Sementara di Swiss, ada Emilia yang kelabakan mencari paspor miliknya. "Aduh, di mana, sih?" Emilia sudah merasa kesal karena sedari tadi mencari di kamar tak kunjung menemukan. Wanita yang senang menjomblo itu merogoh ponselnya di dalam tas. Ia menghubungi Robert. "Halo, Pa? Apa Papa liat paspor aku?""Ada di ruang kerja Papa. Kamu cari saja," jawab Robert. "Baiklah. Kalau begitu aku matikan teleponnya, ya?"Emilia kembali memasukan ponselnya dalam tas. Ia bergegas pergi ke ruang kerja Robert. Emilia membutuhkan paspor itu secepatnya karena siang itu ia dan teman-temannya akan pergi berlibur ke Bali. Emilia mendorong daun pintu ruang kerja sang ayah. Matanya menyisir setiap sudut ruangan itu. Maklum saja, itu adalah kali pertama dirinya masuk ke sana. Robert selalu melarangnya masuk dengan beribu alasan yang tak masuk akal menurutnya.Emilia mulai melakukan pencarian. Ia menyingkap satu per satu tumpukan map yang ada di meja kerja Robert. Nihil. Emilia tidak menemukannya. Mata
Robert menyesali karena ia tidak bisa membuktikan bahwa Emilia'lah yang masuk, karena tidak ada CCTV di sana. Selama ini ia memang tidak memerlukan benda itu karena memang tidak akan ada yang berani masuk. Ia merutuki kelalaiannya. "Sial kenapa bisa aku lupa membawa kunci itu! Dan kenapa pula aku menyuruh Emilia mencari di sini."Mengingat Emilia, Robert lupa membawa paspor milik sang putri di brankas. Lekas ia mengambil dan segera meninggalkan ruang kerja dan memilih pergi ke kamar. Di kamar, Robert duduk di tepi ranjang sembari membuka dasinya. "Ah, tidak, tidak, aku dan Mitha jangan sampai kecolongan!"Robert menghubungi Mitha. "Halo? Ada kabar tak mengenakan," ungkap Robert saat Mitha menerima panggilan. "Apa maksudnya?"Robert menceritakan duduk perkaranya. "Dari kapan kamu ceroboh? Coba cek CCTV!""Itu dia, Mitha. Aku tidak memasang CCTV di ruang kerjaku.""Ya ampun! Ini era sudah canggih kenapa masih ketinggalan zaman?""Ck! Karena aku pikir itu tidak penting, dulu!""Cob
Di Apartemen, Valencia. Setelah mendapat kabar dari Robert Mitha tidak merasa tenang. Wanita itu harus bergerak cepat sebelum hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Sejujurnya ia kesal kepada Robert karena ceroboh. "Ah, Kevin! Aku harus kembali melibatkan Kevin!" gumam Mitha. "Tapi, Aaron juga harus tahu hal ini agar ia waspada!" lanjutnya. Mitha mengirim pesan kepada Aaron agar datang ke kamarnya. Tidak berselang lama, Aaron datang. "Ada apa, Mi?""Mantu Mami lagi apa?""Ada, lagi nyusuin Ale. Kenapa? Kangen?"Mitha menuntun Aaron duduk di sofa. "Ada apa, sih, Mi?""Begini, Papamu ternyata sudah membuat kesalahan yang menurut Mami itu fatal.""Papa? Siapa?""Robert!""Oh, kenapa dia? Punya wanita baru?"Plak! Mitha menepuk paha Aaron, membuat sang empu meringis. "Bukan, dengar dulu makanya!""To the poin aja, Mi!""Emilia sudah tau kalau dia bukan putri papamu!"Aaron menyipit. "Lalu, apa hubungannya sama aku, Mami?""Ya jelas ada, dong! Kamu itu harus hati-hati sama perempu
