Setelah berendam, keduanya berpakaian. Pakaian adat korea yang mereka beli waktu di pusat perbelanjaan di kota gangnam.
Hanbok... Pakaian yang cukup banyak peminatnya.
Dengan membaca tutorial keduanya sibuk saling membantu, memakaikan dan pada akhirnya keduanya selesai dan tampak serasi.
"Kenapa pakai baju ribet gini sih, Bayi.." keluh Brian dengan lesu, sebenarnya dia hanya ingin berduaan di kamar dengan Biya dari pada keluar.
"Kita mau ke istana Gyeongbokgung, kita harus mendalami adat korea, Brian biar terasa liburannya.." Biya merapihkan pakaian Brian lalu tersenyum manis.
Trik ampuh meluluhkan Brian.
Brian menghela nafas pasrah."Yaudah ayo, Lee Jun udah nunggu kita di parkiran.." kata Brian.
Brian dan Biya terpaksa harus pulang saat mendengar kabar kalau Jayden kecelakaan. Brian selama perjalanan terus merasakan tidak nyaman.Brian menghela nafas, mengingat saat Zela menghubunginya. Pantas saja suara bundanya saat itu berbeda, ternyata hari itu Jayden masih belum sadar alias koma."Tenang, Brian.." Biya mengusap bahu Brian, membuat Brian menoleh dan kembali dari lamunannya.Brian mendekat, memeluk Biya, berusaha mencari obat agar jiwanya tenang."Ayah pasti sadar.." yakin Biya dengan mengusap punggung Brian lembut, menenangkannya.Brian hanya mengeratkan pelukannya, perasaannya masih tidak nyaman sebelum dia melihat keadaan ayahnya langsung.***
Brian tersenyum tipis saat Biya mengusap perut ratanya. Kata dokter kandungan, Biya memang hamil dengan usia memasuki 3 minggu.Brian melebarkan senyumnya saat melirik hasil USG yang tergeletak di nakas samping tempat tidur itu.Baru sebesar biji kacang tapi bisa membuat keduanya bahagia. Brian menatap lagi Biya yang juga menatapnya."Kenapa? Mau makan sekarang?" Brian mengusap kepala Biya dengan tatapan lembut.Biya menggeleng."Belum mau.." Biya melirik ponsel Brian yang terus menyala."itu, ponsel kamu nyala terus.. Cek dulu, siapa tahu penting.." lanjutnya.Brian melirik ponselnya yang tergeletak di nakas itu, perasaannya jadi bimbang.Entah apa yang di rasakannya, dia tidak ingin terjerumus. Lebih baik Brian abaikan, pasti itu hany
Semenjak Jayden sadar dan mulai pulih, Brian jadi sering menghabiskan waktunya di rumah atau di kampus. Bahkan tanpa Brian sadari, dia dan Vina semakin dekat.Brian bahkan tidak menolak saat Vina mengajaknya untuk menonton film di bioskop yang kebetulan menjadi tugas kuliah mata pelajaran kesenian.Kandungan Biya pun kini sudah memasuki bulan ketujuh, perutnya sudah membesar bahkan gerakan pun sesekali Brian rasakan.Namun, Biya merasa aneh. Brian terlalu asyik dengan ponsel dan juga kadang sering pulang terlambat dari kampus yang mungkin Brian memang sibuk.Biya melirik Brian yang tersenyum pada ponselnya, kenapa ya? Biya melihat Brian seperti melihat orang yang tengah kasmaran.
Semenjak Jayden sadar dan mulai pulih, Brian jadi sering menghabiskan waktunya di rumah atau di kampus. Bahkan tanpa Brian sadari, dia dan Vina semakin dekat.Brian bahkan tidak menolak saat Vina mengajaknya untuk menonton film di bioskop yang kebetulan menjadi tugas kuliah mata pelajaran kesenian.Kandungan Biya pun kini sudah memasuki bulan ketujuh, perutnya sudah membesar bahkan gerakan pun sesekali Brian rasakan.Namun, Biya merasa aneh. Brian terlalu asyik dengan ponsel dan juga kadang sering pulang terlambat dari kampus yang mungkin Brian memang sibuk.Biya melirik Brian yang tersenyum pada ponselnya, kenapa ya? Biya melihat Brian seperti melihat orang yang tengah kasmaran.
