Ana memakan makanannya, sesekali melirik televisi yang menayangkan film remaja itu. Sepertinya Ana cukup suka dengan film itu.
Aldi mengamati hotel yang cukup mewah itu. Semua karena keinginan Ana, katanya lelah tapi tidak mau pulang dulu.
Ya di sinilah mereka berakhir. Di hotel dengan banyak fasilitas. Jelas saja Aldi tidak mempermasalahkan.
"Ga bikin kamu mual?" Aldi mengusap perut rata Ana yang sedikit berlemat itu.
Ana menggeleng dengan masih mengunyah.
Aldi masih betah mengusap perut Ana, menatap Ana dengan banyak menilai dan memujanya.
"Apa?" Ana menatap Aldi, dia sadar kalau Aldi sedari lama menatapnya terus.
"Kenapa emang?" tanya Aldi balik.
"Kak Aldi liatin Ana terus, mau tidur kayak yang di kamar kak Aldi lagi ya?" godanya dengan mencolek - colek dagu Aldi usil.
Aldi ter
Ana menghela nafas lega, begitu pun Aldi yang berhasil mengantarkan Ana lewat balkon rumahnya."Apa Ana keluar kamar? Pastiin kalau papa sama kakak ga cariin?" Ana bermonolog dengan gelisah di depan pintu kamarnya.Dengan berdebar Ana memutuskan keluar, menuju dapur yang sudah sepi.Ana meraih gelas kosong, mengisinya dengan air lalu meneguknya sedikit."An?"Ana tersentak pelan lalu berbalik, ternyata Agam yang memanggil."Kapan pulang? Kata papa kamu ke—""Baru kak, Ana baru sampe." potong Ana dengan senyuman canggung."Oh." Agam melanjutkan langkahnya menuju kulkas."Kenapa belum tidur kak?" Ana berdiri di samping Agam yang sibuk mengobrak - abrik kulkas."Harusnya kakak yang tanya gitu, kamu kenapa belum tidur? Kakak'kan emang sering begadang."Ana menggaruk
Brian dan Biya membawa Rudy ke sebuah salon. Rudy di perbaiki penampilannya dengan baik, bahkan kini terlihat segar."Ayah benar - benar malu, mengingat tingkah ayah yang lalu." Rudy terlihat tidak seangkuh dulu.Biya mengusap lengan Rudy, mendekat dan memeluknya."Biya cuma minta sama ayah, jangan kayak dulu lagi. Kali ini ayah harus bener - bener berubah, ada cucu ayah sekarang."Rudy mengangguk, mengusap kepala Biya dengan banyak penyesalan. Harusnya dia tidak banyak berubah. Harusnya dia bangga memiliki anak sebaik Biya.Rudy melepas pelukan Biya, beralih menatap Brian lalu mendekat dan memeluknya."Maafkan ayah, Brian—" Rudy terdengar sekali begitu menyesal."ayah banyak melukai kalian." sesalnya.Brian mengusap punggung Rudy."Brian udah maafin semuanya, Brian cuma minta, jangan bikin Biya sedih lagi." pintanya.
Aldi seperti biasa, membawa makanan pesanan Ana lewat jendela kamarnya. Sudah hampir satu minggu Ana banyak maunya, mungkin pengaruh kehamilan atau biasa di sebut ngidam."Ana jadi ga mau, mungkin cuma maunya ketemu kak Aldi." akunya dengan senyum yang begitu manis.Aldi yang berusaha mencari makanan itu jelas agak kesal namun hilang dalam sekejap karena pengakuan Ana barusan.Aldi menjadi bucin sekarang."Yaudah, sini peluk." di rentangkannya kedua tangan Aldi di udara."Kakaknya yang kesini, Ana lemes abis muntah." akunya.Aldi jelas saja langsung mendekat, naik ke atas kasur Ana dengan khawatir."Mual banget? Kalau di muntahin, kamu harus makan dong." kata Aldi perhatian."Tapi Ana mual, rasanya ga enak aja. Tadi sih mau, tapi tiba - tiba ga mau, mungkin karena muntah." Ana terlihat lesu dan pu
Brian dengan malas membawa langkahnya masuk ke dalam restoran yang penuh dengan para karyawan ayahnya itu."Ulang tahun kamu ke 23 ya?" tanya salah satu pegawai pada Vina.Vina mengangguk."Iyah, sekaligus nitipin diri ke senior - senior Vina yang baik - baik, biar makin jaga Vina dengan baik." balasnya membuat para pria tertawa dan tersipu.Brian berdecih lalu mengambil tempat paling jauh dengan Vina.Vina yang sadar dengan kehadiran Brian pun terlihat senang, dia pikir Brian tidak akan datang.Brian meraih beberapa kentang lalu melirik meja sebelah yang agak berisik, mungkin karena kumpulan para wanita.Brian membolakan matanya kaget saat melihat siapa yang di lihatnya dan juga kebetulan orang itu melihatnya juga."Yuna Cs?" gumam Brian, dia jelas saja ingin menyapa. Toh mereka saat lulus berpisah baik - baik.
