Beberapa saat sebelumnya ….BRUK! Tubuh Yuna seakan mematung saat motor itu melaju kencang ke arahnya dan tiba-tiba seseorang menarik tubuhnya dengan satu tarikan kencang ke sisi jalan. Hingga begitu ia membuka mata, Yuna mendapati dirinya telah berada dalam dekapan seseorang. Yuna refleks melangkah mundur. Wajahnya masih terlihat syok dan ia secara naluriah meraba perutnya dengan gelisah. “Bayiku …. Bayiku ….” Ia meracau panik dan melakukan pemeriksaan cepat. Tidak ada pendarahan, tidak ada rasa sakit apa pun, hanya detak jantungnya yang bertalu-talu hingga Yuna bisa merasakannya dengan amat jelas. Gadis itu lantas memejamkan mata dan mengembuskan napas panjang penuh kelegaan. Hampir saja. Telat sedetik saja, Yuna mungkin sudah berbaring di sisi jalan dengan darah di sekitarnya sekarang. “Terima kasih sudah menolong …. Morgan!?” Mata Yuna membelalak tidak percaya. Sosok yang berdiri dengan dada tegap di hadapannya tidak lain adalah Morgan. Pria itu berdiri tegak, tanpa bantuan
Kamar Dimas masih diliputi ketegangan setelah mendengar laporan dari Zul. Pria itu tertegun, sementara Lina memperhatikan dengan gusar. Meski telah mendekat ke arah ponsel itu, Lina masih tidak dapat mendengar apa pun, tetapi wajah suaminya tiba-tiba terlihat kaku. Lina cukup yakin ini adalah jawaban dari firasat buruk yang terus menghantuinya. “Apa maksudmu?” tukas Dimas dengan tidak sabar. Ia tidak peduli sekalipun Zul masih berada di jalanan. “Morgan menyelamatkan Yuna? Tidak mungkin!” sergah Dimas. Jantung Lina seakan berhenti berdetak. Wajahnya menjadi pucat pasi dan dia langsung duduk lemas di sisi sang suami. Tangannya refleks memegangi dadanya yang kini terasa berat untuk bernapas. “Itu benar-benar terjadi!” ujar Zul di seberang telepon. Dia meninggikan suaranya untuk mengalahkan bising lalu lintas dan nada bicaranya terdengar sama terkejutnya. “Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri!” Dimas mengusap wajahnya kasar, kemudian menggeleng tidak percaya. Ia menja
Morgan menatap lurus ke arah Yuna. Sorot matanya terlihat dingin dan kecewa. Bagaimana tidak. Morgan sudah memberikan informasi dengan begitu jelas dan meminta Yuna untuk bersiap, tetapi kini apa yang ia lihat justru Yuna masih dalam tampilan rumahannya. “Bukankah aku sudah mengingatkanmu tadi malam?” Morgan bertanya. Suaranya terdengar lebih berat, seakan ia berusaha menyembunyikan kekecewaan dan kekesalannya. Yuna mengangguk dan menelan saliva untuk mengumpulkan keberanian. “Aku tidak pernah bilang aku setuju untuk datang,” kilah gadis itu. Morgan mendengkus pendek dan berkacak pinggang. Ia benar-benar tidak menyangka dengan jawaban Yuna yang tidak mendengarkannya sedikit pun. “Masih ada waktu. Aku akan memberimu waktu tiga puluh menit untuk bersiap,” ucap Morgan, mencoba menempuh cara lain. Akan tetapi, Yuna menggelengkan kepala. Pandangannya terus tertuju ke arah lain seakan enggan menatap Morgan. “Aku tidak bisa melakukannya, Morgan,” jawabnya lirih. Raut wajah Morgan m
