"Aryo dengerin Mama! Kalau kamu bilang begitu itu sama aja kamu mau bikin Mama malu terutama di hadapan si ular itu!"
"Siapa yang kamu sebut wanita ular ha?" Sekar, seorang wanita setengah baya yang baru saja masuk ke ruangan itu.
Rita melengos tak sudi menatap Sekar. "Ngapain kamu dateng ke sini? Udah gitu masuknya main nyelonong aja tanpa permisi," katanya sinis. "Suka suka saya lah," balas Sekar dengan santainya lalu ia pun duduk di samping Aryo. Aryo hanya diam saja melihat kedua wanita itu, ia menghela napas pasrah. "Kalau gitu aku keluar dulu," pamit Aryo. "Permisi, Tante Sekar." Sekar mengangguk namun wajahnya tampak judes, melirik Aryo pun ia tak mau. Aryo keluar dari ruangan itu, ia tak ingin menganggu mereka berbicara. "Saya dengar Aryo anak kamu itu sebentar lagi akan menikah," kata Sekar. "Iya dong! Emangnya kayak anak kamu yang nggak laku-laku. Jadi perawan tua tuh si Kinan," ejek Rita. "Jaga ya mulut kamu, Rita!" hardik Sekar yang merasa tak terima jika putri satu-satunya itu diejek oleh Rita, musuh bebuyutannya. Rita mendengus. "Lho? Kenapa? Memang bener kan kalau anak kamu si Kinan nggak laku makanya sampai sekarang dia nggak nikah." "Kinan masih ngejar karir, lagian kalau dia nikah udah pasti dia maunya pesta pernikahannya tuh yang mewah banget nggak mau yang asal-asalan," balas Sekar. "Alesan aja kamu! Siapa sih yang mau nikahin dia? Jadi perempuan kok jutek banget gitu yang ada semua laki-laki bakalan takut nggak ada yang mau deketin dia!" Sekar terlihat semakin emosi mendengar ejekan demi ejekan yang Rita lontarkan untuk sang putri tersayang. "Ada lah banyak, secara Kinan anak saya tuh cantik, badannya bagus dan yang paling penting dia itu seorang CEO di perusahaan ini," balas Sekar, ia terlihat puas melihat raut wajah Rita yang kesal itu. "Jangan bangga deh kamu, Sekar. Sebentar lagi juga Aryo anak saya yang bakalan gantiin posisi si Kinan." Sekar tertawa mengejek. "Jangan mimpi kamu!" karena tak ingin berlama-lama berada satu ruangan dengan Rita ia pun melenggang pergi. "Dasar perempuan ular licik! Awas aja ya kamu bakalan terima akibatnya karena udah berani sama aku," desis Rita dengan penuh amarah. Sementara itu di tempat lain yaitu tepatnya di sebuah kafe, terlihat Laras yang tengah duduk sendirian. Ia melamun memikirkan semua yang sudah terjadi di dalam hidupnya. "Harusnya aku nggak kenal sama si Radit itu," gumam Laras penuh rasa sesal yang mendalam. Ya, jika ia tak mengenal Radit sejak awal maka semua itu takkan pernah terjadi dan pernikahan mereka yang berawal dari tipu muslihat tak akan pernah ada. "Nggak ada gunanya kamu nyesel toh semua itu udah terjadi," ucap sebuah suara perempuan. Laras menoleh karena ia merasa mengenal suara tersebut. Dan benar saja dugaannya ternyata perempuan itu adalah Dina. "Dina?" ucap Laras kaget. Tak bisa dipungkiri bila ia melihat Dina timbul perasaan bersalah di hatinya. Ternyata ia sudah salah menuduh wanita itu sebagai perebut suaminya ternyata justru ia yang sudah menjadi wanita pelakor itu. Dina duduk di depan Laras. "Kalau kamu mau minta maaf aku nggak bakalan maafin kamu karena aku juga yang salah," katanya. Laras terkejut. Ia mengira Dina datang ingin melabraknya namun ternyata wanita itu mengatakan hal sebaliknya. Dina menghela napas. "Kalau aja aku tau si Radit bakalan nikahin kamu aku juga nggak