Aku memanyunkan bibirku lima senti begitu ke luar dari dalam kamar mandi.Rizal benar-benar tidak menepati janjinya. Katanya modusnya hanya sedikit, tapi ternyata banyak sekali.Mungkin seluruh tubuhku banyak bekas tanda merah akibat ulah bibirnya yang nakal.Mau marah, tapi aku menikmatinya juga. Akh! Jadi serba salah, kan?“Ehem, seperti pengantin baru aja mandi bareng!” celetuk Fika yang tak kuketahui kapan datangnya.Rizal hanya bersikap acuh dan pergi begitu saja menuju kamar. Sementara itu, aku menjadi canggung gara-gara tertangkap basah mandi bareng dengan Rizal.“Ada apa, Fik?” tanyaku kemudian. Aku berusaha bersikap biasa saja.“Mbak, aku pinjam uang, dong.” Fika mendekat ke arahku dengan wajah yang memelas. “Aku bingung harus gimana. Setiap hari ada aja debt kolektor yang datang ke rumah menagih hutang. Aku bingung banget, Mbak. Makanya tadi sampai bertengkar hebat dengan mas Evan gara-gara hal itu!”“Memangnya total hutangmu dan suamimu berapa, Fik?”“Tiga ratus juta, Mbak.
Semakin hari keadaan Ibu semakin membaik. Perempuan paruh baya itu sudah terlihat bugar dan perlahan-lahan bisa beraktivitas kembali—walau masih aktivitas yang ringan.Aku merasa bahagia. Sebentar lagi, Ibu pasti pulih seperti sedia kala.“Rara …” panggil Ibu ketika aku tengah sibuk mencuci piring di dapur.Aku segera menoleh ke arah belakang. “Iya, Bu. Ada apa?”“Ibu mau berbicara denganmu.”“Oh, iya sebentar. Aku selesaikan mencuci piring ini dulu ya, Bu.” Aku segera mempercepat dalam mencuci piring. Begitu selesai, aku berjalan menghampiri Ibu yang kini sudah duduk di kursi panjang dekat meja makan.“Mau berbicara apa, Bu? Apa Ibu perlu sesuatu? Ibu lapar?” tanyaku seraya duduk di samping Ibu.Ibu menggelengkan kepalanya dengan perlahan. “Ibu cuma mau mengucapkan terimakasih padamu karena sudah bersedia merawat Ibu.”Aku tersenyum ke arah perempuan paruh baya yang ada di depanku saat ini. Tanganku terulur menggenggam tangannya dengan erat. “Sudah kewajiban seorang anak untuk merawa
Setelah saling memaafkan, aku mendapati Ibu dalam versi yang baru, yaitu—beliau begitu sangat baik dalam memperlakukanku. Kami berdua sudah berdamai dengan masa lalu dan berjanji akan menjadi pribadi yang lebih baik lagi.Saat ini, aku dan Rizal tengah bersiap-siap untuk kembali ke ibu kota karena ibu sudah sehat seperti sedia kala.Daripada tinggal sendiri, aku sudah berusaha mengajak Ibu untuk tinggal bersamaku di kota. Namun, Ibu menolak dengan alasan takut merepotkanku dan Rizal.Padahal, aku sudah menjelaskan pada Ibu jika kami tak merasa direpotkan. Tapi tetap saja, Ibu tidak mau.Pada akhirnya, aku hanya pasrah dan tidak bisa memaksa Ibu.“Bekalnya sudah ibu siapkan ya, Ra. Kalau lapar di pertengahan jalan, kamu bisa makan terlebih dahulu.”Aku tersenyum ke arah Ibu. “Padahal kalau lapar aku bisa berhenti di tempat makan, Bu.”“Kamu harus menghemat uangmu untuk biaya persalinan cucu ibu.” Ibu mengusap perutku dengan penuh ketulusan.Satu hal yang Ibu tahu, aku dan Rizal hidup p
