Duduk seraya menikmati pertunjukan renang gaya batu, Fariz tahu jika Nesya tidak bisa berenang, padahal dulu beberapa kali Fariz pernah mengajarinya. Selang beberapa menit kemudian, ia melepas kausnya kemudian menceburkan diri ke kolam. Mengangkat Nesya yang sudah pingsan, lelaki itu menggerutu.
“Menyusahkan saja!” membaringkan Nesya di tepi kolam, Fariz menekan dada Nesya, merasa tak ada pergerakan dari gadis itu, Fariz memberikan nafas buatan kepadanya.
Nesya terbatuk, bersamaan dengan air yang keluar dari mulutnya. Sontak dia memeluk tubuh kekar itu, menangis sejadi-jadinya dengan tubuh yang menggigil. Nesya benar-benar takut, jiwanya terasa tertekan. Fariz mendorong tubuh yang basah kuyup itu, ditariknya tangan Nesya agar dia berdiri, kini Fariz benar-benar tak punya hati.
“Hentikan kak..” pinta Nesya saat Fariz kembali mengguyurnya dengan air dingin di kamar mandi.
“Berapa kali aku bilang hah? Apa telingamu sudah tidak berfungsi? Jangan panggil aku kakak!” tangan kekarnya menarik kuat telinga Nesya.
Nesya terus meronta dengan sisa tenaganya, bibir tipisnya terus memohon ampun, hingga satu kalimat menohok membuat Fariz tersenyum.
“Bunuh aku sekarang kak...” lirih Nesya namun terdengar jelas oleh Fariz.
“Hah! Nggak semudah itu sayang... Aku akan membunuhmu setelah dendamku terbalaskan!” menarik rambut Nesya kemudian membawanya keluar dalam keadaan telanjang.
“Kak.. Aku lapar,” cicit Nesya seraya menundukkan kepalanya, takut jika Fariz akan memukulnya.
“Apa?? Coba katakan sekali lagi! Aku tidak dengar,” mensejajarkan telinganya dengan wajah Nesya, namun Nesya bungkam.
“CEPAT KATAKAN!!” bentak Fariz membuat Nesya tersentak.
“A-aku lapar!” meremas ujung kausnya, Nesya menitikkan air matanya.
“Apa sekarang kamu gagap?” Fariz mengangkat dagu Nesya kemudian tergelak saat mendengar perut Nesya yang terus berbunyi.
“Tunggu sebentar! Aku akan mengambil makanan untukmu,”
Nesya mengerutkan keningnya, namun ia menurut saja. Perutnya sudah sangat-sangat lapar, dia hanya sarapan roti dan sekarang hari sudah menjelang malam.
“Habiskan!”
“T-tapi kak..” Nesya menggeleng samar, melihat hidangan yang ia tidak bisa memakannya, batinnya menjerit, Fariz mengetahui semua tentang Nesya, dan kini dia menjadikan hal itu sebagai senjata untuk menyiksa Nesya.
Fariz mencengkeram rahang Nesya kemudian memasukkan nasi beserta ikan ke mulut gadis itu, menutup mulut Nesya saat ia ingin memuntahkannya.
“Telan atau kamu nggak makan tiga hari!” ancamnya membuat Nesya menurut, menelan makanan itu bersamaan dengan air matanya yang menetes.
Fariz merasa puas dan terus melanjutkan aksinya, dia tidak sabar menunggu reaksi Nesya. Laki-laki itu tahu jika Nesya memiliki alergi terhadap makanan laut, namun kini dia sengaja memberikan menu seperti itu karena ingin menyiksa Nesya.
“Gadis pintar! Sekarang tidurlah, ingat jika besok kita akan menikah,” ikut merebahkan tubuhnya di sebelah Nesya yang sudah mulai gusar, sesekali ia tampak menggaruk bagian tubuhnya yang terasa gatal.
“Gatal..” tangannya tidak bisa diam, jika Fariz yang dulu pasti akan melarang Nesya untuk menggaruknya, namun kini dia malah diam seraya merekam aksi Nesya.
“Kak Abi...” lirihnya, kulitnya terasa panas, bersamaan dengan bintik-bintik merah yang bermunculan di kulit putihnya.
