“Bisa-bisanya kamu bertanya soal itu,” jawab Siska sambil menggelengkan kepalanya. “Bukankah kita udah sampai sejauh ini? Kita sudah resmi menikah lho, kalau kamu lupa.”Pasha menarik napas dan memalingkan wajahnya dari Siska yang duduk di sampingnya.“Tapi ... kamu sama Roni akhirnya terpisah, sesuatu yang tidak pernah kamu duga akan terjadi kan?” komentarnya. “Aku saja masih tidak percaya kalau dia bisa dengan segampang itu melepas kamu ...”Siska ikut menarik napas.“Kalau sama Roni, aku memang tidak menyangka dia setega itu ... aku harus memilih untuk berpisah,” katanya lambat-lambat. “Kenapa begitu?” tanya Pasha ingin tahu.Siska mendadak tertawa hambar.“Karena aku bukan perempuan kuat yang sanggup dimadu suaminya,” katanya sambil mengangkat bahu. “Dari awal siapa sih yang tidak ngamuk kalau pasangan yang sudah kamu dampingi dari nol sampai sukses, tiba-tiba menikah lagi diam-diam?”Pasha mengangkat satu lengannya dan merangkul bahu Siska.“Aku termasuk yang saat itu mempengaru
“Dokter yang menangani aku sudah cukup untuk menopang beban ini,” katanya. “Cukup orang yang paham tentang jenis penyakit yang aku derita, dan itu adalah dokter yang menangani aku.”“Tapi tetap saja Siska berhak tahu, kan?” tanya Roni lagi. “Dia istri kamu.”“Justru karena Siska adalah istri aku,” jawab Pasha dengan pandangan menerawang. “Aku tidak mau melihatnya sedih sepanjang hari. Mimpi paling buruk yang pernah aku alami adalah saat melihat Siska terpuruk, dan aku tidak mau melihatnya lagi seperti itu.”Roni terdiam, merasa bahwa Pasha seakan mengucapkan kalimat itu untuk dirinya.“Kamu sangat mencintai Siska sepertinya,” kata Roni.“Menurut kamu?” tanya Pasha sambil memandang mantan sahabatnya. “Dari dulu aku bertekad kalau aku bisa bersama Siska, aku tidak akan meninggalkannya kecuali maut yang memisahkan kami.”“Pasha, jangan bicara seperti itu.” Roni menegur lagi untuk kesekian kalinya. “Dua kali saya melihat Siska terpuruk, dan aku tidak ingin melihatnya terpuruk lagi.” Pash
“Enggak Run, kamu nggak nakal!” jawab Pasha buru-buru. “Ayah memang belum boleh pulang sama dokter, katanya ayah masih capek dan harus tidur di rumah sakit.”“Benar, Yah? Bukan karena aku nakal?” tanya Aruna seakan tidak percaya.“Siapa yang bilang kamu nakal?” sahut Pasha gemas. “Tunggu ayah sebentar lagi ya, Run? Pokoknya kalau ibu belum pulang, kamu harus nurut sama Ayah Roni. Jangan rewel lagi, ya?”“Iya, Yah.” Aruna mengangguk. “Aku akan nurut sama Ayah Roni, tapi Ayah harus janji sama aku kalau Ayah akan segera pulang ke rumah.”“Ayah usahakan,” janji Pasha. “Ayah kan juga harus nurut sama dokter, Run. Kalau ayah sudah boleh pulang, ayah pasti akan pulang. Nanti ayah jemput kamu di rumah Ayah Roni, sekarang kamu tidur dulu, ya?”“Oke, Yah!” sahut Aruna dengan wajah gembira. “Ayah juga cepat tidur, sudah malam. Daah Ayah!”Pasha balas melambai kemudian mematikan sambungan video call-nya.“Yah, aku mau tidur sekarang.” Aruna menyerahkan ponsel Roni kembali. “Biar Ayah Pasha cepat
“Kamu terlalu istimewa untuk sekadar kami bicarakan, Sis.” Dia berkelit. “Sudah ya, aku mau kerja dulu ...”“Pasha, kamu belum boleh kerja!” tegur Siska keras-keras ketika Pasha berjalan pergi.“Iya, makanya kamu jangan tanya-tanya aku dulu.” Pasha menyahut sambil tertawa. “Nanti Dokter Arjun akan mengundangku kembali ke rumah sakit kalau aku bandel. Aku mau ke kamar dulu ya, Sis?”Mau tak mau Siska menganggukkan kepalanya dan membiarkan Pasha untuk beristirahat di kamar mereka.“Aku harus telepon Roni,” gumam Siska seraya mengambil ponselnya dan mencari nomor kontak Roni.“Halo?” Suara datar Roni yang sudah sangat dikenalnya menyapa telinga Siska.“Pasha sudah pulang, kapan aku bisa jemput Runa?” tanya Siska tanpa basa-basi. “Dia masih di rumah kamu, kan?”“Iya, tapi kamu sama Pasha tidak perlu repot-repot jemput Runa.” Roni menjawab cepat. “Biar aku yang antar Runa ke rumah kalian.”Siska mempertimbangkan usul Roni sebentar.“Baiklah kalau begitu,” katanya setelah terdiam beberapa sa
