Dia melihat sebuah mobil berhenti di depan gudang dan keluarlah beberapa orang laki-laki yang bergegas turun.
Pasha sengaja berdehem keras-keras, membuat Siska kembali fokus kepada tujuan awal mereka.Siska cepat-cepat menjelaskan tentang stok sepatu yang tersedia berdasarkan catatan.“Di sini sudah ada petugas, jadi kamu tinggal tanya-tanya saja tentang stok sepatu yang kamu butuhkan ... Kamu juga bisa melihat-lihat atau memilih barangnya langsung.”“Oh, sama kamu juga?” tanya Pasha.“Tidak perlu, aku kerja di bagian lain.” Siska menjelaskan. “Pak Pasha, memangnya kamu tahu ...”“Jangan panggil aku bapak, aku belum tua.”Siska tidak menanggapi Pasha dan memilih untuk meninggalkan gudang sepatu.“Sha, aku kembali ke kantor dulu ya?” ucap Siska sambil tersenyum singkat, sementara Pasha berjalan di sampingnya sambil bermain ponsel.“Sis, minggu depan ikut seminar yuk?” ajak Pasha. “seminar bisnis, di gedung hotel sana itu ....”“Aku tidak ikut,” geleng Siska. “Aku mau ambil kerjaan, target aku masih banyak.”Target untuk membuat Roni dan istri keduanya menyesali perbuatan mereka, sambung Siska dalam hati.“Sebentar saja Sis, paling cuma sampai dua jam.” Pasha membujuk. “Ikut ya? Kita bisa kumpul sama para pengusaha sukses.”“Aku bukan pengusaha, aku ini pegawai biasa,” tolak Siska lagi. “Aku malas bertemu Mas Roni.”“Apa karena dia saja?” tanya Pasha ingin tahu. “Kamu bukannya bertemu sama dia setiap hari di rumah?”Siska terdiam, pura-pura tidak mendengar pertanyaan yang dilontarkan Pasha. Lagipula itu masalah pribadi, dia tidak ingin membaginya dengan orang yang tidak tepat.***Siska mengamati saldo rekeningnya dengan senyum tipis terbit di sudut bibirnya saat mengetahui jika bosnya sudah mentransfer gaji dan bonusnya. Jumlahnya terbilang cukup lumayan hingga memungkinkan dirinya untuk mengajukan KPR impiannya.“Dapat bonus besar lagi?” komentar Kavita, rekan kerja sekaligus sahabat Siska. Dia adalah salah satu orang yang selama ini menjadi tempat berkeluh kesah, termasuk tentang kecurigaannya bahwa Roni telah mendua.“Begitulah,” sahut Siska sambil mentransfer sejumlah uang untuk ketiga buah hatinya.“Aku heran,” ucap Kavita yang sedang duduk di samping meja Siska. “Kamu sering lembur, anak-anak kamu siapa yang urus?”“Aku ada asisten,” sahut Siska. “Selalu ada yang dikorbankan di balik mimpi yang besar. Aku harus kerja lebih keras untuk menghadapi risiko jadi janda.”Kavita menarik napas panjang.“Aku tidak berharap kamu mengalami nasib yang sama seperti aku,” komentarnya. “Aku salut sekali sama kamu karena kamu bukan orang yang pasrah sama keadaan.”Siska mengecek rekeningnya yang satu lagi sebelum menjawab.“Sikap pasrah tidak akan bikin anak-anak kamu kenyang, Vit.” Dia menatap layar ponselnya yang menunjukkan sisa uang di rekening lainnya. Siska tahu karena setiap bulan di tanggal tertentu saldo di tabungannya selalu bertambah, Roni memang tidak pernah lalai dengan kewajibannya memberi nafkah.“Oh ya Vit, kamu pernah ikut seminar bisnis?” tanya Siska ketika Kavita membungkukkan tubuhnya dengan lelah di atas meja.“Tidak,” jawab Kavita sambil memejamkan matanya.“Keren lho itu,” komentar Siska. “Kita bisa berbaur sama para pengusaha, sayangnya aku cuma pegawai biasa ...”“Coba saja ikut,” sela Kavita. “Aku kurang tertarik sama seminar bisnis.”Siska meregangkan kedua lengannya.“Minggu depan aku ada undangan seminar,” kata Siska. “Tapi aku tidak mau datang.”