“Kenapa berhenti? Apa perlu aku bantu?” Fariz menyingkap kaus Nesya, dengan semangat ia menggaruk punggung Nesya. Fariz tahu jika dengan menggaruk bagian yang gatal akan membuat itu semakin parah.
Nesya benar-benar tersiksa, ia berteriak sekuat-kuatnya. Tubuhnya mengejang, ia terlihat seperti cacing kepanasan. Rasanya lebih baik dia menahan rasa lapar ketimbang seperti ini, hingga malam semakin larut, Nesya benar-benar tidak tahan, nafasnya naik turun, melirik Fariz yang sudah tertidur pulas di sebelahnya, mata Nesya mulai terpejam namun rasa gatal itu makin menjadi, kepalanya mendadak pusing, hingga akhirnya Nesya tak sadarkan diri. Fariz yang hanya berpura-pura tidur pun melihat Nesya, ada perasaan iba melihat gadis itu seperti ini, namun sesegera mungkin dia tepis dan memilih untuk tidak peduli. Fariz pun beranjak dari kamar Nesya kemudian mengirimkan video hasil rekamannya pada Abi menggunakan nomor yang berbeda.
Nesya membuka matanya yang terasa sembab, semalaman dia menangis karena menahan perih bercampur gatal yang menjalar di kulitnya. Mengepalkan tangannya, dadanya bergemuruh, kini Nesya sangat membenci Fariz, laki-laki yang telah merenggut kebahagiaannya serta memisahkan dirinya dari sang kakak. Ia malas untuk beranjak dari tempat tidur, tak peduli jika nanti Fariz akan marah karena dia tidak melakukan tugas dan kewajibannya. Hingga akhirnya pintu kamarnya didobrak, terpampanglah manusia berhati iblis yang menatapnya tajam, “beraninya kamu bermalas-malasan! Aku membawamu kemari bukan untuk bersantai, apa kamu berpikir bisa tinggal di rumah mewah ini dengan cuma-cuma?” ujarnya seraya menarik pergelangan tangan Nesya. “Lepas!” Nesya menggigit tangan Fariz membuat dia semakin murka. “Wah.. wah, rupanya adik kesayangan pembunuh telah mengeluarkan taringnya, hebat!” Fariz tersenyum miring seraya menatap tangannya yang terdapat bekas gigitan Nesya. “Kakak buka
Dengan telaten, Fariz memandikan Nesya yang masih belum sadar, sesekali dia memberi pijatan lembut di tubuh Nesya. Setelah terasa cukup, Fariz kembali membopong gadis itu kemudian memakaikan pakaian pada Nesya juga dirinya sendiri. Menidurkan Nesya di tempat tidur kemudian menyelimutinya, meskipun telah dibutakan oleh dendam, tetapi jauh di lubuk hati yang paling dalam, ada perasaan tidak tega pada gadis itu. Laki-laki itu meninggalkan Nesya, Ia menuju ke dapur untuk membuatkan sesuatu untuk Nesya, lagi-lagi sisi iblisnya keluar, tersenyum sambil mengolah bahan-bahan hingga matang. Fariz kembali ke kamar Nesya, dilihatnya mata gadis itu masih terpejam. Ia duduk di sebelah Nesya, menyandarkan tubuhnya di senderan ranjang. Ia membuka aplikasi berlogo hijau kemudian mencari kontak sang kakak dari gadis yang telah dia renggut kesuciannya, Fariz melakukan panggilan video menggunakan nomor ponsel yang sudah diganti sebelumnya. “Fariz..!!” terdengar lelaki di sebera
