Villa, Kuta -Bali, Indonesia.
Waktu menunjukkan pukul 04:00 WITA.Bella terbangun karena Alessandro menepuk pipinya. Rupanya bayi gembul itu mengajaknya bermain. Bella lekas duduk dan memperbaiki posisi bantal di tepi ranjang."Masih pagi, loh, Nak."Alessandro duduk bersandar memainkan mainan miliknya. Bella mengusap kepala Alessandro dengan sayang. Rasa sesak menyeruak kala mengingat surat perceraian. Alessandro akan jauh dari Aaron. Itu pikirnya. Cepat-cepat Bella menggeleng. Baik sekarang atau nanti perceraian itu akan terjadi dan Alessandro akan jauh juga dari Aaron.Bella termangu. Apa ia egois?Bella tersadar dari lamunan saat Alessandro menangis."Maaf, Nak. Ale mau mimik, hem?"Bella membawa Alessandro berbaring. Bayi tampan yang mulai pandai berjalan itu kembali tertidur sembari meminum ASI.Setelah Alessandro tidur nyenyak, Bella memilih masuk dapur untuk membuat bubur tim. Lokasi"Maaf, Tuan!" Bella merasa tidak enak hati. Pria yang ada di dekatnya takut tersinggung karena Alessandro memanggilnya Papa. Aaron menoleh sekilas dan tersenyum, lalu pergi. Aman. Bella ternyata tidak mengenalinya. Bagaimana tidak? Aaron tak hanya mengenakan topi dan kacamata hitam saja, tetapi kini wajah Aaron mulus tanpa rambut halus. Ya, sebelum berangkat ke Indonesia, Aaron mencukur habis jenggot juga jambangnya. Bella mengernyit. "Orang itu seperti tak asing lagi. Tapi, siapa?"Bella mengangkat kedua bahunya, tak peduli. Perhatiannya kini beralih kepada Alessandro. Wanita itu mendorong kereta bayi menuju kasir. "Paappa!" Alessandro masih saja bicara seperti itu. "Tidak ada Papa, Nak, di sini. Kamu kangen Paap, iya?!" Bella mencium pipi putranya. Dari jauh, Aaron kembali memerhatikan kegiatan Bella dengan perasaan plong, lega. Namun, rasa itu beriringan dengan rasa perih di punggung. Maklum saja, selain mengenakan kaos,
Aaron bangkit tanpa berani menoleh. Setelah membenarkan topinya, Aaron melangkah pergi. Namun, Bella yang merasa penasaran mencekal lengannya. "Tunggu!"Aaron hanya bisa pasrah. "Kau siapa? Jangan-jangan kau penculik, iya?!""Tolong!" Bella berteriak, tetapi secepat kilat Aaron berbalik dan membekap mulut Bella dengan tangannya. Aaron membuka topi juga kacamatanya. "Ini aku!"Bella membulatkan matanya, tidak percaya. "Ka-kau?!"Bella berbalik badan dan mendorong kereta bayi hendak masuk, tetapi Aaron berhasil menahan. "Sayang, tunggu!"Bella menghentikan langkah dengan tetap membelakangi Aaron. "Aku sungguh minta maaf. Aku menyesal sudah berlaku kasar kepadamu juga kepada Alex. Maaf!"Bella menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan kasar. "Surat cerainya mana? Sudah ditandatangani, kan?!" Bella benar-benar tidak peduli dengan apa yang Aaron katakan. Aaron memilih berdiri tepat di depan Bella. "Sayang, aku mohon maafkan aku!"Bella hendak masuk. Lagi, Aaron menahannya. Aaron mer
Bella merasa bersalah kepada Aaron, sehingga ia harus mengobati luka di punggungnya. Akan tetapi, di mana Aaron tinggal Bella tidak tahu. Hari menjelang malam. Bella lekas menutup gorden. Namun, tangan baru saja terayun hendak menutupnya, ia urungkan. Bella melihat Aaron tengah berdiri di balkon tepat di Villa seberang jalan tengah menatap dirinya. Cepat-cepat Bella menutup gorden, lalu menggendong Alessandro yang sedang tertidur lelap. Langkahnya tegas menuju pintu utama. Ya, Bella akan menemui Aaron. *Bella sudah berdiri tepat di depan pintu Villa yang Aaron tempati. Tangannya dengan cepat menekan bel.Tidak berselang lama, sang empu membuka pintu. "Wah, mengejutkan sekali. Ternyata ada tamu istimewa," sambut Aaron. Bella nyelonong masuk, lalu duduk duduk di sofa. Melihat tingkah Bella seperti itu membuat Aaron tersenyum, lalu menutup pintu. "Tidurkan saja di kamar!" titah Aaron, saat melihat Alessandro