Habis terang, terbitlah gelap. Mungkin itu suatu ungkapan yang tepat untukku dan Rizal saat ini.Begitu check out dari penginapan, kami segera melanjutkan perjalanan untuk pulang.Namun, siapa yang menyangka ketika sampai di tempat tujuan, rumah sederhana yang kami tempati tiba-tiba telah rata oleh tanah dan hanya menyisakan puing-puing bangunan.Kami berdua tentu terkejut dengan luar biasa. Rizal bahkan segera turun dari mobil dan tak bisa berkata apa-apa karena saking syoknya.“Bagaimana mungkin?” Rizal mengacak rambutnya dengan frustrasi, ia kini memelukku yang sedang menangis.“Aku yakin, ini semua ulah ayah!” Nada bicara Rizal terlihat marah. “Ayo kita ke rumah yang satunya, Mbak.”Rizal segera memapahku menuju mobil menuju rumah mewah yang sempat aku tinggali waktu itu.Begitu sampai di depan gerbang rumah, banyak sekali orang berpakaian serba hitam berjaga di depan gerbang.“Sial!” Rizal memukul setir mobilnya dengan kasar.“Me-mereka siapa, Zal?”“Anak buah ayah.”Otakku seaka
“Keluarkan senjatamu, atau kami akan menghabisi nyawamu!”Aku mengerjap-ngerjapkan mataku menatap mereka satu persatu. Jadi, benar aku dikira penyusup?“Maaf, saya tidak membawa senjata tajam sama sekali.” Aku mencoba bersikap tenang, padahal aslinya sudah ketakutan luar biasa.“Keluarkan isi tasmu!”Aku mengangkat tas kecil yang kupakai. “Ini hanya berisi uang receh dan lipstik!”Salah satu dari mereka tiba-tiba datang mendekat ke arahku dan menarik tas kecil yang kupakai hingga talinya putus. Dia kemudian mengeluarkan semua isi tasku, dan cukup terkejut ketika mendapati isi tasku hanyalah uang receh dan lipstik.“Aku tidak berbohong, kan?” kataku kemudian. “Lagipula, aku bukan penyusup. Aku istri Rizal, oh bisa juga istri Samuel.”Orang-orang itu langsung saling pandang.“Dasar wanita gila! Tuan muda belum menikah!”Aku mengangkat tangan kananku dan memperlihatkan cincin yang melingkar di jari manisku pada mereka. “Ini cincin pernikahan kami. Apa kalian tidak melihat tuan muda kalia
“Saya … tidak bisa memberitahukannya, Nyonya,” kata pelayan tua tersebut.“Kenapa?”“Kalau saya melakukannya, saya akan dihukum.”Aku menarik napas panjang. Benar apa kataku, nyawa manusia di tempat mengerikan ini sudah tidak ada artinya lagi.Pada akhirnya, aku kembali masuk ke dalam kamar mewah yang suram itu lagi.“Apa Nyonya mau makan?” tanya pelayan tua itu kemudian.“Aku belum lapar. Boleh tinggalkan aku sendiri dulu?”Pelayan tua itu tampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya menganggukan kepala seraya berkata, “baik, Nyonya. Jika Anda membutuhkan sesuatu, silakan pencet bell di sebelah tempat tidur Anda.”Aku menoleh ke arah samping tempat tidurku yang terdapat pencetan bell seperti yang dikatakannya. “Iya, baiklah.”“Kalau begitu saya permisi dulu, Nyonya.”Begitu perempuan paruh baya tersebut berlalu, aku segera mencari keberadaan ponselku. Kuraba-raba kantong celanaku. Namun, aku tak menemukan benda pipih tersebut.“Kenapa nggak ada? Apa jatuh waktu di ruangan mengerikan tad
“Nyonya, ini pakaian dari Tuan Muda untuk Anda,” Bibi Pram datang sembari membawakanku sebuah totebag bertuliskan brand ternama.“Tuan Muda ingin Anda memakai pakaian ini saat makan malam nanti bersama keluarga besar William sekaligus memperkenalkan Anda sebagai istrinya,” lanjut Bibi Pram lagi.“Iya, terimakasih, Bi.”Semenjak aku bertekad untuk membuat Samuel jatuh cinta lagi, aku mencoba menjadi perempuan penurut lagi.Aku mencoba bersikap sangat baik pada Samuel demi meluluhkan hatinya. Termasuk, menerima ajakan makan malam nanti bersama keluarga William.Aku mengambil totebag yang berada di sampingku. Begitu kubuka, isinya adalah alat make up dan sebuah gaun panjang berwarna merah muda dengan aksen rumbai-rumbai yang bertumpuk-tumpuk.“Haish, kenapa gaunnya harus seribet ini? Ini hanya makan malam, kenapa pula aku harus memakai pakaian seperti ini? Seleranya sangat beda jauh dengan Rizal!” Aku menggerutu. Namun, pada malam harinya, aku juga memakainya.Aku memoles wajahku dengan
