Ikut Ke Perusahaan
Bab 2Sudah tiga hari aku berada dirumah mama. Selama itu pula aku tak pernah keluar rumah. Biarlah kunikmati dulu keadaanku ini. Sebelum aku terjun lagi kedunia luar. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin kembali bergabung di perusahaan papa.Selama tiga hari pula Mas Tama tak ada berusaha menghubungi. Kebencian seperti apa yang ditanamkan adik dan ibunya? Cintanya selama ini ternyata tak cukup untuk mengalahkan hasutan keluarganya. "Gimana perasaanmu, Nak?" Papa menghampiriku yang sedang duduk di teras menghadap taman mama.Aku menoleh pada papa. Ia duduk disebelah. "Riri sudah lebih baik, Pa. Tapi, masih sering teringat," jawabku jujur. Tak kupungkiri, kenangan tiga tahun itu sering menghinggapiku."Itu wajar, Sayang! Belajarlah memaafkan agar setiap kenangan itu muncul tak ada lagi rasa sakit dihati. Justru keikhlasan dan penerimaan atas apa yang sudah terjadi." Nasehat papa. Aku memeluknya dari samping. Inilah yang aku salut pada orangtuaku a. Tak pernah sekalipun mengajak pada kebencian. Justru selalu menguatkan dan menasihati untuk dewasa dan memaafkan. Beruntungnya aku memiliki orang tua yang punya pemikiran seperti mereka. Sekilas kurutuki diriku yang tak mendengar nasehat mereka dulu. Sampai-sampai aku nekat menjauh dari mereka demi menikah dengan Mas Tama.Teringat aku setahun usia pernikahan kami, aku ingin mengatakan yang sejujurnya pada keluarga Mas Tama, siapa aku, dan dari Keluarga mana, dan berniat membawa Mas Tama kerumah papa.Melihat sikap ibunya yang kerap membenciku, membuatku mengurungkan niatku untuk mengatakannya. Aku mulai merasakan sifat yang kurang baik. Keserakahan akan harta juga kebencian terhadapku.Tak jarang ia mengumpat, Mencari-cari kesalahanku. Lalu membandingkan aku dengan gadis lain putri Bapak Camat katanya.Semua itu tak pernah kugubris, ataupun merasa cemburu. Karena aku yakin Mas Tama setia padaku. Bahkan pernah sekali mereka membawa gadis kerumah itu, aku melayaninya sebagai tamu. Aku tak merasa takut sedikitpun, ataupun cemburu. Membuat mereka kesal setengah mati.Telah seminggu berlalu. Papa mengajakku ke perusahaan. Katanya aku harus mulai belajar jadi pemimpin disana. Sejak Kak Akmal menikah, memang aku lah yang jadi harapan papa satu-satunya. Kak Akmal sudah jadi pemimpin diperusahaan Mbak Nadia. Karena kakak iparku itu adalah putri tunggal.Ku usap Make Up diwajahku. Lipstik berwarna nude menjadi Pilihanku. Dengan memakai kemeja putih polos di padukan dengan celana bahan hitam. Ah, aku seperti masih gadis saja. Aku ikut bersama papa. Beliau melarangku pergi dengan mobil sendiri, karena sudah tiga tahun aku tak pernah menyetir. "Waduh, gimana ini, Pa. Riri lupa bawa masker, Riri belum siap ketemu sama Mas Tama." Aku baru ingat kalau di situ mantan suamiku bekerja."Nih!" Papa menyodorkan sekotak masker padaku. Langsung kuterima kotak itu."Makasih, Papa!" ucapku sambil tersenyum."Kalau cuma masker saja, Kamu masih mudah dikenali. Pakai juga kaca mata ini!" Sebuah kaca mata hitam di berikan papa padaku."Nggak usah, Pa. Dikira orang nanti aku sakit mata lagi pakai hitam." Aneh saja kalau aku kekantor dengan kacamata hitam."Papa nggak bisa jamin kalau Kamu nggak dikenali oleh Tama." Benar juga kata papa. Ku ambil kaca mata itu lalu segera kupakai.Aku berjalan dibelakang papa, membawa beberapa