Bak sehabis menang undian, Nesya sangat terharu bahkan sampai meneteskan air mata, dilihatnya sosok yang selama ini dia rindukan, wajahnya yang tampan menyiratkan betapa letihnya Abi. Masih dengan posisi yang sama, dimana Fariz juga ikut menyaksikan pertemuan adik dan kakak itu meski hanya via telepon. “Nesya baik-baik aja kak,” jawab Nesya meski hatinya terasa disayat-sayat, apalagi saat tangan Fariz mencubit pahanya agar Nesya tidak membocorkan semuanya. “Tidak, kamu nggak baik-baik saja! Katakan kamu dimana Nesya, kakak akan membantumu agar terlepas dari manusia itu!” tangan Abi menunjuk Fariz. Fariz berdecih, dengan tak tahu malunya dia menghisap leher Nesya, tangannya pun meraba-raba dada Nesya dan meremasnya. Abi melebarkan manik matanya, ia menatap Nesya yang memberontak sambil menangis. “Bangs*t! Hentikan tindakan konyolmu itu Fariz!!” melihat Nesya yang menghadap Fariz karena kaus bagian depannya terangkat, sementara kedua tangannya digenggam
Dengan balutan kebaya putih yang terlihat pas di tubuhnya, apalagi warna kulitnya bisa menyatu dengan warna kebayanya membuat Nesya terlihat semakin cantik, akan tetapi tidak ada yang tahu jika di dalam hati gadis itu tersiksa. Sebuah pernikahan sederhana karena Fariz tidak ingin pernikahannya diketahui orang lain, tidak ada yang namanya resepsi, acaranya pun diselenggarakan secara tertutup.Dan mulai hari ini, Nesya telah sah menjadi istri dari Alfarizki, saat acaranya selesai, gadis itu berlari menuju kamarnya, menumpahkan kesedihannya, ia berteriak sejadi-jadinya seraya menangis. Seketika hidupnya terasa hancur, apalagi sekarang harus setiap hari bersama siluman iblis yang berwujud suaminya.“Bagus! Lempar semuanya, nanti sekalian dirimu yang akan aku lempar!” Fariz bersedekap, dilihatnya Nesya yang mengacak-ngacak kamarnya, belum lagi beberapa barang yang telah berserakan di lantai.“Diam kau!” mata Nesya memandang Fariz dengan tajam.
Suara bariton mengagetkan Nesya yang masih terlelap, pendar matahari menyilaukan matanya. Gadis itu meringis, merasakan sakit dan pegal di sekujur tubuhnya, mata indahnya melihat tubuhnya yang masih terbungkus selimut, lagi-lagi air matanya luruh. Melihat banyak tanda merah keunguan yang sangat kentara di kulit putihnya. Padahal kemarin ia sempat berpikir jika akan tewas karena ulah Fariz yang terlihat seperti orang kesetanan. Setelah mencekik Nesya, laki-laki yang tak lain adalah Fariz memaksa Nesya untuk memuaskan nafsunya. “Kenapa kamu masih diam di sana hah? Apa kamu mau mengulangi yang semalam?” Fariz mendekat, tangannya membuka dua kancing kemejanya membuat Nesya ketakutan. “T-tidak, jangan kak,” Nesya mengusap air matanya kemudian bangkit dengan selimut tebal yang ia gunakan untuk menutupi tubuhnya yang polos. “Tidak perlu menggunakan ini, aku sudah melihat semuanya,” menyingkirkan selimut yang menutupi tubuh indah Nesya, Fariz tersenyum menyeringai.