Setelah menginap dua hari di kota kelahiran Bella, akhirnya sore itu Aaron memutuskan untuk kembali ke Birmingham."Besan? Saya tunggu keputusannya, ya?" kata Mitha kepada Julio. "Iya, nanti saya beri kabar secepatnya.""Yah, Bu, kami pamit, ya? Kapan-kapan kami akan menginap lagi atau jika memungkinkan Ayah dan Ibu yang kami tunggu di sana," kata Aaron. "Ayah dan Ibu kabari saja. Biar nanti ada orang yang jemput," lanjutnya. "Iya, Nak. Kapan-kapan kami ke sana," kata Belinda. "Kakak pulang, ya? Kalau ada apa-apa hubungi Kakak. Dan uang yang Ayah ingin kembalikan kepada kakak iparmu, berikan lagi saja kepada ayah," bisik Bella kepada John. "Iya, Kak, beres!"Setelah salam dan peluk perpisahan, Aaron dan keluarganya meninggalkan kediaman Julio. Dalam pesawat, Alessandro tertidur pulas di kamar di temani oleh Mitha. Sedangkan Aaron dan Bella tengah duduk manis saling merangkul di kursi empuk. Aaron dan Bella memanfaatkan waktu kebersamaan mereka selagi masih sempat. "Bagaimana pe
Tiba di kantor, Aaron dikagetkan dengan Maldonado yang sudah berada di ruangannya. "Maaf, sudah menunggu," ucap Aaron. Maldonado tersenyum. "Saya yang memang sengaja datang pagi-pagi karena sebentar lagi akan terbang."Aaron mempersilakan Maldonado untuk duduk kembali. "Satu kehormatan bagi saya karena Anda sudi datang kembali setelah kesalahan yang sudah saya perbuat. Saya minta maaf," ujar Aaron. Maldonado tersenyum. "Saya juga minta maaf karena terburu-buru mengambil keputusan. Setelah mendengar kisah cinta Anda saya semakin kagum saja. Kalaupun saya ada di posisi Anda, saya akan berbuat hal yang sama."Aaron tersenyum. "Terima kasih sudah mengerti posisi saya, Tuan."Pun Maldonado meminta maaf karena dirinya semua dewan direksi SAP Company menghujat bahkan sampai melakukan pengerusakan. "Anda tidak perlu minta maaf, Tuan. Saya memaklumi itu."Maldonado menyimpan sebuah map di atas meja sembari berkata, "Kalau begitu kita mulai kerjasama kita, Tuan Aaron."Sejenak Aaron terdia
Hari yang ditunggu-tunggu para pengusaha akhirnya tiba. Satu kehormatan bagi mereka mendapat undangan dari Maldonado. Segala persiapan mereka lakukan termasuk pakaian apa yang akan mereka kenakan nanti.Siang itu Bella dan Mitha pergi ke butik. Keduanya memilih dan memilah gaun mana yang pantas mereka kenakan. "Gimana kalo ini, Mi?" Bella menunjuk gaun berwarna navy. Menurutnya warna itu cocok juga untuk pria. Walaupun beda model, paling tidak mereka kompak dalam segi warna. Jikalau saja tidak mendadak, tentu Mitha akan memesan semuanya dengan model yang sama di butik miliknya. "Baiklah, Mami setuju!"Setelah gaun mereka didapat, keduanya kembali memilih kemeja dan jas yang cocok untuk Aaron juga Alessandro. Dua jam sudah mereka habiskan di butik. Mitha dan Bella memutuskan untuk pulang. Di perjalanan pulang, Bella yang penasaran bertanya tentang Maldonado. "Mi? Mami tau Tuan Maldonado?""Tentu saja!""Sejak kapan?""Tentu saja setelah Mami menikah dengan Papa Addison.""Oh, sepe
Melihat sikap Emilia yang over, Bella tak tinggal diam. Sebagai istri, ia tidak rela suaminya dipepet wanita genit. Bella melancarkan aksinya. "Sayang? Aku mau minum," ucap Bella manja sembari mengalungkan kedua tangannya di tengkuk Aaron. Walaupun Aaron tahu jika itu adalah permainan Bella, Aaron merasa senang dan menanggapi sikap Bella tak kalah romantis. Aaron melepas paksa tangan Emilia, lalu menarik pinggang Bella dan berkata, "Mau minum apa, Sayang?""Orange juice, mungkin."Bella menatap Emilia yang ternyata wanita itu sedang merasa kesal. Robert tak tinggal diam. Pria itu meminta agar Emilia berkeliling mencari kenalan saja. Aaron dan Bella tersenyum puas. Sadar akan tindakan keduanya mencuri perhatian orang lain, Bella pun melepaskan kaitan tangannya.Mitha tersenyum, lalu mengedipkan sebelah mata kepada Bella sebagai apresiasi sikap tegas Bella. "Kau ini bisa saja!" Aaron mencolek hidung Bella. "Iya, dong! Aku gak rela suamiku digoda wanita lain!" Bella merajuk.Aaron b