bakalan setuju. Siapa sih perempuan yang mau punya madu iya kan?" ia tertawa miris. "Aku bingung waktu itu kenapa dia tiba-tiba punya uang banyak padahal dia itu pengangguran, ternyata uang itu hasil dari dia morotin kamu, Laras." Laras masih mencoba mendengarkan penjelasan Dina. "Aku awalnya marah ke dia, aku benar-benar emosi aku mukulin dia bahkan dulu aku sempat minta cerai tapi dia nggak mau ceraiin aku. Lama-lama aku mikir aku punya anak, sementara aku juga kerjaan nggak punya dan juga aku repot ngurus anakku. Jadi akhirnya aku terima kalau dia punya istri lain," cerita Dina panjang lebar. "Aku pura-pura tegar aku berusaha ikhlas tapi..." ia akhirnya menangis. "Itu bukan salah kamu kok, Din. Radit yang salah, cuma dia yang selama ini jadi pelaku dan kita berdua ini cuma korban. Kita berdua korban dari keegoisan dia, dia laki-laki jadi udah kewajiban dia buat kerja cariin nafkah buat kamu," kata Laras sambil mengusap-usap punggung Dina mencoba untuk menenangkannya. "Aku ternyata nggak bisa ikhlas, aku jadi punya perasaan benci ke kamu karena kamu itu istri keduanya si Radit," Isak Dina sambil mengusap air matanya. "Iya aku paham kok, aku tau banget gimana perasaan kamu karena itu lah yang aku rasain waktu aku ngira kalau Radit itu selingkuh sama kamu. Aku marah, aku nggak terima dan hatiku hancur banget rasanya dunia aku udah runtuh." "Iya, Ras. Aku jadi marah dan benci ke kamu makanya aku diem aja selama ini nggak ngasih tau kamu soal status kami biar aku dan anakku bisa makan, bisa hidup. Karena cuma itu aja cara satu-satunya untuk saat itu. Aku biarin dia sama kamu karena cuma itulah cara biar uang kamu keluar dan bisa biayain kami makan dan kebutuhan lainnya." tampak rasa penuh sesal dari wajah Dina. "Iya iya aku tau." Beberapa saat kemudian, Dina yang sudah tenang akhirnya duduk santai dengan Laras. Ia merasa lega karena sudah mengungkapkan semua yang mengganjal di hatinya kepada Laras. Ia juga lega karena ternyata Laras adalah perempuan yang baik, yang dengan mudah memaafkannya. "Aku yang harusnya minta maaf karena udah jadi pelakor," kata Laras. Dina menggeleng kuat-kuat. "No no no, Laras. Yang harus minta maaf tuh si Radit. Dia yang harus tanggung jawab atas semua kekacauan ini." Laras menghela napas. "Aku juga udah nggak peduli sama dia." "Terus kedepannya kamu mau gimana?" tanya Dina ingin tahu. "Aku udah gugat cerai Radit kok." Dina terlihat kaget namun akhirnya ia tersenyum. "Bagus deh kalau itu pilihan kamu, aku dukung seratus persen!" Laras tersenyum. "Kenapa? Biar kamu bisa milikin dia sepenuhnya?" guraunya. "Idih nggak lah, mungkin kedepannya aku juga bakalan lakuin kayak kamu kalau anakku udah gedean dikit. Aku juga udah muak sama dia," tandas Dina. Laras menyeruput minumannya. Ia tersenyum melihat Dina, ia merasa salut dengan kesabaran wanita itu selama ini. Jika ia menjadi Dina sudah pasti ia langsung minta cerai karena ia tak sudi mempunyai suami yang tak pantas disebut sebagai seorang suami. Tanpa mereka tahu, Radit datang dari arah belakang dengan membawa pisau. "Kita lihat apakah pria itu masih mau denganmu bila terluka," gumamnya rendah.Tepat saat Radit akan mendekati Laras, Aryo datang menghalanginya dan langsung menendang pria itu hingga tersungkur di tanah. Pisau yang ia pegang pun terlempar jauh. Laras dan juga Dina yang melihat