Ririn beberapa kali mengusulkan agar Roni melakukan cek kesehatan, setidaknya agar mereka bisa segera memiliki momongan lagi.“Kita tidak mungkin seperti ini terus,” kata Ririn hari itu. “Aku ini putri tunggal orang tuaku, jadi aku ingin segera mempersembahkan cucu untuk mereka.”“Kamu kan sudah pernah keguguran,” sahut Roni seraya meluruskan kakinya. “Aku sudah punya anak tiga, aku merasa tidak perlu menambah anak lagi.”Ririn termenung sambil berdiri di depan Roni.“Apa itu berarti kamu tidak mengharapkan anak dari rahimku?” tanyanya ragu.“Masalahnya kamu pernah keguguran, aku khawatir kandungan kamu akan berisiko kalau dipaksakan hamil lagi ...” Roni beralasan. “Kamu tidak perlu khawatir, orang tua kamu pasti mengerti keadaan ini.”“Aku tetap menginginkan anak dari rahimku sendiri,” tegas Ririn. “Aku nggak mau kamu menaruh perhatian lebih kepada anak-anakmu dari Siska, sedangkan aku belum ada anak kandung dari kamu.”“Mungkin kamu harus sering-sering mengasuh Runa,” kata Roni. “Si
“Tante itu galak,” jawab Aruna pelan. “Nanti aku tidur saja kalau disuruh cium tangan Tante Ririn.”Roni tersenyum saat mendengar jawaban jujur Aruna. Selanjutnya Roni menggandeng Aruna memasuki rumah ayahnya. Penjaga yang berdiri di depan pintu seketika membungkukkan tubuhnya saat Roni lewat.“Selamat sore, Tante?” sapa Roni penuh hormat kepada istrinya yang sedang bersantai di depan televisi.“Tumben kamu masuk sambil memberi salam aku?” komentar Ririn seraya mendongakkan wajah dan seketika terkejut saat melihat kedatangan Roni yang menggandeng Aruna.Roni lantas memandang Ririn dengan tatapan damai.“Setelah aku pikir-pikir, aku harus memberi contoh yang baik untuk anakku.” Dia menjelaskan. “Runa, ayo beri salam Tante Ririn.”Aruna mendongakkan kepala dan menatap ayahnya, kemudian menggeleng pelan.“Nggak mau, Yah.”Roni melirik Ririn sekilas, kemudian berjongkok dan memandang Aruna.“Run, kita kan harus hormat sama orang yang lebih tua.” Dia menjelaskan. “Kita harus kasih salam l
Pasha berdiri dari kursinya dan menatap jendela dengan mata menerawang. Dia teringat dengan janji dan sumpahnya saat hari pernikahannya dengan Siska beberapa bulan yang lalu.Bagaimana kalau suatu saat nanti, takdir memaksanya untuk tidak dapat lagi menepati janji itu?Tiba-tiba suara ketukan pintu menyadarkannya dari lamunan.“Masuk,” ucap Pasha seraya menyisipkan tangannya di saku celana.Ezra memasuki ruangan dan langsung duduk di kursi.“Ada angin apa kamu datang ke sini?” tanya Pasha heran. “Biasanya sekretaris kamu yang suruh aku untuk datang ke ruangan kamu.”Ezra mengernyitkan dahinya sambil memandangi meja Pasha yang terlihat rapi.“Ibumu bilang kalau kamu mulai jarang kontak,” katanya kalem. “Memangnya kamu sesibuk itu?”Pasha menarik napas dan tidak segera menjawab, dia berusaha keras memaksa agar pikirannya kembali ke tempatnya sekarang berada.“Maklum sajalah, ibuku terlalu khawatir memikirkan aku,” jawab Pasha seolah tidak mendengar pertanyaan kakaknya. “Apalagi sampai d