Bella menahan Aaron ketika hendak berdiri. Ia tahu kemarahan Aaron sudah sampai ubun-ubun. Bella tidak akan membiarkan Aaron marah karena dengan demikian sama saja akan mencoreng nama suaminya sendiri di depan para pengusaha lainnya. Bella tersenyum, lalu membalas ucapan pemuda itu. "Tapi, sayangnya saya senang, bahagia, dan beruntung mendapatkan suami seperti Tuan Aaron. Justru saya bersyukur tidak mendapatkan pria muda seperti Anda yang tidak bisa menghargai orang lain. Tentunya, pendidikan Anda pasti tinggi, bukan? Sayangnya, tidak seiring dengan perilaku Anda."Bella menoleh, menatap Maldonado. "Maaf, Tuan, jika ucapan saya menyinggung perasaan Anda. Tapi, perlu Anda ketahui juga bahwa ucapan putra Anda sungguh membuat hati saya terluka! Entah bagaimana dengan perasaan suami saya.""Lihatlah, kami jadi perhatian semua orang di sini!" lanjut Bella sembari melihat sekeliling agar Maldonado pun turut melihat. Maldonado menatap tajam putranya. Ia pun kecewa dengan sikap putranya itu
Hari demi hari Aaron lalui dengan ketegangan karena pasalnya, Bella sering mengalami kontraksi. Dua minggu terakhir ini pula Aaron kembali bekerja di rumah ia ingin menjadi suami siap siaga. "Apa tidak lelah?" tanya Aaron sembari menuntun Bella yang sedang menyusuri jalan setapak di taman belakang. "Tidak. Justru aku harus tetap semangat. Aku ingin merasakan lahiran normal."Aaron mengecup punggung tangan Bella. "Semoga, Sayang.""Kalian di sini rupanya!"Suara bariton memecah keromantisan mereka. Keduanya menoleh. "Ke mana saja kau, hah?" sapa Aaron yang terkesan mengintimidasi. Kevin tersenyum. "Ada. Merintis bisnis.""Sendiri?" sambung Bella bertanya. Kevin menggeleng. "Tidak. Istriku ada di dalam. Sedang mencurahkan rindu kepada papanya."Emilia datang. Kedatangan wanita itu benar-benar mencuri perhatian Bella. "Waaahh, kau juga sedang hamil?"Emilia tersenyum."Berapa bulan?" "Minggu ini HPL.""Waaah, kok, bisa sama."Kedua wanita perut buncit itu memilih memisahkan diri d
Drama muntah-muntah dan tersiksanya Aaron karena hasratnya yang jarang tersalurkan akhirnya sudah berakhir. Usia kandungan Bella yang sudah memasuki sembilan bulan ini justru membuat Aaron mengambil kesempatan dimana dirinya hampir setiap hari meminta haknya dengan dalih agar si bayi lahir dengan lancar dan normal. Maklum saja, karena sampai detik ini Bella masih saja senang mengusap-usap dada bidang Aaron dan Aaron harus mengusap-usap perut buncit Bella.Seperti malam ini ... "Terima kasih, Sayang," ucap Aaron. "Iya, tapi tangannya jangan berhenti! Terus usap perutku!" rengek Bella. "Iya, Sayang. Ya sudah, sekarang lebih baik kau tidur."Bella menggeleng. "Ngantuknya jadi hilang."Aaron terkekeh-kekeh. "Maaf, Sayang.""Sayang? Apa kau tidak penasaran dengan jenis kelamin anak kedua kita ini?""Penasaran, sih. Tapi, tidak apa-apa ... lebih baik dokter tidak sebutkan jenis kelaminnya, biar jadi kejutan! Dalam hitungan minggu ke depan juga akan lahir. Jadi, semoga sesuai dengan kein
