Aku terbangun tengah malam. Melirik ke samping, Lucas sudah tidak ada. Tadi, setelah Lucas ketiduran aku pun juga tidur karena lelah. Kami tanpa sengaja tidur berdua lagi, tapi kini dia sudah tidak ada rupanya. Ternyata bukan hanya Lucas yang menghilang, kipas angin di kamarku juga ikut menghilang. Pantas saja gerah.
Aku menggeliat, kemudian bangkit dari ranjang dengan perut yang kosong belum terisi sejak sore. Aku terlalu lelah hingga mengabaikan perut sendiri. Akhirnya aku pun melangkah menuju luar kamar, setelah sebelumnya berdiam diri karena setengah kesadaranku masih belum terkumpul sepenuhnya.
Di ruang tengah aku mendapati kipas anginku beserta orang yang sudah mencurinya dari kamar. Lucas bersila kaki sambil membuka laptopnya. Di sampingnya ada satu piring nasi goreng, entah kapan dia beli nasi tersebut, mungkin saat aku tidur.
Perutku berbunyi. Terlebih, saat melihat nasi goreng di samping Lucas.
Lucas melirik ke arahku. "Hallo, Flora. Kamu
Aku sedang merapikan pakaian, karena Alan sudah menjemputku. Dia datang bersama Ririn. Ririn membantu merapikan perlengkapan lain dan membersihkan kontrakan sebentar."Baju siapa ini, Flo? Kamu bawa masuk laki-laki ke kontrakan? Jangan macam-macam, kamu sedang hamil Dan kamu pun belum resmi bercerai dari Lucas." Alan berkata sambil mengangkat kemeja dan celana milik seorang pria.Aku yang sedang memasukan pakaian ke dalam tas mendongak menatap Alan. Baju itu milik Lucas yang tertinggal. Atau mungkin, Lucas sengaja meninggalkannya supaya aku mencucinya dan dia gunakan untuk ganti pakaian kalau ke sini lagi."Hei, jawab aku, Flo. Kamu pacaran dengan pria mana?""Itu baju milik Lucas, Kak.""Serius? Jadi Lucas ke sini? Apa dia menyakitimu, Flo?""Enggak, dia hanya membujuk aku kembali tinggal bersamanya, sekalian memintaku untuk mau dimadu dengan Amanda.""Jangan mau, Flo. Serakah banget, sih Lucas. Kamu kurang apa coba, sampai dia nyari wanita
Satu bulan aku tinggal di sini. Bertahan menghidupi diri sendiri sambil membawa bayi yang masih di dalam perut. Aku belajar mengikhlaskan masa lalu, menata masa depan untuk bisa hidup dengan layak bersama buah hati.Sedikit berhasil, hatiku mulai damai. Kegiatan baruku yang lumayan padat sudah berhasil melenyapkan serpihan-serpihan memori masa lalu yang menyakitkan. Berawal dari pengkhianatan aku beranjak bangkit.Aku bekerja di percetakan milik Alan. Job description yang diberikan Alan untukku juga tidak terlalu melelahkan. Rekan-rekan di sini juga baik padaku. Mungkin, karena mereka tahu aku adiknya Alan. Aku merasa beruntung memiliki kakak sebaik Alan. Jika di tempat lain pasti aku tidak mungkin bisa bekerja, karena ijazah miliku saja masih ada di rumah milik Lucas, beserta berkas penting lainnya yang kadang aku butuhkan.Aku melirik jam tanganku jam lima sore. Sudah waktunya pulang dari 10 menit yang lalu. Aku merapikan mejaku sebentar, kemudian berniat p
Dean mengatakan bahwa dia mencintaiku, dia bersimpuh sambil menggenggam erat tanganku. Hal itu membuat Lucas tersulut emosi. Entah sejak kapan Lucas berdiri di situ, degup jantungku tidak bisa stabil karena kehadirannya. Apalagi saat dia mendekat sambil mengepalkan tangan ke arah Dean. Jangan sampai mereka bertengkar di sini, hidupku makin tidak tenang jika hal buruk itu terjadi."Dean, sudah gua bilang tadi untuk lepaskan tangan Flora. Kenapa gak lo turuti? Cari mati, hah?" Lucas mengangkat kerah baju Dean.Aku meringis melihat ulah Lucas. "Lucas, lepaskan Dean!"Lucas menghajar Dean di depan mataku, membuat aku memekik dan kebingungan untuk menghentikannya. Aku mau mendekat pun takut jika emosinya sedang memuncak. Dean sama saja, malah ikut memukul Lucas dasar pria-pria brutal."Akan aku laporkan kelakuan kalian pada Alan kalau berani berkelahi di tempat tinggalku." Aku berteriak, dan untungnya berhasil menghentikan mereka.Mata Lucas tida