map yang di tanda tangani papa dirumah.Para karyawan pun mulai memasuki ruangan masing-masing. Sebagian mulai menaiki lift keruangan atas. Mereka melirik kearahku dan papa. Bergantian seperti juri yang menilai peserta. Aku cuek saja, saat lift berhenti di lantai ruangan papa. Aku menggandeng tangan papa keluar.Tampak olehku tiga orang karyawan membulatkan matanya. "Papa kenapa pakai lift untuk karyawan, sih?" Aku mendudukan diri di sofa ruangan papa. Segera ku lepas masker dan kacamata. Sungguh ini membuatku sedikit pengap."Lift sedang diperbaiki," jawab papa. Ia duduk dikursinya, mulai membuka beberapa map yang tadi kubawa."Selamat pagi, Pak!"Sekretaris papa baru saja datang. Gilang namanya, kalau tidak salah sudah delapan tahun dia bekerja pada papa.Pendiam dan sangat sopan, itulah kenapa papa mempertahankannya. Selain itu dia sangat bertanggung jawab. "Pagi!" jawab papa.Ia melirik kearahku, dan sedikit terkejut. Mungkin dia pikir papa sendirian. "Pagi Bu Riri!" ucapnya sedikit membungkukkan badan."Pagi!" Aku menoleh sesaat."Gilang, proyek kerja sama dengan Buana Corp, apa Kamu bawa berkasnya?" tanya papa. Aku hanya ikut mendengarkan."Bawa, Pak. Ini dia berkas nya!" Gilang menyodorkan map berwarna coklat pada papa. Papa langsung menerima dan membukanya."Gilang, Kamu atur pertemuan dengan mereka, dan tolong ini, bagian penanganan ini, Kamu ganti namanya. Tulis disitu nama Riri Danu Subrata!" perintah papa dan langsung diangguki oleh Gilang."Apa?" Aku langsung berdiri menghampiri meja papa. "Pa, kenapa Riri? Riri kan baru sehari disini?" protesku.Yang benar saja, aku sudah disuruh menangani proyek, padahal aku kesini hanya untuk menghilangkan kejenuhan saja. Belum waktunya ikut mengerjakan proyek. "Kenapa? Ya karena papa percaya sama kemampuan, Kamu," jawab papa santai. "Itu bukan proyek kecil, Pa. Tadi Riri sempat lihat anggarannya." Aku masih berusaha menolak. Di mobil tadi aku sempat melihat, jumlah dananya saja mencapai triliunan."Ayolah, Ri. Biar Kamu tertantang dan nggak melamun terus. Papa yakin Kamu sanggup.""Emangnya Papa siap untuk rugi?" pancingku. Biasanya kalau cerita rugi. Papa pasti sedikit takut. Lalu tak jadi menyerahkan proyek ini padaku. "Riri, Riri! Mana mungkin Kamu tega membuat papa kamu bangkrut?" Idih, Papa malah semakin menantang ini. Aku menghela napas kasar. Kalau sudah begitu jawaban papa. Aku tak bisa menolak. "Ya nggak lah, Pa.""Nah itu, Papa tau Kamu pantang menyerah, buktinya sama Tama saja kamu nekat, tega meninggalkan Papa dan mamamu." Papa ini sembarangan bicara padahal masih ada Gilang di situ. Entah kenapa aku jadi malu. "Santai saja, Bu. Anggap saya nggak dengar." Seolah tahu apa isi pikiranku, enteng sekali Gilang bicara. Aku beranjak lagi ke sofa. "Pagi ini, Papa ada rapat. Kamu tunggu disini atau ikut?" tawar Papa sambil berdiri. Aku berpikir sejenak lalu menggeleng. "Ya sudah, Kamu pelajari itu berkasnya! Selesai rapat nanti bisa tanyakan yang belum Kamu paham.""Ok, Pa." Papa keluar diikuti oleh Gilang. Mana mungkin aku ikut keruang rapat. Aku belum mau bertemu sama Mas Tama. Yang kutau jabatannya sudah manager disini, sudah dipastikan dia akan hadir. Ngantuk juga pagi-pagi sudah baca berkas begini.Hoamm! Lebih baik tidur sebelum papa kembali. Pikirku."Astaga Riri, disuruh baca berkas, malah tidur," ucap Papa. Hingga