“Kenapa?” Kavita terkejut. “Ah, aku tahu! Kamu pasti merasa minder, ya?”Siska menggeleng.“Aku ragu-ragu saja,” dustanya. “Temanku yang ajak, mungkin saja aku berubah pikiran.”Siska duduk membelakangi Kavita, berusaha untuk tidur memikirkan masalah rumah tangganya.Keesokan paginya, Siska tiba di kantor dengan wajah segar karena mendapat tidur yang cukup berkualitas.Pasha memutuskan belajar lebih cepat di kantor sepupunya. Dia seperti Siska, mampu menempatkan diri di berbagai situasi dan menyerap informasi yang diberikan dengan baik.“Sis, aku mau ngomong sesuatu.” Pasha mendekati meja Siska ketika jam makan siang. “Soal seminar bisnis itu ...”“Aku ikut,” potong Siska seraya membereskan mejanya.“Yang benar?” ucap Pasha terkejut. “Kamu serius, Sis?”Siska mengangguk.“Aku tidak mau siapapun berpikir kalau aku tidak ikut reuni karena malas bertemu Mas Roni,” ujarnya. “Memang kenapa kalau nantinya kita bertemu?”Pasha tersenyum senang.”Memang seharusnya hal itu tidak mempengaruhi kamu,” katanya. “Kamu harus buktikan sama dia kalau kamu tetap baik-baik saja.”Siska mengangguk setuju.“Aku tahu Sha, cepat atau lambat aku harus bangkit. Dan aku tidak mungkin minta panitia untuk melarang Mas Roni datang ke seminar itu.” Dia menarik napas. “Sekarang ini aku memang sudah baik-baik saja, tapi kamu tahu betul hancurnya aku saat itu.”Pasha memandang Siska dengan penuh simpati. Dia memaklumi jika sakit hati yang dirasakan Siska terhadap Roni amatlah besar. Mengetahui pernikahan kedua suaminya tepat di hari ulang tahun sang suami sanggup membuat siapapun tenggelam dalam kebencian.“Kita datang bersama,” kata Pasha. “Boleh aku minta alamat rumah kamu? Sekalian nomor kontak yang bisa aku hubungi.”Siska mengangguk dan memberikan nomor ponselnya.Sesampainya di rumah, Siska merebahkan tubuhnya dengan lelah di sofa. Dia tidak bisa bohong bahwa acara seminar bisnis itu mengganggu pikirannya. Dia tidak ingin datang, tapi dia terpaksa harus datang karena sudah telanjur janji dengan Pasha.“Aku harus bangkit ...” gumam Siska kepada dirinya sendiri. “Roni tidak lagi berarti.”Siska bangkit berdiri, merenggangkan kedua lengannya ke atas dan bergegas mandi untuk membersihkan kulitnya yang lengket. Untuk sementara masalah seminar bisnis menguap hilang dari pikirannya.Roni pulang larut malam hampir setiap harinya, tetapi Siska tidak peduli. Sejak pernikahan kedua suaminya itu terbongkar, dia selalu tidur lebih dulu sebelum Roni masuk kamar. Alhasil sudah hampir dua bulan mereka berdua tidak pernah berhubungan suami istri lagi.Sabtu sorenya, Siska harus tertahan sebentar karena membantu Kavita yang sibuk mengebut laporan barang sementara dia yang mendata penjualan bulanan. Pasha mendahului pulang dan berjanji akan menunggunya di rumah kapanpun dia tiba.“Telat sedikit tidak masalah!” seru Pasha seraya melambaikan tangan.Akhirnya setelah berjibaku cukup lama, Siska berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik. Begitu pulang ke rumah, mobil Pasha sudah menunggu dan Siska bergegas mandi.Begitu seluruh tubuhnya telah bersih, Siska mengenakan gaun yang sudah dia siapkan dan memoles wajahnya. Kali ini dia tidak lagi memakai krim standar, melainkan krim khusus yang diformulasikan sesuai untuk kulit wajahnya.“Ibu pergi dulu ya, Ga? Jaga adik-adik kamu,” pamit Siska sebelum pergi.