Mereka sampai di kota Bandar lampung tiga jam kemudian. Fajar langsung mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang, jarak tempuh kota Lampung menuju Palembang kira-kira membutuhkan waktu kurang lebih delapan jam. Sebenarnya, Pemerintah sudah memberikan fasilitas berupa jalan tol supaya jarak tempuh bisa lebih singkat, namun jalan tersebut belum dibuka secara resmi.Raya membuka selendang dan kaca mata hitamnya, mengikat asal rambutnya yang berantakan. Dia melihat, mood Fajar benar-benar buruk, laki-laki itu berubah sikap jadi datar dan dingin."Hmmm." Raya berdehem, dia mulai bosan dengan suasana seperti ini, membuat waktu lebih lama berjalan. Fajar meliriknya sekilas, lalu kembali Fokus dengan jalan di depannya.Raya mendengus, "Siapa wanita tadi?""Yang mana? Banyak wanita yang ku temui hari ini.""Apa? Ck ck, aku sudah tidak heran dengan kenyataan itu, yang aku lihat wanita yang duduk denganmu, dia memakai jilbab ungu muda.""Kenapa kau peduli? Bukankah aku adalah pengawalmu, tak s
Tiga puluh menit. Raya menunggu tiga puluh menit di dalam mobil, namun belum ada tanda-tanda Fajar akan segera masuk. Laki-laki itu, entah sudah berapa batang rokok yang dihabiskannya. Raya sendiri baru tau laki-laki itu perokok, selama ini dia belum pernah melihatnya. Fajar, dilihat dari sisi manapun dia begitu tampan. Sikap ketus dan dinginnya membuat dia menarik dengan caranya sendiri. Bahkan caranya menghisap rokok dan membuang asapnya dia masih terlihat keren. Raya menggelengkan kepala, bukan memuji laki-laki itu tujuannya saat ini.Raya mendengus dan membuka pintu mobil. Berjalan lambat dan berdiri di samping Fajar, ikut menatap sungai Musi yang mulai berwarna keperakan karena Matahari mulai turun dan bewarna jingga. "Ini sudah sore." Pernyataan itu lebih menjurus kepada perintah. Fajar kembali menghisap rokoknya dalam kemudian membuangnya sembarangan walaupun baru sepertiga dari sebatang rokok itu yang dibakar.Fajar tak menanggapi ujaran Raya, dia harus mengorek isi hati wan
Mereka sedang berkumpul di ruang tamu setelah makan malam beberapa menit yang lalu. Raya sempat tertidur selepas magrib karena kelelahan setelah menempuh perjalanan cukup lama. Fajar dengan Raya, sama sekali belum bicara setelah percakapan terakhir di kamar tadi.Setelah pengakuan cinta dari Fajar, laki-laki itu berubah seratus delapan puluh derjat. Dia lebih memilih bungkam dan menjaga jarak dengan Raya."Bagaimana kabar ayahmu?" Tante Wulan memecahkan suasana yang sunyi. Sebagai orang yang sudah tua, dia tau pasti hubungan dua orang di depannya berjalan tidak baik. Raya lebih banyak membuang muka dari pada memandang suaminya sendiri."Alhamdulillah, Tante. Ayah sehat. Hmmm ... Alissa kemana ya, Tan? Belum tampak dari tadi.""Oh, dia sedang magang di sebuah pusat perbelanjaan, karena lokasinya cukup jauh, jadi Alissa tinggal di kos saja," kata Tante Wulan sambil membuka toples berisi makanan ringan."Oo...." Raya mengangguk, dia jadi kehabisan topik."Oh ya. Fajar kan nama suamimu? M
