Tak seperti pagi sebelumnya, Linggar merasa asing di tempat baru tersebut. Beranjak dari tempat tidurnya, lantas bersih-bersih dan menuju tempat terbaik untuknya menyalurkan kreativitas, dapur. Tidak banyak bahan makanan yang dipersiapkan Pramudita, namun masih bisa Linggar siasati.
"Apa yang kamu lakukan?" Semerbak wangi maskulin dengan campuran bau woody dan musky menyeruak ke dalam hidung. Linggar otomatis menoleh, menatap pria yang datang dengan rambut setengah basah itu."Selamat pagi, Mas. Aku hari ini buat sarapan," ucap Linggar, kembali berkutat dengan penggorengan.Pramudita mengangguk, kemudian menarik kursi meja makan. Menatap punggung wanita itu seperti menari, memainkan alat masak. "Mas Pram, ingin kopi panas?""Tentu saja. Gulanya sedikit saja," jawab Pramudita.Wanita dua puluh lima tahun itu memasukan kapsul kopi ke dalam mesin, menantikan rintikan air hitam itu memenuhi cangkirnya. Kemudian membawa dua piring nasi goreng ke hadapan Pramudita."Maaf, Mas, aku hanya masak seperti ini saja. Tidak ada bahan makanan di sini," ucap Linggar."Tidak masalah. Nanti beli bahan makanan yang kamu inginkan." Pramudita menatap lapar masakan Linggar, tercium wangi.Disusul dua cangkir kopi sebagai temannya. Mereka kemudian sarapan dengan hikmat, tak ada pembicaraan setelahnya. Hingga sarapan tersisa setengah, baik Linggar atau Pramudita tidak ada yang membuka suara. Linggar berdehem, kemudian menyeruput kopinya. "Mas, kamu sepertinya tidak suka dengan Mas Dipta, Mas. Memangnya kalian punya masalah ya?"Pramudita mengangguk. "Banyak masalah."Linggar memperbaiki duduknya, menghadap Pramudita lebih lekat. Tatapannya mengisyaratkan penjelasan lebih. Wanita itu terlampau penasaran di balik cerita tentang adik dan kakak tersebut. Selama ini Pradipta tak pernah cerita apa pun tentang Pramudita."Tentang apa, Mas?""Aku tidak ingin bercerita," jawab Pramudita singkat. Ia mengangkat cangkirnya, kemudian menyesap kopi perlahan."Mas Pram, aku ingin mendengarnya. Lagi pula di rumah ini hanya ada aku dan kamu, tidak ada orang lain. Paling juga setan, nggak mungkin akan bocor." Linggar memberikan tatapan memohon ke hadapan Pramudita. Tak sengaja tangan Linggar menyentuh lengan Pramudita, membuat pria itu menggeram tak suka. Tatapannya berubah dingin nan menusuk. "Lepaskan!""Iya, maaf. Cerita dong, Mas."Mungkin sekitar lima belas jam yang lalu Pramudita resmi memboyong Linggar ke rumah barunya. Rumah tersebut adalah investasi lama yang telah dipersiapkan matang oleh Pramudita bila telah menikah. Akhirnya kini ia telah membuang status lajangnya. Seluruh perlengkapan telah dicicil beberapa tahun lalu oleh Pramudita dengan harapan setelah menikah hanya tinggal menempati. Akhirnya Linggar menikmati hal itu semua. Ia merasa pemikiran Pramudita lebih dewasa dan tertata ketimbang adiknya, Pradipta.Pramudita menghela napas panjang. "Pradipta pernah merebut pacarku.""Dia bilang kamu gagal