“Hati-hati, Bu.”Pasha terpaku ketika melihat Siska muncul di depannya dengan dress abu selutut dan high heels silver dan tas selempang dengan warna senada. Tanpa membuang waktu lagi mereka berdua segera meluncur ke tempat seminar.“Santai saja,” komentar Pasha saat melirik sekilas wajah Siska yang tegang.Bersambung—“Kamu benar, Sha.” Siska mengangguk seraya menarik napas dalam-dalam.Setibanya di hotel yang sudah disulap menjadi tempat seminar, Siska dan Pasha bergegas masuk dan langsung disambut beberapa rekan bisnis yang sudah lebih dulu datang.“Aku ke toilet dulu,” kata Siska sedikit gugup saat rekan Pasha bergabung dengannya.“Aku tunggu di sini,” sahut Pasha.Di dalam toilet, Siska melihat pantulan wajahnya sendiri lekat-lekat. Rambutnya yang hitam meruncing nyaris tak ada bedanya dengan dirinya beberapa bulan yang lalu. Namun, wajah itu kini semakin matang oleh rasa benci yang membuncah.Begitu keluar dari toilet, Siska terkesiap saat mendapati sosok Roni yang berdiri di depan lorong."Siska?" Roni menyadari kehadiran istrinya juga. "Apa yang kamu lakukan di sini?"Siska terpaku sebentar selama beberapa detik, sebelum akhirnya dia mengangguk ke arah Roni sambil tersenyum sopan dan melenggang pergi begitu saja dari hadapannya. “Maaf, nunggu lama!” seru Siska saat bergabung lagi dengan Pas
“Ingatan tentang bagaimana sedihnya kamu saat melihatku bersama Ririn, telah menjadi mimpi buruk bagiku selama dua bulan ini.”Siska sama sekali tidak bereaksi, dia sengaja membiarkan Roni menikmati halus kulitnya di pahatan wajahnya yang nyaris tanpa cela.“Aku bisa pahami kemarahan kamu terhadap keputusanku,” sambung Roni lagi. “Tapi aku tidak akan semudah itu membiarkan kamu pergi. Apa pun akan aku lakukan untuk membuat kamu tetap berada di sisiku.”Siska sengaja tertawa kecil untuk menutupi perasaannya yang sudah tidak keruan lagi.“Terserah kamu,” katanya. “Bukankah seorang suami bebas untuk melakukan apa saja yang dia suka?”Siska menyingkirkan tangan Roni dengan gerakan pelan dan tidak terkesan buru-buru mendorongnya.“Jangan memancing kesabaran aku, Siska.” Roni tidak mengizinkan Siska memegang tangannya dan segera ditariknya dagu wanita muda itu hingga bibirnya maju lebih dekat dengan bibirnya sendiri. “Ingat, kita ini masih sah suami istri.”Dan segera dilahapnya bibir merek
“Aku baik-baik aja kok Sha, cuma ada sesuatu sedikit.” Siska menenangkannya. “Sekarang kamu di mana? Biar aku yang susul kamu.”Pasha terdengar menghela napas lega.“Aku ada di depan gedung, Sis,” katanya. “Cepat ya, jangan bikin aku khawatir.”“Oke, aku jalan ke sana sekarang.” Siska memutus sambungan teleponnya dan bergegas menyusul Pasha yang sudah menunggu.Wajah Pasha terlihat lega saat Siska muncul di depannya.“Sis, kamu ke mana saja?” serunya sambil memandang Siska. “Aku sudah mikir yang tidak-tidak kalau kamu hilang atau diculik ...”“Maaf Sha, aku tidak sempat ngabarin soalnya ...” Siska menghentikan kalimatnya dengan napas panjang.“Ya sudah, tidak apa-apa.” Pasha seolah mengerti apa yang sedang dirasakan Siska. “Aku antar kamu ke rumah sekarang, bagaimana?”“Oke,” angguk Siska seraya masuk ke mobil Pasha dan menyandarkan punggungnya yang letih ke tempat duduk.Pasha menyusul masuk dan sempat melirik Siska sebentar sebelum akhirnya melajukan mobilnya meninggalkan hotel semi