Lucas menemaniku saat aku menjalani pemeriksaan di Rumah Sakit. Wajahnya yang resah enggan pudar dari tadi. Pasti dia sangat khawatir dengan kondisi anak kami.Aku tadi sudah diperiksa radiologi hasilnya bayi di perutku aman, degup jantungnya stabil. Mendengar itu hati ini menjadi lega. Walaupun sejak tadi bergerak gelisah karena rasa sakit di punggung dan juga kram perut tidak juga hilang. Itu adalah kontraksi palsu, aku baru mengetahuinya barusan sehingga sempat panik.Selain itu, aku disuruh bed rest selama satu Minggu, menurut pemeriksaan aku terlalu banyak pikiran dan kelelahan. Memang aku akui, dari awal hamil terbebani banyak pikiran dan kurang istirahat.Malam ini, tidak ada jadwal dokter spesialis kandungan. Harus tunggu besok jika pemeriksaan lanjut, kebetulan jadwalnya pagi. Lucas memohon padaku untuk melihat rekaman hasil USG secara langsung. Aku mengabulkan, walaupun sebal dengan tampangnya tapi bagaimanapun dia adalah ayah kandung anak ini. D
"Flora, anak kita perempuan." Lucas berkata padaku, saat kami sedang berjalan berdua menuju tempat parkir."Aku sudah tahu dari bulan kemarin."Lucas tertegun ekspresi bahagianya perlahan memudah saat mendapat jawaban ketus dariku. "Em, walau hanya dari USG tapi kelihatan garis wajahnya mirip banget sama Ayahnya, ya! Alhamdulillah.""Iya mirip banget, gak apa-apa. Biar jadi kenangan abadi bahwa aku pernah hidup bersamamu meskipun hanya dua tahun kurang.""Flora?" tanya Lucas resah."Kamu pulang aja sendiri! Aku mau dijemput Alan. Aku udah kabulkan permintaanmu buat lihat anak kita tadi, jangan minta yang lain-lain lagi. Apalagi sampai minta aku kembali.""Aku akan antar kamu pulang.""Kamu kan banyak urusan, termasuk milih desain undangan bareng Amanda. Belum lagi nanti harus milih baju pengantin yang cocok. Emang kapan kalian menikah?""Masih agak lama, sekitar dua bulan lagi.""Oh, pas banget sama HPL aku juga dua bulan l
Tangan bergetar membaca chat ayahnya Lucas, aku tahu dari dulu dia jaga jarak dan sedikit sinis padaku, tapi aku tidak menyangka perkataanya jahat seperti itu. Selama ini, Lucas membuat seolah-olah kedua mertuaku menyayangiku. Aku tahu bagaimana Lucas, tidak mungkin dia menyampaikan ulang apa yang dikatakan ayahnya.Aku membaca balasan pesan dari Lucas untuk ayahnya. "Aku bisa menuruti kemauan papah buat jaga Amanda. Tapi tolong jangan pernah hina Flora. Kalau papah menyakiti hati Flora sama saja dengan menghancurkan aku."Aku dengan segera mengeluarkan aplikasi WhatsApp milik Lucas. Aku tidak mau tahu lebih dalam lagi dengan keluarga itu. Aku orangnya sensitif jika dihina, daripada nantinya ada sumpah serapah buat bapak tua itu dari mulutku, malah aku yang dosa.Namun setidaknya aku tahu Lucas ternyata membelaku di hadapan ayahnya. Jujur saja, aku bahagia mendengar balasannya.Aku melanjutkan istirahat. Kasian anak di dalam perutku ini, sepanjang
Ruang gerakku semakin hari semakin sempit, kaki terasa berat untuk sekadar melangkah. Saat berbaring pun semakin tidak nyaman, sudah mencoba berbaring ke kiri dan ke kanan rasanya pegal di panggul tidak juga hilang. Aku beranjak dari kasur, mencoba berjalan kaki ke depan kontrakan supaya otot tidak kaku.Di depan kontrakan seorang wanita muda mondar-mandir meneliti tempat tinggalku. Rautnya tidak ramah sama sekali, aku menghampiri ingin mengetahui siapa dia. Setelah kuingat-ingat lagi, aku tahu orang itu dia Serly teman sekelasku. Kami tidak akrab sejak dulu, kenapa dia bisa ada di sini?"Kamu Serly, kan?" tanyaku memberanikan diri.Serly mengibas rambutnya, kegerahan. "Iya."Serly masuk ke pekarangan kontrakanku seolah mencari sesuatu atau mungkin mencari seseorang."Kamu ada di sini cari siapa? Cari aku bukan? Mau masuk dulu? Akan aku buatkan minum."Serly merotasi bola mata, lalu membuang muka padaku. Menjengkelkan, memangnya apa salahku.