Setelah acara makan malam yang cukup menguras energi selesai, Samuel mengantarku kembali ke kamar mansion belakang.Aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian biasa.Begitu aku ke luar dari kamar mandi, aku melihat Samuel tengah tiduran di atas ranjang dengan hanya memakai kemeja. Sementara jasnya ia letakkan di kursi.“Kenapa kamu belum pergi?” tanyaku kemudian.“Ini kamarku. Terserah aku mau pergi atau tidak,” jawabnya yang terkesan cuek dan hanya memainkan gawai yang dipegangnya.Aku kemudian duduk di sisi ranjang. “Tapi aku mengantuk, Sam. Aku ingin tidur.”Samuel melirikku dengan ekspresi datar. “Tidur tinggal tidur. Ribet!”“Aku tidur di mana kalau kamu di situ?”Samuel kemudian menggeser tubuhnya ke samping. “Tempat itu cukup luas untukmu.”Aku memandang tempat tidur yang kosong di sebelah Samuel. Aku tahu tempat itu cukup luas. Namun, yang ku inginkan adalah dia pergi dari atas tempat tidur itu dan membiarkanku tidur sendirian."Samuel?"Dia han
“Wanita lain?” Rizal terkekeh menatapku. “Mana mungkin aku punya wanita lain, Mbak!”“Lha itu Mawar.”Rizal lagi-lagi terkekeh. “Dia hanyalah mantan tunangannya Samuel.”“Mantan, tapi masih cium-ciuman.”“Oooh … yang waktu itu? Yang kamu kabur dari mansion itu, Mbak?”Aku terdiam. Aku tak mungkin berkata pada Rizal, jika hatiku saat itu benar-benar panas.“Kamu harus tahu yang sebenarnya, Mbak. Perempuan itulah yang terlebih dahulu mencium Samuel—dia memaksa Samuel untuk balikan. Namun, Samuel menolaknya. Samuel benci penghianatan.”Lagi-lagi, aku hanya bisa terdiam. Berarti … aku salah menilai Samuel? Rasa bersalah tiba-tiba menelusup jiwaku. Andai aku tidak kabur saat itu, bukankah semuanya akan baik-baik saja?Aku mengusap perutku yang kempes. Bulir-bulir bening tiba-tiba membasahi kedua pipiku. “Lho, kenapa malah menangis, Mbak?”Aku menggelengkan kepalaku seraya menyeka air mataku yang sudah mengucur dengan deras.“Aku tahu apa yang kamu pikirkan, Mbak.” Rizal kemudian menarikku
Sudah berminggu-minggu aku terkurung di dalam rumah sakit ini. Sesekali aku keluar hanya untuk berjemur. Itu pun harus dengan penjagaan yang super ketat. Bibi Pram tiba-tiba memasuki ruangan yang kuhuni dengan tergopoh-gopoh. Kalau sudah seperti itu, ia pasti akan menyampaikan sesuatu yang penting.“Nyonya, Anda harus melihat berita hari ini di televisi!” katanya yang kini sedang sibuk mencari remote tv.“Ada apa, Bi?”Tanpa menjawab pertanyaanku, Bibi Pram yang sudah menemukan remote tiba-tiba segera menyalakan televisi dan mencari channel yang diinginkannya.Begitu mendapatkan channel tersebut, Bibi Pram langsung menyuruhku untuk melihatnya.“Pimpinan William Group telah diambil alih oleh anak semata wayangnya yang bernama Afrizal Samuelim Exel.”Aku terbelalak membaca line berita dalam channel televisi tersebut.Jadi, Samuel sudah berhasil mengambil alih pimpinan William Group?Aku segera menyimak isi berita tersebut, tampak sang pembawa acara menyampaikan isi beritanya dengan lug
