Aaron beringsut. "Tidak usah beri jawaban sekarang. Anggap saja aku tidak pernah bertanya seperti tadi. Saat ini aku sangat membutuhkan kalian.""Pokoknya kamu tentang saja, aku yang akan mengurus surat perceraiannya nanti. Tapi, tidak sekarang-sekarang. Bagaimana?" lanjut Aaron memastikan. Bella tersenyum simpul. "Jadi, intinya ini adalah perpanjangan kontrak?"Aaron tersenyum samar. "Bisa dibilang begitu."Bella mengangguk. "Baiklah!"Aaron menunjukkan kamar untuk Bella dan Alessandro diami. Setelah itu Aaron menghubungi sopir dan baby sitter agar membeli segala kebutuhan Alessandro juga Bella. Hari mulai senja. Bella ke luar kamar. Ia melihat Aaron tengah tertidur pulas di sofa ruang tamu. Banyak pula barang-barang seperti pakaian bayi, mainan bayi, sampai kereta bayi di sana. Bella menghampiri. Rupanya ada beberapa kantong berisi pakaian, sandal, sepatu, tas, sampai peralatan make-up untuk Bella. Satu pe
Emilia yang mendapatkan kabar duka, segera melakukan perjalanan ke kota Birmingham. Terselip rasa bahagia dalam hati. Bagaimana tidak? Kota Birmingham adalah kota dimana ia dipertemukan dengan cinta pertamanya --Aaron. Cinta pertama yang mungkin bertepuk sebelah tangan. Tidak masalah, Emilia akan berusaha memenangkan hati Aaron. "Masuk!" titah Kevin, saat Emilia tiba di bandara. "Kok, kamu lagi, sih?!" Emilia merasa heran. "Gak usah cerewet. Mau ketemu Tuan Robert atau tidak?"Emilia mendelik, lalu naik ke dalam mobil Kevin. Jarak bandara ke rumah sakit terbilang dekat. Dalam waktu dua puluh menit saja mereka sudah tiba di rumah sakit. *Emilia berjalan cepat mengikuti langkah Kevin menyusuri lorong rumah sakit. "Bisa pelan tidak?!" hardik Emilia. Kevin tak memedulikan Emilia yang kepayahan menggeret koper. Druk Druk Druk! Suara roda koper kian terdengar kencang seiring dengan
Mitha meminta kepada Aaron agar tidak menyalahkan Bella, karena dirinyalah yang memaksa Bella untuk memberikan alamatnya."Mami ke sini hanya ingin menyampaikan bahwa papamu ingin bertemu. Semalam terkena serangan jantung. Makanya, dokter belum memperbolehkan pulang."Aaron hanya diam. "Kamu boleh membenci Mami. Tapi, tolong jangan benci papa kandungmu. Yang lalu biarlah berlalu. Ingatlah perjuangannya dulu. Kamu dengar sendiri, kan? Demi melihatmu tetap hidup, papamu mengorbankan segalanya. Itu memang benar adanya, Aaron." Tak terasa bulir bening menetes di wajah wanita paruh baya itu. Bella yang menyaksikan itu tak sanggup melihat. Ia menghampiri Mitha dan memeluknya dari belakang. "Maafin Bella juga, ya, Mi. Gara-gara Bella, Tuan Ro--""Kamu tidak salah, Nak. Semua sudah jalannya seperti ini." Mitha mengelus tangan Bella. Bella beranjak. "Sekarang, lebih baik kita sarapan bersama." Bella mengambil piring dan henda
Tibalah mereka di sebuah mall terbesar di kota Birmingham dimana di dalamnya terdapat sebuah playground ramah untuk bayi. Alessandro terlihat senang melihat bola warna-warni. Bella pun membiarkan putranya tengkurap. Bayi itu merespon sangat baik saat Aaron memberinya sebuah bola kecil. "Sana, temani saja Mami. Mungkin ini waktu yang tepat pula untuk kalian bicara," ujar Bella."Bicara apa?" Aaron malah balik bertanya. "Ya terserah kau. Mungkin juga Mami lagi butuh kawan curhat."Sejenak Aaron terdiam. Ia melihat ke arah Mitha. Aaron mencium pipi Alessandro gemas. "Main sama Mama dulu, ya, Nak?" Ia pun menemui Mitha. "Mami senang melihat kalian," ucap Mitha saat Aaron duduk tepat di sampingnya. Aaron tersenyum samar. "Kalian yakin akan bercerai?"Aaron spontan menoleh mendengar Mitha bicara demikian. "Be-bercerai? Ah, tidak. Kata siapa kami akan bercerai, Mi?"Mitha menarik napasnya dalam-