Aku sedang membuat masakan di dapur. Jarang-jarang aku masak, karena kali ini ada tamu yang tidak diundang, pria yang menyebalkan dan selalu aku hindari. Lebih menyebalkan lagi saat dia memaksaku menghidangkan sup ayam untuknya. Aku terpaksa menuruti maunya karena dia terlalu berisik, minta berkali-kali seperti anak kecil. Padahal sudah jadi mantan.Sekarang ini dia masih terlelap di kamarku. Dia kecapean setelah aku setuju melakukan induksi alami yang disarankan oleh dokter. Tapi otakku tidak ingin mengingat kejadian tadi. Aku malu setengah mati, seakan-akan menjilat ludah sendiri karena sudah menolak hingga memaki, tapi ujung-ujungnya setuju juga.Tapi sungguh, aku melakukan hubungan pasutri karena ingin lancar dalam persalinan, selain karena saran dari dokter, aku terpengaruh oleh artikel yang sempat kubaca juga. Sebenarnya saat hamil tua seperti ini, boro-boro ingin hal semacam itu, malas rasanya. Badan pegal semua aku malah ingin menangis saat melakukannya w
Aku seakan bermimpi, saat membuka mata di pagi hari, dan yang pertama kali aku lihat adalah sosok wanita yang kucinta. Dulu, dia mengisi hati ini kemudian pergi dengan membawa luka. Aku tidak bisa mencegahnya walaupun sudah berusaha menahannya. Dia tidak setuju dengan tawaran yang aku berikan. Tawaran untuk berpoligami. Entahlah, aku merasa tidak ada yang salah waktu itu. Hatiku tetap ada untuknya. Lalu sudah aku katakan berulang kali bahwa menikahi wanita lain hanya sebatas alasan yang mendesak. Bukankah pria mempunyai hak jika mampu? Tapi istriku tidak mau peduli dengan apa pun alasannya. Amanda mantanku, dia kembali setelah cukup lama tidak berjumpa. Dia datang dengan tidak berdaya, sakit dan menyedihkan. Dia memintaku untuk melindunginya. Karena katanya, tidak ada satu pria pun yang mencintai wanita lumpuh dengan tulus. Karena akulah penyebab dia kecelakaan. Aku merasa bersalah mendengar kata-katanya. Dia memukul terus kakinya yang pincang, dan ha
Semua mata tertuju padaku bukan karena pernyataan Lucas, tapi karena aku tersedak dengan tiba-tiba. Wajahku pasti terlihat konyol saat ini, aku malu. Lucas memberiku segelas air putih dan aku menandaskannya dengan segera. Saat ada kalimat selamat yang terlontar dari mulut mereka secara bergantian, hatiku belum sepenuhnya sadar. Seakan Lucas sedang membuat konten prank di Chanel YouTube untuk menjahiliku. Tapi saat aku melirik ke arahnya dia nampak serius. Kami pulang. Sepanjang perjalanan pulang Lucas nampak tersenyum. Pria gila itu selalu berhasil mewujudkan keinginannya. Sementara aku mendadak gugup, tak berselera untuk bicara namun jiwaku terasa hangat. Walau caranya membuat aku jengkel, tapi aku suka saat dia meminta aku kembali jadi miliknya. Lucas menerima panggilan telepon, entah dari siapa. Namun raut wajahnya nampak lesu dan risau. "Huh, merepotkan!" umpat Lucas. "Ada apa?" tanyaku ragu-ragu. "Papah masuk rumah sakit, dia pecah pembul
