"Apa yang kau lakukan tengah malam begini di luar? Ini bahkan malam pertamamu, jangan tampakkan ketidak seriusan kalian dengan pernikahan ini." Tiba-tiba Mahendra muncul di belakang Fajar, sambil menghisap rokoknya, entah sejak kapan mertuanya itu berhasil membawa kursi rodanya ke area taman.Fajar diam saja, dia tidak punya bahasa untuk menjelaskan keadaannya dengan Raya pada mertuanya itu."Kau mencintai anakku?" "Saya tidak tau," jawab Fajar menggelengkan kepalanya."Bagaimanapun masa lalu kalian, jaga lah dia dengan nyawamu, kita takkan tau apa yang akan terjadi ke depannya. Musuh semakin mendekat." "Aku berjanji, aku akan melakukan tanpa anda perintahkan, karena dia sekarang adalah istriku, tanggung jawabku dunia akhirat.""Bagus, dan sekarang tidak baik meninggalkannya sendiri."Fajar mengangguk, dengan perlahan dia undur diri terlebih dahulu. Membawa langkahnya dengan ragu menuju kamar Raya.Fajar mendorong pintu kamar yang di cat warna putih itu. Tidak dikunci, artinya Raya
Suasana rumah Mahendra benar -benar menegangkan. Bangku hantam dan suara tembakan masih terdengar bersahutan, beberapa lawan terluka dan melarikan diri. Pengawal Mahendra adalah pengawal terpilih yang takkan mudah cidera, karena lawan mulai tersudut, mereka berupaya melarikan diri menggunakan mobil sport warna hitam. Pengawal itu berusaha mengejar namun dicegah oleh Mahendra."Biarkan saja! Kita akan memancing bosnya keluar." Mata Mehendra teralihkan ke pintu kamar Raya yang terbuka, gadis itu masih menutup telinganya karena belum pulih dari rasa kagetnya dengan peristiwa ini. Fajar membawa Raya ke ruang tamu dan memegang bahunya yang masih gemetar." Fajar, pergi bawa Raya sejauh -jauhnya, musuh sudah mulai bergerak, dia mengincar Raya," kata Mahendra sambil memberikan sebuah kunci mobil kepada Fajar.Raya yang mendengar dia menjadi incaran membuatnya semakin menggigil takut. Telapak kakinya dingin dan berkeringat. Fajar tak bertanya banyak, dia mengangguk, lalu memegang tangan Raya
Dua jam Fajar memacu mobilnya tanpa henti. Mobil itu memang di rancang untuk menaklukkan medan yang berat. Selama dua jam ini, mereka tidak menemui kendala apa pun. Hutan belantara berada di kiri kanan jalan perbatasan provinsi. Sesekali mereka berpapasan dengan truk besar membawa barang. Serta mobil tanki besar yang membawa minyak mentah.Raya yang sempat tertidur membuka matanya, memandang keluar dengan sedikit ngeri."Kita berada di mana?""Kita akan mengejar kapal yang akan berlayar ke sumatra," jawab Fajar masih fokus dengan jalan di depannya."Sejauh itu?""Iya, ayahmu menyuruhku membawamu ke Palembang, di sana ada tempat tinggal yang cukup aman untuk kita sementara." Raya merenung, kemudian bertanya lagi."Masih jauh, kah?""Sebentar lagi kita akan sampai di pelabuhan.""Kau tidak lelah? " Raya mengamati wajah suaminya itu. Udara dingin masuk menusuk ke dalam mobil yang kacanya dibiarkan terbuka."Tidak, hanya saja aku merasa lapar. "Raya tak berkata lagi, Fajar yang serius
