Hidup jauh dari kemewahan, bisa makan saja rasanya sudah syukur. Fariz dan Abi sama-sama yatim piatu, namun nasib mereka berbeda, jika Fariz mendapat warisan harta yang berlimpah, tapi tidak dengan Abi, ditinggalkan oleh orang tuanya dengan setumpuk hutang. Keduanya menjalin persahabatan sejak lama, Fariz sangat mengetahui seluk beluk keluarga Abi, namun tidak bagi Abi. Dan sayangnya lelaki tampan itu malah jatuh hati pada adik Fariz yang memiliki kecantikan paripurna.
“Nesya..” panggil Abi saat mulut cerewet itu berhenti berceloteh, lelaki itu menghela nafas saat tahu jika adiknya tertidur.
Melanjutkan perjalanan yang masih lumayan jauh, namun tak jadi masalah bagi dirinya yang hampir setiap hari berjalan kaki. Kembali memikirkan kejadian barusan, di mana dia terlambat menyelamatkan nyawa gadis yang kini sudah dianggap seperti adiknya sendiri. Jauh di lubuk hati yang paling dalam, Abi merasa kaget sekaligus membenci dirinya sendiri. Pikirannya mulai melanglang buana, teringat akan ucapan terakhir sahabatnya, Fariz. Perasaan khawatir mulai menghinggapinya, takut jika Fariz berbuat nekat yang melibatkan Nesya.
Hingga hari menjelang malam, Abi masih termenung, sampai tak sadar jika Nesya memanggilnya sedari tadi.
“KAKAK!!” teriak Nesya membuat Abi terperanjat seraya memegang dadanya.
“Nesya..” Abi menatap tajam adiknya yang sedang cengengesan.
“Habisnya kakak dipanggil nggak nyahut, Nesya laper tapi nggak ada bahan yang bisa dimasak,” ucapnya hati-hati, meski hatinya kasihan, tapi perutnya tidak bisa berbohong.
“Sebentar,” Abi tersenyum kemudian pergi ke dapur, memang benar tidak ada apa-apa. Hanya mendapati beras sekiranya satu gelas.
“Buat apa?” Nesya menghampiri kakaknya yang tengah berkutat dengan alat dapur.
“Buat bubur sama mie instan. Hari ini kamu makan ini aja, besok baru kakak beli bahan dapur lagi, kalau sekarang udah malam,” jawabnya sambil menghidangkan makanan pada Nesya.
Hati Nesya trenyuh, matanya berkaca-kaca saat mendengar Abi meminta maaf karena hanya bisa memberi makan itu saja, terlebih dia memasak khusus untuk Nesya. Gadis itu sangat beruntung memiliki kakak yang bisa berperan menjadi siapa saja. Menjadi yatim piatu sejak menginjak usia sepuluh tahun, di mana orang tuanya meninggal dalam kecelakaan. Dan pada saat itulah seorang Abi yang masih remaja harus menggantikan peran ayah dan ibunya, menjadi tulang punggung demi bertahan hidup dan menjamin Nesya bisa mengenyam pendidikan.
“Ayo dimakan, jangan dilihatin terus,” tangannya menunjuk sebuah mangkuk yang berisi mie instan buatannya.
“Nesya makan kalau kakak juga ikut makan,” ujarnya membuat Abi tersenyum, adik kesayangannya itu telah tumbuh menjadi gadis cantik dan baik hati, namun karena perlakuannya yang sering terkesan berlebihan itu rupanya membuat Nesya tumbuh menjadi gadis yang manja.
“Iya, kakak juga makan,” mengamini permintaan adiknya, Abi ikut menikmati mie yang kebanyakan kuah itu, meski sejujurnya dia juga lapar, namun baginya Nesya yang utama.
Mereka menikmati makan malamnya sambil bersenda gurau, tampak Nesya tertawa saat Abi membuat lelucon, sejenak mereka lupa dengan peristiwa berdarah yang terjadi beberapa jam yang lalu. Namun ada seseorang yang sejak tadi memperhatikan mereka, baik Abi maupun Nesya sama-sama tidak ada yang sadar jika aktivitas mereka tengah diawasi oleh seseorang. Sosok misterius dengan pakaian serba hitam itu tersenyum menyeringai di balik topeng yang ia kenakan.