Roni tidak dapat menemukan pilihan kata yang tepat untuk menggambarkan kepada Ririn tentang betapa berbedanya Siska saat ini.“Dia kecewa?” tebak Ririn.“Sangat,” ucap Roni. “Biarpun dia tidak bilang, aku bisa melihat itu semua dari sorot matanya saat memandangku.”Ririn terdiam, tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Dia masih ingat betapa kejamnya Siska saat berusaha keras menggagalkan pernikahannya dengan Roni, tetapi pada akhirnya Roni juga yang enggan memiliki satu di antara mereka berdua.Dan yang menjadi korbannya tentu saja Ririn yang tidak tahu apa-apa.“Tapi aku tahu kalau dia bohong,” ujar Roni sambil menenggak minuman kalengnya lagi. “Aku masih bisa merasakannya.”Sesungguhnya Roni tidak benar-benar yakin jika Siska masih mengharapkan hubungan mereka diperbaiki. Dia telah membiarkan dirinya tenggelam dalam kesendirian selama dua bulan tanpa penjelasan, dan Roni baru saja menerima pembayaran tunai dengan kebencian Siska terhadapnya.Masih terin
“Aku pusing, kepalaku sakit sekali ...” keluh Siska. “Maaf kalau kamu jadi tidak nyaman.”Kavita menggeleng, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Sebagai gantinya, dia mengulurkan sekotak makanan yang tadi sudah disiapkannya kepada Siska.“Makanlah, aku pikir kamu belum sarapan. Aku paham bagaimana rasanya dikhianati,” ujar Kavita sungguh-sungguh.“Terima kasih ya?” ucap Siska sambil menerimanya. “Kamu sudah menyempatkan diri datang ke sini.”Kavita menggeleng dan duduk di samping Siska.“Sudahlah, jangan berpikiran macam-macam. Cepat makan,” suruhnya.Siska tersenyum tipis dan membuka kotak makan yang diberikan Kavita kepadanya.Di lain tempat, Pasha menghentikan mobilnya di tepi jembatan yang ada di dekat lokasi proyek. Dia menengok arlojinya dan memutuskan untuk menunggu kedatangan Roni yang sudah menyanggupi kesepakatan jam pertemuan mereka.Kira-kira tak sampai sepuluh menit menunggu, Pasha melihat sebuah mobil berhenti di dekat mobilnya.“Langsung saja ya, Ron?” kata Pasha bahkan se
“Jadi,” ucap Kavita ketika dia dan Siska duduk bersama dalam satu meja dan menikmati sarapan mereka. “Kamu sudah merasa lebih baik?”“Apanya?” tanya Siska sambil terus mengunyah. “Jangan pura-pura tidak tahu,” jawab Kavita sambil melirik Siska tajam. “Bagian yang paling menyedihkan dalam hidup itu adalah berpura-pura padahal hati kamu merasakan yang sebaliknya.”Siska terdiam sambil menelan makanannya. Pantas saja semalaman suntuk dia merasakan nyeri yang amat sangat di hatinya, bisa jadi itu karena dia telah berpura-pura bahwa dia tidak lagi mengharapkan Roni.“Nah kan, melamun lagi ...” komentar Kavita sambil menggeleng. “Kalau memang kamu merasa belum siap untuk mengambil keputusan terkait rumah tangga kamu, lebih baik jangan gegabah.” Kavita menyarankan.Siska menarik napas panjang.“Dia melakukan kesalahan yang tidak bisa aku maafkan,” katanya sakit hati. “Jadi ngapain aku berusaha memperbaiki? Lebih baik cari yang baru lagi.”Kavita mendengus di atas piringnya.“Mentang-mentang
Beberapa waktu sebelumnya ....Dua hari sebelum acara meeting besar selesai, seluruh pegawai dihebohkan dengan berita tidak menyenangkan tentang Roni dan Siska. Tidak ada yang tahu awal mula berita itu menyebar, yang pasti berita itu sudah menjangkiti siapapun seperti wabah penyakit.Roni menoleh ketika seseorang menyentuh bahunya sebelum kakinya memasuki dapur. Ternyata kedua orang tuanya dan juga Ririn.“Ayah baru tahu istri kamu wanita seperti itu,” kata ayah Roni dengan wajah prihatin.“Seperti itu ... apa maksudnya?” tanya Roni bingung. “Kami tahu sekarang bagaimana selama ini dia memandang kamu sebagai suaminya,” timpal ibu Roni.“Ayah dan ibu ngomongin Siska?” tanya Roni lagi sementara Ririn lebih memilih diam sebagai bentuk jaga image di hadapan mertua. “Dia memang wanita independen dari dulu kan?”“Bukan!” sergah ibu Roni. “Ternyata selama ini Siska ... sudah membuat berita viral tentang kamu! Gara-gara itu, mau taruh di mana muka kita sekeluarga?”“Apa?! Ayah dan ibu jangan