Yuna tidak bisa menjawab. Bibirnya sudah terbuka, tetapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar. Gadis itu hanya bisa terisak dan ikatan kuat seakan mencekik lehernya. Morgan mengembuskan napas panjang, kemudian melepaskan dekapan itu perlahan. Namun, pria itu tidak benar-benar membiarkan Yuna pergi. Ia mengambil napas panjang yang tersendat dan bahunya menurun dengan melihat mata Yuna yang berurai air mata. “Maaf,” gumam Morgan, tangannya kini berpindah pada sisi telinga Yuna dan mengusap air mata gadis itu perlahan. “Maaf, aku membuatmu menangis,” ucap pria itu dengan serius. Yuna menelan saliva kelat. Dalam jarak ini, ia bisa melihat raut wajah Morgan dengan begitu jelas. Napas pria itu diliputi rasa bersalah dan terlihat rapuh. Hingga pandangan itu turun dan berhenti pada bibir Yuna. Perlahan, Morgan memajukan wajahnya. Cengkeraman Yuna pada kemeja pria itu bertambah kencang, tetapi ia tidak memprotes hingga Morgan memiringkan wajahnya dan menyatukan bibir mereka. S
“Apakah kalian tidur bersama?” Pertanyaan itu langsung menyambut Yuna begitu ia tiba di kediaman sahabatnya. Saat Yuna membuka pintu, tubuhnya sampai berjengit kaget melihat Nara yang telah siap dengan setelan kerjanya. Nara sama terkejutnya melihat penampilan Yuna yang tampak acak-acakan. Persis seorang wanita yang lari setelah terlibat masalah dengan seseorang. Ditambah gerak-gerik Yuna yang seperti mengendap-endap membuatnya tambah curiga. “Jangan bercanda,” kilah Yuna. Ia menaruh sebuah kotak bekal di meja dan berusaha menghindari kontak mata dengan sahabatnya itu. “Aku terpaksa menginap di rumahnya karena kakeknya mengawasi kami.” Nara memicingkan mata seakan tidak percaya. “Karena itu, aku menebak kalian pasti menghabiskan malam panas bersama. Benar, ‘kan?” desaknya dengan penuh penekanan. Kecurigaannya kian bertambah karena Yuna terus berusaha mengalihkan tatapan dari Nara. Jelas, sekali sahabatnya itu menatap lurus ke matanya, maka terbongkar sudah semua yang coba
Yuna memicingkan mata dengan tidak percaya mendengarnya. “A—apa?” tanya gadis itu, kemudian langsung menggelengkan kepala. “Tidak bisa. Itu tidak mungkin.” Bahkan meski Morgan bisa bertindak sebagai suaminya ataupun sebagai pemimpin dari perusahaan penerbangan itu, rasanya tidak benar jika Morgan mengantar Yuna hingga ke ruang kantornya. “Kamu tidak bisa melakukannya. Lebih baik kamu pergi dan berangkat bekerja sekarang,” tutur Yuna. Ia menarik mundur kursi roda Morgan ke arah mobil, tetapi pria itu menekan rem otomatis dan membuat kursi rodanya berhenti bergerak. “Mengapa?” Morgan mengernyitkan alis. “Apakah ada alasan khusus aku tidak boleh menemuinya?” tanya pria itu. Yuna mengembuskan napas panjang dan mengedarkan pandangan ke sekitar. Beruntung, belum ramai pegawai yang berlalu-lalang pada jam ini. “Orang-orang yang tidak memiliki kepentingan tidak diizinkan masuk,” ucap Yuna, “Dan lagi, kamu bukan pegawai perusahaan ini. Kamu tidak memiliki kartu pegawai dan tidak a
Delvin tidak bisa menjawab. Seakan kehabisan kata-kata, pria itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Mengungkapkan perasaannya kepada Yuna tidak ada dalam rencana pria itu. Lebih tepatnya, Delvin berniat mengatakannya setelah Yuna bercerai. Kini, tiba-tiba gadis itu bertanya. Untuk sesaat, Delvin hanya bisa menatap ke arahnya seakan hanyut dalam iris hitam Yuna yang menatapnya dengan lekat. Mungkinkah … Yuna mulai menyadari cinta terlarang yang ia simpan untuk dirinya? Delvin