Karena masih tidak ada respons yang berarti, Siska akhirnya mengguncang bahu Pasha pelan-pelan. Tubuh Pasha berhasil terkulai hingga telentang dengan kedua mata yang masih terpejam rapat. Namun, Siska merasa curiga saat merasakan tubuh suaminya agak dingin tidak seperti biasanya.“Pasha?” Siska buru-buru memeriksa sekujur tubuh suaminya yang terbujur, ditepuknya wajah Pasha yang sudah dingin. “Sha, bangun! Ayo kita makan malam dulu ...”Masih tidak ada respons yang berarti yang ditunjukkan oleh Pasha, membuat Siska semakin panik dibuatnya.“Pasha, kamu bangun dong ...” Siska tidak henti-hentinya memanggil nama Pasha sambil mengguncang-guncang bahunya. “Kenapa badan kamu dingin begini ... Pasha? Pasha, bangun ... Pasha!” Siska tanpa kenal lelah berusaha membangunkan Pasha, tidak dihiraukannya tubuh dingin dan kaku yang malam-malam sebelumnya tidak pernah sekalipun membiarkannya tidur sendirian dalam kedinginan.“Pasha!” Siska menjeritkan nama suami, sahabat sekaligus ayah sambung anak
"Sangat baik," jawab Siska seraya menyelipkan tangannya di lengan Pasha sementara mereka masuk ke dalam rumah."Syukurlah," komentar Pasha. "Lain kali kalau kamu melantur lagi, itu tandanya kamu sedang butuh liburan.""Sekarang aku sudah tidak capek dan tidak akan melantur lagi," timpal Siska sambil membantu melepas jas Pasha. "Oh iya, tadi aku mampir ke resto dan beli nasi goreng seafood kesukaan kamu.""Wah, pasti enak sekali. Aku mandi dulu ya, Sis?" ujar Pasha sambil mengambil dua lembar handuk bersih dari lemari."Aku akan siapkan baju buat kamu," sahut Siska sementara Pasha berjalan pergi ke kamar mandi.Malamnya mereka makan bersama dengan menu yang sudah Siska beli di restoran seafood tadi.“Sepi juga ya kalau tidak ada Runa?” komentar Pasha di sela-sela menikmati santap malamnya. “Rumah jadi seperti ada yang kurang.”Siska mengangguk setuju.“Seharusnya sih Minggu sore Runa sudah diantar pulang,” sahutnya. “Karena hari Senin dia harus sekolah.”“Atau kita jemput saja?” usul P
“Yang penting kamu tidak perlu berpikir macam-macam,” sahut Siska seraya menaruh kentang goreng yang dibeli Pasha ke piring. “Aku sama Roni kan sudah jalan sendiri-sendiri, kami masih terhubung karena ada anak-anak di antara kami.”Pasha menyandarkan punggungnya ke kursi.“Iya, aku paham kok.” Dia menganggukkan kepalanya. “Aku yakin kamu juga paham situasi kamu. Tapi kalau Roni mau mengambil kamu kembali, dia harus melangkahi mayatku dulu ...”“Pasha!” tegur Siska keras seraya memandang suaminya dengan tatapan kurang suka. “Bisa tidak kamu bercandanya jangan kelewatan?”“Astaga Sis, aku cuma bercanda.” Pasha jadi terkaget-kaget. “Sumpah, aku tidak bermaksud apa-apa.”Siska sedikit cemberut, tapi dia tetap menyodorkan sepiring kentang goreng itu untuk pasha sampai selesai.“Marahnya jangan lama-lama,” goda Pasha sambil mencomot kentang yang dia beli. “Bercanda kamu kali ini sama sekali tidak lucu,” komentar Siska ketus. “Buat apa bawa-bawa mayat segala? Aku merinding, tahu.”“Oke, oke
“Iya, kelihatannya dia lelah sekali.” Pasha sependapat seraya duduk di samping Siska.Tidak berapa lama kemudian, Aruna berlari ke arah mereka dengan hanya melilitkan handuk di bagian bawah tubuhnya saja sementara Ririn terlihat kerepotan mengejarnya.“Ibu! Ayah Pasha!” serunya sambil mengusap-usap wajahnya yang basah.“Run, apa-apaan ini? Ayo, pakai baju dulu.” Siska menyuruh.“Bajunya dibawa Tante Ririn semua,” jawab Aruna beralasan. Siska menoleh saat Ririn tiba sambil membawa setumpuk pakaian bersih yang sudah dia siapkan.“Biar aku saja yang urus Runa,” ujar Siska. “Kamu dan Roni kelihatan capek sekali.”“Jelas saja, banyak gerak dia.” Ririn mengangguk angkuh seraya mengulurkan beberapa potong pakaian milik Aruna. Setelah itu dia kembali lagi ke belakang untuk menyuruh pelayan menyiapkan minum.Siska menarik Aruna lebih dekat dan mulai mengeringkan tubuh serta rambut anaknya dengan handuk. Setelah itu dia membantu memakaikan baju hingga menutup tubuh anaknya yang terlihat segar