Kehilangan buah hati ternyata menimbulkan luka yang dalam bagiku. Aku sudah seperti orang kehilangan arah dan tidak tahu harus melakukan apa.Aku merasa hidupku seperti tidak ada artinya lagi. Duniaku runtuh, benar-benar runtuh dan tak berbentuk lagi.Andai aku tidak dikurung, andai Samuel mau menyelesaikan setiap masalah tanpa amarah yang meledak. Aku rasa, kejadian buruk ini tidak akan terjadi.Bolehkah aku membencinya yang telah membuatku seperti ini?Pintu kamar rawat yang kuhuni tiba-tiba terbuka.Kukira yang datang adalah Bibi Pram. Namun, ternyata yang datang adalah laki-laki yang membuatku menjadi hampir gila seperti ini.Aku membuang muka. Aku benar-benar muak melihatnya.“Bagaimana keadaanmu?”“Puas kamu membuatku seperti ini?” tanyaku dengan intonasi meninggi. “Kalau perlu bunuh saja aku sekalian!”Ia hanya diam. Namun, suara langkah kakinya seperti sedang menuju ke arahku. Dan secara mengejutkan, ia tiba-tiba memelukku dengan erat.Aku meronta-ronta. Untuk apa memelukku? D
Aku merasakan tubuhku diangkat seseorang yang berlari entah menuju ke mana.Dari nada teriakannya, ia terdengar panik dengan keadaanku saat ini.“Tolong selamatkan istri saya, dok!”Istri? Apa yang dimaksud adalah aku?Seseorang yang menggendong tubuhku ini terus berlari.Hingga beberapa saat kemudian, aku merasa diletakkan di sebuah tempat tidur lalu ditarik dengan tergesa-gesa oleh suara riuh orang yang tidak aku ketahui mereka itu siapa.Mataku benar-benar tidak bisa terbuka seakan ada beban berat yang menimpanya.“Bapak tunggu di luar ruangan. Kami akan berusaha menyelamatkan istri dan anak Anda!”“Lakukan yang terbaik, dok! Saya tidak mau kehilangan mereka!”Tubuhku terasa dibawa menuju ke sebuah ruangan. Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, yang jelas … perutku rasanya seperti sedang diremas-remas.***“Mama … Mama … bangunlah ….” kata seorang anak kecil membangunkanku yang sedang terlelap.Aku mengedarkan pandanganku. Di mana aku berada? Kenapa tempat ini semuanya berwarn
Keinginan tinggal di rumah Nenek Nur selamanya dan juga keinginan membangun tempat ini nyatanya hanyalah menjadi angan-angan semata.Pagi-pagi sekali—lebih tepatnya sehabis subuh, rumah Nenek Nur di gedor-gedor pintunya hingga mau roboh.Ketika aku membuka pintu, tampak orang-orang berpakaian serba hitam yang aku ketahui mereka itu siapa langsung menyeretku agar pergi dari rumah Nenek Nur. Tidak ada yang bisa menolongku meskipun para warga yang berada di sana ingin melakukannya. Orang-orang yang membawaku ini membawa senjata tajam dan sengaja digunakan untuk menakut-nakuti mereka.Begitu hampir tiba di mobil, aku melihat sesosok laki-laki yang aku hindari tengah bersandar pada pintu mobil dengan sepuntung rokok yang berada di jemarinya.Dia menatapku tajam bak perisai yang siap menembus lawannya.Dia pikir, aku akan takut ditatap seperti itu? Tidak akan! Aku bukan Rara yang lemah seperti dulu kala! Bahkan, jika aku mati hari ini, aku siap!“Kenapa kabur?” tanyanya dingin melebihi din
Dengan langkah tergesa-gesa, aku menyetop sebuah angkot ketika sudah sampai di luar.Sesekali aku menoleh ke belakang untuk memastikan ada yang mengikutiku tidak.Lagi-lagi aku bernapas lega, syukurlah tidak ada yang mengikutiku sama sekali.Sekarang, tinggal memikirkan aku harus pergi ke mana.Tiba-tiba, nama Mila melintas di pikiranku. Sepertinya, untuk sementara waktu aku akan ke rumahnya dulu.Aku segera mengeluarkan ponselku lalu menghubungi Mila.“Assalamualaikum, Rara? Ya ampuuun … ke mana saja kamu selama ini? Kenapa pesanku nggak pernah kamu balas?” cerocos Mila begitu panggilanku telah diangkatnya.“Waalaykumussallam, Mil. Nanti aku ceritakan semuanya. Kamu ada di rumah?”“Iya, aku ada di rumah. Kan, ini hari liburku!”“Oke, aku akan datang ke rumahmu.”Begitu panggilan terputus, aku segera minta turun dari angkot guna memesan taxi online menuju rumah Mila yang jaraknya sangat jauh.*Setibanya di rumah Mila, dia langsung menyambutku dengan heboh. Apalagi ketika mengetahui p