Begitu Kavita sudah berlalu pergi dari hadapannya, Siska menuruti saran rekan kerjanya itu untuk meregangkan otot tubuhnya sejenak.“Sis, Pak Pasha bagaimana?” tanya Kavita ketika berpapasan dengan Siska saat memesan kopi. “Maaf ya, aku sama teman-teman belum bisa jenguk ...”“Tidak apa-apa Vit, pasti kantor sedang repot-repotnya saat aku menunggu Pasha di rumah sakit.” Siska tersenyum sambil mengangguk.“Tapi aku senang kamu sudah masuk kantor lagi,” sahut Kavita. “Semoga Pak Pasha segera pulih dan bisa kerja lagi sama kita semua.”“Terima kasih ya, Vit?” ucap Siska sambil membawa satu cangkir kopi susu hangat. “Maaf aku harus duluan, kerjaan yang kemarin-kemarin masih numpuk.”Karen mengangguk dan Kalila berlalu pergi meninggalkannya.Sambil menikmati kopi susu hangatnya, Siska memeriksa laporan stok terakhir yang belum dia periksa.Selesai melakukan pekerjaannya, Siska menyandarkan punggungnya sebentar dan menghabiskan susunya yang masih tersisa.Tanpa terasa jam kerja berakhir, da
Ketika mobil yang dikemudikan Pasha menepi di depan sekolah, Aruna turun dengan wajah murung kemudian mengesun wajah Pasha saat dia menyusulnya. “Belajar yang rajin ya, Run?” pesan Siska saat dia akan mengesun pipinya, tetapi Aruna langsung berbalik dan berjalan pergi dengan langkah-langkah cepat. “Runa!” panggil Siska gusar. “Kamu kenapa sih Sis, tidak biasanya kamu emosi begitu kalau Runa bicara soal ayahnya?” tanya Pasha heran saat dia dan Siska dalam perjalanan ke sekolah Cilla. “Ya kamu kan dengar sendiri bagaimana Runa tanya-tanya terus soal ayahnya,” jawab Siska hati-hati karena Cilla masih bersama mereka. “Aku sudah kasih tahu dia kalau ayahnya sedang sibuk.” Pasha merasakan ada sesuatu yang aneh dalam nada suara Siska. “Kamu seperti baru kenal Runa aja,” komentarnya setelah mengantarkan Cilla ke sekolah. “Runa itu kan memang anaknya banyak tanya, banyak bicara, dia bukan bocah pendiam.” Siska menarik napas. “Aku cuma tidak mau saja ... Runa berada di dekat Roni di saa
Sebelum Siska melihatnya, Pasha buru-buru membasuh wajahnya berulang kali.Siska celingukan karena Pasha tiba-tiba menghilang.Mana sih dia?“Pasha!” panggil Siska sembari mengetuk pintu kamar mandi yang tertutup rapat. “Kamu di dalam? Tumben kamu lama sekali?”Siska berdiri sebentar sambil menunggu Pasha membuka pintunya, tetapi justru yang dia dengar adalah suara air mengalir dari keran yang dinyalakan.Meski curiga, tetapi Siska tetap menunggu sambil bermain ponsel. Tidak berapa lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka dan Pasha muncul sambil mengusap hidungnya.“Nunggu lama, ya?” tanya Pasha sambil tersenyum. “Segar sekali airnya, aku sampai lupa diri.”Pasha meletakkan ponselnya dan menyampirkan handuk ke bahunya.“Jangan bilang kalau kamu sejak tadi mainan air?” komentarnya geli. “Ingat umur, Sha.”Pasha tesenyum tipis seraya menahan perasaan ingin bersin. Begitu Siska sudah menghilang di dalam kamar mandi, dia benar-benar bersin dan cairan merah itu keluar lagi dari hidungnya.