Aku paham, butuh waktu cukup lama untuk seseorang memahami isi hati orang lain. Begitupun bagi Andrean, meskipun Lucas sudah merangkul dan meminta maaf. Dia mematung, tidak ada minat sedikitpun untuk berbicara dengan Lucas. Tak lama dia memilih pulang. Dia hanya pamit kepadaku dan tidak menanggap Lucas ada di dekatnya. Lucas menatap punggung Andrean hingga menghilang. Tertunduk dan melamun, mungkin saja Lucas ingin hubungannya baik seperti dulu kala. Menjalani masa kecil bersama, sekolah dan masuk universitas yang sama dan kini hubungannya retak hanya karena masalah hati. Aku paham pahitnya ditinggalkan sahabat sendiri. Cukup lama aku dan Lucas berada di ruang yang sama namun memilih saling diam dari tadi. Akhirnya Lucas menatap ke arahku dan tersenyum. "Flora, lagi sibuk? Apa bisa minta waktumu sebenar saja buat ikut denganku?" Aku tersenyum, tidak biasanya dia meminta waktuku dengan sesopan itu. Lucas berkata kembal
Aku melempar pakaian Lucas ke lantai di kamar. "Cepat pakai pakaianmu! Memalukan! Mentang-mentang tidak ada Renata, so merasa jadi anak muda? Jangan coba-coba tebar pesona padaku! Tidak akan mempan." "Siapa yang tebar pesona? Terus menurutmu, cara pakai handuk seorang bapak satu anak bagaimana? Apa dililitkan di leher, hah? Atau diikat pada dua kaki seperti orang yang sedang diculik penjahat? Kamu akan lebih menjerit histeris jika melihat aku seperti itu." Ah sialan, kenapa Lucas berkata seperti itu aku malah membayangkan Lucas melilitkan handuk ke leher dan kaki. Aku jadi frustrasi membayangkan visual aneh itu. Sepertinya Lucas melangkah mengambil pakaiannya yang tercecer. Entahlah, setelah dengar ocehannya aku langsung menutup pintu tanpa menatap ke arahnya. Kemudian aku menyeduh macchiato untuk kami berdua. Lucas keluar kamar dengan stelan casual warna denim. Seingatku, pakaian itu aku yang pilihkan, belanja di online shop saat ada diskon dan grati
Lucas menggendong Andrean. "Mau kita buang ke mana pria brengsek ini?"Aku teramat resah, masa iya Lucas mau membuang Andrean seperti barang bekas. Apa mungkin dia akan melempar Andrean ke lapangan yang tandus seperti halnya membuang Amanda kemarin itu?"Jangan becanda, Lucas." Aku mengikuti langkah Lucas yang pelan karena beban di punggungnya."Kamu parkir mobil di mana?" tanya Lucas."Aku gak bawa mobil, mobil ada di parkiran Cofee Shop. By the way, aku hanya berniat membawa Andrean ke pinggir dekat pohon itu. Kita bisa taruh dia di sana saja, lalu pura-pura tidak tahu apa yang terjadi." Aku menunjuk pohon besar yang di depannya terdapat tong sampah."Andrean tidak akan muat jika masuk ke tempat sampah sekecil itu. Kita butuh TPS berukuran besar.""Ayolah, Lucas! Kamu tahu sendiri maksudku adalah taruh Andrean di pinggir pohon, supaya tidak menghalangi jalan. Bukan menaruh Dean di tong sampah."Lucas tersenyum, sambil terus berjalan
Sejenak, aku merasa diri ini kehilangan akal sehat karena membiarkan mantan suami mengecup puncak kepalaku. Dan bisa-bisanya aku memejamkan mata menahan degup jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Bibir Lucas enggan berpindah selama beberapa menit, mungkin dia keterusan. Aku membuka mata, tersentak saat melihat ada orang yang lewat sehingga tanpa sengaja menyundul kepala Lucas. Menyisir rambut dengan jari, dan merapikan posisi baju yang hampir kusut. Aku hampir melupakan Lucas yang sedang meringis menahan sakit pada bibir. Dia menutup mulut dengan kedua tangannya, dengan ekspresi bodoh sedang menahan sakit. Lucas menatapku. "Agghh ... dasar cewek preman! Lihat ini! lukaku bertambah lagi di bibir. Apa bedanya kamu dengan scurity di kantor Papah?" Sembarangan, bisa-biaanya Lucas menyamakan aku dengan scurity kantor yang bertubuh besar. "Suruh siapa kamu begitu lancang mencium kepalaku? Lagian kamu pikir kepalaku juga tidak sakit beradu dengan
