasi disabar-sabarkan, Sheira berkata, "Bapak ini bagaimana? Saya kan sudah bilang sejak dulu kan kalau ada Hendry datang ke rumah ini jangan pernah bukakan pintu gerbangnya walau apa pun yang ia katakan. Seharusnya Bapak melakukan tugas sesuai dengan yang saya katakan.""Iya Nyonya. Saya minta maaf. Maafkan saya karena sudah lalai dalam menjalankan tugas. Tapi Nyonya, saya tadi terpaksa membuka gerbang karena takut. Tuan Sasongko mengancam akan memenjarakan saya. Hal itu membuat saya langsung ingat pada istri dan anak-anak saya. Bagaimana nasib mereka kalau saya dipenjara?" tutur Pak Karsam yang masih tertunduk lesu.Sheira menghembuskan napas berat mendengar penjelasan dari satpamnya. Kedongkolannya pada Hendry menjadi berlipat-lipat. Sheira mengerti kalau Pak Karsam tidak sepenuhnya salah. Ia pun kemu
Hendry menelan ludah bersama semua kekesalannya. Ia sadar benar kalau apa pun yang ia ucapkan akan menjadi bumerang jika lawan bicaranya adalah Sheira. Entah bagaimana perempuan itu selalu bisa memelintir pernyataan Hendry hingga akhirnya menjadi senjata untuk menyerang."Aku akan langsung saja. Katakan padaku kenapa kau membuat putriku menangis? Kenapa kau membuat dia terlihat begitu menyedihkan dan memohon-mohon di kakimu seperti pengemis. Kau juga memiliki anak. Bagaimana perasaanmu jika aku melakukan hal yang sama kepada anakmu?" tanya Hendry yang menatap tajam sahabat almarhum istrinya."Hahaha ...." tawa Sheira menggema di ruang tamu. Perempuan itu berjalan perlahan dan duduk di sofa yang berbeda dari yang diduduki Hendry. Membuat Hendry memicingkan mata karena merasa Sheira telah mengolok-olok ucapannya. Sheira tertawa seolah apa yang dikatakan Hendry adalah banyolan yang sangat lucu."Itu tidak akan mungkin terjadi, Tuan Hendry Sasongko. Pertama, anakku
Janu menelan ludah setelah mengetahui yang sebenarnya terjadi. Ia menghembuskan napas panjang, menyayangkan kecelakaan yang sampai menewaskan Sinta."Janu, Ayah minta maaf. Kau benar, Ayah sudah melakukan kesalahan besar. Kini semua telah terungkap. Sinta sudah menunjukkan siapa dia sebenarnya.""Tidak, Ayah sudah keliru jika meminta maaf padaku. Ayah tidak punya salah padaku," kata Janu memasang senyum lebar. Sama sekali tidak menunjukkan adanya kemarahan apalagi dendam."Tapi Ayah sudah mengusirmu dari rumah.""Tidak Ayah. Sejak awal itu bukan rumahku. Tapi sejak kecil, Smith telah tinggal dan tumbuh besar di sana. Ada banyak kenangan manis di rumah itu. Jadi, akan lebih tepat jika Ayah meminta maaf pada Smith.""Benar, itu semua benar. Ayah tahu kesalahan Ayah pada Smith tidak akan termaafkan.""Tidak Ayah. Smith sudah berjanji untuk memaafkan Ayah."Janu pun ke luar untuk memanggil Smith. Sesaat kemudian Janu kembali dengan mengga
Bruaaakkk!"Mama!" jerit Sisil saat melihat mobil yang ditumpangi Sinta bertabrakan dengan mobil lain.Sontak saja jalanan sekitar menjadi sangat ramai. Orang-orang mulai berkerumun untuk melihat lebih dekat kecelakaan itu.Sementara itu, Smith masih berada dalam dekapan Janu. Peristiwa kecelakaan itu berada tepat di belakang mereka. Suara dua mobil yang bertubrukan itu terdengar begitu keras di telinga mereka. Kerasnya tabrakan yang terjadi bahkan sampai membuat salah satu mobil terbalik.Sisil langsung menghentikan mobilnya begitu saja, tanpa menepi dulu. Ia ke luar dengan berlinang air mata. Berlari mendekat untuk melihat keadaan mamanya."Mama ...!" jerit Sisil lebih lantang melihat mamanya mengeluarkan banyak darah dari kepala dan telinga.Smith dan Janu langsung menoleh. Mereka mengenal dengan baik suara perempuan yang berteriak itu. Smith dan Janu langsung terbelalak karena mengenal mobil yang terlibat kecelakaan lalu lint