Aku terlonjak kaget ketika terbangun sudah tidak berada di bawah tiang mansion dekat taman.Kuedarkan pandanganku ke segala penjuru arah. Kamar? Kenapa aku bisa berada di dalam kamar? Siapa yang memindahkanku?Aku beranjak dari atas ranjang ketika menyadari tidak ada Samuel di kamar ini. Sepertinya, aku harus segera pergi sebelum dia kembali.“Mau ke mana lagi?”Deg!Baru beberapa langkah kakiku melangkah, sebuah suara berhasil membuatku tak berkutik sama sekali.Aku menoleh ke arah belakang, tampak ada Samuel yang baru saja muncul dari balik pintu kamar mandi menatapku dengan tajam.“Eh, kamu sudah mendingan?” tanyaku berbasa-basi dan berusaha bersikap tenang seakan tak terjadi apa-apa.“Lumayan.”“Alhamdulillah, aku merasa senang. Kalau begitu aku—”“Ini semua berkat obat manis yang kau berikan.”Aku seketika meringis ke arahnya. Sudah dipastikan wajahku saat ini semerah tomat menahan malu. “Ma-maaf, aku tidak bermak—”“Aku suka.”Kedua mataku langsung melebar melebar sempurna mena
“Nyonya Muda, apa yang sedang Anda lakukan pagi-pagi begini di dapur?” tanya Bibi Pram menghampiriku yang sedang berkutat di dapur mansion seorang diri. Dapur mansion ada dua bagian. Dapur kotor untuk memasak sehari-hari yang dipakai oleh pelayan. Sementara dapur bersih biasanya dipakai oleh tuan rumah ketika ingin memasak sendiri. “Suamiku sedang sakit, Bi. Aku ingin membuatkannya bubur.” Bibi Pram melihat panci yang berada di atas kompor. Sedetik kemudian, perempuan paruh baya itu tersenyum ke arahku. “Apa boleh saya membantu Anda?” tanyanya kemudian. “Aku bisa sendiri, Bi.” “Apa Anda serius?” Aku menoleh ke arah panci sambil garuk-garuk kepala. Jujur saja, aku belum pernah membuat bubur. “Sebenarnya, saya belum pernah membuat bubur sendiri, Bi. Ini saya cuma cari tutorial di sosial media.” Lagi-lagi Bibi Pram tersenyum. “Berarti, saya boleh membantu, kan?” Aku langsung nyengir ke arah Bibi Pram. “Ya sudah, tolong bantuin ya, Bi.” “Baik, Nyonya Muda.” Bibi Pr
Aku meringkuk di sudut ruangan dengan pikiran yang kacau balau. Jiwa Rizal dan Samuel benar-benar hanya dimanfaatkan oleh Tuan dan Nyonya William untuk kepentingan mereka sendiri. Hari nurani mereka sebagai orang tua sepertinya sudah rusak. Bukan rusak lagi, tapi sudah hancur dan tak berbentuk. Anak mempunyai penyakit kepribadian ganda bukannya disembuhkan, tapi malah semakin dimanfaatkan. Bukankah itu sesuatu yang sangat aneh dan tidak manusiawi? Aku mengepalkan kedua tanganku. Tekad dalam hatiku semakin membara untuk menjatuhkan mereka. Hatiku benar-benar sakit raga suamiku diperlakukan seperti itu! Di saat sedang kalut seperti ini, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Dari balik pintu muncullah sosok seorang laki-laki yang aku khawatirkan sedari tadi. Dengan wajah yang babak belur dan baju yang bersimbah darah ia berjalan perlahan memasuki kamar. “Astagfirullah, Samuel!” Aku segera berlari menghampirinya. Melihat kondisi Samuel saat ini membuat air mataku langsung mengucur den