menelan saliva satu kali sebelum menjawab, “Jika iya, apakah itu akan mengubah tatapanmu?” “A—apa?” Kali ini justru wajah Yuna yang diwarnai kebingungan. “Apa maksudmu ….” Ini adalah saat yang tepat bagi Delvin untuk mengutarakan perasaannya. Hanya ada mereka berdua di ruangan, dengan mata saling terkunci, apalagi yang Delvin butuhkan? Kata-kata aku menyukaimu sudah berada di ujung lidah Delvin, tetapi lidahnya seakan kelu dan sulit untuk digerakkan hingga akhirnya Delvin hanya kembali mengukir senyum han
Saat Yuna selesai, Morgan masih duduk di tempat yang sama. Tampak serius memandangi layar ponselnya, tetapi pria itu langsung beranjak berdiri saat menyadari Yuna berjalan keluar ruangan. “Sudah selesai?” tanya Morgan seraya berjalan menghampiri gadis itu. Yuna mengangguk. Dalam hati, ia merasa sedikit dongkol karena itu berarti ia harus pulang bersama Morgan. “Kalau begitu, kami akan pulang sekarang. Hati-hati di jalan,” pamit Yuna kepada Delvin. Gadis itu mengangguk sopan dan beranjak pergi. Sementara Morgan, dia pamit dengan menunjukkan senyum penuh kemenangan dan lanjut berjalan di sisi Yuna. Sopir pria itu telah menunggu di depan pintu masuk utama dan mereka langsung masuk ke mobil. “Ambil ini.” Morgan memberikan secarik kertas saat mobil itu mulai melaju pergi. “Apa ini?” Alis Yuna mengernyit. Ia mulai membaca dan bertambah heran saat melihat daftar pekerjaan beserta rincian pekerjaan tersebut. “Itu adalah posisi yang dapat kamu pilih di perusahaanku,” jawab Morgan.
“Apa yang terjadi padanya?” David bertanya seraya menghampiri Cindy dan Yuna. Pertanyaan itu ditujukan kepada Yuna yang sore ini terlihat begitu layu. Tak biasanya Yuna seperti ini. Bahkan setelah memeriksa puluhan pasien, wanita itu masih memiliki cukup stamina. “Sudah dua hari dia ditinggal suaminya.” Cindy menjelaskan. Menatap iba pada sahabatnya yang kini terlihat seperti zombie. “Bukankah seharusnya dia kembali kemarin?” tanya Cindy lagi. Terhitung sudah sebulan semenjak Yuna menikah dengan Morgan. Wanita itu masih diizinkan untuk bekerja. Namun, keduanya justru tidak sering bertemu. Tak seperti saat masa pendekatan dahulu, Morgan bisa memanggil Yuna sesuka hati. Kini, bahkan pria itu amat jarang terlihat di rumah sakit. Membuat Yuna hanya bisa bertemu dengannya saat malam dan pagi hari. Bahkan, kali ini terhitung sudah dua hari ia tak bertemu Morgan dan seluruh energinya seakan menghilang. Yuna tak pernah seperti ini sebelumnya. “Tiba-tiba dia harus mengadakan pertemu
Bunyi gerendel digeser menyambut masuknya seorang pria berompi dan berpakaian oranye. Kedua tangannya diborgol dan raut wajahnya terlihat lesu sekaligus tak terawat. Orang-orang yang melihatnya tak akan menyangka jika pria berpakaian tahanan penjara itu pernah menjadi direktur utama perusahaan bergengsi. Morgan sudah menunggu di kursi dan begitu sang paman mengangkat kepala untuk melihatnya, pria itu bergegas menghampiri Morgan. “Kau datang untuk melepaskanku, ‘kan? Kau datang untuk mencabut tuntutan itu, ‘kan, Morgan?” sergah Dimas dengan penuh harap. Sudah genap lima hari dia dipenjara dan penampilan Dimas terlihat jauh lebih buruk. Tak ada lagi bekas perkelahian. Kumisnya tumbuh dengan cepat, matanya sayu, dan kulit wajahnya terlihat kusam. Dari apa yang dilaporkan oleh jaksa, Dimas dituntut lima belas tahun penjara atas tuduhan penggelapan dana dan penyuapan yang dia lakukan, ditambah tiga tahun lagi atas percobaan pembunuhan yang ia lakukan terhadap Yuna. Morgan sudah be