nikah, Mas. Memangnya benar?"Pramudita menggeleng. "Tidak. Aku belum hanya memiliki rencana untuk serius, lalu menabung dan kredit rumah ini. Entah dengan siapa aku menikah, nanti rumah ini akan aku tempati dengan istriku.""Sayangnya saat itu pacarku malah menyukai adikku sendiri. Mereka sempat pacaran setelah kami putus. Aku tidak tahu masalahnya apa, mereka putus beberapa bulan kemudian. Setelah itu, dia pacaran denganmu."Linggar mengerutkan dahinya, kembali mengingat pertama kali dirinya mengenal Pradipta. Pria yang tak sengaja menabraknya di mal kala itu. Sebagai permintaan maaf, Pradipta mengajak Linggar makan bersama. Sejak itu komunikasi di antara mereka berjalan lancar, hingga menghasilkan bibit cinta."Seingatku dulu, dia pernah cerita tak pernah pacaran sebelum pacaran denganku."Pria itu berdecak. "Kamu percaya?"Linggar mengangguk. "Aku selalu apa yang dia katakan, Mas.""Dasar bodoh! Kamu tahu tidak, Enggar, adik iparmu itu rajanya menipu dan merayu. Pantas saja kamu terlena olehnya," ejek Pramudita."Jadi, kamu menikahi aku karena ingin balas dendam?" Mata Linggar menyipit.Tanpa jawaban, Pramudita beranjak dari duduknya. "Aku telah selesai sarapan."Kemudian ia berjalan ke arah kamarnya berada di lantai atas. Pria itu mengantongi tangan kirinya sedangkan tangan kanan membawa cangkir sisa kopinya, tak ada kata perpisahan untuk sang istri. Linggar menghela napas setelah punggung pria itu tak terlihat. "Baru akrab sebentar, malah pergi lagi. Aku harus tambah giat untuk mengejar Mas Pramudita. Penasaran sekali dengan dia.""Aku yakin lambat laun Mas Pram bisa menerima aku di sini sebagai istrinya," lanjut Linggar dengan nada penuh keyakinan.Tatapannya tertuju pada piring Pramudita yang telah bersih, tidak ada satu pun bulir nasi yang tersisa. Pria itu makan dengan cepat. Membuat senyuman timbul di bibir Linggar."Ternyata Mas Pram menyukai masakanku." Ponsel Linggar bergetar. Ia melihat satu nama yang masih membuat hatinya panas, Pradipta, sang adik ipar. Entah hal apa lagi yang ingin dibahas oleh pria tersebut, hingga berani mengirimkan pesan untuk dirinya."Kenapa kamu masih mengganggu hidupku, Mas? Bagaimana bila Mbak Gendhis tahu hal ini? Pasti aku yang akan disalahkan olehnya. Aku yang akan dianggap berusaha merebut suami orang lain," keluh Linggar.Bagaimana, Dik Enggar? Apa Mas Pram mau menyentuhmu? Hahaha, kamu harus tau fakta bila kakakku itu tidak suka perempuan. Linggar tak menghiraukan. Ia buru-buru keluar dari room chat Pradipta. Kepikiran dengan dirinya yang tak sengaja menyentuh lengan Pramudita berakhir membuat pria itu marah."Masa iya Mas Pram tidak suka perempuan?"Kembali pesan masuk ke dalam ponselnya. Linggar merasa penasaran dengan isi pesan tersebut.Kalau kamu tidak percaya, goda saja dirinya. Aku yakin dia tidak punya gairah dengan seorang perempuan. Mas Pram hanya menyukai sesama jenis. Menikah denganmu hanya menutupi ketidaknormalan itu.