kejadian itu pun terperangah kaget sambil menutupi mulut mereka masing-masing. Laras tak menyangka jika Radit berani berbuat Nekat seperti itu. "Berani juga ya kamu di tempat umum seperti ini mau nyelakain orang," kata Aryo. "Lu lagi! Ngapain sih lu selalu ikut campur urusan gue?" seru Radit. Aryo langsung memukuli Radit agar pria itu tak bisa bicara lagi dan hanya merintih kesakitan akibat pukulan demi pukulan yang ia lakukan di perut dan wajah Radit. Radit terbatuk-batuk sambil memegangi perutnya dan tak lama para polisi datang untuk menangkapnya. Ia bicara kasar dan penuh umpatan yang ditujukan untuk Aryo dan terutama Laras. "Lepasin saya, Pak! Saya nggak salah," pinta Radit yang berusaha untuk melepaskan diri dari para polisi yang menahannya itu. "Nggak salah gimana? Tuh udah
"Gimana? Kamu udah siap?" tanya Aryo yang baru saja masuk ke dalam kamarnya Laras di hotel ternama yang ia sewa untuk Laras tinggali itu. Ya, sejak kejadian itu Aryo memang meminta Laras untuk tinggal di hotel untuk sementara waktu sebelum mereka resmi menikah. Ia tak ingin terjadi sesuatu hal yang buruk kepada calon istrinya itu. "Udah kok, Pak." Aryo tersenyum, ia kagum melihat kecantikan Laras. Ia merasa tak salah dalam memilih pasangan hidupnya. "Kalau gitu kita langsung jalan?" ajak Aryo dan Laras mengangguk sambil tersenyum. Mereka berdua pun pergi ke suatu tempat dengan mobil mewah yang Aryo kemudikan. Ternyata mereka mengunjungi sebuah butik yang ternama dan tentunya amat mahal. Aryo lebih dulu turun dari mobil lalu ia membukakan pintu untuk Laras. Laras yang selalu diperlakukan seperti itu yaitu bak seorang putri oleh Aryo tersipu malu. Baru pertama kali ia merasa begitu dihargai oleh pria. "Makasih, Pak." Aryo hanya mengangguk saja. Ia dan Laras memasuki butik dan k
"Ma..." "Tentu aja kamu punya semuanya yang Mama mau, kamu cantik dan juga anggun, Laras." Aryo tersenyum lega mendengarnya begitu pula dengan Laras. Laras menghela napas lega. Rita tersenyum. "Sini, Laras. Ayo peluk Mama!" pintanya ramah. Laras menoleh ke arah Aryo meminta persetujuannya dan pria itu mengangguk. Maka ia pun memeluk Rita, ia lega ternyata calon ibu mertuanya itu tak semenakutkan yang ia pikirkan. Ternyata justru sebaliknya Rita adalah wanita yang baik hati. Rita lalu mengajak mereka ke ruang makan untuk makan malam bersama. Ia meminta Laras untuk duduk dekat dengannya, ia juga mengatakan kehadiran Laras sudah lama ia nantikan. "Kamu tau, Laras. Mama tuh udah lama banget loh nyuruh Aryo untuk menikah tapi dia malah mengelak terus, alesannya sibuk kerja. Itu cuma alesan," kata Rita. Laras tertawa kecil. "Gitu ya, Ma?" "Iya. Dan sekarang udah ada kamu di hidupnya Aryo jadi Mama tuh lega banget." Rita tersenyum. Laras melempar senyuman ke arah Aryo yang juga me
Apakah ancaman tersebut membuat Laras takut? Tentu saja tidak karena ia sudah kebal. Mengapa begitu? Ya tentu saja saat menikah dengan Radit ia sudah sering merasakan sakit baik fisik maupun hatinya. Karena itulah ia terlatih untuk tidak takut. Namun siapakah orang kurang kerjaan yang mengirimkan pesan pada Laras? Apakah Radit? "Kayaknya nggak mungkin deh kalau Radit, dia kan lagi di dalem penjara," gumam Laras membantah pikirannya tersebut. Tapi jika bukan Radit lalu siapa orangnya? "Ah udah ah nggak usah aku pikirin, nanti aku bilang aja sama Mas Aryo," kata Laras. "Ups!" ia reflek menutup mulutnya karena malu telah menyebut Aryo dengan sebutan Mas. Sebutan yang belum pernah ia ucapkan pada pria itu. Laras tersenyum sendiri dan mendadak ia salah tingkah. Apakah ia sudah mulai jatuh cinta pada pria yang mengajaknya menikah secara tiba-tiba itu? Yang jelas Aryo pria yang baik yang pernah Laras temui, namun secara pribadi ia belum terlalu mengenalnya. Bagaimana jika sikap pria itu