Hari sudah malam. Bella sudah berada di Mansion. Semua keluarga pun berkumpul di sana. Aaron, pria itu rela meninggalkan pekerjaannya demi menemani Bella. Saat ini, Bella masih tertidur setelah meminum obat dari dokter. "John? Besok ke cabang minta antar sopir saja, ya? Temui manager di sana dan nanti dia yang akan mengenalkan mu kepada para karyawan di sana.""Siap, Kakak Ipar.""Semoga sukses!"John tersenyum lebar memperlihatkan barisan giginya. "Terima kasih."Aaron berdecih, karena pasalnya tingkah sang adik ipar terkadang masih terlihat seperti anak kecil. "Kalau begitu aku pulang, ya, Kak? Sekalian jemput ayang.""Silakan, Bos Muda!"John meninggalkan kamar Aaron sembari tersenyum. Aaron memastikan Alessandro sudah tertidur pulas di kamarnya. Kamar yang berada tepat di samping kamarnya itu ia sulap menjadi kamar anak disertai dengan pintu ganda yang bertujuan untuk memudahkan Aaron atau Bella masuk ke kamar Alessandro. Perlahan Aaron naik ke atas ranjang. Setelah memposis
"Sedang apa kalian?!" seru Bella setelah pintu ruangan Aaron ia dorong dengan kencangnya. Aaron serta dua wanita yang duduk di kursi tepat di hadapannya seketika menoleh. Aaron berdiri. "Loh, Sayang, sudah pulang? Kenap--""Iya, aku sudah pulang! Kenapa? Kaget melihat aku ada di sini, iya? Kencanmu merasa terganggu, begitu?!"Aaron meminta dua wanita itu untuk ke luar, sedangkan dirinya menghampiri Bella. "Sayang, ada apa?"Bella menepis tangan Aaron yang bertengger di pundak. "Mereka siapa?!""Aku sedang interview beberapa calon sekretaris, Say--""Sudah aku katakan, bukan? Jangan cari sekretaris wanita!""Begini, Sayang. Aku me--""Apa? Kau mau mendua, iya?!""Ya Tuhan, Sayang ...," Aaron sengaja menggantung ucapannya. Percuma saja menjelaskan, karena ia tahu betul jika Bella tidak baik-baik saja. Aaron mengambil alih Alessandro, lalu merengkuh Bella, membawanya ke dalam pelukan. Tangis Bella pun pecah. John, pemuda itu perlahan masuk. Melihat sang kakak menangis, dengan sigap
Usia Alessandro kini sudah menginjak tiga tahun. Batita itu sangat lincah, cerewet, pintar dan pandai meniru apa yang orang dewasa lakukan. Dua tahun pula Bella menjalani program hamil. Tak kunjung hamil, kadang membuat Bella stress, putus asa. Sampai akhirnya Aaron menyarankan agar Bella mengantar Alessandro sekolah --play group. John, sudah dua tahun ini pria itu belajar tentang perusahaan, bagaimana cara memimpin dan bisnis lainnya. Semua dengan telaten Aaron yang ajarkan. Urusan cinta, jelas saja Patricia sudah resmi menjadi kekasihnya. Patricia pun sudah bekerja di sebuah rumah sakit di kota Birmingham. Semua ia lakukan agar dekat dengan John. Tak hanya pasangan kekasih itu yang pindah ke kota Birmingham, tetapi kedua orang tua Bella. Bukan kemauan mereka, tetapi Bella'lah yang ingin dekat dengan keluarga, walaupun tidak tinggal serumah. Ada Mitha dan Robert yang tinggal di Swiss. Kedua lansia itu memilih hidup berdua, menikmati masa-masa indah yang pernah hilang dahulu. Merek
Belinda menghela napas. Rasa iba berhasil bergelayut manja dalam benaknya. Dengan raut cemas, ia duduk di samping John. "John? Ibu tidak peduli dengan statusnya. Ibu sungguh merasa kasihan. Dekati wanita itu, ambil hatinya. Jadikan dia menantu Ibu."John bernapas lega. Bagaimana tidak? John pikir, tadi ibunya tidak akan merestui. Tetapi ternyata, jauh dari pikirannya. Sang ibu terlihat sangat menyayangi Patricia walau belum mengenalnya sama sekali. Mendapat lampu hijau, sungguh membuat John senang. Ia akan berusaha untuk mengabulkan keinginan Belinda. Keinginan sang ibu yang tentunya dibarengi dengan rasa cinta yang teramat, tentu saja akan ia perjuangkan. "Terima kasih, Bu. Tapi, bagaimana dengan ayah?""Ayah pasti setuju dengan keputusan Ibu. Tenang saja."John tersenyum lebar. "Selamat!" ucap Aaron. "Dan semangat!" timpal Bella cepat, sembari mengepalkan tangan. John mengangguk, lalu pamit ke luar. Belinda tersenyum. Sebagai seorang perempuan sekaligus seorang ibu tentu bis