Raya hanya terpaku dengan apa yang dia rasakan, rasa penasaran cukup besar untuk menyentuh malah membakar dirinya sendiri. Dia meleleh bagaikan lilin yang dibakar api, jantungnya berdetak cepat tak terkendali.Tiba - tiba dengan dengan cepat Fajar menangkap tangan Raya, dengan menatap dalam bola mata Raya yang mulai resah. Gadis itu terlihat tidak rela dengan gerakan mencegah Fajar yang membuatnya berhenti.Raya meneguk ludahnya susah payah. Dia bertindak terlalu berani kali ini, namun pegangan tangan Fajar yang lebih kuat menyadarkannya. Fajar menggeleng, walaupun dia sangat menginginkan itu semua, namun pengalaman pertama takkan terjadi di sembarang tempat."Cukup!" Fajar memegang pergelangan tangan Raya yang bisa membunuhnya, dia hampir saja tidak bisa bertahan. Ya tuhan, ini hutan, dia adalah laki-laki beragama dan beretika, malam penuh pahala takkan terjadi di tempat yang tidak layak."Aku ... aku...." Raya tidak tau harus bilang apa, kesadaran dan logikanya menghempaskan dirinya
Fajar menyelediki wajah Raya yang tak berani menatap wajahnya. Mereka tengah sarapan bersama pagi ini di dalam kamar. Setelah menghabiskan malam yang penuh pahala bagi keduanya, Raya bangun pagi-pagi sekali.Namun ada yang berbeda, pagi ini Raya malah meningkatkan kadar ke ketusannya pada Fajar. Dia bersandiwara seolah-olah semua kehangatan semalam tak berpengaruh sama sekali baginya.Fajar tersenyum geli melihat istrinya itu, Raya yang sekarang dengan Raya yang semalam sangat bertolak belakang. Dia lebih menyukai Raya yang semalam, yang lebih terus terang terhadap apa pun yang diinginkannya, dia begitu tak terduga dengan semua pelayanan yang dilakukannya."Memandangku takkan membuatmu kenyang." Raya mulai merasa terganggu walaupun dia sudah pura -pura tak melihat."Kau benar, aku semakin kelaparan," jawab Fajar membuang nafasnya. Raya menatap sekilas kemudian fokus kembali ke piring sarapannya yang berisi roti tawar berlapis keju dan coklat. Bahasa laparnya Fajar membuat perutnya mel
Raya dan Fajar sudah berada di dalam kapal. Kondisi kapal cukup banyak penumpang, karena bertepatan dengan hari libur. Raya yang dari tadi diam saja dan mengacuhkan Fajar, dia kembali bersikap bagaikan nona dan memperlakukan Fajar sebagai pengawal. Bahkan dia menjaga jarak dengan suaminya itu.Fajar tidak mempermasalahkan hal itu. Dia sudah mengenal Raya cukup lama, wanita itu memiliki gengsi yang sangat tinggi, dia takkan mengalah terhadap suatu hal yang akan membuat harga dirinya menjadi jatuh.Saat ini Raya menyamarkan wajahnya dengan memakai kaca mata hitam dan selendang tipis yang menutup wajahnya, sedangkan Fajar juga memakai topi juga kaca mata hitam. Mereka perlu berhati hati dan waspada di tengah keramaian. Karena kali ini mereka bukan sedang pergi berlibur tapi melarikan diri dari serangan teror.Raya nampak bosan, kemudian melenggang ke arah tangga menuju deck paling atas di atas kapal. Fajar mengikutinya walaupun wanita itu sama sekali tidak mengajaknya.Hamparan laut biru
Mereka sampai di kota Bandar lampung tiga jam kemudian. Fajar langsung mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang, jarak tempuh kota Lampung menuju Palembang kira-kira membutuhkan waktu kurang lebih delapan jam. Sebenarnya, Pemerintah sudah memberikan fasilitas berupa jalan tol supaya jarak tempuh bisa lebih singkat, namun jalan tersebut belum dibuka secara resmi.Raya membuka selendang dan kaca mata hitamnya, mengikat asal rambutnya yang berantakan. Dia melihat, mood Fajar benar-benar buruk, laki-laki itu berubah sikap jadi datar dan dingin."Hmmm." Raya berdehem, dia mulai bosan dengan suasana seperti ini, membuat waktu lebih lama berjalan. Fajar meliriknya sekilas, lalu kembali Fokus dengan jalan di depannya.Raya mendengus, "Siapa wanita tadi?""Yang mana? Banyak wanita yang ku temui hari ini.""Apa? Ck ck, aku sudah tidak heran dengan kenyataan itu, yang aku lihat wanita yang duduk denganmu, dia memakai jilbab ungu muda.""Kenapa kau peduli? Bukankah aku adalah pengawalmu, tak s