Fajar masih menelaah wajah Raya, gadis itu sangat resah. Matanya terpejam dan terbuka bergantian. Wanita itu, terlalu ego dengan dirinya sendiri. Dia tidak mau berterus terang dengan jelas. Hanya tatapan matanya yang memohon kepada Fajar." Raya." Fajar memanggilnya lembut. Dia mengenal dengan utuh istrinya itu. Dia tau apa yang sedang diinginkannya. Bukan air minum , bukan rasa haus tapi sebuah penyatuan yang layak mereka lakukan. Mereka baru mengenal ibadah suami istri itu baru sekali, layaknya penganten baru, sekali di ibaratkan baru membuka kulit ari."Aku membencimu." Raya menangis tapi tidak menolak semua sentuhan Fajar pada dirinya. Dia menjambak rambut pendek laki-laki itu sampai acak-acakan. Fajar membungkam mulut judes itu, baru saja Raya ingin membalas, Fajar lebih dulu melepaskannya."Siapa aku, Raya? katakan siapa aku.""Kau suamiku, apa lagi? Lakukan tugasmu sekarang juga!" Raya tidak tau apa yang sedang merasukinya. Tapi, rasa ini sudah tidak bisa di bendung lagi. Rasa
Raya bangun terlambat dengan tubuh terasa remuk. Bahkan ini sudah jam sembilan pagi, sangat tidak pantas seorang tamu bangun kesiangan di rumah orang. Tapi apa daya, dia sangat lelah setelah melakukan ritual suami istri itu.Alangkah malunya dia jika ketahuan menghabiskan malam penuh kemesraan di rumah Tante Wulan. Tapi keberuntungan sedang berpihak, Tante Wulan tidak terlihat sedang berada di rumah, motor matic yang biasanya terparkir manis di halaman rumah tidak terlihat dari tadi.Raya baru saja selesai mandi, di kamar mandi tadi dia hampir saja menjerit saat melihat penampakan dirinya. Bekas itu bertebaran di sana sini. Raya sudah menggosok untuk menghilangkannya, tapi tidak berhasil, bekas itu malah berubah menjadi kebiruan.Raya mengendap-endap keluar dari kamar mandi. Mengawasi jika saja tante Wulan tiba-tiba muncul. Dia bernafas lega saat berhasil masuk ke dalam kamar. Namun perasaan lega itu tidak berlangsung lama, matanya menangkap tersangka yang mewarnai kulitnya itu sedang
Fajar melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, dia yakin saat ini mereka tengah di buntuti. Marsel memang laki-laki yang takkan menyerah sebelum mendapatkan apa yang di inginkannya. Fajar tidak tau pasti apa yang membuat Marsel sangat membenci Raya, sehingga dia berniat melenyapkan nyawa wanita itu.Mobil berpacu dengan waktu, Fajar tetap waspada dengan mobil yang mungkin akan muncul tiba-tiba di belakang mereka, Fajar tidak boleh lengah sedikit pun. Mereka tengah membelah jalan lintas antar propinsi. Propinsi yang paling dekat dengan palembang adalah propinsi Jambi, hanya daerah itu tujuan mereka sementara ini."Kita mau kemana?" tanya Raya masih dengan wajah cemas."Jambi.""Apa ada keluargamu di sana?""Tidak.""Lalu, kita akan tinggal dimana?""Jangan banyak bertanya, aku bisa menciummu sampai pingsan jika saja mulutmu masih mengoceh."Raya mengatupkan mulutnya karena ancaman itu. Dia tidak mau terlibat sentuhan fisik lagi dengan Fajar.Kondisi jalan cukup lengang, sekarang su
Fajar berubah kesal, mobil itu malah mengalami kebocoran ban di jalan sepi. Belum ada pertolongan saat ini, para pengguna lebih memilih pura pura tidak melihat saat Fajar meminta bantuan melalui kode jarinya. Maklum, jalan lintas sumatra masih rawan perampokan dengan menggunakan berbagai modus."Bagaimana ini?" gumam Raya. Dia ikutan keluar dari mobil memandang ban mobil dengan putus asa."Tidak ada tanda-tanda bengkel di dekat sini." keluh Fajar. Kemudian, mata Fajar membesar."Aku tau caranya.""Apa?"Fajar mengambil jaketnya dari dalam mobil. Lalu menyodorkan pada Raya."Gulung dan masukkan jaket ini ke perutmu!""Apa?" Raya memandang Fajar tak percaya."Kau pura-pura hamil, dan seolah -olah mau melahirkan, pasang wajah memelas mu, tidak ada orang yang akan tega melihatmu, apa lagi orang yang memiliki istri dan anak.""Aku tak mau, kau saja!" ketusnya sambil melipat tangannya."Kalau aku yang hamil, aku akan disangka gila, bukannya menolong, orang malah lari, lakukan sekali ini saj