Mata Nesya membola, dilihatnya manusia menyebalkan yang selalu menyiksanya, hampir saja Nesya terpana akan pesona Fariz yang bertambah berkali-kali lipat dengan kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya. “Masuk!!” titahnya namun Nesya bergeming, dia malah duduk dan mengusap lututnya yang terluka membuat Fariz meradang. “Apa? Mau nampar aku lagi?” Nesya mendongak, menatap lelaki yang berdiri di depannya. “Aku bisa masuk sendiri!” ucap Nesya ketus seraya menghempaskan tangan Fariz, namun sebelum dia memasuki mobil, kaki mungilnya menendang kuda jingkrak kesayangan Fariz. “NESYA..!!” emosi Fariz meluap, melihat bagian mobil yang ditendang Nesya menjadi lecet dan sedikit penyok. Nesya tersenyum puas, “Aku tidak takut mati, karena aku sudah siap mental dari jauh-jauh hari,” ucapnya lagi membuat Fariz yang sudah duduk di sebelahnya menatapnya tajam. Sudut bibirnya terangkat, “baiklah jika itu maumu, berarti aku bebas bisa menyiksa kakak kes
“Sapu dengan benar, setelah ini jangan lupa bersihkan halaman depan dan juga di belakang!”Nesya mengumpat di dalam hati, pagi-pagi buta Fariz membangunkannya dengan cara tak lazim, perlakuan laki-laki itu mirip seperti kisah ibu tiri beserta anak yang tak bersalah.Mengangguk dan tersenyum semanis mungkin, menyembunyikan tangannya yang sudah mengepal kuat. Pagi ini Nesya akan berangkat ke sekolah untuk pertama kalinya, namun Fariz malah memberikan pekerjaan yang seakan tidak ada habisnya.Selepas dari pekerjaannya, Nesya beranjak ke kamarnya kemudian bersiap. Melihat pantulan dirinya di cermin, gadis itu berdecak kagum dengan kecantikan yang dimilikinya. Wajah polos tanpa polesan make up membuatnya tampil natural. Meraih tas yang terbilang tidak mahal itu kemudian keluar dari kamarnya, raut wajah Nesya nampak berseri-seri.“Mau ke mana kamu?” gerakan tangan Nesya yang memegang gagang pintu terhenti lantaran suara berat yang mengge
Kebahagiaan meski hanya sesaat, karena setelah ini semuanya kembali seperti semula, untuk pertama kalinya Nesya merasa bebas semenjak menikah dengan Fariz. Namun saat ini dia masih belum memiliki rencana untuk melarikan diri dari cengkeraman Fariz. Gadis itu tidak mau gegabah, dia ingin menyusun rencana dengan matang. “Bagaimana kalau kita kerjakan tugasnya sepulang sekolah?” “Langsung??” “Menurutmu?” Nesya tampak berpikir, beberapa saat kemudian dia mengangguk. “Kita buat di mana?” “Hmm kita buat di kafe yang lagi populeritu gimana?” Fabian memberi ide, meski sebenarnya dia ingin mengajak Nesya ke rumahnya. “Terserah..” Nesya hanya menanggapi sekenanya seraya merapikan bukunya karena bel pertanda pulang sudah berbunyi. Di depan gerbang sekolah, tampak dua anak manusia sedang berdebat karena hal sepele. Pasalnya, Fabian terus memaksa agar Nesya mau berboncengan dengannya. “Memangnya kamu tahu dimana letak
“Kau salah paham Kak, bukan Kak Abi yang membunuhku, dia ingin menyelamatkan Amel, namun sudah terlambat.” Lirih seorang gadis berambut panjang dengan pakaian serba putih.“Aku melihatnya, ya aku melihat Kak Abi menghampiriku, dia memangku kepalaku sebelum semua menjadi gelap.” Bibirnya yang pucat tersenyum, seolah menyesal karena dulu pernah menyia-nyiakan lelaki baik seperti Abi.“Tapi kakak? Kakak malah menyiksa Nesya! Bukankah dulu kau berjanji akan menjaganya seperti kau menjagaku? Tapi kenapa kau melakukan itu? Membuatnya hancur dan kini dia sedang mengandung anakmu! Baj*ngan!” kini mimik wajah yang awalnya sendu menjadi menyeramkan.“Aku benci Kakak! Kau iblis! Kau bukanlah Fariz kakakku!”“AMEL..!!” Fariz melebarkan netranya, masih mengatur nafasnya yang terengah-engah, dengan segera dia menyambar segelas air mineral yang terletak di nakas.“Mimpi itu lagi, kenapa hampir tiap