“Apa?” Siska memandang putrinya dengan gusar. “Jangan macam-macam, Run. Kita harus pulang ke rumah."Aruna menggelengkan kepalanya. Siska jadi setengah kesal dibuatnya, apalagi suasana setelah itu menjadi terasa tidak enak gara-gara ulahnya.“Run, Ayah Roni sudah ada yang mengurus.” Siska mencoba memberikan pengertian, sementara Pasha sendiri bingung bagaimana harus mengambil sikap.Lebih-lebih Roni, dia tidak mungkin unjuk suara di saat seperti ini atau citranya akan terbongkar saat itu juga.“Ibu dulu juga merawat Ayah Pasha saat sedang sakit, betul kan Yah?” tanya Aruna sambil menoleh ke arah Pasha.“Iya ...” Pasha mengangguk pelan.“Sekarang Ibu gantian merawat Ayah Roni, kan Ayah sedang sakit.” Aruna menyuruh ibunya.“Run, jangan minta yang aneh-aneh.” Siska menukas. “Kita pulang sekarang.”“Kenapa Ibu membeda-bedakan Ayah Pasha dengan Ayah Roni?” tanya Aruna pelan tapi seperti menusuk telinga Siska. “Mereka berdua kan sama-sama ayah aku, Bu.”Melihat wajah Siska yang seakan siap
Pasha mengangguk kuat-kuat, dia sendiri tidak habis pikir apa motif Ririn melakukan itu. Disuruh Roni kah? “Apa? Jadi Ririn adalah salah satu pelaku?” Siska terbelalak lebar ketika Pasha menyampaikan apa yang dilihatnya tadi. Pasha mengangguk. “Benar-benar keterlaluan, dia sudah bikin aku dan sahabatku malu luar biasa. Aku harus telepon Roni sekarang!” “Buat apa, mau bikin keributan?” “Istrinya yang kurang kerjaan, masa suaminya sampai tidak tahu?” Pasha juga sama herannya, dia tidak kuasa menahan Siska yang terlihat memendam emosi tak tertahankan. Sementara itu, Roni sedang berada di jalan ketika ponselnya berdering nyaring. “Siska ... Halo?” “Ron, kamu tuh bisa mendidik istri kamu atau tidak sebenarnya?” Siska langsung menyembur telinga Roni dengan api kemarahan. “Maksud kamu apa?” “Aku yang seharusnya tanya, maksud Ririn apa pakai ngumbar-ngumbar masa lalu aku di akun berita online?” “Aku tidak paham, ini aku juga baru saja dihubungi polisi karena Ririn ada di sana!” “B
Pasha memeluk bahu Siska dengan penuh kehangatan. “Aku janji akan menyelesaikan ini semua, aku juga resah sama pemberitaan itu.” “Maaf ....” “Jangan minta maaf, bukan salahmu.” Siska membalas pelukan Pasha dengan erat, dia bertekad ingin menatap langsung wajah pelaku yang telah mengganggu ketenangan hidupnya itu. “Pokoknya siapapun dia, aku mau dia dihukum berat.” “Pasti, biar dijadikan pelajaran oleh siapa pun untuk tidak menggali masa lalu seseorang seenak jidat.” Setelah pembicaraan mereka berakhir, Siska memutuskan untuk tidur karena dia ingin berangkat lebih awal ke kantor. “Gimana, Mas?” Di kediaman Roni, Ririn sedang menghidangkan secangkir teh hangat dan roti selai. “Aku dapat beberapa kontrak dari klien baru,” kata Roni memberi tahu. “Apakah klien itu dari mereka-mereka yang membatalkan kerja sama dengan perusahaan saingan kamu?” “Aku tidak tahu, karena aku tidak pernah tanya-tanya soal itu. Menurutku tidak bagus kalau kita terlalu menunjukkan kesenangan kita atas b