Mereka sedang duduk di kedai kecil yang menjual makanan ringan beserta gorengan hangat. Perut yang belum sempat diisi sudah meronta- ronta minta makan. Segelas teh manis dengan sepiring gorengan tandas dalam sekejap. Wajah dan penampilan mereka benar-benar kusut, keringat dan debu menempel di wajah mereka.Raya awalnya tidak mau mencoba memakan jajanan pinggir jalan itu dengan alasan penjual dan tempatnya kurang bersih. Tapi melihat Fajar yang melahap semuanya , dia pun mencobanya dengan penasaran. Satu gigitan dia menelaah rasa gorengan tersebut. Lumayan, pikirnya. Gigitan kedua, enak. Akhirnya dia menghabiskan satu gorengan berupa bakwan itu tanpa pikir panjang lagi."Aku mau lagi," ucapnya entah kepada siapa. Fajar dari tadi bersikap cuek padanya. Tidak tertarik menjawab komentar Raya. Raya menjadi kesal, penjual masih asik dengan wajan dan minyak panas di hadapannya. Raya berdiri mendekati keranjang yang dibuat dari anyaman bambu untuk meniriskan bakwan yang habis digoreng, keran
Beberapa jam yang lalu, mereka berkumpul di sebuah restoran sederhana. Fajar, ibunya dan ayahnya. Dua manusia yang pernah menjadi suami istri itu sempat berbincang sekilas. Mereka memutuskan untuk berdamai dan meluruskan kesalah pahaman kepada Fajar setelah berdebat dengan sengit Beberapa menit.Ayahnya sempat menangis memeluk putra semata wayangnya saat Fajar sampai di restoran beberapa jam yang lalu. Meminta maaf telah menelantarkan Fajar kecil yang menderita di tinggal sang ibu. Dia tak menyangka, Fajar tumbuh menjadi pria yang gagah dan tampan. Fajar hanya diam walaupun dalam hatinya dia juga merindukan ayahnya itu.Semuanya terungkap, walaupun sempat ada pertengkaran kecil, pada akhirnya dua orang itu mengalah dan berdamai.Ayahnya terlihat lebih tua dari seharusnya, rambutnya memutih dengan kerut yang tak bisa di hitung jumlahnya. Dia terlihat miskin dan sakit-sakitan, tubuhnya kurus dan kering, belum lagi baju kemeja lusuh yang sudah memudar warnanya.Ternyata pernikahan kedua
Raya termangu di depan kolam renangnya. Mata cantiknya mengamati kilauan air yang tertempa sinar matahari sore. Ini sudah pukul enam sore, warna matahari sudah berubah hingga keperakan, namun setelah berjam-jam menunggu, suaminya belum pulang dan belum memberinya kabar.Raya mencelupkan kakinya ke dalam kolam. Tanpa Fajar, semuanya menjadi membosankan. Dia tidak tertarik melakukan apa pun jika Fajar tak ada di sisinya Baru saja Raya mengangkat sebelah kakinya ke permukaan, bahunya di sentuh lembut. Gadis itu berbalik dan mata kosongnya langsung berbinar bahagia. Namun, buka Raya namanya kalau tidak menuhankan gengsi."Kapan kau pulang? Aku tak mendengar suara mobilmu."Fajar duduk di samping Raya. Mengamati rambut panjang yang terurai berantakan itu."Baru saja. Kenapa? Merindukanku?"Raya mencibir, menyembunyikan rona pipinya. Dia tak mau mengakuinya, tapi otak dan tubuh tak bekerja sama. Dia malah menghambur ke pelukan suaminya itu. Fajar terkekeh senang sambil mengecup puncak kepa