“BABIan!!” teriak mereka serempak seraya melambaikan tangannya kecuali satu pemuda yang tampak tidak peduli dengan kedatangan Nesya dan Fabian.“Damn! Mereka benar-benar,” Fabian memijit keningnya, entah kenapa dia bisa memiliki sepupu gila seperti itu.Nesya terkekeh geli mendengar teriakan dua sepupu sahabatnya itu.“Dasar tidak waras, namaku Fabian bukan Babian!” lelaki itu memukul kepala pemuda yang bernama Rey dan menjewer telinga adiknya yang bernama Baby.“Awwh lepas! Bang Ray!! Tolongin Baby,” gadis itu meronta, meminta agar Fabian berhenti menarik telinganya yang sudah memerah akibat ulahnya.“Itu akibatnya karena sudah tidak sopan denganku!” Fabian menjitak kening Baby membuat gadis itu meringis.“Dia siapa?” Ray yang sedari tadi diam menghampiri mereka.“Dia sahabatku. Nesya, kamu masuk sama Baby, aku ingin berbicara dengan dua manusia aneh ini!&r
Seorang gadis tampak sedang mencicipi rujak ala-ala dari seorang Radit, sementara lelaki itu tampak harap-harap cemas, semoga saja tak ada komentar yang nanti menyusahkan dirinya.“Kenapa rasanya seperti ini?” Nesya memuntahkan rujak itu, matanya mendelik tajam menatap sahabat sekaligus tangan kanan suaminya.“Memangnya seperti apa?” jawab Radit ketus, dia seolah sedang menjalani simulasi menjadi suami siaga dan pengertian, namun nyatanya ia tak kuat.Namun gadis itu hanya diam dengan tangan bersedekap, bibirnya bergetar, mungkin sebentar lagi dia akan menangis.“Jangan menangis, kau mau apa?” Radit mencoba menahan emosinya, dia menatap pipi gadis itu yang sudah basah.“Tidak ada, aku hanya ingin sendiri.”“Baiklah, aku akan pergi, karena suamimu saat ini sedang sakit,” ujar Fariz seraya melangkahkan kakinya ke luar rumah.Nesya terkejut, namun beberapa saat kemudian dia ters
“Bagaimana?” Seorang lelaki tampan menatap bawahannya yang menunduk, sudah dipastikan bahwa tidak ada kabar baik yang akan keluar dari bibir yang masih setia mengatup itu.“Maaf, Nona belum ditemukan,” jawab Radit ragu, dia merasa iba melihat Tuannya yang kini kurus, lingkaran hitam di bawah mata menandakan bahwa Fariz selama ini tidak bisa beristirahat dengan tenang.“Lalu bagaimana dengan anakku? Gadis itu kini mengandung darah dagingku, bagaimana jika perkembangannya buruk karena tidak mendapat nutrisi yang baik?” Sentak Fariz, sejak mengetahui bahwa Nesya mengandung, entah kenapa rasa dendamnya perlahan sirna, mungkinkah kehadiran malaikat kecil itu mampu memperbaiki hubungan yang nyaris berantakan itu?Radit mengepalkan tangannya, ingin sekali dia berteriak bahwa tidak perlu khawatir tentang pola makan Nesya, bahkan gadis itu dirawat dengan baik oleh lelaki itu. Namun dia juga tidak tega pada Nesya, melihat gadis itu baha
Sang surya mulai menampakkan sinarnya, namun seorang calon ibu muda masih betah bergelung di bawah selimut mengabaikan seorang laki-laki tampan yang sedari tadi menggerutu. “Jika saja dia tidak sedang hamil, mungkin aku sudah menendangnya dari sini!”“Hei, jangan mengumpatku atau nanti aku putuskan lehermu!” gumam Nesya dengan suara serak, tanpa merasa bersalah sedikit pun karena semalaman menyusahkan Radit.Lelaki itu berdesis, jika bukan karena Nesya yang merengek minta ditemani dengan alasan takut sendiri, Radit pasti sudah kembali ke apartemennya dan bisa beristirahat dengan tenang tanpa ada gangguan. Kini laki-laki itu harus menahan sakit dan pegal di sekujur tubuhnya karena harus tidur dengan posisi duduk ataupun di lantai.“Nesya, bangunlah. Sudah pagi, itu susu dan sarapanmu, aku pergi dulu,” ujarnya saat hendak keluar dari kamar Nesya.“Tunggu!” Nesya langsung menyingkap selimut dan melihat Radit ya