Hingga malam menjelang, pria itu tidak kunjung keluar dari kamarnya. Bahkan tak terdengar adanya aktivitas dari dalam kamar Pramudita. Linggar risau, entah hal apa yang tengah dilakukan pria tersebut. "Apa yang dilakukan Mas Pram seharian di kamar? Semedi?" Kening Linggar mengerut. Helaan napas Linggar terdengar kasar. "Seharian tidak keluar, apa tidak merasakan lapar? Apa tidak bosan?" Melintasi depan kamar Pramudita, langkah kaki Linggar terhenti. Tangannya terangkat, ingin mengetuk pintu kamar pintunya. Namun, buru-buru Linggar hentikan. Ia teringat akan pesan sang suami, untuk mengetuk pintu bila ada hal yang penting saja. "Jangan mengganggu," desis Linggar. Kemudian Linggar memilih melanjutkan langkahnya, perut semakin meronta meminta jatah. Untung saja masih ada makanan tersisa di lemari pendingin, Linggar bisa memanasi sebentar di microwave. Pandangan matanya tertuju pada tangga, lengang, tidak ada suara derap langkah. Membuat Linggar membuang napas kembali. Khawatir terja
"Apa yang harus aku lakukan lagi?" Linggar menghela napas panjang, wajahnya tampak kusut. Sudah satu jam wanita dua puluh lima tahun tersebut termenung di taman kecil yang terletak di halaman belakang. Kepalanya terasa bising, saling berebut atensi untuk dipikirkan. Linggar tidak dapat berbuat banyak. Ponselnya kembali bergetar, membuat pandangan Linggar teralihkan. Dahinya mengerut dalam hingga bertumpuk-tumpuk, terlebih menatap nama Pradipta kembali tertera di layar gawai tersebut. "Ada apa lagi?" Linggar berdesak kesal, kemudian meraih gawainya. Rasa penasaran kembali menghantui pikirannya. Pradipta mengirimkan foto seorang pria tengah merangkul pria lain, foto tersebut diambil dari samping. Linggar merasa tidak asing akan pria yang tengah tertawa dengan tangan yang berada di bahu teman prianya. Mata Linggar menyipit, lantas memperbesar foto tersebut hingga terlihat wajah pria itu meski sedikit buram. Jujur sebenarnya Linggar merasa tidak yakin akan tebakannya. Ia masih menyim
"Apa lagi yang ingin aku beli?" Wanita itu menimang kartu kredit yang berada di tangan kirinya. Tiga paper bag berukuran sedang berada di tangan kanannya, masih ada barang yang ia beli. Terlebih suaminya tidak memberatkan untuknya membeli barang apa pun yang diinginkan, meski demikian ia hanya memakai kartu tersebut seperlunya saja. Linggar, merasa butuh me time setelah banyak masalah yang menerpa. Ia tak ingin terus terpaku pada keadaan, perlahan bangkit dan melupakan kenangan pahit itu jauh-jauh. Tidak ada keuntungan yang dapat ia dulang. "Lama tidak merasakan jalan-jalan dan menikmati waktu sendiri. Tidak buruk juga. Pikiran dan hati juga terasa lebih tenang," ucap Linggar. Kartu tersebut kembali ia masukkan ke dalam tas hitam kecil yang menjadi penunjang penampilannya. Memakai gaun di atas lutut berwarna merah muda dengan motif bunga sakura, rambut hitam terurai menjuntai dengan ikal di ujung. Sepatu kets berwarna senada dengan tasnya dan tidak lupa jam tangan melingkar di tan