Aaron dan keluarga sudah tiba di Valencia. Kedatangan mereka disambut hangat sekaligus kaget ketika melihat Mitha. "Cucu Nenek!" Belinda langsung memangku Alessandro dan menciuminya gemas. "Ayah sehat?" tanya Bella sembari memeluk. "Sehat, Nak." Julio melerai pelukan. "Apa kabar, Yah?" Giliran Aaron yang menyapa. "Seperti yang kau lihat. Ayah sudah bisa berdiri," jawab Julio yang kemudian tersenyum. "Syukurlah kalau Nyonya sudah sembuh," ujar Belinda kepada Mitha. Mitha tersenyum canggung. "Ah, iya."Sementara Bella pergi ke dapur untuk menyiapkan minum serta camilan, Mitha yang tidak ingin oreng tua Bella mendengar langsung dari orang lain, akhirnya buka suara. Ia menceritakan apa yang sudah menimpa keluarga sehingga Bella menjadi korban. Julio dan Belinda saling menatap, tak percaya. "Sejujurnya aku marah. Tapi, mau sebesar apa pun juga aku marah, itu tidak akan membalikkan keadaan,
Aaron dan keluarga sedang dalam perjalanan pulang. Dalam kamar pesawat jet yang nyaman, Alessandro kembali tertidur. "Jadi, bagaimana dengan kalian?" tanya Mitha. Aaron dan Bella saling memandang. Hal tak terduga Bella dapatkan, yakni Aaron menggenggam tangannya juga menciumnya. "Kami putuskan untuk tetap bersama, Mi.""Iya, kan, Sayang?" lanjut Aaron bertanya kepada Bella. Bella gelagapan. "I-iya, Mi." Bella menarik tangannya. "Malu, ih, sama Mami."Aaron dan Mitha tersenyum. Sedangkan Bella merasa kesal. Apakah berlaku hangat harus seperti itu? Menyebalkan! Cicit Bella dalam hati. Bella menguap, lalu tertidur. Bella yang duduk tepat di samping Aaron, tanpa sadar menyandarkan kepalanya di pundak Aaron. Aaron hanya tersenyum. "Mami temani Ale, ya?!"Aaron mengangguk, Mitha pun pergi. Tak membuang kesempatan langka, Aaron merogoh ponsel dalam saku celananya, lalu melakukan selfie. Aaron m
Di toko bunga. Bella sedang menikmati makan siang di kamar sembari menyusui Alessandro. Bella yang sedang duduk nyaman tiba-tiba dikejutkan oleh suara ketukan pintu. "Nyonya, ada yang mencari!" serunya. "Siapa?!" Bella tak kalah berseru. "Namanya Tuan Alex!"Deg! "Alex? Apa dia Kak Alex?" Bella bermonolog. Cepat-cepat Bella menggeleng, tidak mau menduga dan ia rasa tidak mungkin. Nama Alex bukan hanya seorang saja. "Kalau dia berkenan, mohon tunggu sampai aku selesai. Putraku mau tidur!"Bella cepat-cepat menyantap makan siangnya. Dan beruntung, Alessandro pun sudah pulas. Setelah merapikan pakaiannya, Bella segera ke luar. Di luar, Bella melihat seseorang bertubuh tegap dengan jaket dan topi berwarna hitam berdiri membelakangi. Dari postur tubuhnya Bella tak merasa asing lagi. "Maaf, Anda si--"Pria itu menoleh, membuat Bella terbelalak. "Kak Alex?!" seru Bella dengan tatapan tak percaya. Alex tersenyum dan membuka topinya. "Iya, ini Kakak."Alex melambaikan tangannya tepat