membuatku terbangun.Aku bangkit dan merapikan rambutku, lalu tersenyum pada Papa. "Ngantuk, Pa.""Sekarang, Kamu bersiap. Buana Corp ingin bertemu di perusahaan mereka!" Perintah papa. Membuatku cukup terkejut. "Apa?""Cepat sana! Gilang sudah menunggu dibawah," peeintah papa cepat sepertinya tak bisa dibantah.Aku berdecak, berdiri menyambar tasku di atas meja. Lalu melangkah dengan malas"Masker, dan kacamata." Oh iya, hampir saja. Aku berbalik lagi mengambilnya. "Thanks papa!" ucapku seraya mengangkat kaca mata keatas. Lalu beranjak menuju pintu."Riri!" panggil papa."Apa lagi, Pa?" Aku memasang wajah merengut. Tadi suruh cepat sekarang di panggil lagi. "Ini!" Papa mengangkat berkas Buana Corp.Hehehe. Aku nyengir. Lalu mengambilnya dari tangan Papa."Move on Riri!" Masih jelas kudengar suara papa saat aku sudah keluar dari ruangannya. Didalam lift aku memakai maskerku. Pintu lift terbuka.Mas Tama! Aku belum sempat pakai kacamata. Ia masuk dengan temannya, aku memalingkan wajahku cepat, jangan sampai dia menyadari aku ada di dekatnya. "Sepertinya simpanan si bos." Terdengar suara temannya bicara.What? apa mereka membicarakanku? Karena hanya aku wanita didalam lift ini. "Ssshtttt, jangan berisik, nanti dia dengar, kita bisa dipecat," jawab Mas Tama. Ingin rasanya aku membuka maskerku dan mengatakan siapa diriku, namun aku harus tahan."Biarkan saja, orang seperti ini tidak tahu diri, tak kenal usia. Orang tuapun diembat," lanjut temannya lagi.Tak bisa dibiarkan ini, semakin menjadi-jadi. Awas saja kalian?Pintu lift terbuka, aku langsung keluar duluan sambil memakai kacamata. Kulihat mobil perusahaan sudah terparkir di lobby. Aku langsung masuk membanting pintu. Sampai Gilang pun kaget mendengarnya hingga menghapus dadanya. "Jalan, Lang!" Aku kesal mendengar omongan mereka tadi. Bisa-bisanya mereka berpikir begitu. Pertemuan berjalan dengan lancar, kami setuju untuk kerja sama karena sudah melihat cara kinerja mereka. Mataku menyipit melihat Mita keluar dari ruangan yang bertuliskan manager. Ngapain Mita kesini?Mita menoleh, aku langsung menutup wajahku dengan berkas. Untung dia tak melihatku. Aku tadi lupa memakai masker dan kacamata. "Wanita nggak jelas, sesuka hatinya saja masuk keperusahaan ini," gerutu sang resepsionis.Jiwa kepoku meronta ingin tau apa kerjaan si Mita kesini."Maaf, Mbak. Yang itu tadi kerja dibagian mana ya?" tanyaku langsung. Mereka berdua diam dan melihatku. "Maaf, Mbak. Soalnya saya ini temannya, tapi dia tidak melihat saya tadi." Aku terpaksa berbohong."Dia bukan kerja, Mbak. Dia itu pacarnya manager," jawab satunya. Temannya langsung menyenggol lengannya seolah protes. Ops! Seketika dia menutup mulutnya, baru sadar dia sudah keceplosan. "Apa sebebas itu bawa pacar kesini?" tanyaku lebih dalam. Ini penting untukku, untuk menjatuhkannya suatu saat nanti. "Ya bisalah, Mbak. Namanya juga pak managerkan adik pak dirut," jawab mereka seperti tak suka dengan Mita. Ooo, Apa? Tiba-tiba aku terbayang sesuatu. Pak dirutnya saja sudah setua itu, pastilah adiknya tak beda jauh usianya.Cepat-cepat aku permisi sebelum Mita melihatku. "Aku punya kartu merahmu, Mita!"Bertemu Tiga Orang MenyebalkanBab 3"Kenapa repot-repot mengantarnya? Bukannya mengantar berkas perceraian itu dari pihak pengadilan?" Aku menatap Mas Tama. Dia menghubungiku untuk memberikan berkas