Tatapan Linggar tertuju pada lampu rumah yang telah menyala keseluruhan. Ia menduga bila suaminya pulang lebih awal ketimbang dirinya. Padahal pria itu pamit akan pulang malam, namun pukul tujuh sudah sampai di rumah. Kok Mas Pram sudah pulang? Katanya tadi akan pulang malam, tapi jam tujuh sudah sampai di rumah. Mas Pram marah tidak ya? Linggar membatin dengan jantung berdetak kencang, was-was bila pria itu akan marah besar. Perlahan tangan Linggar memutar knop pintu, membuka pintu dengan pelan, berusaha tidak menimbulkan suara. Hawa dingin langsung menyapu kulitnya, entah perasaannya atau memang seperti itu adanya, suhu ruang tamu mendadak merayap turun. "Kamu dari mana?" Suara berat itu mengejutkan langkah Linggar, jantung terasa berhenti, darahnya mendadak panas. Pelan-pelan lehernya menoleh, menatap pria yang berdiri di dekat jendela dengan melipat kedua tangannya di depan dada. Tatapannya tajam dengan rahang mengeras. Linggar tak memiliki keberanian untuk menatap kedua mata P
"Yang terpenting aku sudah minta izin dengan Mas Pram." Linggar tersenyum kecil, kala kakinya melangkah masuk ke dalam restoran tempat yang sudah dijanjikan oleh temannya. Aku sudah sampai, Enggar. Aku tunggu di meja nomor delapan belas ya, sesuai dengan meja kesukaanmu dahulu. Pesan itu masuk tadi pagi sebelum Linggar berangkat, membuat senyuman terangkat di bibirnya. Bahkan ia menjadi perempuan paling bahagia, hal sekecil itu berhasil diingat oleh orang yang pernah dekat di masa lalu. Restoran Kenangan, menjadi pilihan. Seperti namanya, di sana memiliki segudang kenangan yang terus ingin Linggar putar di dalam memorinya. Tidak sedikit saja keinginan untuk melupakan. Setiap kali datang ke sana, rasanya ia seperti bernostalgia, meski sudah tidak bersama. "Kenapa jantungku selalu berdetak lebih cepat dari biasanya setiap ke sini? Aku tidak mengerti, mengapa setiap sudut restoran ini memiliki kenangan yang terus melekat di dalam kepalaku?" Wajah Linggar berseri-seri, kebahagiaan tera
Tak banyak perbedaan dari hari sebelumnya. Linggar kembali termenung di meja makan, menunggu sang suami turun dari lantai dua. Minggu pagi, tentu mereka akan menghabiskan waktu seharian penuh di rumah tersebut. Pikiran Linggar banyak merancang hal-hal menarik yang mungkin dapat ia dan suaminya lakukan. "Mungkin aku bisa mengajak Mas Pram menata taman belakang," ujar Linggar, kemudian kepalanya menggeleng. "Tidak, jangan itu. Aku yakin Mas Pram mudah merasa bosan. Lebih baik aku mencari hal lain saja." Linggar tidak ingin menyia-nyiakan sedikit saja waktunya bersama Pramudita. Terlebih mereka tidak memiliki waktu berkualitas yang dihabiskan bersama, untuk membahas tentang keduanya. Hal ini membuat Linggar sadar akan pentingnya saling mengenal satu sama lain, meski Pramudita masih terkesan menutup diri. Tidak ada hal yang tidak mungkin. Linggar yakin bila lambat laun, Pramudita akan menjadi lunak dan luluh akan kehadirannya. Dan juga berharap pria tersebut dapat kembali menjadi pria
Wajah Pramudita tidak bersahabat, mulai dari semalam ia memilih diam di ruangan kerjanya. Bahkan tidak peduli akan gangguan yang terus dilakukan oleh Linggar untuknya. Setelah berhasil keluar dari kurungan, wanita tersebut semakin berani bertindak. Terus mengganggu ketenangan Pramudita. Hingga pagi ini pun tercatat lebih dari dua puluh kali wanita tersebut bolak-balik di depan pintu ruangan Pramudita. Pria tersebut enggan untuk keluar sekadar bertanya, membiarkan saja. Hatinya masih dongkol dengan ulah Linggar, terlalu berani mengenakan baju pendek di hadapannya. "Sudah waktunya berangkat ke kantor," ucap Pramudita. Beberapa barang penting telah ia masukkan ke dalam tas sejak semalam. Ia tidak ingin ada yang tertinggal, meski satu barang. Sisanya pagi ini kembali ia periksa, kemudian menambahkan kekurangannya. Langkah kakinya terhenti kala ponsel berada digenggaman bergetar. Awalnya tak dihiraukan, lama-lama pesan yang masuk tidak hanya satu. Membuat Pramudita mejadi penasaran, tak