“Apa yang terjadi sih sebenarnya, Sis?” tanya Kavita setengah mendesak. “Kelihatannya kamu bingung sekali.”Siska menyeka kedua matanya sebelum akhirnya menceritakan apa yang didengarnya di atap gedung perkantoran Roni tadi.“Apa, jadi mereka bikin berita viral?” seru Kavita terkejut. “Tidak nyangka.”“Sudahlah Vit, tidak apa-apa. Aku harap kamu sama Roni tetap jaga hubungan baik kalau suatu saat bertemu di jalan,” ujar Siska dengan senyum yang dipaksakan. “Mereka berdua cuma bermasalah sama aku, jadi kamu tidak perlu memihak.”Kavita mengulurkan tangan dan menepuk bahu Siska.“Kamu masih punya aku Sis,” katanya sambil tersenyum. “Aku mana bisa tidak memihak, nasib kita sama. Diduakan suami cuma karena dia merasa mampu secara finansial, sedangkan dia tidak mikir bagaimana perasaan istri mereka yang selama ini menemani langkahnya dari nol sampai bisa sukses seperti sekarang.”“Iya Vit, kamu juga tidak kalah menderita daripada aku.” Siska menimpali. “Tidak perlu sedih-sedih, semua posti
Pasha mengangguk kuat-kuat, dia sendiri tidak habis pikir apa motif Ririn melakukan itu. Disuruh Roni kah? “Apa? Jadi Ririn adalah salah satu pelaku?” Siska terbelalak lebar ketika Pasha menyampaikan apa yang dilihatnya tadi. Pasha mengangguk. “Benar-benar keterlaluan, dia sudah bikin aku dan sahabatku malu luar biasa. Aku harus telepon Roni sekarang!” “Buat apa, mau bikin keributan?” “Istrinya yang kurang kerjaan, masa suaminya sampai tidak tahu?” Pasha juga sama herannya, dia tidak kuasa menahan Siska yang terlihat memendam emosi tak tertahankan. Sementara itu, Roni sedang berada di jalan ketika ponselnya berdering nyaring. “Siska ... Halo?” “Ron, kamu tuh bisa mendidik istri kamu atau tidak sebenarnya?” Siska langsung menyembur telinga Roni dengan api kemarahan. “Maksud kamu apa?” “Aku yang seharusnya tanya, maksud Ririn apa pakai ngumbar-ngumbar masa lalu aku di akun berita online?” “Aku tidak paham, ini aku juga baru saja dihubungi polisi karena Ririn ada di sana!” “B
Pasha memeluk bahu Siska dengan penuh kehangatan. “Aku janji akan menyelesaikan ini semua, aku juga resah sama pemberitaan itu.” “Maaf ....” “Jangan minta maaf, bukan salahmu.” Siska membalas pelukan Pasha dengan erat, dia bertekad ingin menatap langsung wajah pelaku yang telah mengganggu ketenangan hidupnya itu. “Pokoknya siapapun dia, aku mau dia dihukum berat.” “Pasti, biar dijadikan pelajaran oleh siapa pun untuk tidak menggali masa lalu seseorang seenak jidat.” Setelah pembicaraan mereka berakhir, Siska memutuskan untuk tidur karena dia ingin berangkat lebih awal ke kantor. “Gimana, Mas?” Di kediaman Roni, Ririn sedang menghidangkan secangkir teh hangat dan roti selai. “Aku dapat beberapa kontrak dari klien baru,” kata Roni memberi tahu. “Apakah klien itu dari mereka-mereka yang membatalkan kerja sama dengan perusahaan saingan kamu?” “Aku tidak tahu, karena aku tidak pernah tanya-tanya soal itu. Menurutku tidak bagus kalau kita terlalu menunjukkan kesenangan kita atas b