Saat itu, Ibuku yang selama ini tidak pernah tahu menahu urusanku tiba-tiba hadir di pemakaman mamahnya Lucas. Ternyata bukan tanpa alasan, karena Mamah Lusi yang memanggil beliau sebelum wafat. Hanya untuk menyampaikan satu permohonan terakhir sebelum melepas nyawanya satu Minggu yang lalu. Dia meminta aku dan Lucas rujuk demi kebahagiaan Renata.Aku diam sebagai tanda protes. Ibuku datang-datang menodong dengan permintaannya tanpa berniat memperbaiki hubungan dulu denganku. Dan apakah tidak pernah terbersit dalam hatinya, meminta maaf padaku? Maaf karena dulu berniat melenyapkan aku dari dunia ini. Walau belum lahir, tapi aku hidup di dalam perutnya. Untung usahanya gagal.Ibu berkata padaku dan Lucas, "Flora, Lucas! Ibu rasa permintaan Lusi adalah satu amanah yang harus dipenuhi. Kalian mungkin bisa menurunkan ego masing-masing karena sudah terikat oleh seorang anak."Aku berdiri, memberi senyum ke arahnya. "Ibu! Aku bukan orang yang dengan mudah terpengaruh
"Kenapa dari kemarin pesan dariku tidak kamu baca?" Andrean bertanya padaku saat dia berkunjung ke rumah tanpa persetujuan dariku.Satu pertanyaan itu membuatku tertekan. Aku masih terlarut dalam duka, dua Minggu yang lalu mamah Lusi meninggal, aku pun sedang malas menerima tamu. Namun dia tidak pernah mengerti. Ditambah, sudah ketahuan bahwa Andrean sekongkol bersama Amanda membuat aku tidak ingin menemuinya dulu.Andrean mencengkram pundakku. Aku menepisnya. "Tolong jangan kasar gini, Andrean! Aku mau istirahat, lebih baik kamu pulang saja!""Kita harus lanjutkan membahas pernikahan kita! Please!" Andrean mendesak."Tidak sekarang!""Kapan kamu bisa?""Tidak sekarang dan tidak juga untuk selamanya. Aku rasa kita lebih cocok jadi teman dan partner bisnis. Aku kehilangan kamu yang dulu. Kamu sudah berubah jadi over protektif padaku."Andrean meraup udara yang banyak disekitarnya, wajahnya nampak resah bercampur kesal. "Kamu pikir, aku
Rungan ini pengap dan gerah karena tidak ada pendingin ruangan, ditambah melihat Amanda dari tadi meraung-raung seperti kucing di dalam karung yang hendak dibuang ke hutan, membuat kepalaku terkena sakit kepala sebelah gara-gara mendengar suaranya. Dia lebay dan bikin pusing, aku tidak bisa membayangkan bagaimana saat Amanda di samping Lucas. Pasti hidup Lucas bagaikan lelucon bernuansa tragedi.Aku membuka pintu untuk keluar dari tempat ini. Saat pintu terbuka aku melihat wajah Lucas yang penuh tanda tanya saat melihatku. Aku yakin, dia yang mengetuk pintu dari tadi.Lucas bertanya lirih setelah sebelumnya melirik ke belakangku ada Amanda di sana. "Ngapain kalian ada di tempat ini?""Lagi bicara sesuatu."Tangan Lucas bergerak, perlahan terangkat hendak menyentuh pipiku namun tertahan di udara, kemudian dia mengepalkan tangannya dan menaruhnya lagi ke tempat semula. Dia mendengus dan menyimpan semua hasrat untuk diri sendiri."Di sini panas, kamu