Aryo yang mendengar teriakan istrinya dari dalam kamar mandi langsung membuka pintu kamar mandi. Untunglah pintunya tidak dikunci dari dalam. Di dalam sana terlihat Laras yang hanya memakai handuk mandi sedang berjongkok ketakutan dan tubuhnya gemetar takut. "Sayang kamu kenapa? Kamu baik-baik aja kan?" tanya Aryo ingin memastikan keadaan sang istri. Laras lantas berdiri lalu ia memeluk Aryo, Aryo tampak semakin khawatir ketika Laras menangis di pelukannya. "Aku takut banget, Mas. Tadi aku ngeliat ada kecoa di situ," rengek Laras sambil mengeratkan pelukannya. Ia memang takut pada hewan yang satu itu. "Kecoa? Di mana, Sayang?" tanya Aryo. Ia sebenarnya juga bingung karena yang ia tahu tidak pernah ada kecoa di dalam rumahnya apalagi di kamar mandinya itu. Jelas saja, secara logika mana ada sih rumah megah bak istana tapi ada hewan seperti itu. "Itu tadi di sana, Mas. Aku tadi liat aku nggak bohong, aku takut banget sama hewan itu." "Ya udah kalau gitu kamu aku anterin ke kamar
Linda menoleh ke arah Aryo, Laras juga kaget mendengar teriakan sang suami sedangkan Rita hanya biasa saja. "Kurang ajar ya kamu Aryo! Beraninya kamu bentak saya!" Linda melotot ke arah Aryo. "Tuh liat Rita, begitu ya hasil didikan kamu? Nggak punya sopan santun seperti itu." "Aduh udah deh, Kak Linda. Kakak tuh pagi-pagi malah udah bikin keributan aja," balas Rita sekenanya. Linda menoleh ke arah Rita lalu ia mendelik tajam membuat lawannya itu segan. "Ya udah deh, Kak. Iya saya yang salah deh saya minta maaf," ucap Rita setengah hati berkata seperti itu. Aryo menghela napas, ia pun segera pergi dari ruang makan. Laras terkejut tapi ia mengikutinya di belakangnya. "Mas Aryo kenapa malah pergi sih?" tegur Laras pelan. Mereka berdua pun berjalan kembali ke kamar mereka. "Aku males di sana." Laras merasa bingung dengan semua masalah yang terjadi di rumah ini, apa lagi ia masih baru tinggal di sana. Tapi yang dapat ia cerna memang para anggota keluarganya terlihat tidak saling
Aryo menyeruput kopinya sambil melihat pemandangan dari balkon hotel. Pagi ini cuacanya sangat cerah, cocok untuk jalan-jalan nanti. Tanpa terasa ia dan Laras istrinya sudah tiga hari berada di Paris. Mereka sudah jalan-jalan menyusuri kota nan indah itu. Mereka juga merekamnya dan memotret kegiatan mereka untuk diabadikan. Ia pun juga merasa lega karena sudah berhasil mewujudkan impian Laras yang katanya sejak dulu ingin sekali pergi ke Paris. Ngomong-ngomong di mana Laras? Tak terlihat di manapun. Aryo menoleh ke arah Laras, rupanya istri tercintanya itu masih tidur pulas di kasur. Ia tersenyum ketika mengingat kegiatan mereka semalam yang sangat bersemangat sampai Laras lelah seperti itu. Laras menggeliat lalu ia pun membuka matanya perlahan. Ia menoleh ke sampingnya dan panik karena tak melihat keberadaan suaminya di sampingnya. Lantas ia mengambil ponselnya yang ada di atas meja, dan ia memeriksa jam. "Udah jam sepuluh pagi nih, Mas Aryo ke mana ya?" gumam Laras sambil menguc