Tiga puluh menit. Raya menunggu tiga puluh menit di dalam mobil, namun belum ada tanda-tanda Fajar akan segera masuk. Laki-laki itu, entah sudah berapa batang rokok yang dihabiskannya. Raya sendiri baru tau laki-laki itu perokok, selama ini dia belum pernah melihatnya. Fajar, dilihat dari sisi manapun dia begitu tampan. Sikap ketus dan dinginnya membuat dia menarik dengan caranya sendiri. Bahkan caranya menghisap rokok dan membuang asapnya dia masih terlihat keren. Raya menggelengkan kepala, bukan memuji laki-laki itu tujuannya saat ini.Raya mendengus dan membuka pintu mobil. Berjalan lambat dan berdiri di samping Fajar, ikut menatap sungai Musi yang mulai berwarna keperakan karena Matahari mulai turun dan bewarna jingga. "Ini sudah sore." Pernyataan itu lebih menjurus kepada perintah. Fajar kembali menghisap rokoknya dalam kemudian membuangnya sembarangan walaupun baru sepertiga dari sebatang rokok itu yang dibakar.Fajar tak menanggapi ujaran Raya, dia harus mengorek isi hati wan
Beberapa jam yang lalu, mereka berkumpul di sebuah restoran sederhana. Fajar, ibunya dan ayahnya. Dua manusia yang pernah menjadi suami istri itu sempat berbincang sekilas. Mereka memutuskan untuk berdamai dan meluruskan kesalah pahaman kepada Fajar setelah berdebat dengan sengit Beberapa menit.Ayahnya sempat menangis memeluk putra semata wayangnya saat Fajar sampai di restoran beberapa jam yang lalu. Meminta maaf telah menelantarkan Fajar kecil yang menderita di tinggal sang ibu. Dia tak menyangka, Fajar tumbuh menjadi pria yang gagah dan tampan. Fajar hanya diam walaupun dalam hatinya dia juga merindukan ayahnya itu.Semuanya terungkap, walaupun sempat ada pertengkaran kecil, pada akhirnya dua orang itu mengalah dan berdamai.Ayahnya terlihat lebih tua dari seharusnya, rambutnya memutih dengan kerut yang tak bisa di hitung jumlahnya. Dia terlihat miskin dan sakit-sakitan, tubuhnya kurus dan kering, belum lagi baju kemeja lusuh yang sudah memudar warnanya.Ternyata pernikahan kedua
Raya termangu di depan kolam renangnya. Mata cantiknya mengamati kilauan air yang tertempa sinar matahari sore. Ini sudah pukul enam sore, warna matahari sudah berubah hingga keperakan, namun setelah berjam-jam menunggu, suaminya belum pulang dan belum memberinya kabar.Raya mencelupkan kakinya ke dalam kolam. Tanpa Fajar, semuanya menjadi membosankan. Dia tidak tertarik melakukan apa pun jika Fajar tak ada di sisinya Baru saja Raya mengangkat sebelah kakinya ke permukaan, bahunya di sentuh lembut. Gadis itu berbalik dan mata kosongnya langsung berbinar bahagia. Namun, buka Raya namanya kalau tidak menuhankan gengsi."Kapan kau pulang? Aku tak mendengar suara mobilmu."Fajar duduk di samping Raya. Mengamati rambut panjang yang terurai berantakan itu."Baru saja. Kenapa? Merindukanku?"Raya mencibir, menyembunyikan rona pipinya. Dia tak mau mengakuinya, tapi otak dan tubuh tak bekerja sama. Dia malah menghambur ke pelukan suaminya itu. Fajar terkekeh senang sambil mengecup puncak kepa