Brian menatap kosong jendela yang kini menampakan langit malam, dari siang dia hanya duduk lesu dengan tidak memiliki gairah hidup. Jiwa rapuhnya kini tampak ke permukaan."Makanlah, Brian.." Zela memang masih kecewa dan marah tapi bukan berarti dia akan melukai kesehatan anaknya.Brian tidak bergerak, dia hanya ingin Biya. Brian bahkan rela menghentikan kuliahnya asal Biya kembali.Sedari awal Brian mencoba menekan rasa ketertarikannya pada Vina dan dia berhasil. Brian yang merasa kedekatan mereka wajar membuatnya tidak sadar kalau Vina mengartikan hal lain.Brian saat itu masih percaya kalau keduanya normal karena Vina pernah bilang kalau dia ingin memiliki kakak dan dengan senang hati Brian menawarkan hal itu.
Brian memangku Biya, membiarkannya mencukur semua bulu di wajahnya. Tatapan Brian terus menyorot Biya dengan penuh cinta.Biya mengerjap, setelah satu bulan berpisah entah kenapa Biya merasa canggung."Kamu berisi, aku lega.." Brian mengusap lembut sebelah pipi Biya.Biya tersenyum tipis, membenarkan handuknya sebelum kembali mencukur kumis tipis Brian."Aku sedih, kamu kurus, dekil sama mata panda gelayutan.." bibir Biya mengerucut lucu.Brian mengusap bibir lucu itu, kalau saja tidak ada busa di sekitar mulutnya mungkin Biya akan habis di lahap olehnya."Aku ga bisa lepas kamu di ingatan aku, aku cuma mau kamu pulang, aku cuma fokus nunggu.. Buat urus diri sendiri aku seolah - olah ga bisa.."Biy
Brian merapihkan pakaian Biya ke dalam koper, hari ini Biya akan pulang ke rumah mereka. Brian terus merasa bahagia.Badai yang hampir mengacaukan rumah tangga seumur jagungnya membuat Brian semakin banyak berpikir sebelum bertindak.Brian tipe orang yang di tampar dulu baru sadar.Hampir saja dia hanyut dan terus menyakiti Biya kalau saja kejadian itu tidak terjadi. Walau rasanya seperti hampir membuat jantungnya lepas, Brian merasa bersyukur juga karena dengan adanya masalah itu dia semakin lengket dengan Biya.Brian semakin terbuka, bahkan hal - hal kecil sekalipun."Seminggu di rumah ini udah cukup, aku mau pulang sore ini sebenernya.." Brian berujar dengan terus melipat pakaiannya.Biya yang rebahan karena merasakan punggungnya agak sakit membuatnya tidak bisa membantu Brian."Ga betah ya? Padah
Anna menuntun Biya menuju taman belakang, sore yang cerah mungkin bisa membuat mood Biya semakin baik. Anna pun ingin perpisahannya dengan Biya akan terus terkenang."Kenapa kamu putusin tinggal di sini daripada di kota?" Biya duduk di sebrang samping Anna."Enak, bisa liat yang langka kayak gini.. Udaranya juga sehat.." Anna menatap lurus pemandangan di depannya."Iyah, aku setuju.." Biya menghirup udara segar dengan dalam dan penuh penghayatan."Aku lagi bimbang, Biya.." Anna menunduk sekilas sebelum kembali menatap pemandangan di depannya.Biya menoleh sekilas."Bimbang? Soal apa?" tanyanya.Anna tersenyum tipis saat melihat anak - anak desa bermain di sawah."Bimbang karena Zared ajak aku nika
