“Odelina, kamu jangan berpikir kalau uang dua puluh juta sehari itu besar. Sekarang Daniel memiliki temperamen yang sangat buruk. Dia selalu saja melempar barangnya dalam keadaan marah. Kami bisa menolerir perilakunya itu karena kami adalah orang tuanya dan juga orang yang menyebabkannya mengalami kecelakaan.”“Lagi pula, siapa yang bisa tahan dengan sikap temperamen seperti itu? Kami sudah mengeluarkan banyak uang untuk memperkerjakan orang yang bisa merawat Daniel. Namun, sampai saat ini tidak ada yang bisa tahan dengannya. Merawat Daniel saat ini adalah sebuah pekerjaan yang sangat sulit,” ujar Yanti penuh harapan. Uang 600 juta bukanlah suatu masalah besar bagi Yanti selama Daniel bisa bahagia dan sembuh seperti sedia kala dalam perawatan Odelina. Uang 600 juta itu hanyalah isi sebuah tas milik Yanti dan Yanti masih memiliki tas-tas lainnya yang berisi 600 juta. Yanti merasa uang 600 juta yang harus dia keluarkan untuk Odelina tidaklah banyak, sedangkan Odelina merasa kalau uang
Sebenarnya, akar masalah ini berada di tubuh putranya sendiri. Jadi, bisa dibilang bertemu dengan Odelina adalah hal yang sia-sia belaka. Bagaimanapun juga, Yanti sudah melakukan hal-hal yang kurang baik kepada putranya, sampai akhirnya yang tersisa hanyalah penyesalan tiada akhir. Kemudian Odelina berkata dengan lembut, “Bu Yanti, aku juga nggak ingat dengan semua kata-kata yang dulu Ibu pernah ucapkan padaku. Tapi, aku cukup mengerti posisi Ibu saat itu.”“Bagaimanapun juga, pastinya lebih baik menikah dengan orang yang setara. Aku adalah seorang Ibu, jadi aku bisa mengerti bagaimana posisi Bu Yanti. Mungkin aku juga akan sedih dan sulit menerima pasangan anakku apabila perempuan itu tidak setara dengan keluarga kami.”Semua orang pastinya akan menganggap diri mereka sebagai orang tua yang liberal apabila belum bertemu dengan peristiwa seperti itu. Namun, pastinya tidak akan banyak orang tua yang memiliki pikiran terbuka yang akan mengizinkan anaknya menikah dengan siapa pun pasanga
Odelina menyerahkan ponselnya kepada Russel lalu menatap para pegawainya yang sedang membereskan kedai. Odelina bergegas menyuruh para pegawainya untuk pulang lebih cepat dari biasanya. Kemudian dia mengalihkan pandangannya kepada Dimas untuk berterima kasih kepada laki-laki itu.“Dimas, makasih ya sudah bantu jemput Russel di sekolah,” ujar Odelina sambil tersenyum. “Kak Odelina, lain kali tidak perlu berterima kasih seperti itu padaku. Aku melakukan semua ini juga karena Pak Stefan dan Bu Olivia yang menyuruhku,” jawab Dimas sambil tersenyum. Kemudian Dimas kembali berkata, “Aku juga cukup senang bisa membantu Kak Odelina. Lagi pula, Russel juga anak yang sangat lucu. Aku kangen sekali sama dia kalau nggak bertemu sama Russel satu hari saja.”Russel langsung mengangkat dagunya setelah mendengar perkataan Dimas lalu berkata dengan penuh percaya diri, “Om Dimas, aku kayak bunga mekar yang disukai dan disayangi sama banyak orang.”“Iya, Russel itu kayak bunga mekar yang membuat siapa
“Ada apa sebenarnya, Kak?” tanya Olivia dengan raut wajah khawatir. “Bukan masalah besar, sih. Aku dapat tawaran kerja dengan gaji tinggi,” jawab Odelina sambil menambahkan air ke dalam beras yang sudah dia cuci lalu memasukkannya ke dalam alat penanak nasi. “Kak, bisnis kedai makanan Kakak kan berjalan lancar. Kenapa Kakak masih mau cari pekerjaan lagi? Apa Kakak merasa terbebani dengan biaya sekolah Russel? Tenang saja Kak, aku bisa bantuin Kakak buat bayar uang sekolah Russel. Lagi pula, Stefan juga kasih aku uang banyak setiap bulannya. Aku nggak mungkin bisa menghabiskan uang sebanyak itu. Pokoknya hal yang paling tidak kekurangan dalam hidupku saat ini adalah uang,” ujar Olivia yang menduga kalau kakaknya mencari pekerjaan baru karena merasa tertekan dengan biaya hidup. “Bukan begitu! Uang bayaran Russel sama sekali bukan masalah buat Kakak. Lagi pula, uang tunjangan yang diberikan Roni juga cukup untuk biaya sekolah Russel. Aku juga setiap hari bisa menghasilkan uang, jadi ua