“Syukurlah,” gumam Pasha, dia cepat-cepat membereskan amplop itu dan menyimpannya di tempat yang aman agar tidak ditemukan Siska. Setelah itu dia berlalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan seluruh tubuhnya yang sudah lengket.Cilla baru saja menutup bukunya ketika Siska duduk di sampingnya.“Om Andra mana, Bu?” tanya Cilla ingin tahu.“Ayah kamu baru pulang kerja,” jawab Siska yang berusaha membiaskan cilla supaya mau memanggil Pasha dengan sebutan ayah. “Kita makan dulu, yuk?”“Om Pasha masih lama?” tanya Saga seraya mengikuti ibunya berjalan ke dapur.“Masih mandi sepertinya,” jawab Siska. “Kalian makan duluan saja, setelah itu tidur. Besok kan kalian harus sekolah.”Saga mengangguk patuh dan segera duduk di kursi sementara Siska mengambil nasi dan lauk untuk mereka.Setelah menemani anak-anak makan malam, Siska membereskan piring yang sudah kotor dan membawanya ke bak cuci. Dibiarkannya Aruna menggosok gigi dan memakai piyama tidurnya sendiri, sampai dia menyusulnya dan meliha
Pasha mengangguk kuat-kuat, dia sendiri tidak habis pikir apa motif Ririn melakukan itu. Disuruh Roni kah? “Apa? Jadi Ririn adalah salah satu pelaku?” Siska terbelalak lebar ketika Pasha menyampaikan apa yang dilihatnya tadi. Pasha mengangguk. “Benar-benar keterlaluan, dia sudah bikin aku dan sahabatku malu luar biasa. Aku harus telepon Roni sekarang!” “Buat apa, mau bikin keributan?” “Istrinya yang kurang kerjaan, masa suaminya sampai tidak tahu?” Pasha juga sama herannya, dia tidak kuasa menahan Siska yang terlihat memendam emosi tak tertahankan. Sementara itu, Roni sedang berada di jalan ketika ponselnya berdering nyaring. “Siska ... Halo?” “Ron, kamu tuh bisa mendidik istri kamu atau tidak sebenarnya?” Siska langsung menyembur telinga Roni dengan api kemarahan. “Maksud kamu apa?” “Aku yang seharusnya tanya, maksud Ririn apa pakai ngumbar-ngumbar masa lalu aku di akun berita online?” “Aku tidak paham, ini aku juga baru saja dihubungi polisi karena Ririn ada di sana!” “B
Pasha memeluk bahu Siska dengan penuh kehangatan. “Aku janji akan menyelesaikan ini semua, aku juga resah sama pemberitaan itu.” “Maaf ....” “Jangan minta maaf, bukan salahmu.” Siska membalas pelukan Pasha dengan erat, dia bertekad ingin menatap langsung wajah pelaku yang telah mengganggu ketenangan hidupnya itu. “Pokoknya siapapun dia, aku mau dia dihukum berat.” “Pasti, biar dijadikan pelajaran oleh siapa pun untuk tidak menggali masa lalu seseorang seenak jidat.” Setelah pembicaraan mereka berakhir, Siska memutuskan untuk tidur karena dia ingin berangkat lebih awal ke kantor. “Gimana, Mas?” Di kediaman Roni, Ririn sedang menghidangkan secangkir teh hangat dan roti selai. “Aku dapat beberapa kontrak dari klien baru,” kata Roni memberi tahu. “Apakah klien itu dari mereka-mereka yang membatalkan kerja sama dengan perusahaan saingan kamu?” “Aku tidak tahu, karena aku tidak pernah tanya-tanya soal itu. Menurutku tidak bagus kalau kita terlalu menunjukkan kesenangan kita atas b