Aaron dan Bella sudah kembali ke apartemen. Bella bergegas menidurkan Alessandro di kamar, lalu kembali ke luar. Tok tok tok! Bella mengetuk pintu kamar Aaron. "Bisa bicara sebentar!" seru Bella. Tidak berselang lama, Aaron ke luar dengan kancing kemeja yang sudah terbuka. Tampaklah tubuh sixpack Aaron. Sejenak Bella memalingkan muka. "Kau melanggar perjanjian!" kata Bella cepat. "Yang mana?!""Bukankah kita sudah sepakat, jangan ikut campur masalah pribadi masing-masing! Apa itu kurang jelas!" tegas Bella. "Jelas!" jawab Aaron malas. "Kalau begitu patuhi, dong! Ingat, jangan ikut campur dengan urusanku. Aku mau bertemu siapapun, kau tak berhak melarang!""Aku suamimu! Aku berhak melarang!"Tiba-tiba Aaron menarik lengan Bella. Jadilah tubuh wanita itu menempel dengan tubuh Aaron. Dengan kasar Aaron meraih dagu Bella yang membuat wajahnya mendongak. Secepat kilat Aaron me
Hari demi hari Aaron lalui dengan ketegangan karena pasalnya, Bella sering mengalami kontraksi. Dua minggu terakhir ini pula Aaron kembali bekerja di rumah ia ingin menjadi suami siap siaga. "Apa tidak lelah?" tanya Aaron sembari menuntun Bella yang sedang menyusuri jalan setapak di taman belakang. "Tidak. Justru aku harus tetap semangat. Aku ingin merasakan lahiran normal."Aaron mengecup punggung tangan Bella. "Semoga, Sayang.""Kalian di sini rupanya!"Suara bariton memecah keromantisan mereka. Keduanya menoleh. "Ke mana saja kau, hah?" sapa Aaron yang terkesan mengintimidasi. Kevin tersenyum. "Ada. Merintis bisnis.""Sendiri?" sambung Bella bertanya. Kevin menggeleng. "Tidak. Istriku ada di dalam. Sedang mencurahkan rindu kepada papanya."Emilia datang. Kedatangan wanita itu benar-benar mencuri perhatian Bella. "Waaahh, kau juga sedang hamil?"Emilia tersenyum."Berapa bulan?" "Minggu ini HPL.""Waaah, kok, bisa sama."Kedua wanita perut buncit itu memilih memisahkan diri d
Drama muntah-muntah dan tersiksanya Aaron karena hasratnya yang jarang tersalurkan akhirnya sudah berakhir. Usia kandungan Bella yang sudah memasuki sembilan bulan ini justru membuat Aaron mengambil kesempatan dimana dirinya hampir setiap hari meminta haknya dengan dalih agar si bayi lahir dengan lancar dan normal. Maklum saja, karena sampai detik ini Bella masih saja senang mengusap-usap dada bidang Aaron dan Aaron harus mengusap-usap perut buncit Bella.Seperti malam ini ... "Terima kasih, Sayang," ucap Aaron. "Iya, tapi tangannya jangan berhenti! Terus usap perutku!" rengek Bella. "Iya, Sayang. Ya sudah, sekarang lebih baik kau tidur."Bella menggeleng. "Ngantuknya jadi hilang."Aaron terkekeh-kekeh. "Maaf, Sayang.""Sayang? Apa kau tidak penasaran dengan jenis kelamin anak kedua kita ini?""Penasaran, sih. Tapi, tidak apa-apa ... lebih baik dokter tidak sebutkan jenis kelaminnya, biar jadi kejutan! Dalam hitungan minggu ke depan juga akan lahir. Jadi, semoga sesuai dengan kein