Trang! Bella melempar tongkat itu, lalu memeluk Aaron, sangat erat. Posisi Aaron yang tidak siap menerima terjangan Bella tentu saja membuatnya terdorong dan akhirnya jatuh dengan posisi Bella menindih tubuhnya.Bella menangis tersedu-sedu karena rasa bersalah kian meraja saat teringat orang tua juga rasa haru atas perjuangan Aaron. Aaron sangat senang dengan sikap Bella. Walaupun harus menahan rasa sakit di punggung tak masalah, semua kalah dengan rasa bahagia yang tak terkira. Aaron mengusap punggung Bella dengan bibir tak hentinya mencium pucuk kepala Bella. Pria itu sengaja membiarkan Bella menangis, walaupun ia tidak tahu apa yang membuatnya menangis. Setelah sekian lama, Bella berhenti menangis. Ia yang baru menyadari jika Aaron berada di bawahnya pun segera mengangkat tubuhnya. Namun, Aaron menarik tangannya. Jadilah Bella tidur dengan lengan Aaron sebagai bantalnya. Aaron merubah posisinya miring menghadap Bella. "Kenapa menangis, hem?" tanya Aaron sembari mengusap sisa b
Jarum jam sudah menunjuk pada angka empat pagi itu. Sudah menjadi kebiasaan Bella bangun di jam tersebut. Namun, pagi itu tampak lain. Bella hanya menggeliat saja tanpa beranjak. Bagaimana tidak? Badannya terasa remuk karena pergulatan semalam. Bella yang baru menyadari jika dirinya masih dalam posisi di pelukan Aaron pun tersenyum. Bella mendongak, memerhatikan Aaron yang masih terpejam. Jemarinya perlahan menyusur, kening, hidung, sampai bibir. "Kau ini tampan juga. Apalagi tanpa jenggot dan bulu-bulu di pipi. Aku suka. Terlebih-lebih sikapmu yang berubah jadi lembut, aku jadi tak takut lagi padamu. Maafkan aku yang terlalu egois, ya?"Cup! Reflek, Bella mencium pipi Aaron. Aaron yang sebetulnya sudah bangun dan tentu saja mendengar semua yang dikatakan dan dilakukan Bella pun berkata. Tanpa membuka mata ia berkata, "Terima kasih!"Bella terbelalak. "Ka-kau sudah bangun? Se-sejak kapan?"Aaron tidak menjawab melainkan memeluk Bella erat. Bella terlihat kikuk. "Emm ... tadi ...
Aaron mengikuti Bella masuk. Sementara, ia membiarkan Bella tenang terlebih dahulu. Sesekali ia mengintip ke kamar, memastikan apa yang sedang Bella lakukan. Sekali, dua kali, tiga kali ia mengintip, Bella sedang menyusui Alessandro. Aaron mulai berpikir, apa yang akan ia bahas sebagai pembuka pembicaraan mereka. Aaron mengempaskan tubuhnya di kursi. "Aww!" Ia lupa jika luka di punggungnya belum begitu kering. Aaron tersenyum, ia tahu apa yang akan jadi perbincangannya nanti. Aaron beranjak dan mengintip lagi. Tampak Bella sedang memasang kancing bajunya. Aaron masuk. "Sayang? Bisa bantu aku olesin salep?" Aaron meraih salep itu di atas nakas. Bella tak lekas menerima salep itu dari tangan Aaron. Wanita itu justru diam terpaku menatap wajah sang suamiBella mengembuskan napas kasar, lalu menarik lengan Aaron tepat di bagian siku. Aaron hanya pasrah, mengikuti langkah Bella. "Cuti tangan dan wajahmu!" titah Bella. "Tanganku bersih, Sayang. Wajahku juga.""Bajumu juga buka dan