Fajar memandang tak percaya. Wanita itu masih cantik seperti dulu, walaupun banyak kerutan yang menandakan ia sudah menua. Ibunya, masih tipe wanita yang memperhatikan penampilan. Dia cantik dengan blouse putih yang dipadukan dengan rok kembang bermotif bunga. Jika boleh Fajar berkata jujur. Dia sangat merindukan wanita didepannya. Rasanya dekapan hangat itu masih terasa di kulitnya saat ini. Bagaimana saat sang ibu mendendangkan lagu Jawa saat menidurkannya dulu. Elusan kasih sayang dan suara merdunya masih diingat Fajar dengan jelas.Pada dasarnya ibunya adalah wanita yang baik dan penyayang. Dia wanita yang sempurna. Kecantikan masa muda itu di wariskan ya ke wajah tampan Fajar. Dalam hatinya, dia ingin mengadu dan bertanya sebanyak mungkin, kemana ibunya selama ini? Apa yang dilakukannya di rumah usang dan tinggal sendirian tanpa pasangan hidup? Banyak sekali. Tapi Fajar memilih mengunci mulutnya sambil menunggu wanita itu berbicara lebih dulu."Minumlah! Teh mu sudah mulai ding
Jika ada manusia yang paling jahat di bumi ini, maka Raya lah orangnya. Bagaimana bisa wanita itu menghentikan permainan sebelah pihak saat nasib Fajar sudah di ujung tanduk. Raya dengan santai merapikan dirinya, saat Fajar masih kesusahan menata nafasnya yang terputus putus. Dia masih bersandar tak berdaya, memejamkan matanya menikmati sisa-sisa kenekatan seorang Raya. Tapi apa yang dilakukan wanita itu sekarang? Dia menjulurkan lidah nakalnya dan tersenyum mengejek."Aku tidak mau dipergoki lagi. Bagaimana pun kita masih dalam kawasan yang tak boleh berbuat mesum.""Bunuh saja aku, Raya! Kau jahat." Fajar merasa kepalanya pening. Bayangkan saja, saat hasratmu di atas awang-awang, kau malah di hempaskan ke bumi secara kasar. Rasanya lebih sakit dari pada mati."Ck ck ck ... kau selalu tak pernah puas.""Ya tuhan Raya, laki-laki mana yang akan bertahan dengan wanita seseksi dirimu, terlebih lagi dia sudah menjadi milikmu secara utuh. Oh Tuhan, aku butuh air dingin." Fajar mengusap wa
Bukan restoran mewah yang terbiasa dikunjungi Raya. Hanya warung kecil yang diberi dinding dengan spanduk bekas untuk menghalangi cahaya matahari pagi yang mulai menerobos masuk ke warung sarapan pagi itu. Raya memilih duduk di bangku paling pojok, yang agak jauh dari sesaknya para pelanggan yang menyantap sarapan dengan lahap. Bangku di pojok ini sepertinya di sengaja untuk mereka yang ingin memilih ketenangan. Langsung menghadap ke kolam ikan yang berisi ikan nila dan ikan gurami."Kamu mau makan apa?""Apa saja, yang penting enak." Raya melirik sekilas jejeran menu sarapan pagi yang di tata sedemikian rupa di atas etalase kaca. Banyak sekali pilihan sehingga Raya menjadi bingung sendiri. Dia tidak menyadari Fajar bangkit memesan kepada pemilik warung. Tak butuh waktu lama, dua piring nasi yang dilengkapi dengan telor dadar dan toping tempe yang di goreng garing bersama ikan asin.Raya mengamati sambil menikmati aroma khas yang membuat perutnya meronta minta di isi."Ini namanya na
Pagi yang cerah, matahari mulai merangkak perlahan mengintip dari celah dedaunan pepohonan yang tumbuh persis di samping jendela kamar rumah itu. Raya membuka jendela kecil tersebut menyambut udara segar yang menerpa wajahnya.Mereka sebenarnya sudah bangun setelah shalat subuh tadi. Raya berberes sejenak sedangkan Fajar kembali ke tempat tidur dengan alasan mengantuk. Hari ini, tepat satu minggu Fajar menjalani hukuman mengumpulkan batu yang akan digunakan masyarakat sebagai pagar pembatas dari luapan sungai. Kebetulan pula, kemaren adalah masa hukuman Fajar berakhir. Hari ini adalah hari minggu, hari santai bagi Fajar. Sudah lama dia tidak merasakan nikmatnya tidur setelah subuh. Walaupun dia tahu, kebiasaaan ini tidak baik.Raya mengikat rambutnya yang masih basah, lalu berjalan perlahan mendekati ranjang sambil tersenyum. Dia, sang suami yang biasanya memiliki kulit cukup cerah sudah berubah menjadi gelap karena terbakar sinar matahari saat bekerja. Namun, Raya malah menyukai wa