perceraian. "Aku tak tau alamatmu, Ri. Kamu kan tidak pernah mengenalkan siapa keluargamu padaku." Ah, ya betul juga apa katanya. "Kurasa itu tak penting lagi sekarang," jawabku cepat. Mas Tama tertawa. Aku heran apa yang dia tertawakan. Apa aku terlihat lucu di matanya? "Memangnya kamu punya keluarga, tapi... Dari penampilanmu, Kau sepertinya tinggal ditempat yang layak." Dia memperhatikanku dari atas hingga bawah. Mungkin dia sudah melihat perubahanku. Aku memang memakai pakaian mahal, tas dan sepatu juga. Ini dibelikan mama kemarin untukku."Atau jangan-jangan uang yang Kau rampas dari ibu masih Kau simpan? Mana cepat kembalikan!" Bisa-bisanya dia berpikir aku mengambil uang ibunya. Dasar sinting! Ternyata Mas Tama ini terhasut oleh keluarganya. Baiklah mari kita lihat apa dia pe
NirmalaBab 4Waktu begitu cepat berlalu, Aku menggeliatkan tubuhku. Hari ini aku harus cepat kekantor, ada rapat mengenai proyek dengan Buana Corp."Semangat! Semangat!" monologku. "Sarapan dulu, Ri! Ini Mama buatin nasi goreng khusus untukmu." Mama menungguku dibawah tangga. Ia memang paling peduli takut anaknya yang imut ini pergi tanpa sarapan. "Riri ingin cepat loh, Ma." Aku melirik arlojiku. Sudah pukul 7.30, waktu kekantor kurang lebih 30 menit, itupun kalau tidak macet."Pokoknya sarapan dulu sebelum berangkat!" katanya tegas."Ih, Mama." Mama tak peduli ia mendorongku kemeja makan."Kamu tinggal makan saja, susah Ri." sambut papa yang juga sedang sarapan."Riri takut telat, Pa. Katanya Rapatnya jam sembilan, nanti disana nyusun ini itu, sudah makan waktu lama," jawab ku. Mama menyendok nasi goreng kedalam piringku. Baru ia duduk dan mengambil bagiannya sendiri.Kok aku kayak jadi anak kecil ya. Di perlakukan manja. Padahal sudah calon janda ini. Tapi aku senang, kasih saya
Sidang PertamaBab 5 Usai makan siang, kami langsung terjun ke tempat pembangunan proyek. Berangkat berempat dengan mobil kantor. Gilang sebagai sopirnya. "Itu tadi pacarmu, Nir?" tanya Risti memecah kesunyian di dalam mobil. Aku pura-pura fokus menscroll Sosmedku. Gilang pun tampak santai sambil menyetir."Calon suami?" jawab Nirmala. Sepertinya dia senang. "Tampan ya, maneger lagi. Beruntung banget, Kamu Nir," puji Risti. Memang Mas Tama seorang maneger disini. Itu karena permintaanku dulu pada papa agar menaikkan sedikit jabatannya. Setelah kami menikah. "Alhamdulillah, Ris. Keluarganya juga baik, sayang sama aku." ucap Nirmala. Dari bicaranya mungkin mereka sudah kenal cukup lama. "Tunggu apa lagi, buruan dihalalin. Ntar diambil orang loh!""Belum bisa, Ris.""Loh, kok?""Mas Tama itu belum resmi cerai dari istrinya." Suara Nirmala mengecil. Tidak tau dia akulah istri pria pujaannya itu."Jadi, Kamu berhubungan sama suami orang? ya ampun Nirmala. Itu sama saja Kamu dengan pel
Pernikahan KeduaNirmala HamilBab 6Berpapasan dengan beberapa karyawan membuat ekspresiku berubah. Pasalnya ada yang melihat tersenyum, namun lebih banyak yang sinis. Ini pasti karena hari pertama aku dekat dengan papa. Mereka mengira aku ini benar selingkuhan bos mereka. Terkadang lucu juga.Berbelok menuju ruang kesehatan. Aku membetulkan bentuk kacamata. Kali ini aku pakai yang bening. Norak juga kalau pakai yang hitam di dalam kantor. Seperti orang yang mau liburan di pantai."Mas, Kamu harus segera nikahi aku!"DegAku tak jadi membuka pintu yang handlenya sudah kupegang. Didalam ternyata sudah ada Mas Tama."Iya, Sayang. Mas pasti akan menikahi, Kamu. Mas, kan sudah janji. Pokoknya secepatnya," balas Mas Tama. Kenapa aku perih mendengarnya? Ada apa sebenarnya ini? Aku mulai menduga hal yang sensitif pasti terjadi. "Pokoknya secepatnya, Mas. Jangan sampai Ayah tau aku hamil." Terdengar suara Nirmala yang memaksa. Apa? Hamil? Benar dugaanku."Stttt, jangan keras - keras, na