“Tapi aku belum punya bukti untuk menguatkan kecurigaan aku,” ujar Pasha menyesalkan. “Aku juga tidak mau kalau Cuma asal tuduh saja, semua kasus di dunia ini membutuhkan bukti.” “Kamu suruh orang saja untuk memata-matai Roni, cari yang profesional.” Ezra mengusulkan. “Oke, tapi aku juga harus tanya pendapat Siska dulu. Jangan sampai apa yang aku lakukan justru menimbulkan masalah baru.”Ezra memandang Pasha dengan sangat serius.“Kamu bertindak terlalu hati-hati ternyata.”“Bukankah harus? Keselamatan istri dan anak-anak sambungku juga harus dipikirkan,” kilah Pasha.“Aku setuju kalau yang kita bicarakan ini adalah tentang Shadan atau Monic yang agak-agak psikopat, tapi Roni? Aku bahkan tidak tahu menahu latar belakangnya selain dia adalah mantan suami Siska.”Pasha terdiam.“Dia pernah mendapat kontrak kerja di edisi sebelumnya,” katanya mengingatkan.“Ya, dua poin itu.”Setelah mempertimbangkan baik buruknya, pasha akhirnya setuju untuk mengintai Roni diam-diam.Beber
“Aku tahu Vit, kamu tidak perlu khawatir. Pasha tidak tinggal diam, aku yakin Pak Ezra juga akan berbuat sesuatu untuk pelaku yang sudah menyebarkan masa lalu kita ke orang banyak.” “Ezra juga mulai mengusut masalah ini, Sis. Biasanya dia kerja sama dengan suami kamu dalam segala hal kan?” Siska mengangguk. “Aku penasaran siapa pelakunya.” “Apa mungkin ... pelakunya adalah Yura?” Siska menatap Kavita dengan sangat lekat. “Tapi aku tidak ada urusan apa-apa sama Yura, Vit. Kalau betul dia pelakunya, maka sama saja dia sudah mengibarkan bendera perang terhadapku.” Kavita diam sambil berpikir. “Betul juga, kalau sama aku sih wajar. Yura tidak punya motif apa-apa untuk menjatuhkan kamu atau perusahaan Pak Pasha.” Sepasang sahabat itu sibuk berpikir dengan logika masing-masing. “Otakku buntu, aku tidak punya tersangka yang bisa aku curigai.” Siska akhirnya menyerah. “Kalau begitu biarkan suami-suami kita yang menyelidikinya.” “Betul, kamu juga jangan terlalu kepikiran. Masa lalu b
“Maksud kamu? Dih, aku nggak sebodoh yang kamu pikirkan! Kalau orang sudah nggak percaya, tentu mereka akan beralih untuk mencari perusahaan baru kan? Nah, situasi ini bisa kamu manfaatkan, Mas!”Roni terdiam, betul juga apa yang Ririn katakan. Namanya persaingan bisnis, sah-sah saja kan jika dia mengambil kesempatan dalam situasi seperti apa pun?***Untuk pertama kalinya sejak berita tentang masa lalu itu terbongkar luas di platform digital, Siska dan Kavita bertemu di kafe untuk minum kopi bersama.Kalau biasanya mereka memilih kafe standar masyarakat umum, khusus untuk pertemuan kali ini mereka memilih kafe ekslusif demi kenyamanan privasi masing-masing.“Vit, bagaimana kabar kamu?” tanya Siska begitu mereka duduk berhadapan.Wajah Kavita tampak sayu seperti orang yang kekurangan waktu tidur yang berkualitas.“Aku? Baik, Sis.”Suasana sedikit canggung, sehingga Siska bingung bagaimana cara untuk mencairkannya.“Kita ... sudah lama tidak bertemu, ya? Jujur aku kangen ngopi-
“Jadi ... kita diam saja, Sha?”“Untuk sementara, nanti kalau mereka sudah tahu dan bergerak, baru kita ikut bantu.”Siska terpaksa setuju, dia geram sekali dengan si pembuat berita yang mengumbar masa lalunya.Bahkan Kavita juga ikut dikulik habis-habisan.Sesuai dengan rencana Pasha, Siska tidak berani menghubungi Kavita sejak berita tentang masa lalu mereka beredar. Bukan apa-apa, dia merasa tidak enak hati sendiri jika harus pertama kali membahas topik itu.Meskipun jauh di sudut hatinya, Siska juga sangat penasaran mengenai kebenaran pernikahan kontrak yang terjadi antara Kavita dan Ezra, bos mereka sendiri.“Sha, Pak Ezra bagaimana?” tanya Siska setelah berdiam diri selama beberapa hari tanpa mengontak Kavita. “Setiap aku bertemu sama dia, sikapnya tidak ada yang aneh ....”“Mustahil berita itu belum sampai ke telinga Pak Ezra!” bisik Siska dramatis. “Kecepatan informasi di jaman ini kan benar-benar gila, Sha. Aku khawatir seandainya tanpa sepengetahuan kita, Pak Ezra d