Sekujur tubuh Yuna seketika bereaksi mendengar suara Morgan. Ia menelan saliva dengan gugup. Bahkan lehernya terlihat kaku saat Yuna menoleh perlahan ke arah Morgan. “A … apa?” tanya wanita itu seraya berkedip canggung. Pria itu tersenyum tipis dan menegakkan tubuhnya. Satu tangannya masih berada di dalam saku, sementara sudut bibir Morgan tertarik membentuk senyum miring. “Kakek sudah menyiapkan ini semua. Hanya untuk kita. Tidak mungkin kita membuat dia kecewa, bukan?” tutur pria itu dengan nada lirih setengah berbisik. Seluruh bulu di tubuh Yuna seakan bergidik seketika. Belakangan, ia terlalu fokus menyiapkan diri untuk pernikahan hingga Yuna lupa ia masih memiliki kewajiban tepat setelah pernikahan itu berakhir. Kewajiban melalui malam pertama bersama Morgan. Pria itu tersenyum tipis melihat wajah Yuna yang mendadak gugup dan canggung. Cup Ia melabuhkan satu kecupan ringan pada salah satu pipi Yuna. “Aku akan membersihkan diri sebelum melakukannya,” ucap Morgan
“Maksudmu, Morgan akan menikah? Cucuku akan segera menikah!?” Kakek Morgan berseru tegas. Pria tua itu tengah membaca di ruang baca saat salah seorang pelayan datang dan membawakan surat undangan. Matanya nyaris terbelalak keluar saat melihat nama sang cucu di sana. “Itu benar, Tuan Besar. Sepertinya, Tuan Morgan merahasiakan hal ini dari keluarga besar.” Pelayan sekaligus asisten pribadinya itu menjelaskan. Mendengarnya, raut wajah pria itu itu menjadi campur aduk. Senang dengan kabar menggembirakan ini sekaligus setengah kesal karena dirahasiakan dari peristiwa penting seperti ini. “Bocah tengik!” umpatnya, “Berani-beraninya dia merencanakan pernikahan ini tanpa sepengetahuanku. Siapa pengantin wanitanya?” sergah pria tua itu. “Dia—” “Tentu saja calon istriku.” Satu suara menyela. Kakek Morgan, Louis, dan asistennya refleks menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu, sudah berdiri Morgan dengan Yuna di sisinya. Raut wajah pria itu terlihat penuh semringah. “Tentu saja
“Morgan menemui Ibu?” Yuna bertanya dengan raut wajah penasaran. Sesuai janji, Morgan dan Yuna sepakat untuk bertemu setelah Yuna selesai bekerja. Kini, setelah Yuna datang ke ruangan pria itu, Morgan justru tidak ada di ruangannya. Benny mengangguk satu kali. “Benar, Nyonya. Setelah rapat selesai, tiba-tiba Nyonya Dewi mengajak Morgan untuk mengobrol,” tutur pria itu. Alis Yuna mengernyit bingung. Dewi tak mengatakan apa pun kepadanya. “Apakah kau tahu ke mana mereka pergi?” Yuna bertanya lagi. Sayangnya, Benny menggelengkan kepala. “Tuan Morgan tidak memberitahu apa pun kepada saya, Nyonya,” lanjut pria itu. Yuna mengangguk mengerti dan meminta Benny untuk melanjutkan pekerjaan sementara Yuna akan menunggu di ruangan Morgan. Wanita itu sudah mencoba menghubungi Morgan, tetapi tidak mendapat jawaban apa pun. Hingga selang beberapa menit, pintu terbuka dan Yuna refleks berdiri. Akan tetapi, alih-alih Morgan, ia justru mendapati sosok Katherine yang berdiri di ambang pintu.