“Tapi aku belum punya bukti untuk menguatkan kecurigaan aku,” ujar Pasha menyesalkan. “Aku juga tidak mau kalau Cuma asal tuduh saja, semua kasus di dunia ini membutuhkan bukti.” “Kamu suruh orang saja untuk memata-matai Roni, cari yang profesional.” Ezra mengusulkan. “Oke, tapi aku juga harus tanya pendapat Siska dulu. Jangan sampai apa yang aku lakukan justru menimbulkan masalah baru.”Ezra memandang Pasha dengan sangat serius.“Kamu bertindak terlalu hati-hati ternyata.”“Bukankah harus? Keselamatan istri dan anak-anak sambungku juga harus dipikirkan,” kilah Pasha.“Aku setuju kalau yang kita bicarakan ini adalah tentang Shadan atau Monic yang agak-agak psikopat, tapi Roni? Aku bahkan tidak tahu menahu latar belakangnya selain dia adalah mantan suami Siska.”Pasha terdiam.“Dia pernah mendapat kontrak kerja di edisi sebelumnya,” katanya mengingatkan.“Ya, dua poin itu.”Setelah mempertimbangkan baik buruknya, pasha akhirnya setuju untuk mengintai Roni diam-diam.Beber
“Aku tahu Vit, kamu tidak perlu khawatir. Pasha tidak tinggal diam, aku yakin Pak Ezra juga akan berbuat sesuatu untuk pelaku yang sudah menyebarkan masa lalu kita ke orang banyak.” “Ezra juga mulai mengusut masalah ini, Sis. Biasanya dia kerja sama dengan suami kamu dalam segala hal kan?” Siska mengangguk. “Aku penasaran siapa pelakunya.” “Apa mungkin ... pelakunya adalah Yura?” Siska menatap Kavita dengan sangat lekat. “Tapi aku tidak ada urusan apa-apa sama Yura, Vit. Kalau betul dia pelakunya, maka sama saja dia sudah mengibarkan bendera perang terhadapku.” Kavita diam sambil berpikir. “Betul juga, kalau sama aku sih wajar. Yura tidak punya motif apa-apa untuk menjatuhkan kamu atau perusahaan Pak Pasha.” Sepasang sahabat itu sibuk berpikir dengan logika masing-masing. “Otakku buntu, aku tidak punya tersangka yang bisa aku curigai.” Siska akhirnya menyerah. “Kalau begitu biarkan suami-suami kita yang menyelidikinya.” “Betul, kamu juga jangan terlalu kepikiran. Masa lalu b
“Maksud kamu? Dih, aku nggak sebodoh yang kamu pikirkan! Kalau orang sudah nggak percaya, tentu mereka akan beralih untuk mencari perusahaan baru kan? Nah, situasi ini bisa kamu manfaatkan, Mas!”Roni terdiam, betul juga apa yang Ririn katakan. Namanya persaingan bisnis, sah-sah saja kan jika dia mengambil kesempatan dalam situasi seperti apa pun?***Untuk pertama kalinya sejak berita tentang masa lalu itu terbongkar luas di platform digital, Siska dan Kavita bertemu di kafe untuk minum kopi bersama.Kalau biasanya mereka memilih kafe standar masyarakat umum, khusus untuk pertemuan kali ini mereka memilih kafe ekslusif demi kenyamanan privasi masing-masing.“Vit, bagaimana kabar kamu?” tanya Siska begitu mereka duduk berhadapan.Wajah Kavita tampak sayu seperti orang yang kekurangan waktu tidur yang berkualitas.“Aku? Baik, Sis.”Suasana sedikit canggung, sehingga Siska bingung bagaimana cara untuk mencairkannya.“Kita ... sudah lama tidak bertemu, ya? Jujur aku kangen ngopi-
“Jadi ... kita diam saja, Sha?”“Untuk sementara, nanti kalau mereka sudah tahu dan bergerak, baru kita ikut bantu.”Siska terpaksa setuju, dia geram sekali dengan si pembuat berita yang mengumbar masa lalunya.Bahkan Kavita juga ikut dikulik habis-habisan.Sesuai dengan rencana Pasha, Siska tidak berani menghubungi Kavita sejak berita tentang masa lalu mereka beredar. Bukan apa-apa, dia merasa tidak enak hati sendiri jika harus pertama kali membahas topik itu.Meskipun jauh di sudut hatinya, Siska juga sangat penasaran mengenai kebenaran pernikahan kontrak yang terjadi antara Kavita dan Ezra, bos mereka sendiri.“Sha, Pak Ezra bagaimana?” tanya Siska setelah berdiam diri selama beberapa hari tanpa mengontak Kavita. “Setiap aku bertemu sama dia, sikapnya tidak ada yang aneh ....”“Mustahil berita itu belum sampai ke telinga Pak Ezra!” bisik Siska dramatis. “Kecepatan informasi di jaman ini kan benar-benar gila, Sha. Aku khawatir seandainya tanpa sepengetahuan kita, Pak Ezra d