Glen terlihat diam, semenjak Biya hamil anak yang kedua memang gelagat Glen berubah. Mungkin karena akan memiliki adik."Sebenernya, Glen kenapa ya bun?" Biya menatap Glen dari kejauhan.Zela menyeruput teh jahe buatannya itu."Mungkin karena mau punya adik, dia murung dan takut perhatian kedua orang tuanya beralih ke sang adik." jawabnya."Mendadak baik, mendadak murung dan mendadak marah - marah atau bahkan rewel dan manja." terang Biya dengan sesekali mengusap perutnya yang kini sudah memasuki bulan ke 5."Itu sih jelas, alasannya karena takut perhatian kamu beralih." tebak Zela yang mungkin bisa saja iyah."Sayang."Zela menoleh, menatap Jayden yang semakin tua malah semakin terlihat segar itu."Kenapa?" tanya Zela seraya mengusap telapak tangan keriput Jayden yang bertengger di pundaknya itu."Kita
"Ga mau!" Glen terus meronta di gendongan Junior."Mama sama papa pergi sebentar kok." Junior mengusap punggung Glen yang bergetar karena menangis itu."Ga mau! No-no!" amuknya dengan suara meninggi bahkan hampir serak.Amora mengusap kepala Glen, menenangkannya dengan penuh kelembutan.Zela dan Jayden menuntun kedua cucu kembarnya yang terlihat memandang Glen dengan bingung harus bagaimana."Kita pulang, bawa masuk ke mobil." kata Jayden yang di angguki Junior dan Amora.Sedangkan Biya dan Brian, keduanya tengah berada di perjalanan udara menuju salah satu pantai yang terkenal bagi para pasangan yang akan honeymoon."Kenapa?" Brian merangkul Biya, mengusap puncak kepalanya dengan sayang."Pertama kali ninggalin Glen, rasanya khawatir. Padahal bunda, ayah sama Amora pasti jagain."Brian paham dengan perasaan Biya, dia pun
"Astaga! Itu buat tanaman, bukan makanan." Biya berlari menuju Glen yang hampir saja memakan tanah."Tapi walnanya kayak coklat, mama." Glen melempar sekepal tanah di tangannya dengan sebal.3 tahun usia Glen sekarang, usia yang membuat Biya hampir kewalahan. Untung Brian sudah memutuskan bekerja di rumah.Mungkin ini juga yang menjadi alasan kenapa Tuhan tidak kunjung memberi adik untuk Glen.Glennya sungguh nakal dan ingin banyak tahu. Biya tidak akan sanggup jika harus memiliki bayi sekarang."Kenapa lagi, ma?" Brian datang dengan tenang."Itu Glen, hampir nyobain tanah yang katanya mirip coklat." Biya mencuci jemari Glen dengan telaten."Penasalan, milip soalnya." Glen terlihat tidak suka di sudutkan."Glen pasti mau coklat?" Brian berjongkok di belakang Glen yang masih menyerahkan jemarinya di cuci oleh sang mama."Iy
Waldi dan Angga sedikit kaget saat melihat Yuna dan Luna datang yang ternyata di undang oleh Brian dan Biya."Ha-hai" Yuna terlihat canggung, sempat ragu juga sebenarnya. Dia hampir saja tidak akan ikut kumpul kalau saja Luna tidak datang."O-oh hai." Angga tersenyum ramah, mereka terlihat berbeda. Mungkin karena zaman dan usia yang berubah."Maaf telat." Luna duduk di samping Yuna yang duduk dekat Waldi.Waldi terlihat gugup di duduknya, pergaulan remaja mereka yang membuatnya jadi ingat saat di mana dia nakal dan bermain dengan Yuna dan Luna."Gimana kabar kalian?" Angga tersenyum ramah, seolah mereka memang baik - baik saja. Melupakan semua tentang kenakalan remaja dulu."Baik." jawab Yuna dan Luna bersamaan."Kabar kalian?" tanya Yuna."aku ga sangka bisa ketemu dan kumpul kayak gini." akunya.