[ Sayang? Kok kamu diem aja sih? Sayang? Hello? ] Aryo yang tak ingin Laras mendengarnya sedang ditelepon seseorang lantas ia pun pergi keluar kamar. [ Sayang? Kamu masih di situ kan? Jangan diem aja dong! ] [ Ngapain kamu telepon saya terus? Kita kan udah putus. ] balas Aryo tegas. Terdengar suara tawa wanita itu di seberang sana. [ Putus kamu bilang? Sayang, kita tuh nggak putus. Aku ini masih pacar kamu! ] [ Safira dengerin saya baik-baik jangan hubungi saya lagi! ] Dengan itu Aryo mematikan sambungan telepon, ia menghela napas kasar. "Aku harus secepatnya kembali ke kamar, takutnya Laras nyariin." Aryo kembali ke kamarnya dengan sang istri, ia terkejut melihat Laras ternyata tak ada di tempat tidur. Ke mana istrinya itu pergi? "Sayang? Kamu di mana?" panggil Aryo sambil mencari Laras di kamar mandi dan tak ada orangnya. "Sayang?" "Justru aku yang harusnya nanya sama kamu, Mas. Kamu tadi ke mana kok aku tadi nyariin kamu tapi kamunya nggak ada." Aryo berbalik dan ia le
Aryo yang membaca pesan tersebut sama sekali tidak terpengaruh. Raut wajahnya juga datar saja. Karena merasa haus ia pun pergi ke dapur untuk mengambil minum. Ia membuka kulkas lalu mengambil air dingin dan langsung ia teguk dari botolnya. "Makin nggak waras aja si Safira itu, bisa-bisanya dia ngaku kalau lagi hamil anakku." Aryo mendengus. Bagaimana bisa wanita yang merupakan mantan kekasihnya itu mengaku hamil anaknya sedangkan mereka berdua saja tak pernah lagi bertemu. Mendadak Laras terbangun dari tidurnya yang nyenyak itu. Ia menoleh dan kaget karena suaminya tak ada di sampingnya. "Mas Aryo ke mana ya?" tanya Laras pada dirinya sendiri setelah ia menguap. "Aku cari aja deh." DUAR! GLUGUR GLUGUR GLUGUR! Terdengar suara petir yang sangat kencang membuat Laras kaget dan refleks ia menutup wajahnya dengan bantal. Ya, ia memang sangat takut pada yang namanya petir. Ia pun menangis tersedu-sedu saking takutnya ia. "Mas Aryo aku takut," jerit Laras di antara tangisnya. Aryo
"Kinan, umumkan pernikahan kamu dan sekarang juga! Undang semua temen-temen kamu dan Kita akan menggelar pesta pernikahan yang sangat mewah!" perintah Sekar sambil menatap Linda dengan tatapan yang sinis. Kinan dan Linda terkejut mendengar Sekar mengatakan hal itu. "Apa, Ma? Nikah? Ma, please aku sama Mas Saka tuh baru kenal itu pun baru itungan hari. Aku nggak mau buru-buru nikah, Ma..." "Kinan kamu itu selalu mendengarkan perintah Mama ini kan?" potong Sekar yang membuat Kinan mengangguk cepat. "Iya, Ma," lirih Kinan. Sekar tersenyum puas. "Kalau begitu kamu nggak ada alesan lagu untuk menolak perintah Mama kamu ini. Secepatnya kamu harus menikah sama Saka!" "Oke, Ma." Linda menatap ibu dan anak itu tak percaya. Apa pula dua orang ini? batinnya. "Pernikahan kamu dan Saka akan digelar besar-besaran di hotel paling mewah di negara ini," kata Sekar dengan sombongnya. Ia mengatakan kesombongannya itu persis di hadapan Linda. Linda tertawa mengejek. "Nikah di hotel mewah? Meman