Pernikahan Kedua BerantamBab 7Pov RiriRisti keluar makan siang ke kantin, Nirmala pun sudah duluan keluar. Tiba-tiba aku pun ingin makan di kantin juga. Sudah lama rasanya tak mencicipi masakan kantin. Aku melangkah tanpa ragu. Dengan masih mengenakan masker. Sampai di kantin ternyata penuh, maklum, semua karyawan kebanyakan makan dikantin. Dan ini gratis, papa memang menyediakan khusus agar tak memberati karyawan dengan membawa bekal lagi dari rumah. Di dekat meja prasmanan ada satu kursi kosong. Aku melangkah masuk. Namun tatapan sebagian orang tampak sinis, mereka seperti tak suka aku di sini. "Wow! Selingkuhan berani makan dikantin rupanya," sindir wanita yang pernah mengolokku di lift. Yang kutau bernama Maya. Yang lain ikut menatapku. Ternyata karyawan papa banyak yang bar-bar dan tukang bully lagi. Aku tetap masuk melangkah ingin duduk di kursi kosong tadi. Namun seseorang menarik kursi itu dan menaikkan kakinya di atas. Hampir saja aku jatuh. "Hahahaha....!" tawa me
Pernikahan KeduaBenarkah Aku yang Mandul? Bab 8Kupakai kaca mata hitam keluar dari mall. Sepertinya mereka mengikuti, biarkan saja. Biar mereka lihat mobil Bantley Continental milikku. "Riri, tunggu!" panggil ibu mertua mengejarku. "Ada apa, Bu? Belum puas menertawakan saya?" Kuhentikan Langkahku. "Sebenarnya, Kamu ini siapa? Bukannya, Kamu ini susah saat sama Tama?" tanyanya. Sepertinya dia penasaran. "Iya memang, saya susah waktu tinggal dirumah ibu, sekarang tidak lagi. Maaf, saya harus pergi!" Cepat aku melangkah meninggalkannya. "Riri, tunggu dulu!" ia menarik tanganku. "Kamu jadi simpanan ya, makanya secepat ini berubah?" tuduhnya. What? Dia bilang aku simpanan? "Bu, jangan asal bicara ya? Saya ini wanita terhormat." Aku tak terima dibilang simpanan. "Halah, jangan munafik deh, Mbak. Jaman sekarang, itu banyak terjadi kok. Lagian nggak mungkin kan secepat itu Mbak Riri kaya raya." Mita ikut-ikutan memojokkanku. "Seperti, Kamu gitu?" Kubalik perkataannya. Plak"Lan
Peenikahan KeduaMenganggap RendahBab 9Pov Riri.Setelah proses mediasi gagal sidang akan di gelar satu kali lagi. Kurasa tak perlu lagi bersembunyi dari Mas Tama. Toh, keputusan untuk cerai pun sudah bulat. "Selamat pagi, Bu!" sapa Risti dan Nirmala bersamaan."Pagi!" jawabku sambil terus berjalan menuju kursi. "Gilang belum datang?" tanyaku. Soalnya hari ini akan ada peninjauan proyek yang dibangun bersama Buana Corp."Belum, Bu," jawab Risti."Bu, apa aku bisa tidak ikut hari ini?" Nirmala bertanya."Kenapa, Nir? Ini proyek penting loh," tanyaku balik. Kalau proyek ini berhasil, mereka akan dipindahkan kekantor pusat. Tentunya gajipun akan ditambah juga bonus dari proyek akan mereka dapatkan.Kulihat Nirmala gelisah, seperti takut untuk mengutarakan alasannya. Apa ini ada hubungannya dengan kehamilannya? "Begini, Bu. Saya ada acara keluarga nanti malam, saya ingin izin setengah hari saja," ucapnya kemudian."Maaf, Nir. Dengan berat hati saya tolak izin Kamu. Kita sudah hampir