Hari sudah malam. Bella sudah berada di Mansion. Semua keluarga pun berkumpul di sana. Aaron, pria itu rela meninggalkan pekerjaannya demi menemani Bella. Saat ini, Bella masih tertidur setelah meminum obat dari dokter. "John? Besok ke cabang minta antar sopir saja, ya? Temui manager di sana dan nanti dia yang akan mengenalkan mu kepada para karyawan di sana.""Siap, Kakak Ipar.""Semoga sukses!"John tersenyum lebar memperlihatkan barisan giginya. "Terima kasih."Aaron berdecih, karena pasalnya tingkah sang adik ipar terkadang masih terlihat seperti anak kecil. "Kalau begitu aku pulang, ya, Kak? Sekalian jemput ayang.""Silakan, Bos Muda!"John meninggalkan kamar Aaron sembari tersenyum. Aaron memastikan Alessandro sudah tertidur pulas di kamarnya. Kamar yang berada tepat di samping kamarnya itu ia sulap menjadi kamar anak disertai dengan pintu ganda yang bertujuan untuk memudahkan Aaron atau Bella masuk ke kamar Alessandro. Perlahan Aaron naik ke atas ranjang. Setelah memposis
"Sedang apa kalian?!" seru Bella setelah pintu ruangan Aaron ia dorong dengan kencangnya. Aaron serta dua wanita yang duduk di kursi tepat di hadapannya seketika menoleh. Aaron berdiri. "Loh, Sayang, sudah pulang? Kenap--""Iya, aku sudah pulang! Kenapa? Kaget melihat aku ada di sini, iya? Kencanmu merasa terganggu, begitu?!"Aaron meminta dua wanita itu untuk ke luar, sedangkan dirinya menghampiri Bella. "Sayang, ada apa?"Bella menepis tangan Aaron yang bertengger di pundak. "Mereka siapa?!""Aku sedang interview beberapa calon sekretaris, Say--""Sudah aku katakan, bukan? Jangan cari sekretaris wanita!""Begini, Sayang. Aku me--""Apa? Kau mau mendua, iya?!""Ya Tuhan, Sayang ...," Aaron sengaja menggantung ucapannya. Percuma saja menjelaskan, karena ia tahu betul jika Bella tidak baik-baik saja. Aaron mengambil alih Alessandro, lalu merengkuh Bella, membawanya ke dalam pelukan. Tangis Bella pun pecah. John, pemuda itu perlahan masuk. Melihat sang kakak menangis, dengan sigap
Usia Alessandro kini sudah menginjak tiga tahun. Batita itu sangat lincah, cerewet, pintar dan pandai meniru apa yang orang dewasa lakukan. Dua tahun pula Bella menjalani program hamil. Tak kunjung hamil, kadang membuat Bella stress, putus asa. Sampai akhirnya Aaron menyarankan agar Bella mengantar Alessandro sekolah --play group. John, sudah dua tahun ini pria itu belajar tentang perusahaan, bagaimana cara memimpin dan bisnis lainnya. Semua dengan telaten Aaron yang ajarkan. Urusan cinta, jelas saja Patricia sudah resmi menjadi kekasihnya. Patricia pun sudah bekerja di sebuah rumah sakit di kota Birmingham. Semua ia lakukan agar dekat dengan John. Tak hanya pasangan kekasih itu yang pindah ke kota Birmingham, tetapi kedua orang tua Bella. Bukan kemauan mereka, tetapi Bella'lah yang ingin dekat dengan keluarga, walaupun tidak tinggal serumah. Ada Mitha dan Robert yang tinggal di Swiss. Kedua lansia itu memilih hidup berdua, menikmati masa-masa indah yang pernah hilang dahulu. Merek
Belinda menghela napas. Rasa iba berhasil bergelayut manja dalam benaknya. Dengan raut cemas, ia duduk di samping John. "John? Ibu tidak peduli dengan statusnya. Ibu sungguh merasa kasihan. Dekati wanita itu, ambil hatinya. Jadikan dia menantu Ibu."John bernapas lega. Bagaimana tidak? John pikir, tadi ibunya tidak akan merestui. Tetapi ternyata, jauh dari pikirannya. Sang ibu terlihat sangat menyayangi Patricia walau belum mengenalnya sama sekali. Mendapat lampu hijau, sungguh membuat John senang. Ia akan berusaha untuk mengabulkan keinginan Belinda. Keinginan sang ibu yang tentunya dibarengi dengan rasa cinta yang teramat, tentu saja akan ia perjuangkan. "Terima kasih, Bu. Tapi, bagaimana dengan ayah?""Ayah pasti setuju dengan keputusan Ibu. Tenang saja."John tersenyum lebar. "Selamat!" ucap Aaron. "Dan semangat!" timpal Bella cepat, sembari mengepalkan tangan. John mengangguk, lalu pamit ke luar. Belinda tersenyum. Sebagai seorang perempuan sekaligus seorang ibu tentu bis