“Berbahagialah untuk terakhir kalinya, karena nanti kalian hanya akan merasakan penderitaan.” Sosok itu kemudian beranjak saat melihat Abi dan Nesya memasuki kamar mereka masing-masing. Ia mulai melancarkan aksinya sesuai dengan rencana yang telah ia susun dengan rapi.
Tak terasa bahwa malam telah berganti menjadi pagi yang cerah, terdengar suara ketukan berulang kali di pintu kamar Nesya. Hari sudah menjelang siang, tidak seperti biasanya Nesya belum keluar dari kamarnya. Merasa tidak ada tanda-tanda keberadaan adiknya, Abi pun mendobrak pintu kamar Nesya. Matanya menatap seluruh ruangan, tubuhnya menegang saat tak mendapati Nesya di kamar itu, menyusuri setiap ruangan di rumahnya. Akan tetapi nihil, Nesya memang tidak ada disana, hanya secarik kertas yang berisi tulisan menjawab kecemasannya.“Bedebah!” tangannya merobek surat itu, tubuhnya ambruk, dia tahu jika pelakunya tak lain adalah Fariz, dugaannya benar jika Nesya yang akan menjadi sasaran Fariz untuk melampiaskan dendamnya. Abi merasa bingung, entah kemana dia harus mencari Nesya.“Bagaimana keadaan kamu Nesya?” laki-laki itu bangkit kemudian bergegas menuju rumah Fariz.“Cari siapa mas?” tanya seorang wanita setengah baya, Abi tah
Tersenyum puas melihat Nesya sudah lemas tak berdaya, apalagi Nesya sampai saat ini belum menyentuh makanan ataupun minuman. Tangan kekarnya merobek pakaian Nesya yang sudah basah, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang menggoda, gadis itu hanya bisa menangis tanpa suara, apalagi saat tubuhnya benar-benar sudah polos tanpa sehelai benang pun.“Tubuhmu lumayan bagus, bagaimana kalau aku mencobanya?” suara Fariz mendayu-dayu di telinga Nesya, tangisnya semakin menjadi saat Fariz mencium bibirnya, tangannya pun tak tinggal diam, harga diri Nesya terasa diinjak-injak. Awalnya menjadi seperti ratu, kini dia diperlakukan layaknya lebih rendah dari kupu-kupu malam.Fariz menyudahi aktivitasnya, ia mendorong Nesya hingga terantuk di dinding. Ia melempar sebuah handuk kemudian meninggalkan Nesya yang masih menangis.“Kak Abi..” Nesya menangis tersedu-sedu seraya meremas handuknya, tubuhnya merosot hingga ke lantai, bagaimana bisa dia akan menjalani ha
“Kamu di mana Nesya?” mengusap wajahnya kasar, sudah seminggu berlalu, tiada hari tanpa mencari adiknya yang hilang entah ke mana. Belum lagi harus terlibat perkara rumah yang akan digusur karena itu bukan tanah miliknya.Abi benar-benar frustasi, bahkan akhir-akhir ini kondisinya melemah, makan tidak teratur serta keseringan begadang. Kepergian Nesya dan Fariz benar-benar tidak berjejak, sepertinya Fariz telah menyiapkan rencana dengan sangat baik. Laki-laki itu menghela nafas, melihat sekelompok orang yang menghampirinya, Abi tahu jika itu adalah anak buah dari pemilik tanah yang ia tempati saat ini, rencananya sang pemilik akan membangun penginapan karena letaknya sangat strategis.Pasrah saat mereka meminta Abi untuk mengemasi barang-barangnya, sekuat apapun dia menolak, tetap saja dia tidak bisa menang, apalagi ini adalah bukan miliknya. Rasanya berat meninggalkan rumah yang tersimpan banyak kenangan itu, Abi harap-harap cemas. Bagaimana seandain