Brian terlihat mesem - mesem, melirik dan sesekali mencolek Biya yang tengah mengamati Glen dan satu gadis cantik yang kebetulan sama, tengah berlibur dengan keluarganya."No! Danan (jangan)!" Glen berseru tidak suka, bahkan menepis tangan gadis seusianya itu yang hendak mengambil mainan Glen.Gadis kecil itu hanya cemberut.Biya melirik Brian yang tidak bisa diam itu, terus saja menggodanya."Apa, Brian?" tanyanya dengan lembut, pura - pura tidak paham."Abis dari sini ya, kita program." Brian gelayutan di lengan Biya yang pendeknya jelas lebih pendek darinya."Program apa sih, Bri." kekehnya geli, mengusap pipi sang suami sekilas."Kamu suka pura - pura, aku udah kasih kamu kode tadi, bahkan kamu bales, sayang."Biya mengulum senyum."Iyah, asal kamu bisa atur waktu. Baru aku mau." balasnya."Bisa - bisa, aku usahain pa
Ana menggendong bayi cantik yang bernama Alana Pashania. Bayi yang kini baru berusia 2 bulan itu. Bayi miliknya dan Aldi."Mana Aldi, Na?" tanya Brian."Ada, lagi di belakang, kak." jawab Ana dengan masih menimang Alana yang belum kunjung tidur itu."Al!" panggil Brian seraya celingukan mencari Aldi."Apa?" Aldi berjalan santai melewati Brian."Pinjem tenda dong, lo kan kadang naik gunung." kata Brian seraya mengekori Aldi."Ada, di gudang. Bentar gue ambilin." kata Aldi."mau kemana?" tanyanya.Brian memutuskan untuk mengekor Aldi."Piknik, udah lama ga liburan sama keluarga." jawabnya."Nah gitu dong, jangan telantarin anak istri lo."Brian memukul pundak Aldi."Enak aja! Gue ga pernah nelantarin mereka." semprotnya tidak terima."Terserah.""Nyebelin lo masih aja
Brian terlihat menatap langit - langit kamar, menunggu Biya yang sepertinya baru selesai mandi. Suara pintu terbuka pun menyadarkan Brian."Kenapa? Kamu kayak lagi ada pikiran." kata Biya seraya berjalan menuju meja rias.Brian menghela nafas panjang."Banyak." jawabnya singkat namun penuh beban."Banyak? Salah satunya? Ceritain biar enak. Siapa tahu aku bisa bantu." Biya memakai cream malam lalu lipbam.Biya melangkah menghampiri Brian yang menyambutnya dengan memeluknya."Kenapa, hm?" Biya mengusap kepala Brian seperti anak kecil, tapi Brian tidak terganggu, malah dia suka."Kamu liat Glen? Dia sering marah, di ajak main ga mau. Apa dia marah karena selama ini aku ga ada saat siang?"Biya tersenyum tipis."Kamu sadar ternyata soal itu, Glen emng sering ngeluh, dia ingin main tapi papa kerja." terangnya.
1 tahun kemudian... Yuna datang berdua dengan Luna. Hari ini mereka ingin berdamai dengan masa lalu. Belum ada kata maaf yang terucap, maka saat inilah waktunya. Setahun mereka urung terus dengan niat baik itu, rasanya mereka tidak bisa menundanya lagi."Om, saya teman Biya dan Brian." kata Yuna pada Rudy.Rudy tersenyum ramah."Silahkan masuk." sambutnya."Makasih, om."Rudy hanya tersenyum, membawa langkahnya ke dapur. Kebetulan Biya sedang di dapur bersama Zela."Biya, ada teman di depan." kata Rudy yang membuat Biya bingung sesaat, siapa?"Iyah, ayah." Biya melepas celemeknya, bergegas ke ruang tamu.Brian yang tengah turun tangga kini mengikuti Biya."Kemana?" tanyanya."Katanya ada temen di depan." Biya terus melangkah di ikuti Brian."Oh mungkin—" Brian tidak melanjutkan lan
Ana terdiam di dalam mobil, pikirannya masih berputar pada pertemuannya bersama Anita."Sayang, bukannya mau beli makanan?" Aldi melirik Ana sekilas.Aldi merasa ada yang aneh, apa karena pertemuan dengan Anita? Aldi sih yakin, pasti soal itu."Anita emang mantan terakhir aku, alasan aku pulang ke sini." Aldi akan mencoba terbuka, toh mereka sudah menikah."Tapi asal kamu tahu, soal perasaan aku ke kamu itu bukan main - main, aku serius jatuh cinta sama kamu." lanjut Aldi dengan masih fokus mengemudi."Hubungan kakak sama kak Anita berapa lama?" tanya Ana dengan masih tidak menatap Aldi."3 tahun.""Lama ya, kok cepet move onnya." Ana terlihat seperti ingin menangis, entah kenapa dia jadi mudah menangis. Mungkin karena kehamilannya."Sayang, bahkan dalam semenit bisa jatuh cinta. Jangan berpikir yang aneh - a