Ana terus saja muntah - muntah, dia tengah di rumah Aldi. Alias rumah di samping rumahnya."Ana lemes." akunya dengan limbung.Aldi sigap menangkapnya, menggendongnya dengan cemas lalu merebahkannya di kasur."Ke dokter ya sayang?" Aldi mengusap wajah pucat Ana, dia semakin bingung.Apakah dia harus segera jujur agar dapat menjaga Ana tanpa harus sembunyi - sembunyi.Aldi menengok refleks saat pintu bel rumah berbunyi. Aldi mengusap kepala Ana."Buka dulu pintu, istirahat sebentar ya. Kalau mau muntah jangan ke kamar mandi, ke lantai aja kalau lemes."Ana hanya mengangguk dengan mata mulai terpejam. Melihat itu Aldi semakin khawatir.***"APA?!" Agam terlihat sangat terkejut."lo bikin Ana!—Hamil?" serunya.
Ana terdiam di dalam mobil, pikirannya masih berputar pada pertemuannya bersama Anita."Sayang, bukannya mau beli makanan?" Aldi melirik Ana sekilas.Aldi merasa ada yang aneh, apa karena pertemuan dengan Anita? Aldi sih yakin, pasti soal itu."Anita emang mantan terakhir aku, alasan aku pulang ke sini." Aldi akan mencoba terbuka, toh mereka sudah menikah."Tapi asal kamu tahu, soal perasaan aku ke kamu itu bukan main - main, aku serius jatuh cinta sama kamu." lanjut Aldi dengan masih fokus mengemudi."Hubungan kakak sama kak Anita berapa lama?" tanya Ana dengan masih tidak menatap Aldi."3 tahun.""Lama ya, kok cepet move onnya." Ana terlihat seperti ingin menangis, entah kenapa dia jadi mudah menangis. Mungkin karena kehamilannya."Sayang, bahkan dalam semenit bisa jatuh cinta. Jangan berpikir yang aneh - a
1 tahun kemudian... Yuna datang berdua dengan Luna. Hari ini mereka ingin berdamai dengan masa lalu. Belum ada kata maaf yang terucap, maka saat inilah waktunya. Setahun mereka urung terus dengan niat baik itu, rasanya mereka tidak bisa menundanya lagi."Om, saya teman Biya dan Brian." kata Yuna pada Rudy.Rudy tersenyum ramah."Silahkan masuk." sambutnya."Makasih, om."Rudy hanya tersenyum, membawa langkahnya ke dapur. Kebetulan Biya sedang di dapur bersama Zela."Biya, ada teman di depan." kata Rudy yang membuat Biya bingung sesaat, siapa?"Iyah, ayah." Biya melepas celemeknya, bergegas ke ruang tamu.Brian yang tengah turun tangga kini mengikuti Biya."Kemana?" tanyanya."Katanya ada temen di depan." Biya terus melangkah di ikuti Brian."Oh mungkin—" Brian tidak melanjutkan lan
Brian terlihat menatap langit - langit kamar, menunggu Biya yang sepertinya baru selesai mandi. Suara pintu terbuka pun menyadarkan Brian."Kenapa? Kamu kayak lagi ada pikiran." kata Biya seraya berjalan menuju meja rias.Brian menghela nafas panjang."Banyak." jawabnya singkat namun penuh beban."Banyak? Salah satunya? Ceritain biar enak. Siapa tahu aku bisa bantu." Biya memakai cream malam lalu lipbam.Biya melangkah menghampiri Brian yang menyambutnya dengan memeluknya."Kenapa, hm?" Biya mengusap kepala Brian seperti anak kecil, tapi Brian tidak terganggu, malah dia suka."Kamu liat Glen? Dia sering marah, di ajak main ga mau. Apa dia marah karena selama ini aku ga ada saat siang?"Biya tersenyum tipis."Kamu sadar ternyata soal itu, Glen emng sering ngeluh, dia ingin main tapi papa kerja." terangnya.