Duduk seraya menikmati pertunjukan renang gaya batu, Fariz tahu jika Nesya tidak bisa berenang, padahal dulu beberapa kali Fariz pernah mengajarinya. Selang beberapa menit kemudian, ia melepas kausnya kemudian menceburkan diri ke kolam. Mengangkat Nesya yang sudah pingsan, lelaki itu menggerutu.“Menyusahkan saja!” membaringkan Nesya di tepi kolam, Fariz menekan dada Nesya, merasa tak ada pergerakan dari gadis itu, Fariz memberikan nafas buatan kepadanya.Nesya terbatuk, bersamaan dengan air yang keluar dari mulutnya. Sontak dia memeluk tubuh kekar itu, menangis sejadi-jadinya dengan tubuh yang menggigil. Nesya benar-benar takut, jiwanya terasa tertekan. Fariz mendorong tubuh yang basah kuyup itu, ditariknya tangan Nesya agar dia berdiri, kini Fariz benar-benar tak punya hati.“Hentikan kak..” pinta Nesya saat Fariz kembali mengguyurnya dengan air dingin di kamar mandi.“Berapa kali aku bilang hah? Apa telingamu sudah tidak b
Nesya membuka matanya yang terasa sembab, semalaman dia menangis karena menahan perih bercampur gatal yang menjalar di kulitnya. Mengepalkan tangannya, dadanya bergemuruh, kini Nesya sangat membenci Fariz, laki-laki yang telah merenggut kebahagiaannya serta memisahkan dirinya dari sang kakak. Ia malas untuk beranjak dari tempat tidur, tak peduli jika nanti Fariz akan marah karena dia tidak melakukan tugas dan kewajibannya. Hingga akhirnya pintu kamarnya didobrak, terpampanglah manusia berhati iblis yang menatapnya tajam, “beraninya kamu bermalas-malasan! Aku membawamu kemari bukan untuk bersantai, apa kamu berpikir bisa tinggal di rumah mewah ini dengan cuma-cuma?” ujarnya seraya menarik pergelangan tangan Nesya. “Lepas!” Nesya menggigit tangan Fariz membuat dia semakin murka. “Wah.. wah, rupanya adik kesayangan pembunuh telah mengeluarkan taringnya, hebat!” Fariz tersenyum miring seraya menatap tangannya yang terdapat bekas gigitan Nesya. “Kakak buka
Dengan telaten, Fariz memandikan Nesya yang masih belum sadar, sesekali dia memberi pijatan lembut di tubuh Nesya. Setelah terasa cukup, Fariz kembali membopong gadis itu kemudian memakaikan pakaian pada Nesya juga dirinya sendiri. Menidurkan Nesya di tempat tidur kemudian menyelimutinya, meskipun telah dibutakan oleh dendam, tetapi jauh di lubuk hati yang paling dalam, ada perasaan tidak tega pada gadis itu. Laki-laki itu meninggalkan Nesya, Ia menuju ke dapur untuk membuatkan sesuatu untuk Nesya, lagi-lagi sisi iblisnya keluar, tersenyum sambil mengolah bahan-bahan hingga matang. Fariz kembali ke kamar Nesya, dilihatnya mata gadis itu masih terpejam. Ia duduk di sebelah Nesya, menyandarkan tubuhnya di senderan ranjang. Ia membuka aplikasi berlogo hijau kemudian mencari kontak sang kakak dari gadis yang telah dia renggut kesuciannya, Fariz melakukan panggilan video menggunakan nomor ponsel yang sudah diganti sebelumnya. “Fariz..!!” terdengar lelaki di sebera