“Tapi aku belum punya bukti untuk menguatkan kecurigaan aku,” ujar Pasha menyesalkan. “Aku juga tidak mau kalau Cuma asal tuduh saja, semua kasus di dunia ini membutuhkan bukti.” “Kamu suruh orang saja untuk memata-matai Roni, cari yang profesional.” Ezra mengusulkan. “Oke, tapi aku juga harus tanya pendapat Siska dulu. Jangan sampai apa yang aku lakukan justru menimbulkan masalah baru.”Ezra memandang Pasha dengan sangat serius.“Kamu bertindak terlalu hati-hati ternyata.”“Bukankah harus? Keselamatan istri dan anak-anak sambungku juga harus dipikirkan,” kilah Pasha.“Aku setuju kalau yang kita bicarakan ini adalah tentang Shadan atau Monic yang agak-agak psikopat, tapi Roni? Aku bahkan tidak tahu menahu latar belakangnya selain dia adalah mantan suami Siska.”Pasha terdiam.“Dia pernah mendapat kontrak kerja di edisi sebelumnya,” katanya mengingatkan.“Ya, dua poin itu.”Setelah mempertimbangkan baik buruknya, pasha akhirnya setuju untuk mengintai Roni diam-diam.Beber
“Aku tahu Vit, kamu tidak perlu khawatir. Pasha tidak tinggal diam, aku yakin Pak Ezra juga akan berbuat sesuatu untuk pelaku yang sudah menyebarkan masa lalu kita ke orang banyak.” “Ezra juga mulai mengusut masalah ini, Sis. Biasanya dia kerja sama dengan suami kamu dalam segala hal kan?” Siska mengangguk. “Aku penasaran siapa pelakunya.” “Apa mungkin ... pelakunya adalah Yura?” Siska menatap Kavita dengan sangat lekat. “Tapi aku tidak ada urusan apa-apa sama Yura, Vit. Kalau betul dia pelakunya, maka sama saja dia sudah mengibarkan bendera perang terhadapku.” Kavita diam sambil berpikir. “Betul juga, kalau sama aku sih wajar. Yura tidak punya motif apa-apa untuk menjatuhkan kamu atau perusahaan Pak Pasha.” Sepasang sahabat itu sibuk berpikir dengan logika masing-masing. “Otakku buntu, aku tidak punya tersangka yang bisa aku curigai.” Siska akhirnya menyerah. “Kalau begitu biarkan suami-suami kita yang menyelidikinya.” “Betul, kamu juga jangan terlalu kepikiran. Masa lalu b
“Maksud kamu? Dih, aku nggak sebodoh yang kamu pikirkan! Kalau orang sudah nggak percaya, tentu mereka akan beralih untuk mencari perusahaan baru kan? Nah, situasi ini bisa kamu manfaatkan, Mas!”Roni terdiam, betul juga apa yang Ririn katakan. Namanya persaingan bisnis, sah-sah saja kan jika dia mengambil kesempatan dalam situasi seperti apa pun?***Untuk pertama kalinya sejak berita tentang masa lalu itu terbongkar luas di platform digital, Siska dan Kavita bertemu di kafe untuk minum kopi bersama.Kalau biasanya mereka memilih kafe standar masyarakat umum, khusus untuk pertemuan kali ini mereka memilih kafe ekslusif demi kenyamanan privasi masing-masing.“Vit, bagaimana kabar kamu?” tanya Siska begitu mereka duduk berhadapan.Wajah Kavita tampak sayu seperti orang yang kekurangan waktu tidur yang berkualitas.“Aku? Baik, Sis.”Suasana sedikit canggung, sehingga Siska bingung bagaimana cara untuk mencairkannya.“Kita ... sudah lama tidak bertemu, ya? Jujur aku kangen ngopi-
“Jadi ... kita diam saja, Sha?”“Untuk sementara, nanti kalau mereka sudah tahu dan bergerak, baru kita ikut bantu.”Siska terpaksa setuju, dia geram sekali dengan si pembuat berita yang mengumbar masa lalunya.Bahkan Kavita juga ikut dikulik habis-habisan.Sesuai dengan rencana Pasha, Siska tidak berani menghubungi Kavita sejak berita tentang masa lalu mereka beredar. Bukan apa-apa, dia merasa tidak enak hati sendiri jika harus pertama kali membahas topik itu.Meskipun jauh di sudut hatinya, Siska juga sangat penasaran mengenai kebenaran pernikahan kontrak yang terjadi antara Kavita dan Ezra, bos mereka sendiri.“Sha, Pak Ezra bagaimana?” tanya Siska setelah berdiam diri selama beberapa hari tanpa mengontak Kavita. “Setiap aku bertemu sama dia, sikapnya tidak ada yang aneh ....”“Mustahil berita itu belum sampai ke telinga Pak Ezra!” bisik Siska dramatis. “Kecepatan informasi di jaman ini kan benar-benar gila, Sha. Aku khawatir seandainya tanpa sepengetahuan kita, Pak Ezra d