"Kamu tidak akan bisa lari dariku," ucap Pradipta kemudian mengantongi gawainya.Seluruh hal yang keluar dari bibirnya tidak hanya sebatas gertakan semata, Pradipta bersungguh-sungguh. Dianggap sepele oleh lawan bicaranya, sang mantan kekasih yang kini menjadi kakak iparnya."Dik Enggar, aku tidak pernah berbohong dengan semua ucapanku. Kenapa kamu selalu menganggap enteng ucapanku? Apa selama ini kamu selalu memandang aku sebelah mata?" Pradipta tersenyum miring, kemudian menggigit kukunya."Dari awal aku sudah baik memberikan penawaran untukmu, sayang sekali kamu selalu meremehkan aku. Ini adalah akibatnya kamu tidak mempertimbangkan penawaran yang sudah aku ajukan," lanjut Pradipta dengan meremas tangannya.Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. "Lagi pula ini yang aku inginkan dari hubungan kamu dan Mas Pram, Dik Enggar. Setelah kalian berpisah, maka aku akan memutuskan untuk bercerai. Aku akan membawamu kembali ke dalam pelukanku.""Aku yakin Mas Pram tidak mungk
"Kamu, kenapa senyam-senyum sendirian?" Wanita itu tampak tertawa, menatap wajah teman pria yang sedang tersenyum memegang ponsel di tangan. "Apa yang kamu lihat?" lanjutnya.Pria itu berdehem, wajahnya sumringah, kebahagiaan memancar begitu kental. Tidak ada keraguan sedikit saja. Ia memperlihatkan foto itu ke teman wanitanya, membuat tawa itu sirna dari garis wajahnya."Sudah lama aku suka sama dia, sayangnya aku tidak berani untuk mengungkapkan perasaan ini. Sepertinya selama ini pun dia hanya menganggap aku sebagai teman biasa saja. Menurut kamu bagaimana?" Pria itu menoleh.Kerutan di dahinya tampak semakin jelas. "Kamu kenapa cemberut? Apa kamu nggak suka aku ada perasaan sama dia?"Wanita itu menggelengkan kepalanya kuat, kemudian memunculkan senyuman penuh dengan kehangatan. "Siapa bilang? Aku bahagia sekali!""Apa saja yang sahabat aku lakukan, pasti aku bahagia!" Wanita itu bersorak dengan mengepalkan tangan ke depan."Terima kasih, Rim. Kamu tahu tidak bagaimana cara mende
"Aku dengar, kamu sempat menikah. Lalu, kenapa sekarang kamu ada di sini?" Wanita dengan rambut cokelat gelap itu menoleh, mengerutkan dahinya.Pria itu membuang napas, wajahnya tampak seperti tak ingin membahas permasalahan tersebut. Sayangnya, wanita itu bertanya lebih detail mau tak mau harus ia jelaskan lebih detail. Tidak mungkin ia biarkan wanita cantik yang beberapa bulan terakhir ini mengisi harinya menunggu lebih lama lagi."Dari siapa?" "Bukankah seharusnya kamu menikah dengan temanku, mengapa bisa bertukar menjadi kakakmu? Aku menunggu penjelasan darimu," jawabnya.Pradipta termenung sesaat, ia membenarkan jaket bulu tebal yang membungkus tubuhnya. Pandangan mata lurus menatap danau di hadapannya. Bibirnya tampak kelu untuk memberikan penjelasan lebih sebenarnya, hanya saja ia tidak ingin membuat wanita itu semakin bertanya-tanya.Wanita itu membuang napas, kemudian menundukkan wajahnya. "Mungkin pertanyaanku terlalu sensitif untukmu, tidak masalah jika kamu tidak ingin me