Setelah perdebatan yang cukup alot, akhirnya Bella pasrah dengan keputusan Julio. Pun dengan Aaron. Aaron meyakinkan Bella kalau dirinya akan datang kembali untuk memperjuangkan cintanya, tetapi menunggu waktu yang tepat, yakni menunggu Julio tenang. Akhir dari perdebatan itu adalah Julio meminta Bella untuk kembali tinggal bersama keluarga dan Aaron tetap di negaranya. Tak kalah mengecewakan, Julio menyita ponsel Bella. "Kenapa Ayah tega memisahkan mereka?!" tanya Belinda saat mereka di kamar. "Tega kau bilang? Ini demi kebaikan Bella. Apa kau tega putri kita dipermainkan orang-orang itu?""Pernikahan kontrak mereka juga atas kesepakatan bersama, atas persetujuan Bella."Julio hanya diam. "Apa ayah tidak dengar penjelasan mereka tadi? Mereka sempat pisah dua bulan. Dan perpisahan itu membuat keduanya meyakinkan hati masing-masing atas perasaannya," lanjut Belinda. "Aku tidak percaya!" kekeh Julio. Entah apalagi yang harus Belinda paparkan kepada Julio. Ia hanya bisa berharap eso
Di tempat lain, ada Aaron yang baru saja selesai mandi. Dari kejauhan ia melihat layar ponselnya menyala. Pria itu lekas menghampiri di mana ponselnya ia simpan. Aaron tersenyum melihat foto yang dikirim oleh John. Ia senang bisa melihat Bella dan Alessandro. "Aku berjanji kalau kita akan kembali bersama, Sayang," gumam Aaron, sembari mengusap layar ponsel tepat di bagian pipi Bella. Aaron menyimpan kembali ponselnya, karena ia harus bersiap ke kantor. Setelah pakaiannya terlihat rapi, Aaron segera meninggalkan kamar menuju ruang makan untuk sarapan. Di sana, sudah ada Mitha. "Gimana keadaanmu?" tanya Mitha. "Berusaha untuk baik, Mi.""Kamu yang tabah dan tetap jaga emosi. Ikuti saja alur dari ayah mertuamu dulu.""Jadi, kalau surat cerai itu ada, aku harus menandatanganinya, begitu?""Ck! Ya tidak juga! Anggap saja kalian LDR-an. Yang terpenting, cinta kalian tetap ada. Malah, seharusnya tambah besar. Lagipula, kalau Julio tetap memaksamu untuk tanda tangan, di persidangan na
Hari demi hari Aaron lalui dengan ketegangan karena pasalnya, Bella sering mengalami kontraksi. Dua minggu terakhir ini pula Aaron kembali bekerja di rumah ia ingin menjadi suami siap siaga. "Apa tidak lelah?" tanya Aaron sembari menuntun Bella yang sedang menyusuri jalan setapak di taman belakang. "Tidak. Justru aku harus tetap semangat. Aku ingin merasakan lahiran normal."Aaron mengecup punggung tangan Bella. "Semoga, Sayang.""Kalian di sini rupanya!"Suara bariton memecah keromantisan mereka. Keduanya menoleh. "Ke mana saja kau, hah?" sapa Aaron yang terkesan mengintimidasi. Kevin tersenyum. "Ada. Merintis bisnis.""Sendiri?" sambung Bella bertanya. Kevin menggeleng. "Tidak. Istriku ada di dalam. Sedang mencurahkan rindu kepada papanya."Emilia datang. Kedatangan wanita itu benar-benar mencuri perhatian Bella. "Waaahh, kau juga sedang hamil?"Emilia tersenyum."Berapa bulan?" "Minggu ini HPL.""Waaah, kok, bisa sama."Kedua wanita perut buncit itu memilih memisahkan diri d
Drama muntah-muntah dan tersiksanya Aaron karena hasratnya yang jarang tersalurkan akhirnya sudah berakhir. Usia kandungan Bella yang sudah memasuki sembilan bulan ini justru membuat Aaron mengambil kesempatan dimana dirinya hampir setiap hari meminta haknya dengan dalih agar si bayi lahir dengan lancar dan normal. Maklum saja, karena sampai detik ini Bella masih saja senang mengusap-usap dada bidang Aaron dan Aaron harus mengusap-usap perut buncit Bella.Seperti malam ini ... "Terima kasih, Sayang," ucap Aaron. "Iya, tapi tangannya jangan berhenti! Terus usap perutku!" rengek Bella. "Iya, Sayang. Ya sudah, sekarang lebih baik kau tidur."Bella menggeleng. "Ngantuknya jadi hilang."Aaron terkekeh-kekeh. "Maaf, Sayang.""Sayang? Apa kau tidak penasaran dengan jenis kelamin anak kedua kita ini?""Penasaran, sih. Tapi, tidak apa-apa ... lebih baik dokter tidak sebutkan jenis kelaminnya, biar jadi kejutan! Dalam hitungan minggu ke depan juga akan lahir. Jadi, semoga sesuai dengan kein