Pernikahan KeduaSyok TamaBab 10Pov Tama"Kamu kenapa diam saja diperintah sama og itu?" tanyaku pada Nirmala. Entah kenapa ia mendadak diam saat berhadapan dengan Riri."Mas, nanti saja kita bahas, aku harus masuk segera," tolak Nirmala. Aku menahan tangannya."Tunggu! Jangan takut sama dia," ucapku. Tiba - tiba aku berpikirApa mungkin Riri sudah mengancam Nirmala atau mengatakan kalau dia bekas istriku."Mas, nanti siang saja kita ngobrol, aku nggak mau gara-gara nggak disiplin waktu aku gagal di pindah kesini. Ini saatnya aku buktikan, Mas." Nirmala menatap mataku memohon agar aku mengizinkannya masuk. Memang dia disini karena ikut membantu proyek, bila hasilnya memuaskan maka ia dan temannya akan di pindah kesini. Akan semakin memudahkan kami untuk bertemu. Tak salah aku membuang Riri, sekarang aku dapat Nirmala, yang selevel dengan keluarga kami."Siang, kita makan bareng ya?" Aku memastikan lagi ucapan Nirmala."Iya, iya, Mas juga kerja sana!" Dia cemberut namun menurutk
Pernikahan Kedua (Ending) Semangat Demi AdeliaBab 150Kondisi Adelia benar-benar drop kali ini. Bahkan bobotnya turun drastis, hal itu sangat membuat kedua oran tuanya sedih, terlebih sang mama."Dok, apakah proses kelahiran anak ketigaku bisa di percepat?" Risti mendatangi dokter kandungan langganannya."Bisa saja, Bu. Tapi tentunya harus cesar. Apa ini terkait dengan kesehatan Adelia?" tanya Dokter Tiara.Risti yang bewajah sedih itu mengangguk disertai buliran bening yang turut meluncur di kedua pipinya. Dia mengusap dengan ujung jarinya."Baiklah, akan saya pastikan kapan waktu yang pas," kata Dokter Tiara. Dia, sangat memahami kondisi pasiennya ini sekarang. Tentu tidak mudah untuknya menghadapi ini. "Di usia kehamilan tiga puluh delapan minggu kita akan lakukan operasinya, saya tinggal mempersiapkan harinya saja," lanjut Dokter Tiara. "Baik, Dok. Saya permisi!" Risti pun pergi kembali keruangan dimana putrinya di rawat. "Aku sudah memutuskannya. Dua minggu lagi aku akan me
Pernikahan Kedua Masa Lalu Yang DatangBab 149"Oh ayolah, ini sudah hampir jam masukmu, Sayang!" Risti sedang memegang seragam sekolah Liu yang akan di pakaikan, namun Liu selalu menghindarinya. Entah sudah keberapa kali bujukan ini keluar dari bibir ibu dari dua anak itu."No, mama! Liu mau pindah sekolah saja." Dia menolak dengan tegas. Dia ternyata tidak main-main dengan ucapannya semalam."Kenapa harus pindah?" Risti bertanya lagi apa alasan putranya itu sebenarnya."Miss Sarah genit, dia mau merebut papa dari mama," katanya tegas.Risti yang sedang berdiri memegang baju sekolah Liu itu pun dibuat tak percaya oleh jawaban anaknya. Bisa-bisanya dia berpikir seperti itu.Liu berdiri di atas sofa menghindari sang mama yang sedang memaksanya memakai baju sekolah. Liu kini hanya memakai cd dan kaos tak berlengan saja.Risti mendesah. Anaknya ini memang susah untuk membujuknya. "Lalu apa yang akan Kau lakukan dirumah seharian ini?" Risti bertanya untuk memancingnya lagi."Aku akan