Raya berlari ke pintu keluar saat dia mendengar Fajar mengetok pintu beberapa kali. Dia sempat tertidur sejenak, setelah selesai bersih-bersih dan memasak ala kadarnya. Dia cukup puas dengan hasil masakannya kali ini, setidaknya rasanya sudah mulai ada kemajuan. Cuma masakan sederhana, goreng ikan Nila balado di tambah dengan sayur kangkung. Raya merapikan rambutnya, menghela nafas lalu membuka pintu perlahan. Fajar tersenyum lembut, mengusap pipi istrinya lalu mengecup kening putih itu sekilas. "Aku belum mandi, bau." Fajar mengendus dirinya. Raya tidak setuju jika Fajar mengatakan dirinya bau, laki-laki itu tidak pernah mengeluarkan bau yang tidak enak, kalaupum berkeringat, maka yang menguar adalah aroma cologn khas yang digunakannya.Raya berniat memeluk, namun karena Fajar mengurai pelukan lebih dulu, dia mengurungkan niatnya. "Mandilah! Setelah itu kita makan siang." Raya memberikan handuk pada suaminya. Fajar meraih handuk itu lalu masuk ke dalam kamar mandi.Sambil menunggu
Angin sepoi-sepoi meniup dan mempermainkan rambut Raya yang sehalus sutra. Sebagian menutupi wajahnya sehingga dengan refleks jari -jari yang baru belajar memegang alat- alat dapur itu merapikan dan menyelipkannya di belakang telinga.Matanya awas mengamati sang suami yang bekerja dengan beberapa orang pria dewasa lainnya, menggunakan alat kusus dari besi untuk mencongkel batu yang masih tertanam di dalam pasir sungai. Sesekali Fajar mencuri pandang pada istrinya yang duduk manis di sebuah saung yang tak jauh darinya.Raya persis seperti istri yang diidamkannya. Walaupun terlahir sebagai anak manja, tapi karena cintanya, dia merelakan tangan halusnya belajar memasak untuk menyenangkan Fajar.Fajar masih ingat, bagaimana putus asanya Raya saat dia tidak berhasil memecahkan telur tanpa merusak kuningnya. Gadis itu hampir menangis, niat hati akan membuatkan telur mata sapi, tapi memecahkan telur saja tidak bisa."Ini sudah yang kedua puluh butir, tapi aku bahkan belum berhasil...." Raya
Malam yang temaram, pekat malam tanpa bulan dengan kamar yang diterangi lampu lima watt. Dua manusia yang dimabuk cinta saling mereguk dahaga yang tak terpuaskan. Saling memberi dan menerima, menikmati ibadah terindah yang penuh pahala. Ibadah luar biasa di tutup dengan tertidur pulasnya Raya dan Fajar setelah itu. Kali ini rasanya berbeda, mungkin karena Raya tak lagi melakukannya dengan setengah hati. Ibadah kali ini sangat berkesan bagi keduanya, penuh cinta dan kelembutan. Setiap detik berjalan khusyuk dan indah.*****Setelah mandi jam lima subuh, Raya langsung menemani Mak Wo ke dapur. Kali ini dia tak ingin lagi membuat teh manis yang gagal, dia bertanya tanpa malu pada Mak Wo bagaimana cara menakar gula untuk segelas teh manis. Sangat mudah, tapi sulit bagi Raya. Dia baru menyadari, bahwa dirinya tak memiliki kemampuan apa-apa untuk melayani suami dalam urusan perut. Jangankan memasak yang enak, segelas teh manis yang bagi sebagian besar orang sangat sepele, malah sulit bagin