Linggar dan Pramudita dianugerahi anak laki-laki yang sehat dan tampan. Kelahiran putra pertama mereka disambut hangat dan sukacita oleh kakek dan neneknya dari keluarga Linggar dan juga Pramudita, maklum saja dia adalah cucu pertama mereka. Abimanyu, nama sapaan si ganteng keturunan Pramudita.Wajah Abimanyu tampan seperti ayahnya sayangnya sikap dan perilaku menurun dari ibunya. Ibarat kata Abimanyu adalah Linggar versi laki-laki. Terkadang bisa teramat cerewet layaknya anak perempuan pada umumnya. Tapi, di usianya yang menginjak empat tahun ini banyak progres dari pertumbuhannya.Bahkan Abimanyu gemar membaca buku tentang IPA dan Matematika, membuat Linggar takut jika anaknya terlalu cepat dari anak-anak sebayanya. Apa lagi Abimanyu juga belum ikut paud, masih belajar atau tidak bersama dirinya. Tapi kecerdasan yang dimiliki Abimanyu sudah melebihi seusianya, antara sedih dan senang Linggar malah bingung sendiri. Ia takut jika kelebihan yang anaknya miliki adalah sebuah beban di ke
7 bulan kemudian.Linggar yang sedang hamil tidak bisa menahan nasabnya untuk ngemil. Setelah melewati masa tiga bulan yang penuh beban seperti sering muntah, tidak bisa makan apa pun kecuali bubur dan sering lemas di pagi hari, menginjak bulan keempat dan hingga sekarang, bulan ketujuh kandungannya membaik. Berbagai makanan mulai dari rujak sampai camilan ingin ia coba semua kecuali olahan dari susu sapi, iya mual tiap kali mencium bau susu. Kehamilannya justru membuat Pramudita senang, karena setiap pulang kerja selalu ada makanan yang diminta untuk dibelikan.Selama hamil ia juga merasa perlu badan cantik dan wangi, iya juga tidak suka parfum miliknya dan lebih suka menggunakan parfum milik sang suami. Alhasil, beberapa deret parfum yang telah ia beli isi botolnya masih terisi penuh. Berbeda dengan milik Pramudita yang tersisa hanya seperempat botol saja setiap minggunya."Mas Pram mana sih, kok nggak pulang-pulang." Linggar kembali menggerutu dengan memangku satu toples keripik si
"Kamu mau anak berapa, Sayang?" Pramudita memeluk erat tubuh istrinya dari belakang, mereka masih berbalutkan selimut. Wanita tersebut tampak kurang nyaman, matanya sedikit terpejam. Badan terasa remuk, terlebih suaminya selalu minta penyatuan lebih dari satu kali. Hal ini menguras tenaganya lebih banyak, tentu membuat tubuh semakin lemas. "Sayang, jangan tidur dulu dong. Kamu ingin anak berapa nanti?" tanya Pramudita dengan menggoyangkan tubuh Linggar, membuat wanita itu membuka mata kembali. "Apa, Mas? Memangnya kamu tidak ngantuk?" Mata Linggar masih tertutup. Pramudita menggeleng. "Siapa kata aku mengantuk, Dik? Aku tidak pernah mengantuk, yang aku inginkan hanya bersama kamu selalu." "Aku saja capek, Mas, masa kamu tidak? Kita istirahat sebentar saja, Mas, nanti kita main lagi." Linggar mengusap tangan Pramudita yang berada di perutnya. "Aku ingin anak dua atau tiga, Dik. Aku ingin membuat rumah kita menjadi ramai, saat aku pulang disambut anak-anak dan kamu tentunya. Pasti
"Tini, aku ingin hubungan kita seperti dahulu kala. Apa kamu tidak ingin kita kembali memperbaiki hubungan kita?" Wanita dengan rambut digulung ke atas itu membuang napas kasar, wajahnya tampak tidak begitu antusias. Cenderung murung dan masam, bahkan pandangan matanya tertunduk. Tak menatap pria yang pernah ada di hatinya tersebut."Sudah aku katakan, Mas, aku tidak bisa. Hubungan kita telah berakhir dan aku tidak ingin memulainya kembali. Aku sudah menutup buku kenangan tentang kita, tidak akan ada lagi kita di masa depan. Sekarang aku hanya fokus untuk anak-anak saja," jawab wanita itu tegas."Kita menikah pun anak-anak pasti akan senang, Tini. Mereka akan bahagia melihat kedua orang tuanya kembali rukun. Apa lagi sudah lama mereka tidak pernah melihat kedua orang tuanya saling bahagia bersama," bujuk Juwanto.Aroma latte menguat di ruangan ber-Ac. Kartini memejamkan mata menikmati aroma yang begitu menggiurkan. Latte adalah salah satu kopi yang menjadi favoritnya sejak kepergian