"Hai! Perkenalken saya adalah calon suaminya Neng Kinan yang cantik mempesona," ucap Saka yang membuat kaget semua orang. Ya, keluarga Malik saat ini sedang berkumpul di ruang tamu menyambut kepulangan Laras dan Aryo dari berbulan madu. "Duh kamu tuh siapa sih kok tiba-tiba main kagetin orang aja kalau ada yang jantungan gimana!" hardik Linda yang merasa kesal pada Saka. Saka tak merasa sedikitpun takut pada Linda. Ia malah cengengesan. "Hehehe ampun deh Tante, saya kan enggak ada niatan tuk membuat kalian semua terkaget-kaget terbengong bengong melihat saya yang kece ini." Ia bahkan dengan penuh rasa percaya diri membuat pose dua peace. Tingkah tengil Saka tentu saja membuat Linda dan Rita geram. "Kamu tuh mendingan pergi dari rumah kami sekarang juga! Siapa juga yang ngundang kamu ke sini!" seru Rita. "Iya, dasar tidak jelas!" lanjut Linda. "Dia itu kok lucu ya, Mas," ucap Laras lalu ia terkikik pelan. Aryo diam saja karena ia merasa cemburu mendengar Laras
"Mas Aryo!" seru Laras yang membuat Aryo dan Safira panik. Dengan kasar Aryo melepaskan diri dari pelukan Safira. Safira cemberut kesal. Laras pun segera mendekati suaminya itu dengan langkah cepat. "Sayang kamu jangan salah paham ya..." "Siapa perempuan itu, Mas? Kenapa dia bisa meluk kamu seenaknya kayak gitu?" tanya Laras dingin. "Dia itu bukan siapa-siapa aku, kami nggak ada hubungan apapun. Kamu harus percaya sama aku," kata Aryo menjelaskan sambil mencoba untuk memegang tangan Laras namun istrinya itu menjauh darinya. Aryo menghela napas berat. "Terus kenapa kamu mau mau aja dipeluk peluk sama dia, Mas?" "Kalau gitu aku minta maaf, ok? Aku nggak tau kalau dia tiba-tiba dateng terus meluk aku." "Emangnya kenapa kalau aku datengin Aryo dan meluk dia? Masalah?" tanya Safira dengan gaya menantang. Laras menjadi geram mendengar hal itu. Wanita asing itu bertanya apa masalahnya? Jelas-jelas itu sebuah kesalahan besar karena ia sudah menggoda suaminya! Laras mendengus. "Kamu
[ Sayang? Kok kamu diem aja sih? Sayang? Hello? ] Aryo yang tak ingin Laras mendengarnya sedang ditelepon seseorang lantas ia pun pergi keluar kamar. [ Sayang? Kamu masih di situ kan? Jangan diem aja dong! ] [ Ngapain kamu telepon saya terus? Kita kan udah putus. ] balas Aryo tegas. Terdengar suara tawa wanita itu di seberang sana. [ Putus kamu bilang? Sayang, kita tuh nggak putus. Aku ini masih pacar kamu! ] [ Safira dengerin saya baik-baik jangan hubungi saya lagi! ] Dengan itu Aryo mematikan sambungan telepon, ia menghela napas kasar. "Aku harus secepatnya kembali ke kamar, takutnya Laras nyariin." Aryo kembali ke kamarnya dengan sang istri, ia terkejut melihat Laras ternyata tak ada di tempat tidur. Ke mana istrinya itu pergi? "Sayang? Kamu di mana?" panggil Aryo sambil mencari Laras di kamar mandi dan tak ada orangnya. "Sayang?" "Justru aku yang harusnya nanya sama kamu, Mas. Kamu tadi ke mana kok aku tadi nyariin kamu tapi kamunya nggak ada." Aryo berbalik dan ia le
Aryo menyeruput kopinya sambil melihat pemandangan dari balkon hotel. Pagi ini cuacanya sangat cerah, cocok untuk jalan-jalan nanti. Tanpa terasa ia dan Laras istrinya sudah tiga hari berada di Paris. Mereka sudah jalan-jalan menyusuri kota nan indah itu. Mereka juga merekamnya dan memotret kegiatan mereka untuk diabadikan. Ia pun juga merasa lega karena sudah berhasil mewujudkan impian Laras yang katanya sejak dulu ingin sekali pergi ke Paris. Ngomong-ngomong di mana Laras? Tak terlihat di manapun. Aryo menoleh ke arah Laras, rupanya istri tercintanya itu masih tidur pulas di kasur. Ia tersenyum ketika mengingat kegiatan mereka semalam yang sangat bersemangat sampai Laras lelah seperti itu. Laras menggeliat lalu ia pun membuka matanya perlahan. Ia menoleh ke sampingnya dan panik karena tak melihat keberadaan suaminya di sampingnya. Lantas ia mengambil ponselnya yang ada di atas meja, dan ia memeriksa jam. "Udah jam sepuluh pagi nih, Mas Aryo ke mana ya?" gumam Laras sambil menguc