Morgan dan Yuna mempersiapkan dengan lebih matang kali ini. Tidak seperti pernikahan pertama mereka yang dilakukan secara mendadak, tertutup, dan setengah hati. Kali ini Morgan benar-benar mencurahkan pikirannya dengan maksimal. Di sela-sela kesibukan pria itu dalam menjalankan dua perusahaan sekaligus, Morgan masih mencicil keperluan dan menggali informasi untuk vendor pernikahan yang sesuai. Kemarin, Morgan dan Yuna telah memilih sebuah aula tempat pernikahan akan digelar. Tempatnya berada di luar ruangan di kawasan elite yang khusus untuk menggelar pernikahan. Awalnya, Yuna tampak ragu, khawatir perayaan itu akan terlalu banyak. Namun, Morgan berkata mereka hanya akan melakukannya satu kali dan tentu hal itu harus sempurna. Kali ini, pria itu baru selesai rapat dan berjalan beriringan dengan Benny menuju mobil. “Kau sudah membayar untuk tempat kemarin?” Morgan bertanya kepada sekretarisnya. Benny mengangguk satu kali. “Sudah lunas dan tanggal itu dipersiapkan hanya u
Benny kewalahan saat mencoba menahan tubuh sang bos. Wajah Dimas sudah babak belur dan berdarah. Pria itu benar-benar akan habis di tangan Morgan andai tak ada satu pun orang yang menghentikan. Selama ini, Morgan selalu menahan diri dan tak sekalipun menggunakan kepalan tangannya. Namun, sebagai orang terdekatnya, Benny tahu bahwa sekali Morgan memukul seseorang, pria itu bisa benar-benar kritis. “Hentikan ini, Tuan. Anda bisa membunuhnya!” Benny berkata dengan tegas. Iris hitam Morgan masih dikuasai oleh kemarahan. Seakan suaranya tak dapat mencapai akal sehat Morgan. Sementara itu, Dimas berhasil kembali berdiri. Wajahnya terasa berdenyut sakit dan amarah juga menguasai dirinya. Ia menatap lurus ke arah Morgan, kemudian menyeringai tipis. Hal itu membuat kegeraman Morgan semakin meledak-ledak. “Brengsek!” sergah Morgan, kemudian kembali merangsek maju. Kekuatannya begitu besar hingga berhasil menembus pertahanan Benny. Ia melangkah cepat mendekati Dimas dan kembali men
“Kau sudah memeriksa seluruh CCTV di sana?” Morgan bertanya melalui telepon. Pria itu telah berada di mobilnya dan mengenakan sebuah earphone. Sejak tadi, ponselnya tak berhenti menghubungi ke sana kemari. Jika benar Dimas berperan dalam hilangnya Yuna, maka Morgan harus bertindak secepat mungkin. Kali ini, Morgan kembali meminta bantuan Bara dan Erik. “Sudah, Tuan, dan memang benar Nyonya Yuna tengah berangkat bekerja saat sebuah mobil hitam mendekatinya. Tapi, pria itu tidak melakukan apa-apa.” Bara memberitahu. Alis Morgan mengernyit seketika. Pria itu terlihat tidak kesulitan membagi konsentrasi antara setir kemudi di depannya dengan percakapan di telepon itu. “Apa maksudmu?” sergah Morgan. “Dia tidak memukul atau menyeret Nyonya Yuna. Pria di dalam mobil sepertinya mengajak Nyonya Yuna bicara, kemudian Nyonya Yuna memasuki mobil itu tanpa paksaan.” Bara menjelaskan sembari menatap layar komputer yang menampilkan hasil rekaman CCTV salah satu toko terdekat. Morgan membungka
Semuanya menjadi kacau. Dengan amat hati-hati, Morgan berusaha membereskan kekacauan dan merangkai situasi sempurna agar mereka benar-benar bisa menikah. Kini, tepat setelah kasus sang putra berhasil tuntas, Yuna justru lepas dari genggamannya. Dewi terlihat sangat kecewa dan marah terhadap mereka. Ia tak mendengarkan Morgan sedikit pun dan langsung membawa Yuna pergi. Persis seperti lima tahun lalu. Kini, wajah Morgan terlihat pucat dan tak bersemangat meski ia telah berhasil mencapai tujuannya. “Pagi ini, Paman Anda akan menjalani pemeriksaan pertama, Tuan. Ketua eksekutif perusahaan DreenCo juga ikut terseret—” Laporan Benny terhenti saat pria itu menyadari Morgan terlihat tidak fokus. Pria itu tidak mendengarnya sedikit pun. Iris hitamnya terlihat kosong, tampak jelas pikiran Morgan tak berada di sana. “Bagaimana kondisi Nyonya Yuna, Tuan?” Benny mengganti topik pembicaraan. Mendengar itu, Morgan berkedip satu kali dan seketika jiwanya seakan kembali ke tubuh pria i