"Kamu mau ke mana?" Pemaudita melipat kedua tangannya di depan dada, wajahnya tampak datar dengan rahang mengeras."Itu sudah menjadi tanggung jawab kamu, Dipta. Kamu ingin lari dari tanggung jawabmu?" Pria dua puluh tujuh tahun itu membuang napas panjang, berdebat dengan sang kakak selalu tak mendapat celah. Pramudita selalu berhasil membuat lawan bicara mati gaya. "Aku hanya ingin mencari ketenangan sebentar saja, Mas. Aku tidak pernah lari dari tanggung jawab, maka dari itu aku ingin kamu yang sementara ini memegang perusahaan. Satu tahun nanti aku akan kembali ke sini, Mas, aku hanya titip sebentar ke kamu. Tidak mungkin aku serahkan kembali ke Bapak 'kan, Mas? Bapak mana mungkin mau mengurus perusahaan," jelas Pradipta."Yang bisa mengurus itu hanya kamu, Mas. Aku percaya sama kamu, Mas. Lagi pula kamu bisa mengajak Linggar. Kalian bisa kerja sama berdua mengurus perusahaan 'kan, Mas? Ayolah, Mas, kamu pegang dua perusahaan. Aku satu bulan sekali bakal pulang," lanjutnya.Pramu
"Maaf, Dik, aku salah besar selama ini ke kamu. Maafkan aku." Linggar mengangguk, air mata terasa berada di pelupuk matanya. Ia tak dapat menahan rasa sedihnya melihat saudara sendiri memakai baju tahanan. Terlebih wajah kakak sepupunya itu begitu pucat dan melas, tidak seperti hati biasanya yang cantik dengan balutan riasan. "Terlalu banyak salah yang aku perbuat ke kamu ya, aku sampai bingung harus dengan cara apa aku meminta maaf ke kamu. Pasti jadi kamu pun tidak mudah, belum tentu hatimu lapang untuk memaafkan kesalahan aku. Tidak masalah, aku sama sekali tidak memaksa kamu untuk memaafkan kesalahanku." Wanita itu mengusap air matanya. "Setidaknya kamu masih mau bertemu denganku, artinya masih ada kesempatan aku untuk mengubah semua menjadi lebih baik. Maafkan kesalahanku, Dik.""Aku bahkan dengan sengaja merebut calon suami kamu di hari bahagiamu, Dik. Itu semua salah, aku sangat salah besar. Harusnya tidak seperti itu," lanjutnya berurai air mata."Iya, Mbak, aku sudah mema
"... 7 tahun penjara." Wanita menangis tersedu-sedu, tak dapat berbuat apa-apa. Nasibnya telah final, palu telah terketuk. Tak hanya itu saja, selain hukuman penjara ia harus menanggung persidangan yang lain, sidang cerai. Dalam waktu berdekatan wanita itu melakukan dua kali persidangan. Sang suami tega melayangkan gugatan cerai atas apa yang sudah ia lakukan. Akibat satu kesalahan berakibat cukup fatal, hingga merambah ke jalinan asmaranya. Pernikahan baru seumur jagung harus kandas di peradilan agama. Teringat akan kesalahan yang bertumpuk-tumpuk telah diperbuat ke adik sepupunya. Dari mereka belia hingga detik tak pernah surut rasa iri yang tertanam di dalam hatinya. Entah apa pun yang dapat dicapai oleh adik sepupunya, ia selalu tidak terima akan timbul rasa tidak suka. Lebih lagi seluruh keluarga besarnya selalu membanggakan prestasi adik iparnya dan membandingkan dengan dirinya.Jiwa kecilnya selalu terbentuk untuk balas dendam. Lantas melakukan segala cara agar semuanya dapa