Di rumah sakit, ada Bella yang sedang berganti pakaian. "Sayang? Apa kau bisa hubungi Kevin?" pinta Bella. "Untuk?""Aku mau minta maaf kepada Emilia."Aaron yang sedang melipat baju kotor pun menoleh. "Sudahlah, kita tidak usah berhubungan lagi dengan wanita itu. Lagipula, kau tidak bersalah.""Aku mohon!" Bella memelas. Aaron menghela napas. Tidak ingin mengecewakan Bella, akhirnya Aaron menghubungi sahabatnya itu. "Oke, dia akan datang ke mari. Paling nanti sore mereka tiba di rumah sakit.""Terima kasih, suamiku!"Aaron tersenyum. "Sama-sama." Aaron melanjutkan kegiatannya. "Tapi, kok, kalau kau yang menghubungi Kevin, dia menjawab. Sedangkan aku, nomornya selalu tidak aktif.""Nomornya ganti.""Oh, pantas kalau begitu."Aaron sudah mengemasi baju kotor. Sedangkan Bella berusaha turun dari ranjang. Ia akan belajar berjalan. Aaron yang melihat dengan sigap membantu. Saat asyik belajar berjalan, Bella berkata, "Kok, Ale belum ke sini, ya?""Kenapa memangnya?"Bella sedikit men
Hari menjelang malam. Aaron baru saja mengantarkan Alessandro ke rumah sang mertua. Ia tidak akan membiarkan Alessandro tinggal di rumah sakit meskipun sang istri dirawat di kamar dengan fasilitas paling lengkap. Alessandro sudah bisa berjalan dan pasti ingin bermain di luar. Kekebalan tubuh Alessandro belum tentu kuat menahan segala virus yang ada di sekitar. Oleh karena itu, jalan terbaik adalah Alessandro tinggal bersama kakek dan neneknya. Mobil Aaron baru saja terparkir di area rumah sakit. Ia bergegas turun karena pasti Bella sudah menunggu, karena sang istri meminta dibawakan nasi serta sayur buatan Belinda. Aaron berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara dari orang yang sangat ia kenal, yakni Robert. "Apa kita bisa melewati hari tua bersama?" tanya Robert. "Entahlah."Aaron menajamkan pendengarannya. Rupanya Robert sedang bersama Mitha. "Apa cintamu sudah sepenuhnya hilang untukku?""Kita sudah tua, tidak usah bahas cinta.""A
Bruk! John tanpa sengaja menyenggol pundak seorang perawat di koridor, yang membuat dokumen di tangannya terjatuh. "Sorry!" ucap John. Perawat itu tersenyum. "Tidak apa-apa." Sang perawat meraih dokumen itu.John hanya bisa memerhatikan karena sedang menggendong Alessandro dan menenteng satu tas kecil. "Mau besuk?" tanya perawat. "Iya, mau ke kamar VVIP."John tersenyum saat sang perawat itu tersenyum menampakkan barisan giginya yang putih dengan satu gigi gingsul di bagian atas sebelah kanan. Sungguh terlihat manis di mata John. "Tampan sekali putranya," kata Sang perawat sembari mencubit gemas pipi Alessandro. "Ini keponakan saya. Saya masih single.""Ooh, masih single, maaf."Perawat itu tersenyum, lalu pamit pergi. Kepergian sang perawat ternyata menyisakan rasa penasaran di hati John. John ingin mengenal lebih jauh wanita itu. Tanpa berkedip, John melihat kepergian perawat itu sampai hilang di balik tembok. "Ah, ya Tuhan, maafin Om, Sayang." John tersadar saat Alessandro