“Besok ayah traktir sepuasnya, ayah baru saja dapat kontrak kerja ....”“Yes!”“Makan-makan!”Siska dan Pasha tertawa lebar bersama anak-anak mereka.Ketika kebahagiaan mewarnai keluarga baru Siska, hal yang berbeda justru tengah dirasakan Roni dan istrinya.Semangat Roni yang tadinya menggebu-gebu kini seolah tidak lagi ada, seluruh harapan yang semula dia pikul di pundak seketika luruh tanpa sisa.“Apa mungkin kamu bikin kesalahan yang bikin pemilik kontrak kerja itu nggak mau pilih perusahaan kamu, Mas?” tanya Ririn sok tahu.“Maksud kamu apa sih?”“Nggak mungkin kan kalau perusahaan kamu baik-baik saja, tapi kalah sama perusahaan suami Siska?”Roni melirik Ririn, ingin sekali dia mengomel karena ketidakpekaan istrinya. “Kamu tidak bisa baca situasi ya?”“Maksud kamu?”“Seharusnya kamu bisa lihat kan, apa yang aku rasakan sekarang ini?”Ririn melongo. “Kok jadi kamu yang terbawa perasaan sih, Mas? Aku kan tanya baik-baik ....”“Terserah,” potong Roni, dia berdiri dar
“Aku tidak bermaksud apa-apa, Rin. Takutnya kalau kamu berisik terus, aku tidak bisa dengar apa yang dikatakan pembawa acara.”Ririn semakin sewot mendengar alasan Roni yang menurutnya konyol sekali, memangnya suara dia sekeras apa coba?“Rin, lihat! Sebentar lagi akan diumumkan perusahaan siapa yang berhasil mendapatkan kontrak!” bisik Roni antusias.Mendengar ucapan Roni, kini giliran Ririn yang mengerutkan keningnya.Tadi katanya nggak boleh ribut, gimana sih. Perempuan itu membatin kesal.Di kursi lainnya, Siska dan Kavita tidak kalah tegang menunggu pengumuman pemenang kontrak. “Ezra atau Pak Pasha?” Kavita menoleh ke arah Siska.“Pak Ezra atau Pasha, bebas!”Kavita mengangguk, sebelah tangannya meremas jemari Siska untuk menyalurkan ketegangan yang terasa.“... akan ada dua perusahaan yang mendapatkan kontrak kerja ini, sehingga kolaborasi keduanya diharapkan bisa meningkatkan daya beli konsumen dan menjaga persaingan sehat di masa-masa yang akan datang.”Siska dan Ka
Ririn menganggukkan kepalanya seraya memahami layar laptop Roni yang menyala. “Dyaksa Company, itu perusahaan Siska?” celetuk Ririn. “Bukan, itu perusahaan pesaing aku. Siska kerja di situ sudah lama, sejak aku masih merintis dari nol.” “Oh ya? Terus kenapa dia masih jadi pegawai di sana setelah kamu sukses?” Roni menarik napas, dia berusaha mengingat kembali momen ketika Siska tidak ingin berhenti kerja dari Dyaksa Company. “Katanya dia merasa sayang sama pencapaian dia di perusahaan itu,” ucap Roni lambat-lambat. “Siska nyaman bekerja di sana, jadi dia mempekerjakan beberapa asisten rumah tangga demi pekerjaannya di Dyaksa Company. Padahal aku sudah bilang sama dia kalau aku sanggup memenuhi semua kebutuhan rumah tangga, tapi dia tidak mau melepaskan pekerjaannya.” Ririn bahkan sampai melongo mendengar penjelasan Roni tentang alasan Siska. Kok bodoh banget ya Siska itu, pikir Ririn. Punya suami sukses, disuruh berhenti kerja malah nggak mau. Kan enak tinggal ongkang-ongkang ka