“Besok ayah traktir sepuasnya, ayah baru saja dapat kontrak kerja ....”“Yes!”“Makan-makan!”Siska dan Pasha tertawa lebar bersama anak-anak mereka.Ketika kebahagiaan mewarnai keluarga baru Siska, hal yang berbeda justru tengah dirasakan Roni dan istrinya.Semangat Roni yang tadinya menggebu-gebu kini seolah tidak lagi ada, seluruh harapan yang semula dia pikul di pundak seketika luruh tanpa sisa.“Apa mungkin kamu bikin kesalahan yang bikin pemilik kontrak kerja itu nggak mau pilih perusahaan kamu, Mas?” tanya Ririn sok tahu.“Maksud kamu apa sih?”“Nggak mungkin kan kalau perusahaan kamu baik-baik saja, tapi kalah sama perusahaan suami Siska?”Roni melirik Ririn, ingin sekali dia mengomel karena ketidakpekaan istrinya. “Kamu tidak bisa baca situasi ya?”“Maksud kamu?”“Seharusnya kamu bisa lihat kan, apa yang aku rasakan sekarang ini?”Ririn melongo. “Kok jadi kamu yang terbawa perasaan sih, Mas? Aku kan tanya baik-baik ....”“Terserah,” potong Roni, dia berdiri dar
“Aku tidak bermaksud apa-apa, Rin. Takutnya kalau kamu berisik terus, aku tidak bisa dengar apa yang dikatakan pembawa acara.”Ririn semakin sewot mendengar alasan Roni yang menurutnya konyol sekali, memangnya suara dia sekeras apa coba?“Rin, lihat! Sebentar lagi akan diumumkan perusahaan siapa yang berhasil mendapatkan kontrak!” bisik Roni antusias.Mendengar ucapan Roni, kini giliran Ririn yang mengerutkan keningnya.Tadi katanya nggak boleh ribut, gimana sih. Perempuan itu membatin kesal.Di kursi lainnya, Siska dan Kavita tidak kalah tegang menunggu pengumuman pemenang kontrak. “Ezra atau Pak Pasha?” Kavita menoleh ke arah Siska.“Pak Ezra atau Pasha, bebas!”Kavita mengangguk, sebelah tangannya meremas jemari Siska untuk menyalurkan ketegangan yang terasa.“... akan ada dua perusahaan yang mendapatkan kontrak kerja ini, sehingga kolaborasi keduanya diharapkan bisa meningkatkan daya beli konsumen dan menjaga persaingan sehat di masa-masa yang akan datang.”Siska dan Ka
Ririn menganggukkan kepalanya seraya memahami layar laptop Roni yang menyala. “Dyaksa Company, itu perusahaan Siska?” celetuk Ririn. “Bukan, itu perusahaan pesaing aku. Siska kerja di situ sudah lama, sejak aku masih merintis dari nol.” “Oh ya? Terus kenapa dia masih jadi pegawai di sana setelah kamu sukses?” Roni menarik napas, dia berusaha mengingat kembali momen ketika Siska tidak ingin berhenti kerja dari Dyaksa Company. “Katanya dia merasa sayang sama pencapaian dia di perusahaan itu,” ucap Roni lambat-lambat. “Siska nyaman bekerja di sana, jadi dia mempekerjakan beberapa asisten rumah tangga demi pekerjaannya di Dyaksa Company. Padahal aku sudah bilang sama dia kalau aku sanggup memenuhi semua kebutuhan rumah tangga, tapi dia tidak mau melepaskan pekerjaannya.” Ririn bahkan sampai melongo mendengar penjelasan Roni tentang alasan Siska. Kok bodoh banget ya Siska itu, pikir Ririn. Punya suami sukses, disuruh berhenti kerja malah nggak mau. Kan enak tinggal ongkang-ongkang ka