Fajar memandang tak percaya. Wanita itu masih cantik seperti dulu, walaupun banyak kerutan yang menandakan ia sudah menua. Ibunya, masih tipe wanita yang memperhatikan penampilan. Dia cantik dengan blouse putih yang dipadukan dengan rok kembang bermotif bunga. Jika boleh Fajar berkata jujur. Dia sangat merindukan wanita didepannya. Rasanya dekapan hangat itu masih terasa di kulitnya saat ini. Bagaimana saat sang ibu mendendangkan lagu Jawa saat menidurkannya dulu. Elusan kasih sayang dan suara merdunya masih diingat Fajar dengan jelas.Pada dasarnya ibunya adalah wanita yang baik dan penyayang. Dia wanita yang sempurna. Kecantikan masa muda itu di wariskan ya ke wajah tampan Fajar. Dalam hatinya, dia ingin mengadu dan bertanya sebanyak mungkin, kemana ibunya selama ini? Apa yang dilakukannya di rumah usang dan tinggal sendirian tanpa pasangan hidup? Banyak sekali. Tapi Fajar memilih mengunci mulutnya sambil menunggu wanita itu berbicara lebih dulu."Minumlah! Teh mu sudah mulai ding
Jika ada manusia yang paling jahat di bumi ini, maka Raya lah orangnya. Bagaimana bisa wanita itu menghentikan permainan sebelah pihak saat nasib Fajar sudah di ujung tanduk. Raya dengan santai merapikan dirinya, saat Fajar masih kesusahan menata nafasnya yang terputus putus. Dia masih bersandar tak berdaya, memejamkan matanya menikmati sisa-sisa kenekatan seorang Raya. Tapi apa yang dilakukan wanita itu sekarang? Dia menjulurkan lidah nakalnya dan tersenyum mengejek."Aku tidak mau dipergoki lagi. Bagaimana pun kita masih dalam kawasan yang tak boleh berbuat mesum.""Bunuh saja aku, Raya! Kau jahat." Fajar merasa kepalanya pening. Bayangkan saja, saat hasratmu di atas awang-awang, kau malah di hempaskan ke bumi secara kasar. Rasanya lebih sakit dari pada mati."Ck ck ck ... kau selalu tak pernah puas.""Ya tuhan Raya, laki-laki mana yang akan bertahan dengan wanita seseksi dirimu, terlebih lagi dia sudah menjadi milikmu secara utuh. Oh Tuhan, aku butuh air dingin." Fajar mengusap wa
Bukan restoran mewah yang terbiasa dikunjungi Raya. Hanya warung kecil yang diberi dinding dengan spanduk bekas untuk menghalangi cahaya matahari pagi yang mulai menerobos masuk ke warung sarapan pagi itu. Raya memilih duduk di bangku paling pojok, yang agak jauh dari sesaknya para pelanggan yang menyantap sarapan dengan lahap. Bangku di pojok ini sepertinya di sengaja untuk mereka yang ingin memilih ketenangan. Langsung menghadap ke kolam ikan yang berisi ikan nila dan ikan gurami."Kamu mau makan apa?""Apa saja, yang penting enak." Raya melirik sekilas jejeran menu sarapan pagi yang di tata sedemikian rupa di atas etalase kaca. Banyak sekali pilihan sehingga Raya menjadi bingung sendiri. Dia tidak menyadari Fajar bangkit memesan kepada pemilik warung. Tak butuh waktu lama, dua piring nasi yang dilengkapi dengan telor dadar dan toping tempe yang di goreng garing bersama ikan asin.Raya mengamati sambil menikmati aroma khas yang membuat perutnya meronta minta di isi."Ini namanya na
Pagi yang cerah, matahari mulai merangkak perlahan mengintip dari celah dedaunan pepohonan yang tumbuh persis di samping jendela kamar rumah itu. Raya membuka jendela kecil tersebut menyambut udara segar yang menerpa wajahnya.Mereka sebenarnya sudah bangun setelah shalat subuh tadi. Raya berberes sejenak sedangkan Fajar kembali ke tempat tidur dengan alasan mengantuk. Hari ini, tepat satu minggu Fajar menjalani hukuman mengumpulkan batu yang akan digunakan masyarakat sebagai pagar pembatas dari luapan sungai. Kebetulan pula, kemaren adalah masa hukuman Fajar berakhir. Hari ini adalah hari minggu, hari santai bagi Fajar. Sudah lama dia tidak merasakan nikmatnya tidur setelah subuh. Walaupun dia tahu, kebiasaaan ini tidak baik.Raya mengikat rambutnya yang masih basah, lalu berjalan perlahan mendekati ranjang sambil tersenyum. Dia, sang suami yang biasanya memiliki kulit cukup cerah sudah berubah menjadi gelap karena terbakar sinar matahari saat bekerja. Namun, Raya malah menyukai wa