Bak sehabis menang undian, Nesya sangat terharu bahkan sampai meneteskan air mata, dilihatnya sosok yang selama ini dia rindukan, wajahnya yang tampan menyiratkan betapa letihnya Abi. Masih dengan posisi yang sama, dimana Fariz juga ikut menyaksikan pertemuan adik dan kakak itu meski hanya via telepon. “Nesya baik-baik aja kak,” jawab Nesya meski hatinya terasa disayat-sayat, apalagi saat tangan Fariz mencubit pahanya agar Nesya tidak membocorkan semuanya. “Tidak, kamu nggak baik-baik saja! Katakan kamu dimana Nesya, kakak akan membantumu agar terlepas dari manusia itu!” tangan Abi menunjuk Fariz. Fariz berdecih, dengan tak tahu malunya dia menghisap leher Nesya, tangannya pun meraba-raba dada Nesya dan meremasnya. Abi melebarkan manik matanya, ia menatap Nesya yang memberontak sambil menangis. “Bangs*t! Hentikan tindakan konyolmu itu Fariz!!” melihat Nesya yang menghadap Fariz karena kaus bagian depannya terangkat, sementara kedua tangannya digenggam
Dengan balutan kebaya putih yang terlihat pas di tubuhnya, apalagi warna kulitnya bisa menyatu dengan warna kebayanya membuat Nesya terlihat semakin cantik, akan tetapi tidak ada yang tahu jika di dalam hati gadis itu tersiksa. Sebuah pernikahan sederhana karena Fariz tidak ingin pernikahannya diketahui orang lain, tidak ada yang namanya resepsi, acaranya pun diselenggarakan secara tertutup.Dan mulai hari ini, Nesya telah sah menjadi istri dari Alfarizki, saat acaranya selesai, gadis itu berlari menuju kamarnya, menumpahkan kesedihannya, ia berteriak sejadi-jadinya seraya menangis. Seketika hidupnya terasa hancur, apalagi sekarang harus setiap hari bersama siluman iblis yang berwujud suaminya.“Bagus! Lempar semuanya, nanti sekalian dirimu yang akan aku lempar!” Fariz bersedekap, dilihatnya Nesya yang mengacak-ngacak kamarnya, belum lagi beberapa barang yang telah berserakan di lantai.“Diam kau!” mata Nesya memandang Fariz dengan tajam.
“Kau salah paham Kak, bukan Kak Abi yang membunuhku, dia ingin menyelamatkan Amel, namun sudah terlambat.” Lirih seorang gadis berambut panjang dengan pakaian serba putih.“Aku melihatnya, ya aku melihat Kak Abi menghampiriku, dia memangku kepalaku sebelum semua menjadi gelap.” Bibirnya yang pucat tersenyum, seolah menyesal karena dulu pernah menyia-nyiakan lelaki baik seperti Abi.“Tapi kakak? Kakak malah menyiksa Nesya! Bukankah dulu kau berjanji akan menjaganya seperti kau menjagaku? Tapi kenapa kau melakukan itu? Membuatnya hancur dan kini dia sedang mengandung anakmu! Baj*ngan!” kini mimik wajah yang awalnya sendu menjadi menyeramkan.“Aku benci Kakak! Kau iblis! Kau bukanlah Fariz kakakku!”“AMEL..!!” Fariz melebarkan netranya, masih mengatur nafasnya yang terengah-engah, dengan segera dia menyambar segelas air mineral yang terletak di nakas.“Mimpi itu lagi, kenapa hampir tiap
“BABIan!!” teriak mereka serempak seraya melambaikan tangannya kecuali satu pemuda yang tampak tidak peduli dengan kedatangan Nesya dan Fabian.“Damn! Mereka benar-benar,” Fabian memijit keningnya, entah kenapa dia bisa memiliki sepupu gila seperti itu.Nesya terkekeh geli mendengar teriakan dua sepupu sahabatnya itu.“Dasar tidak waras, namaku Fabian bukan Babian!” lelaki itu memukul kepala pemuda yang bernama Rey dan menjewer telinga adiknya yang bernama Baby.“Awwh lepas! Bang Ray!! Tolongin Baby,” gadis itu meronta, meminta agar Fabian berhenti menarik telinganya yang sudah memerah akibat ulahnya.“Itu akibatnya karena sudah tidak sopan denganku!” Fabian menjitak kening Baby membuat gadis itu meringis.“Dia siapa?” Ray yang sedari tadi diam menghampiri mereka.“Dia sahabatku. Nesya, kamu masuk sama Baby, aku ingin berbicara dengan dua manusia aneh ini!&r