“Besok ayah traktir sepuasnya, ayah baru saja dapat kontrak kerja ....”“Yes!”“Makan-makan!”Siska dan Pasha tertawa lebar bersama anak-anak mereka.Ketika kebahagiaan mewarnai keluarga baru Siska, hal yang berbeda justru tengah dirasakan Roni dan istrinya.Semangat Roni yang tadinya menggebu-gebu kini seolah tidak lagi ada, seluruh harapan yang semula dia pikul di pundak seketika luruh tanpa sisa.“Apa mungkin kamu bikin kesalahan yang bikin pemilik kontrak kerja itu nggak mau pilih perusahaan kamu, Mas?” tanya Ririn sok tahu.“Maksud kamu apa sih?”“Nggak mungkin kan kalau perusahaan kamu baik-baik saja, tapi kalah sama perusahaan suami Siska?”Roni melirik Ririn, ingin sekali dia mengomel karena ketidakpekaan istrinya. “Kamu tidak bisa baca situasi ya?”“Maksud kamu?”“Seharusnya kamu bisa lihat kan, apa yang aku rasakan sekarang ini?”Ririn melongo. “Kok jadi kamu yang terbawa perasaan sih, Mas? Aku kan tanya baik-baik ....”“Terserah,” potong Roni, dia berdiri dar
“Aku tidak bermaksud apa-apa, Rin. Takutnya kalau kamu berisik terus, aku tidak bisa dengar apa yang dikatakan pembawa acara.”Ririn semakin sewot mendengar alasan Roni yang menurutnya konyol sekali, memangnya suara dia sekeras apa coba?“Rin, lihat! Sebentar lagi akan diumumkan perusahaan siapa yang berhasil mendapatkan kontrak!” bisik Roni antusias.Mendengar ucapan Roni, kini giliran Ririn yang mengerutkan keningnya.Tadi katanya nggak boleh ribut, gimana sih. Perempuan itu membatin kesal.Di kursi lainnya, Siska dan Kavita tidak kalah tegang menunggu pengumuman pemenang kontrak. “Ezra atau Pak Pasha?” Kavita menoleh ke arah Siska.“Pak Ezra atau Pasha, bebas!”Kavita mengangguk, sebelah tangannya meremas jemari Siska untuk menyalurkan ketegangan yang terasa.“... akan ada dua perusahaan yang mendapatkan kontrak kerja ini, sehingga kolaborasi keduanya diharapkan bisa meningkatkan daya beli konsumen dan menjaga persaingan sehat di masa-masa yang akan datang.”Siska dan Ka
Ririn menganggukkan kepalanya seraya memahami layar laptop Roni yang menyala. “Dyaksa Company, itu perusahaan Siska?” celetuk Ririn. “Bukan, itu perusahaan pesaing aku. Siska kerja di situ sudah lama, sejak aku masih merintis dari nol.” “Oh ya? Terus kenapa dia masih jadi pegawai di sana setelah kamu sukses?” Roni menarik napas, dia berusaha mengingat kembali momen ketika Siska tidak ingin berhenti kerja dari Dyaksa Company. “Katanya dia merasa sayang sama pencapaian dia di perusahaan itu,” ucap Roni lambat-lambat. “Siska nyaman bekerja di sana, jadi dia mempekerjakan beberapa asisten rumah tangga demi pekerjaannya di Dyaksa Company. Padahal aku sudah bilang sama dia kalau aku sanggup memenuhi semua kebutuhan rumah tangga, tapi dia tidak mau melepaskan pekerjaannya.” Ririn bahkan sampai melongo mendengar penjelasan Roni tentang alasan Siska. Kok bodoh banget ya Siska itu, pikir Ririn. Punya suami sukses, disuruh berhenti kerja malah nggak mau. Kan enak tinggal ongkang-ongkang ka