Raya berlari ke pintu keluar saat dia mendengar Fajar mengetok pintu beberapa kali. Dia sempat tertidur sejenak, setelah selesai bersih-bersih dan memasak ala kadarnya. Dia cukup puas dengan hasil masakannya kali ini, setidaknya rasanya sudah mulai ada kemajuan. Cuma masakan sederhana, goreng ikan Nila balado di tambah dengan sayur kangkung. Raya merapikan rambutnya, menghela nafas lalu membuka pintu perlahan. Fajar tersenyum lembut, mengusap pipi istrinya lalu mengecup kening putih itu sekilas. "Aku belum mandi, bau." Fajar mengendus dirinya. Raya tidak setuju jika Fajar mengatakan dirinya bau, laki-laki itu tidak pernah mengeluarkan bau yang tidak enak, kalaupum berkeringat, maka yang menguar adalah aroma cologn khas yang digunakannya.Raya berniat memeluk, namun karena Fajar mengurai pelukan lebih dulu, dia mengurungkan niatnya. "Mandilah! Setelah itu kita makan siang." Raya memberikan handuk pada suaminya. Fajar meraih handuk itu lalu masuk ke dalam kamar mandi.Sambil menunggu
Angin sepoi-sepoi meniup dan mempermainkan rambut Raya yang sehalus sutra. Sebagian menutupi wajahnya sehingga dengan refleks jari -jari yang baru belajar memegang alat- alat dapur itu merapikan dan menyelipkannya di belakang telinga.Matanya awas mengamati sang suami yang bekerja dengan beberapa orang pria dewasa lainnya, menggunakan alat kusus dari besi untuk mencongkel batu yang masih tertanam di dalam pasir sungai. Sesekali Fajar mencuri pandang pada istrinya yang duduk manis di sebuah saung yang tak jauh darinya.Raya persis seperti istri yang diidamkannya. Walaupun terlahir sebagai anak manja, tapi karena cintanya, dia merelakan tangan halusnya belajar memasak untuk menyenangkan Fajar.Fajar masih ingat, bagaimana putus asanya Raya saat dia tidak berhasil memecahkan telur tanpa merusak kuningnya. Gadis itu hampir menangis, niat hati akan membuatkan telur mata sapi, tapi memecahkan telur saja tidak bisa."Ini sudah yang kedua puluh butir, tapi aku bahkan belum berhasil...." Raya
Malam yang temaram, pekat malam tanpa bulan dengan kamar yang diterangi lampu lima watt. Dua manusia yang dimabuk cinta saling mereguk dahaga yang tak terpuaskan. Saling memberi dan menerima, menikmati ibadah terindah yang penuh pahala. Ibadah luar biasa di tutup dengan tertidur pulasnya Raya dan Fajar setelah itu. Kali ini rasanya berbeda, mungkin karena Raya tak lagi melakukannya dengan setengah hati. Ibadah kali ini sangat berkesan bagi keduanya, penuh cinta dan kelembutan. Setiap detik berjalan khusyuk dan indah.*****Setelah mandi jam lima subuh, Raya langsung menemani Mak Wo ke dapur. Kali ini dia tak ingin lagi membuat teh manis yang gagal, dia bertanya tanpa malu pada Mak Wo bagaimana cara menakar gula untuk segelas teh manis. Sangat mudah, tapi sulit bagi Raya. Dia baru menyadari, bahwa dirinya tak memiliki kemampuan apa-apa untuk melayani suami dalam urusan perut. Jangankan memasak yang enak, segelas teh manis yang bagi sebagian besar orang sangat sepele, malah sulit bagin