Seorang gadis tampak sedang mencicipi rujak ala-ala dari seorang Radit, sementara lelaki itu tampak harap-harap cemas, semoga saja tak ada komentar yang nanti menyusahkan dirinya.“Kenapa rasanya seperti ini?” Nesya memuntahkan rujak itu, matanya mendelik tajam menatap sahabat sekaligus tangan kanan suaminya.“Memangnya seperti apa?” jawab Radit ketus, dia seolah sedang menjalani simulasi menjadi suami siaga dan pengertian, namun nyatanya ia tak kuat.Namun gadis itu hanya diam dengan tangan bersedekap, bibirnya bergetar, mungkin sebentar lagi dia akan menangis.“Jangan menangis, kau mau apa?” Radit mencoba menahan emosinya, dia menatap pipi gadis itu yang sudah basah.“Tidak ada, aku hanya ingin sendiri.”“Baiklah, aku akan pergi, karena suamimu saat ini sedang sakit,” ujar Fariz seraya melangkahkan kakinya ke luar rumah.Nesya terkejut, namun beberapa saat kemudian dia ters
“Bagaimana?” Seorang lelaki tampan menatap bawahannya yang menunduk, sudah dipastikan bahwa tidak ada kabar baik yang akan keluar dari bibir yang masih setia mengatup itu.“Maaf, Nona belum ditemukan,” jawab Radit ragu, dia merasa iba melihat Tuannya yang kini kurus, lingkaran hitam di bawah mata menandakan bahwa Fariz selama ini tidak bisa beristirahat dengan tenang.“Lalu bagaimana dengan anakku? Gadis itu kini mengandung darah dagingku, bagaimana jika perkembangannya buruk karena tidak mendapat nutrisi yang baik?” Sentak Fariz, sejak mengetahui bahwa Nesya mengandung, entah kenapa rasa dendamnya perlahan sirna, mungkinkah kehadiran malaikat kecil itu mampu memperbaiki hubungan yang nyaris berantakan itu?Radit mengepalkan tangannya, ingin sekali dia berteriak bahwa tidak perlu khawatir tentang pola makan Nesya, bahkan gadis itu dirawat dengan baik oleh lelaki itu. Namun dia juga tidak tega pada Nesya, melihat gadis itu baha
Sang surya mulai menampakkan sinarnya, namun seorang calon ibu muda masih betah bergelung di bawah selimut mengabaikan seorang laki-laki tampan yang sedari tadi menggerutu. “Jika saja dia tidak sedang hamil, mungkin aku sudah menendangnya dari sini!”“Hei, jangan mengumpatku atau nanti aku putuskan lehermu!” gumam Nesya dengan suara serak, tanpa merasa bersalah sedikit pun karena semalaman menyusahkan Radit.Lelaki itu berdesis, jika bukan karena Nesya yang merengek minta ditemani dengan alasan takut sendiri, Radit pasti sudah kembali ke apartemennya dan bisa beristirahat dengan tenang tanpa ada gangguan. Kini laki-laki itu harus menahan sakit dan pegal di sekujur tubuhnya karena harus tidur dengan posisi duduk ataupun di lantai.“Nesya, bangunlah. Sudah pagi, itu susu dan sarapanmu, aku pergi dulu,” ujarnya saat hendak keluar dari kamar Nesya.“Tunggu!” Nesya langsung menyingkap selimut dan melihat Radit ya
“Apa kakak akan pergi?” Nesya bertanya pada Radit yang sudah hendak keluar dari rumah itu.“Iya, aku akan mengatakan pada Tuan kalau aku tidak bis menemukanmu.” Radit tersenyum kecut, dia sudah membayangkan dirinya akan menjadi samsak hidup saat sudah berhadapan dengan Fariz.“Kenapa wajahmu seperti itu? Apa kamu tidak rela membantuku?” Nesya melotot tajam seraya berkacak pinggang, Radit pun semakin kesal, apa mungkin karena hidup berdampingan dengan Fariz membuat Nesya menyebalkan seperti ini.“Tapi...” raut wajah Nesya mendadak sedih, dengan bibir yang ditekuk, gadis itu ragu untuk mengutarakan maksudnya.“Apa?” lelaki tampan itu mengangkat sebelah alisnya, meski jujur dia sudah lelah menghadapi Nesya yang sedari tadi menyusahkannya.“Bisakah kakak tinggal di sini?? Aku takut jika berada di rumah sendirian, dan kenapa kakak membuat rumah seperti di hutan begini?” Nesya menata