Pernikahan Kedua Jangan Sentuh Papaku! Bab 148Setelah dari rumah sakit keluarga itu langsung menuju mall, untuk menunaikan janji mereka.Adelia dan Liu boleh memilih apa saja untuk mereka dan bermain apa saja. Mereka begitu riang, terutama Liu yang sangat aktiv. Tony harus extra mengawasinya sedangkan Adelia hanya bermain yang ringan saja karena tidak boleh terlalu lelah."Hai Liu tampan!" O ow, semua menoleh ke asal suara sapaan itu terdengar."Oh, Hai Miss Sarah!" balasnya datar. Dia memang suka dibilang tampan, tapi Liu tidak menunjukkannya, dia bersikap seolah sudah dewasa."Kebetulan sekali kita bertemu disini. Oh iya, apa ini Daddymu?" Miss Sarah tak dapat untuk bertanya kala melihat Tony. Dia memang tahu, hanya basa basi saja karena terpesona dengan Tony yang terlihat matang. Meski sudah berusia empat puluham Tony memang terbilang masih macho, kekuatan uang menambah pesonanya."Bukan, dia papaku." Liu menjawab dengan dingin. Miss Sarah tertawa, dia terlalu gemes dengan a
Pernikahan Kedua Mama Takut Papa Akan LariBab 147Tidak terasa waktu terus bergulir. Risti telah melewati trimester pertamanya dan trimester kedua pun akan segera berakhir. Kini kehamilannya sudah berusia enam bulan. Adelia belum pernah lagi di rawat di rumah sakit. Hanya mengkonsumsi obat di rumah secara rutin dan kontrol rutin kepada dokternya yang datang khusus kerumah.Meski banyak drama setiap kali ingin meminum obatnya. Bayangan rumah sakit selalu menjadi momok menakutkan untuknya dan itu menjadi andalan mereka, Adelia akan takut bila dikatakan akan dibawa ke rumah sakit lalu akan meminum obatnya. Hari ini mereka akan melakukan pemeriksaan sekaligus ingin mengetahui jenis kelamin bayi ketiga mereka.Tony sudah tidak sabar ingin segera mengetahuinya. "Kira-kira apa ya Yang?" tanyanya seraya mempersiapkan diri. Dia baru saja selesai mandi dan tubuhnya hanya dibalut handuk saja. Risti duduk di depan meja rias, untuk mempercantik penampilannya. "Apapun itu, aku tidak terlalu p
Pernikahan Kedua Terlalu PosesifBab 146Tidak mudah memang membuat kedua bocah itu mengerti. Segala apapun yang ditawarkan sepanjang perjalanan pulang, tidak ada yang mengena dihati mereka.Di tawarkan ice cream, mainan serta ke taman hiburan, keduanya kompak menggeleng sambil mengerucutkan bibir.Sang papa sampai mengusap wajahnya berulang kali melihat kedua bocahnya yang tidak bisa menerima bahwa mereka akan punya adik.Risti tidak terlalu ambil pusing dia masih bisa tersenyum dan mengusap lengan suaminya. "Udah nggak usah di pikirin, Yang. Biasa itu terjadi, nanti pelan-pelan kita kasih penjelasan pasti ngerti." kata Risti menenangkan suaminya. "Kamu lihat itu bibir maju semua, heran aku, anak siapa sih mereka? Perasaan aku nggak gitu deh Yang," gerutu Tony."Haha, emang Kamu ingat Yang, Kamu pikir aku gitu? Aku ini anak yang baik budi loh waktu kecil, bahkan sampai dewasa?" tanya Risti tak percaya.Tony menggedikkan kedua bahunya.Kini mereka telah sampai dirumah. Kedua anakn
Pernikahan Kedua Astaga Sayang! Bagaimana Ini? Bab 145Tidak ada cara yang bisa membujuk Liu malam itu. Risti menemaninya di kamar bermain sebentar dan membacakan dongeng sebelum Liu tertidur.Risti bangkit dari tempat tidur setelah merasa Liu sudah terlelap. Dia segera beranjak keluar. Harus melihat kondisi putrinya. "Yah, Ras! Aku pergi dulu, kalau Liu bangun sebisa mungkin bujuk dia ya!" ucap Laras. Dia akan menyetir sendiri malam ini karena suaminya sudah pergi sejak tadi."Hati-hati Ris!" pesan ayahnya sebelum Risti berangkat. Liu benar-benar hanya ingin mamanya, bahkan dengan Tony pun dia tidak mau. Dia seperti anak yang takut di tinggalkan oleh sang mama. Tidak butuh waktu yang lama, Risti telah sampai dirumah sakit, dia langsung menuju kamar rawat Adelia. Disitu sudah ada suaminya yang sedang menatap putrinya dalam diam.Dia langsung menghampiri putrinya. "Bagaimana keadaannya, Sayang?" tanyanya sambil menatap wajah lelap Adelia. "Dia gelisah terus, mau tak mau dokter