Linda menoleh ke arah Aryo, Laras juga kaget mendengar teriakan sang suami sedangkan Rita hanya biasa saja. "Kurang ajar ya kamu Aryo! Beraninya kamu bentak saya!" Linda melotot ke arah Aryo. "Tuh liat Rita, begitu ya hasil didikan kamu? Nggak punya sopan santun seperti itu." "Aduh udah deh, Kak Linda. Kakak tuh pagi-pagi malah udah bikin keributan aja," balas Rita sekenanya. Linda menoleh ke arah Rita lalu ia mendelik tajam membuat lawannya itu segan. "Ya udah deh, Kak. Iya saya yang salah deh saya minta maaf," ucap Rita setengah hati berkata seperti itu. Aryo menghela napas, ia pun segera pergi dari ruang makan. Laras terkejut tapi ia mengikutinya di belakangnya. "Mas Aryo kenapa malah pergi sih?" tegur Laras pelan. Mereka berdua pun berjalan kembali ke kamar mereka. "Aku males di sana." Laras merasa bingung dengan semua masalah yang terjadi di rumah ini, apa lagi ia masih baru tinggal di sana. Tapi yang dapat ia cerna memang para anggota keluarganya terlihat tidak saling
Aryo yang mendengar teriakan istrinya dari dalam kamar mandi langsung membuka pintu kamar mandi. Untunglah pintunya tidak dikunci dari dalam. Di dalam sana terlihat Laras yang hanya memakai handuk mandi sedang berjongkok ketakutan dan tubuhnya gemetar takut. "Sayang kamu kenapa? Kamu baik-baik aja kan?" tanya Aryo ingin memastikan keadaan sang istri. Laras lantas berdiri lalu ia memeluk Aryo, Aryo tampak semakin khawatir ketika Laras menangis di pelukannya. "Aku takut banget, Mas. Tadi aku ngeliat ada kecoa di situ," rengek Laras sambil mengeratkan pelukannya. Ia memang takut pada hewan yang satu itu. "Kecoa? Di mana, Sayang?" tanya Aryo. Ia sebenarnya juga bingung karena yang ia tahu tidak pernah ada kecoa di dalam rumahnya apalagi di kamar mandinya itu. Jelas saja, secara logika mana ada sih rumah megah bak istana tapi ada hewan seperti itu. "Itu tadi di sana, Mas. Aku tadi liat aku nggak bohong, aku takut banget sama hewan itu." "Ya udah kalau gitu kamu aku anterin ke kamar
Apakah ancaman tersebut membuat Laras takut? Tentu saja tidak karena ia sudah kebal. Mengapa begitu? Ya tentu saja saat menikah dengan Radit ia sudah sering merasakan sakit baik fisik maupun hatinya. Karena itulah ia terlatih untuk tidak takut. Namun siapakah orang kurang kerjaan yang mengirimkan pesan pada Laras? Apakah Radit? "Kayaknya nggak mungkin deh kalau Radit, dia kan lagi di dalem penjara," gumam Laras membantah pikirannya tersebut. Tapi jika bukan Radit lalu siapa orangnya? "Ah udah ah nggak usah aku pikirin, nanti aku bilang aja sama Mas Aryo," kata Laras. "Ups!" ia reflek menutup mulutnya karena malu telah menyebut Aryo dengan sebutan Mas. Sebutan yang belum pernah ia ucapkan pada pria itu. Laras tersenyum sendiri dan mendadak ia salah tingkah. Apakah ia sudah mulai jatuh cinta pada pria yang mengajaknya menikah secara tiba-tiba itu? Yang jelas Aryo pria yang baik yang pernah Laras temui, namun secara pribadi ia belum terlalu mengenalnya. Bagaimana jika sikap pria itu