Di rumah sakit, ada Bella yang sedang berganti pakaian. "Sayang? Apa kau bisa hubungi Kevin?" pinta Bella. "Untuk?""Aku mau minta maaf kepada Emilia."Aaron yang sedang melipat baju kotor pun menoleh. "Sudahlah, kita tidak usah berhubungan lagi dengan wanita itu. Lagipula, kau tidak bersalah.""Aku mohon!" Bella memelas. Aaron menghela napas. Tidak ingin mengecewakan Bella, akhirnya Aaron menghubungi sahabatnya itu. "Oke, dia akan datang ke mari. Paling nanti sore mereka tiba di rumah sakit.""Terima kasih, suamiku!"Aaron tersenyum. "Sama-sama." Aaron melanjutkan kegiatannya. "Tapi, kok, kalau kau yang menghubungi Kevin, dia menjawab. Sedangkan aku, nomornya selalu tidak aktif.""Nomornya ganti.""Oh, pantas kalau begitu."Aaron sudah mengemasi baju kotor. Sedangkan Bella berusaha turun dari ranjang. Ia akan belajar berjalan. Aaron yang melihat dengan sigap membantu. Saat asyik belajar berjalan, Bella berkata, "Kok, Ale belum ke sini, ya?""Kenapa memangnya?"Bella sedikit men
Hari menjelang malam. Aaron baru saja mengantarkan Alessandro ke rumah sang mertua. Ia tidak akan membiarkan Alessandro tinggal di rumah sakit meskipun sang istri dirawat di kamar dengan fasilitas paling lengkap. Alessandro sudah bisa berjalan dan pasti ingin bermain di luar. Kekebalan tubuh Alessandro belum tentu kuat menahan segala virus yang ada di sekitar. Oleh karena itu, jalan terbaik adalah Alessandro tinggal bersama kakek dan neneknya. Mobil Aaron baru saja terparkir di area rumah sakit. Ia bergegas turun karena pasti Bella sudah menunggu, karena sang istri meminta dibawakan nasi serta sayur buatan Belinda. Aaron berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara dari orang yang sangat ia kenal, yakni Robert. "Apa kita bisa melewati hari tua bersama?" tanya Robert. "Entahlah."Aaron menajamkan pendengarannya. Rupanya Robert sedang bersama Mitha. "Apa cintamu sudah sepenuhnya hilang untukku?""Kita sudah tua, tidak usah bahas cinta.""A
Bruk! John tanpa sengaja menyenggol pundak seorang perawat di koridor, yang membuat dokumen di tangannya terjatuh. "Sorry!" ucap John. Perawat itu tersenyum. "Tidak apa-apa." Sang perawat meraih dokumen itu.John hanya bisa memerhatikan karena sedang menggendong Alessandro dan menenteng satu tas kecil. "Mau besuk?" tanya perawat. "Iya, mau ke kamar VVIP."John tersenyum saat sang perawat itu tersenyum menampakkan barisan giginya yang putih dengan satu gigi gingsul di bagian atas sebelah kanan. Sungguh terlihat manis di mata John. "Tampan sekali putranya," kata Sang perawat sembari mencubit gemas pipi Alessandro. "Ini keponakan saya. Saya masih single.""Ooh, masih single, maaf."Perawat itu tersenyum, lalu pamit pergi. Kepergian sang perawat ternyata menyisakan rasa penasaran di hati John. John ingin mengenal lebih jauh wanita itu. Tanpa berkedip, John melihat kepergian perawat itu sampai hilang di balik tembok. "Ah, ya Tuhan, maafin Om, Sayang." John tersadar saat Alessandro