“Apa kakak akan pergi?” Nesya bertanya pada Radit yang sudah hendak keluar dari rumah itu.“Iya, aku akan mengatakan pada Tuan kalau aku tidak bis menemukanmu.” Radit tersenyum kecut, dia sudah membayangkan dirinya akan menjadi samsak hidup saat sudah berhadapan dengan Fariz.“Kenapa wajahmu seperti itu? Apa kamu tidak rela membantuku?” Nesya melotot tajam seraya berkacak pinggang, Radit pun semakin kesal, apa mungkin karena hidup berdampingan dengan Fariz membuat Nesya menyebalkan seperti ini.“Tapi...” raut wajah Nesya mendadak sedih, dengan bibir yang ditekuk, gadis itu ragu untuk mengutarakan maksudnya.“Apa?” lelaki tampan itu mengangkat sebelah alisnya, meski jujur dia sudah lelah menghadapi Nesya yang sedari tadi menyusahkannya.“Bisakah kakak tinggal di sini?? Aku takut jika berada di rumah sendirian, dan kenapa kakak membuat rumah seperti di hutan begini?” Nesya menata
Jika Nesya kini sedang berdebat perihal roti dengan anak buahnya, berbeda dengan Fariz yang dilanda kebingungan memilih istri atau perempuan yang dicintainya, di satu sisi dia ingat bahwa dia sudah menikah dan sebentar lagi akan menjadi seorang ayah, tapi di sisi lain, ada perempuan yang kini datang menagih janjinya.“Bukankah dulu kamu berjanji jika suatu saat nanti aku sudah sukses, maka kita akan menikah. Apa kamu masih mencintaiku seperti dulu?”Kalimat itu terngiang-ngiang di kepala Fariz, bohong jika Fariz sudah melupakan cintanya pada gadis berparas ayu itu, selain berpendidikan tinggi, gadis yang bernama Clara itu juga kini sudah berhasil menggapai cita-citanya untuk menjadi seorang model. Tapi janji tetaplah janji, Fariz mengira jika Clara sudah melupakan janji itu, janji di mana jika Clara sudah sukses, barulah mereka melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius. Memang berat rasanya saat Fariz membiarkan orang terkasihnya untuk mengej
Hanya bisa menghela nafas karena harus mendengar tangisan beserta curhatan hati seorang istri dari bosnya. Namun seketika Radit panik bukan main saat tiba-tiba Nesya tak sadarkan diri, beberapa kali dia menepuk pipi gadis itu, hingga akhirnya pria itu yakin bahwa Nesya benar-benar pingsan dan membawanya ke klinik terdekat.“Apa??” Radit membulatkan matanya tak percaya, sesekali dia melirik Nesya dengan atribut sekolah yang masih melekat di tubuhnya. Pria itu terkejut saat mendengarkan penjelasan dokter yang menangani Nesya.‘Hamil? Apa mereka melakukan atas dasar suka sama suka? Atau ini memang skenario Tuan Fariz?’ Pria yang dikenal sebagai tangan kanan Fariz itu tampak berpikir, ia bahkan tidak sadar bahwa Nesya sudah tidak berada di sana.“Maaf Mas, apa Anda tidak ingin menyusul istri Anda??”“Istri?” Radit mengernyitkan dahinya, bagaimana bisa dia dikatakan mempunyai istri jika menikah saja belum. Namun
“Kenapa ha? Kenapa??” Fabian menatap Nesya dengan tatapan yang susah diartikan, jelas dia kecewa saat mengetahui jika sahabatnya hamil yang ia pikir masih lajang. Harapannya untuk menjadi pasangan Nesya seketika sirna.“A-aku..” Nesya tak mampu melanjutkan ucapannya, gadis itu masih terus menangis. Dia bingung antara harus senang atau sedih.“Ceritakan semuanya, bukankah kita sahabat?” pemuda itu mulai bisa mengendalikan egonya, besar rasa kecewanya namun tak bisa mengalahkan rasa cinta yang sudah tertanam rapi di hatinya pada gadis cantik itu, Fabian merengkuh tubuh mungil yang sedang rapuh tersebut, mendekapnya dalam kenyamanan, membiarkan calon ibu muda itu menumpahkan kesedihannya.Dengan berderai air mata, Nesya menceritakan semuanya, sebuah untaian kalimat yang di dalamnya mengandung makna yang mendalam, menggambarkan betapa tertekannya Nesya selama ini. Isak tangis yang terdengar memilukan, bagaikan ribuan panah yang me