Mendadak Smith dan Janu menjadi buronan banyak orang. Anak buah Hendry dan orang-orang Sinta sedang berusaha keras melacak keberadaan pasangan muda itu. Sedangkan Sisil, diam-diam mengikuti mamanya.Baik Hendry maupun Sinta sama-sama sibuk menghubungi nomor ponsel Smith, tapi jelas tidak tersambung karena ponsel Smith ikut terbakar. Mereka lantas menghubungi Janu, tapi tidak bisa juga. Ponsel Janu terjatuh ketika lelaki itu pingsan."Bangs*t! Lihat saja, kalau aku sampai menemukan kalian, aku pastikan kalian mamp*s!" umpat Sinta sambil mengendarai mobilnya. Sesekali ia menagih informasi hasil dari pencarian anak buahnya.***"Apa kau yakin kau tidak apa-apa?" tanya Smith melihat suaminya yang masih tampak pucat."Aku baik-baik saja. Selama kau bersamaku, aku akan selalu baik," jawab Janu sambil memegang tangan istrinya. Ia juga menyunggingkan senyum yang membuat hati Smith leleh hingga tanpa sadar pipinya memerah.Di dalam angkot itu hanya a
Dengan dada hampir meledak, Hendry membuka pintu rumahnya. Tidak cukup sampai di situ, Hendry juga berteriak-teriak memanggil sang istri.Pak Jono yang melihat hal itu, menjadi sangat takut. Ia tahu majikannya sedang sangat murka setelah mendengarkan pengakuannya.Sejujurnya Pak Jono terhitung nekat. Sinta telah melarangnya untuk mengatakan pada siapa pun bahwa majikannya itu telah pergi ke lingkungan kost Smith. Tapi Pak Jono tidak bisa menyembunyikan apa yang ia ketahui. Tuan Hendry harus tahu semuanya, begitulah pikir Pak Jono."Ada apa, Ayah?" kata Sisil yang baru saja membuka kulkas di dapur untuk mengambil air dingin. Ia Langsung berlari menghampiri sang ayah yang terdengar murka menyebut nama mamanya."Di mana mamamu?" bentak Hendry dengan urat leher yang mencuat.Sisil menelan ludah. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya sampai membentak dirinya. Sisil merasa tidak melakukan suatu kesalahan apa pun."Mama ... Mama sedang ke luar, Ayah,"
Sudah barang tentu kalau wajah Hendry tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang luar biasa besar melihat lingkungan kost tempat Smith dan Janu tinggal telah hangus terbakar. Bahkan hingga kini api masih diusahakan untuk dipadamkan.Tanpa pikir panjang, Hendry langsung ke luar dari dalam mobilnya. Ia pun berlari mendekat, bertanya pada siapa saja yang ia temui terkait keberadaan putri dan menantunya. Tapi tentu saja semua yang ia tanyai menggeleng. Tidak ada satu pun yang mengenal orang bernama Smith dan Janu. Mereka bahkan tidak tahu siapa lelaki berkemeja hitam yang bertanya pada mereka.Benar, meski Hendry Sasongko adalah pengusaha sukses yang sering muncul dalam koran bisnis ataupun berita-berita di internet, bahkan televisi, kenyataannya sosoknya tidak menjadi penting dan berharga bagi orang-orang pinggiran di sana.Bagi mereka hidup adalah perjuangan tiada akhir. Tidak berjuang artinya tidak akan makan, sama dengan menggali lubang sendiri. Hal-hal terk
Janu melepas sendiri selang oksigen yang terpasang. Ia merasa kurang leluasa untuk berbicara. Tentu saja hal itu membuat Smith menanyakan kondisinya. Smith tampak sangat gusar melihat Janu yang masih pucat dan lemah."Tidak apa. Aku baik-baik saja. Melihatmu ada di hadapanku seperti ini membuatku langsung sembuh. Katakan padaku apa kau terluka? Apa ada tubuhmu yang terkena api?" kata Janu yang merasa seperti satu tahun tidak bertemu dengan istrinya."Sebagai orang yang baru sadar, kau terlalu banyak bicara," tukas Smith dengan wajah kesal, tapi hatinya sangat senang dan lega."Maafkan aku. Aku tidak bisa menahan diri. Selalu ingin berbicara saat bersamamu. Sekarang jawablah, apa kau terluka?""Tidak, aku baik-baik saja. Katakan padaku bagaimana dengan napasmu? Apa masih terasa sesak?" tanya Smith dengan jantung yang nyaris melompat ke luar."Tidak," jawab Janu yang kemudian menghela napas panjang untuk memastikan napasnya memang telah normal.