Jika Nesya kini sedang berdebat perihal roti dengan anak buahnya, berbeda dengan Fariz yang dilanda kebingungan memilih istri atau perempuan yang dicintainya, di satu sisi dia ingat bahwa dia sudah menikah dan sebentar lagi akan menjadi seorang ayah, tapi di sisi lain, ada perempuan yang kini datang menagih janjinya.“Bukankah dulu kamu berjanji jika suatu saat nanti aku sudah sukses, maka kita akan menikah. Apa kamu masih mencintaiku seperti dulu?”Kalimat itu terngiang-ngiang di kepala Fariz, bohong jika Fariz sudah melupakan cintanya pada gadis berparas ayu itu, selain berpendidikan tinggi, gadis yang bernama Clara itu juga kini sudah berhasil menggapai cita-citanya untuk menjadi seorang model. Tapi janji tetaplah janji, Fariz mengira jika Clara sudah melupakan janji itu, janji di mana jika Clara sudah sukses, barulah mereka melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius. Memang berat rasanya saat Fariz membiarkan orang terkasihnya untuk mengej
Hanya bisa menghela nafas karena harus mendengar tangisan beserta curhatan hati seorang istri dari bosnya. Namun seketika Radit panik bukan main saat tiba-tiba Nesya tak sadarkan diri, beberapa kali dia menepuk pipi gadis itu, hingga akhirnya pria itu yakin bahwa Nesya benar-benar pingsan dan membawanya ke klinik terdekat.“Apa??” Radit membulatkan matanya tak percaya, sesekali dia melirik Nesya dengan atribut sekolah yang masih melekat di tubuhnya. Pria itu terkejut saat mendengarkan penjelasan dokter yang menangani Nesya.‘Hamil? Apa mereka melakukan atas dasar suka sama suka? Atau ini memang skenario Tuan Fariz?’ Pria yang dikenal sebagai tangan kanan Fariz itu tampak berpikir, ia bahkan tidak sadar bahwa Nesya sudah tidak berada di sana.“Maaf Mas, apa Anda tidak ingin menyusul istri Anda??”“Istri?” Radit mengernyitkan dahinya, bagaimana bisa dia dikatakan mempunyai istri jika menikah saja belum. Namun
“Kenapa ha? Kenapa??” Fabian menatap Nesya dengan tatapan yang susah diartikan, jelas dia kecewa saat mengetahui jika sahabatnya hamil yang ia pikir masih lajang. Harapannya untuk menjadi pasangan Nesya seketika sirna.“A-aku..” Nesya tak mampu melanjutkan ucapannya, gadis itu masih terus menangis. Dia bingung antara harus senang atau sedih.“Ceritakan semuanya, bukankah kita sahabat?” pemuda itu mulai bisa mengendalikan egonya, besar rasa kecewanya namun tak bisa mengalahkan rasa cinta yang sudah tertanam rapi di hatinya pada gadis cantik itu, Fabian merengkuh tubuh mungil yang sedang rapuh tersebut, mendekapnya dalam kenyamanan, membiarkan calon ibu muda itu menumpahkan kesedihannya.Dengan berderai air mata, Nesya menceritakan semuanya, sebuah untaian kalimat yang di dalamnya mengandung makna yang mendalam, menggambarkan betapa tertekannya Nesya selama ini. Isak tangis yang terdengar memilukan, bagaikan ribuan panah yang me