Pernikahan Kedua Bisakah Aku Menunda Keberangkatanku? Bab 144Regi menolong Selo untuk bangkit dan hal itu di manfaatkan oleh Selo. Sedangkan Regi hanya karena kasihan."Ini terlalu sakit, Om. Bawa aku ke sofa saja!" pintanya. Regi menganggap ini hal biasa, dia pun melakukannya. Menganggap mungkin Selo sedang khilaf tadi.Regi mengangkat tubuh Selo ke depan tepatnya di sofa, Regi meletakkannya perlahan karena khawatir akan menambah rasa sakit Selo nantinya. Saat itu Selo bergerak cepat dan menarik Regi dalam pelukannya, hingga hal serupa terjadi. Selo menahan kepala Regi dengan kedua tangannya.Sedetik kemudia pikiran buruk merasuki Regi, dia terhanyut dan mengikuti keinginan Selomita. Sisi kelelakiannya muncul. Tidak cukup sampai disitu, Selo menuntut untuk lebih lagi, dia menarik tangan Regi menuju sesuatu yang berharga miliknya. Tiba-tiba Regi berdiri dan hal itu membuat Selomita kecewa. Regi menyadari perbuatannya. Dia segera masuk kedalam kamar dan langsung mengunci diri di
Pernikahan Kedua Lebay Banget Kamu SelBab 143Selomita tidak terlihat keluar dari kamarnya sejak Marco menyuruhnya masuk ke dalam kamar. Dia mengurung diri di dalam, dan ini sudah pukul tujuh malam, bahkan dia tidak turun untuk makan malam. Dia teramat takut papanya tidak menyetujuinya menikah dengan Regi.Ah, seandainya itu terjadi, Selomita harus apa? Dia teramat mencintai Regi. Dia tidak akan sanggup jauh dari pria itu. Di usia hampir dua puluh, baru ini dia merasakan ketertarikan dengan lawan jenis dan sayangnya itu Regi adik dari mama sambungnya sendiri. Selo membuka ponselnya, hari ini dia belum bertemu muka dengan pria yang di cintainya itu. Dia akan menghubungi nomornya setidaknya mendengar suaranya saja. Tidak di angkat, hingga lima kali dan yang keenam nomor itu sudah tidak aktiv lagi. Selomita kesal, dia pun menangis. Dia memang terlalu cengeng bila menyangkut masalah dengan pria itu. Kenapa Regi tidak mengangkat telponnya? Atau papanya sudah mengancam Regi? Selomita
Pernikahan Kedua Kau Wanita Luar Biasa, SayangBab 142Hari ini perasaan setiap orang campur aduk. Kekhawatiran akan kondisi Riri, takut terjadi apa-apa yang tidak diinginkan, namun ada rasa syukur atas kesembuhan Gilang.Yah, pria itu telah berjalan kembali. Setelah cukup melatih kakinya agar tidak kaku lagi. Kini dia duduk bersama kedua mertuanya. "Mama panik sekali saat Harsa menghubungi tadi tentang keadaan kalian. Mama benar-benar takut, Lang," ungkap Mama Anita. Tidak di pungkiri bahkan sampai sekarang dia masih syok."Saat itu tidak ada orang dirumah, Ma. Gilang baru saja keluar dari kamar, niatnya mau kasih makan ikan-ikan diluar, biar nggak bosan, tapi suara terjatuh disusul benda-benda lainnya membuat Gilang berputar ke arah dapur." Gilang pun masih merasa takut sekarang. Takut istrinya tidak bisa melewati persalinan ini.Gilang menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Dia menangis dan terisak. Betapa merasa bersalahnya dia sudah mengabaikan istrinya belakangan in