Smith terbatuk-batuk. Tidak dipungkiri kepulan asap membuat dadanya menjadi sangat sesak. Juga penglihatan yang menjadi sangat terbatas. Ia berkedip beberapa kali karena asap itu juga membuat matanya perih.Janu masih mengira bahwa Smith yang alergi debu menjadi sangat tersiksa karena asap yang memenuhi bilik kost mereka. Ia lekas-lekas mengambil dua pakaian dari dalam lemari dan mencelupkannya ke dalam bak air. Dengan sigap Janu menutupkan baju itu ke hidung istrinya.Dari luar, suara teriakan Pak Herman memberi peringatan pada Smith dan Janu yang masih terperangkap api. Pak Herman menjadi sangat was-was melihat dua sandal yang ada di depan pintu kost nomor empat. Asal tahu saja, bagian depan bilik, termasuk atap dan pintu telah dipenuhi api. Tidak ada jalan bagi Smith dan Janu untuk ke luar."Smith jangan biarkan kain ini lepas dari mulutmu. Aku akan mengambil selimut," kata Janu setengah berteriak. Ia bersicepat menarik selimut putih yang ada di atas ranjang.
Pagi-pagi sekali Sinta telah rapi. Ia mengendap diam-diam ke luar dari kamar, tidak ingin diketahui oleh Hendry. Sinta akan melakukan pekerjaan besar hari ini. Sebuah pekerjaan yang akan sangat menyenangkan jika sampai berhasil dilakukan.Dengan cepat Sinta berjalan menuju lantai dasar. Ia bahkan membuka pintu rumah dengan hati-hati agar tidak ada orang rumah yang mendengar.Sinta tersenyum lebar saat melihat Pak Jono sedang mengelap mobil. Ia pun bergegas menghampiri Pak Jono."Pak, cepat antarkan aku!" perintah Sinta tanpa basa-basi. Semakin cepat ia pergi, akan semakin baik."Ke mana Nyonya?" tanya Pak Jono keheranan. Biasanya majikannya itu lebih memilih untuk ke luar dengan mengemudikan mobil sendiri. Selain itu, hari masih terlalu pagi untuk Nyonya Sinta bangun.Satu-satunya alasan Sinta memilih untuk ke luar diantar Pak Jono adalah lantaran ia tidak tahu pasti lokasi yang dituju sebab belum pernah ke sana. Meski Sinta mengantungi alamatnya,
Pak Jono menghembuskan napas panjang, bingung dengan tujuan dari sang majikan yang memintanya mengantar ke satu tempat dan berpindah ke tempat lain, tanpa tahu apa yang ingin dilakukan.Pak Jono mengamati ekspresi wajah sang majikan yang tampak tetap berkerut dahinya. Ia juga bisa melihat gurat kecemasan yang membuat sang majikan menatap ke arah jendela mobil, memandang entah."Tuan ... " panggil Pak Jono akhirnya setelah tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya."Ada apa Pak Jono?" sahut Hendry masih dengan kening mengernyit."Apa ... tadi Tuan ingin menemui Bibi Ipah?""Ya," jawab Hendry cepat dan singkat. Seolah sebagai tanda tidak boleh ada dialog lagi sesudahnya.Entah mengapa jawaban Hendry itu membuat Pak Jono menelan ludah. Sejujurnya Pak Jono ingin bertanya lebih lanjut menyoal tujuan majikannya itu menemui Bibi Ipah padahal hari sudah larut dan semestinya majikannya itu tahu kalau panti tentu sudah tutup.Pak Jono j