“Sekarang aku akan buat sup dan membawanya ke rumah sakit untuk Pak Daniel,” ujar Odelina lalu berbalik dan menemukan sekantung tulang sapi yang akan dia rebus untuk dijadikan sup tulang. “Oh iya, aku mau mengabari Bu Yanti dulu,” ujar Odelina teringat akan sesuatu lalu menghentikan pekerjaannya untuk menelepon Bu Yanti. Bu Yanti sangat berterima kasih kepada Odelina dan bersikeras untuk tetap membayar Odelina. Namun, Odelina juga tetap tidak akan menerima bayaran dari Yanti, jadi Yanti pun tidak bisa melakukan apa-apa selain menuruti permintaan Odelina. Odelina langsung sibuk menyiapkan makan siang setelah dia membulatkan keputusannya. Odelina sudah selesai menyiapkan semua makan siangnya sebelum waktu makan siang tiba. Odelina keluar dari dapur sambil membawa termos sup lalu berkata, “Olivia, aku mau antar sup ini ke Pak Daniel dulu. Kamu jagain Russel di sini, ya. Oh iya, makanan sudah siap. Kalian segera makan ya kalau sudah selesai bekerja. Makanannya ada di dalam panci.”“Kak
“Rania, jangan marahin Daniel. Dia juga nggak mau begitu,” ujar Yanti yang langsung menarik Rania keluar ruang rawat. “Jangan marahin Daniel. Hidupnya sudah cukup menderita,” lanjut Yanti setelah mereka berdua berada di luar ruang rawat. “Ma, aku tahu kok kalau Daniel menderita karena kecelakaan itu. Tapi, apa dia pikir kita juga nggak menderita? Kita semua peduli sama kesehatannya. Bahkan dokter saja nggak bilang kalau penyakitnya itu mematikan. Tapi dia justru berniat untuk mematikan dirinya sendiri.”“Mama juga jangan nurutin dia terus. Mama harus memotivasi dia biar dia bisa bangkit dari keterpurukannya,” balas Rania. Rania bisa mengerti kalau Yanti terus menyalahkan dirinya sendiri atas kecelakaan yang terjadi pada Daniel. Dia juga tidak bisa beranjak dari sisi Daniel dan terus merawat Daniel dengan sabar. Rania dan suaminya hanya bisa datang setiap hari untuk mengantar makanan. Terkadang, Daniel tidak bersedia bertemu dengan mereka ketika mereka datang. Padahal suaminya sudah
Yanti yang berada di sebuah ruang tamu kecil yang berada di luar ruang rawat Daniel langsung menanggapi ketukan pintu itu. Seorang pengawal muncul ketika pintu terbuka lalu pengawal itu berkata, “Bu Yanti, ada Bu Odelina di sini.”Namun, tiba-tiba saja Daniel yang memiliki telinga tajam langsung bereaksi ketika mendengar perkataan si pengawal, bahkan sebelum Yanti sempat menanggapi si pengawal itu. “Suruh dia pergi dari sini! Aku nggak mau bertemu dia. Suruh dia jangan pernah datang ke rumah sakit ini. Bahkan kalau perlu pergi saja dia yang jauh dari sini!” seru Daniel. Si pengawal hanya bisa menghela napas di dalam hati setelah mendengar teriakan Daniel. Daniel memang selalu bersikap seperti itu setiap kali Odelina datang untuk menjenguknya. Namun, reaksi yang besar itu hanya muncul ketika Odelina yang datang. Dengan begini, siapa pun juga tahu kalau emosi Daniel dikendalikan oleh Odelina. “Suruh Odelina masuk,” ujar Yanti menolak untuk menuruti putranya. Si pengawal terlihat sed
“Daniel!” seru Yanti geram.Dirinyalah yang meminta Odelina untuk datang ke sini dan merawat Daniel. Jadi, bagaimana mungkin dia tega membiarkan Odelina berdiri di luar dalam waktu yang lama?Namun, Daniel langsung menutup matanya dan mulutnya seakan dia benar-benar tidak ingin lagi diajak bicara. Yanti tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya saat ini. Akhirnya, dia mengambil tisu untuk menyeka keringat dingin yang terus keluar dari dahi Daniel. “Daniel, Mama tahu kalau kamu masih suka sama Odelina. Tapi, kenapa kamu bersikap kayak gini sama dia?” tanya Yanti lembut tidak habis pikir dengan sikap putranya. Daniel masih memejamkan matanya dan tidak menanggapi perkataan ibunya sama sekali. Sebenarnya, dia adalah sosok yang paling tersakiti ketika harus melakukan hal seperti ini pada Odelina. Hatinya terasa sangat sakit seperti disayat-sayat oleh pisau. Namun, keadaan tubuhnya tidak sama seperti dulu lagi. Daniel tidak ingin Odelina melihat keadaannya yang tidak berdaya seperti in