Hari sudah malam. Bella sudah berada di Mansion. Semua keluarga pun berkumpul di sana. Aaron, pria itu rela meninggalkan pekerjaannya demi menemani Bella. Saat ini, Bella masih tertidur setelah meminum obat dari dokter. "John? Besok ke cabang minta antar sopir saja, ya? Temui manager di sana dan nanti dia yang akan mengenalkan mu kepada para karyawan di sana.""Siap, Kakak Ipar.""Semoga sukses!"John tersenyum lebar memperlihatkan barisan giginya. "Terima kasih."Aaron berdecih, karena pasalnya tingkah sang adik ipar terkadang masih terlihat seperti anak kecil. "Kalau begitu aku pulang, ya, Kak? Sekalian jemput ayang.""Silakan, Bos Muda!"John meninggalkan kamar Aaron sembari tersenyum. Aaron memastikan Alessandro sudah tertidur pulas di kamarnya. Kamar yang berada tepat di samping kamarnya itu ia sulap menjadi kamar anak disertai dengan pintu ganda yang bertujuan untuk memudahkan Aaron atau Bella masuk ke kamar Alessandro. Perlahan Aaron naik ke atas ranjang. Setelah memposis
"Sedang apa kalian?!" seru Bella setelah pintu ruangan Aaron ia dorong dengan kencangnya. Aaron serta dua wanita yang duduk di kursi tepat di hadapannya seketika menoleh. Aaron berdiri. "Loh, Sayang, sudah pulang? Kenap--""Iya, aku sudah pulang! Kenapa? Kaget melihat aku ada di sini, iya? Kencanmu merasa terganggu, begitu?!"Aaron meminta dua wanita itu untuk ke luar, sedangkan dirinya menghampiri Bella. "Sayang, ada apa?"Bella menepis tangan Aaron yang bertengger di pundak. "Mereka siapa?!""Aku sedang interview beberapa calon sekretaris, Say--""Sudah aku katakan, bukan? Jangan cari sekretaris wanita!""Begini, Sayang. Aku me--""Apa? Kau mau mendua, iya?!""Ya Tuhan, Sayang ...," Aaron sengaja menggantung ucapannya. Percuma saja menjelaskan, karena ia tahu betul jika Bella tidak baik-baik saja. Aaron mengambil alih Alessandro, lalu merengkuh Bella, membawanya ke dalam pelukan. Tangis Bella pun pecah. John, pemuda itu perlahan masuk. Melihat sang kakak menangis, dengan sigap
Usia Alessandro kini sudah menginjak tiga tahun. Batita itu sangat lincah, cerewet, pintar dan pandai meniru apa yang orang dewasa lakukan. Dua tahun pula Bella menjalani program hamil. Tak kunjung hamil, kadang membuat Bella stress, putus asa. Sampai akhirnya Aaron menyarankan agar Bella mengantar Alessandro sekolah --play group. John, sudah dua tahun ini pria itu belajar tentang perusahaan, bagaimana cara memimpin dan bisnis lainnya. Semua dengan telaten Aaron yang ajarkan. Urusan cinta, jelas saja Patricia sudah resmi menjadi kekasihnya. Patricia pun sudah bekerja di sebuah rumah sakit di kota Birmingham. Semua ia lakukan agar dekat dengan John. Tak hanya pasangan kekasih itu yang pindah ke kota Birmingham, tetapi kedua orang tua Bella. Bukan kemauan mereka, tetapi Bella'lah yang ingin dekat dengan keluarga, walaupun tidak tinggal serumah. Ada Mitha dan Robert yang tinggal di Swiss. Kedua lansia itu memilih hidup berdua, menikmati masa-masa indah yang pernah hilang dahulu. Merek
Belinda menghela napas. Rasa iba berhasil bergelayut manja dalam benaknya. Dengan raut cemas, ia duduk di samping John. "John? Ibu tidak peduli dengan statusnya. Ibu sungguh merasa kasihan. Dekati wanita itu, ambil hatinya. Jadikan dia menantu Ibu."John bernapas lega. Bagaimana tidak? John pikir, tadi ibunya tidak akan merestui. Tetapi ternyata, jauh dari pikirannya. Sang ibu terlihat sangat menyayangi Patricia walau belum mengenalnya sama sekali. Mendapat lampu hijau, sungguh membuat John senang. Ia akan berusaha untuk mengabulkan keinginan Belinda. Keinginan sang ibu yang tentunya dibarengi dengan rasa cinta yang teramat, tentu saja akan ia perjuangkan. "Terima kasih, Bu. Tapi, bagaimana dengan ayah?""Ayah pasti setuju dengan keputusan Ibu. Tenang saja."John tersenyum lebar. "Selamat!" ucap Aaron. "Dan semangat!" timpal Bella cepat, sembari mengepalkan tangan. John mengangguk, lalu pamit ke luar. Belinda tersenyum. Sebagai seorang perempuan sekaligus seorang ibu tentu bis
Di rumah sakit, ada Bella yang sedang berganti pakaian. "Sayang? Apa kau bisa hubungi Kevin?" pinta Bella. "Untuk?""Aku mau minta maaf kepada Emilia."Aaron yang sedang melipat baju kotor pun menoleh. "Sudahlah, kita tidak usah berhubungan lagi dengan wanita itu. Lagipula, kau tidak bersalah.""Aku mohon!" Bella memelas. Aaron menghela napas. Tidak ingin mengecewakan Bella, akhirnya Aaron menghubungi sahabatnya itu. "Oke, dia akan datang ke mari. Paling nanti sore mereka tiba di rumah sakit.""Terima kasih, suamiku!"Aaron tersenyum. "Sama-sama." Aaron melanjutkan kegiatannya. "Tapi, kok, kalau kau yang menghubungi Kevin, dia menjawab. Sedangkan aku, nomornya selalu tidak aktif.""Nomornya ganti.""Oh, pantas kalau begitu."Aaron sudah mengemasi baju kotor. Sedangkan Bella berusaha turun dari ranjang. Ia akan belajar berjalan. Aaron yang melihat dengan sigap membantu. Saat asyik belajar berjalan, Bella berkata, "Kok, Ale belum ke sini, ya?""Kenapa memangnya?"Bella sedikit men
Hari menjelang malam. Aaron baru saja mengantarkan Alessandro ke rumah sang mertua. Ia tidak akan membiarkan Alessandro tinggal di rumah sakit meskipun sang istri dirawat di kamar dengan fasilitas paling lengkap. Alessandro sudah bisa berjalan dan pasti ingin bermain di luar. Kekebalan tubuh Alessandro belum tentu kuat menahan segala virus yang ada di sekitar. Oleh karena itu, jalan terbaik adalah Alessandro tinggal bersama kakek dan neneknya. Mobil Aaron baru saja terparkir di area rumah sakit. Ia bergegas turun karena pasti Bella sudah menunggu, karena sang istri meminta dibawakan nasi serta sayur buatan Belinda. Aaron berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara dari orang yang sangat ia kenal, yakni Robert. "Apa kita bisa melewati hari tua bersama?" tanya Robert. "Entahlah."Aaron menajamkan pendengarannya. Rupanya Robert sedang bersama Mitha. "Apa cintamu sudah sepenuhnya hilang untukku?""Kita sudah tua, tidak usah bahas cinta.""A
Bruk! John tanpa sengaja menyenggol pundak seorang perawat di koridor, yang membuat dokumen di tangannya terjatuh. "Sorry!" ucap John. Perawat itu tersenyum. "Tidak apa-apa." Sang perawat meraih dokumen itu.John hanya bisa memerhatikan karena sedang menggendong Alessandro dan menenteng satu tas kecil. "Mau besuk?" tanya perawat. "Iya, mau ke kamar VVIP."John tersenyum saat sang perawat itu tersenyum menampakkan barisan giginya yang putih dengan satu gigi gingsul di bagian atas sebelah kanan. Sungguh terlihat manis di mata John. "Tampan sekali putranya," kata Sang perawat sembari mencubit gemas pipi Alessandro. "Ini keponakan saya. Saya masih single.""Ooh, masih single, maaf."Perawat itu tersenyum, lalu pamit pergi. Kepergian sang perawat ternyata menyisakan rasa penasaran di hati John. John ingin mengenal lebih jauh wanita itu. Tanpa berkedip, John melihat kepergian perawat itu sampai hilang di balik tembok. "Ah, ya Tuhan, maafin Om, Sayang." John tersadar saat Alessandro