Untuk sesaat keduanya saling tatap satu sama lain. Mika yang menunggu jawaban Noval, dan Noval yang merasa tertegun dengan pertanyaan dari Mika."Kok diam?" tanya Mika kemudian.Noval pun tersadar. Dia mengedipkan matanya beberapa kali lalu melanjutkan aktivitasnya. "Lebih ke arah kebersihan. Secara Ridwan adalah orang yang jorok," ujar Noval kemudian yang tentu itu hanya alasan."Oh gitu?" Mika mengangguk beberapa kali. Keduanya pun keluar dari kamar mandi lalu keluar dari toko."Aku kira kamu cemburu," ujar Mika ketika melihat suaminya yang sedang menutup toko. Rupanya tugasnya berganti pada Noval.Noval membalikkan badan menatap Mika ketika sudah mengunci toko. Dia meraih tangan Mika lalu memberikan kunci toko pada Mika. "Kenapa kamu tanyanya sejak tadi itu mulu?"Mika menggenggam kunci yang diberikan Noval lalu memasukkannya pada tas yang dia bawa. Mika menggeleng. "Nggak papa. Cuma mau tanya aja?"Noval menaiki motornya lebih dulu. "Kamu ingin tahu aku cemburu apa tidak?" tanyany
"Kamu gila, Kak?" tanya Olip tak habis pikir. Kemarahannya sudah mencapai ubun-ubun. Istri mana yang tidak akan marah kalau mendengar suaminya menawari perempuan lain untuk menjadi istri? Dengan kata lain dia mau dimadu. "Bisa-bisanya Kak Ridwan menawari Kak Mika menjadi istri Kakak? Kakak sudah tidak waras!" bentak Olip. Ridwan yang merasa pusing mendengar teriakan Olip, langsung menatap Olip dengan tajam. "Hah! Bisa tidak kamu diam! Setiap hari bisanya hanya teriak saja. Pusing kepala aku!" Ridwan ikut berteriak! "Aku berteriak juga karena Kak Ridwan. Istri mana yang tidak akan marah kalau suaminya menawarkan perempuan lain untuk menikah dengannya. Kakakku pula yang kamu tawari," ujar Olip marah. Rasanya dia ingin berteriak dengan kencang saja. "Semua itu karena aku baru sadar. Kalau Mikalah yang aku butuhkan. Mika yang aku cintai. Aku hanya bernafsu saja dengan kamu," ujar Ridwan dengan menunjuk istrinya. Tatapannya masih tajam dan penuh kemarahan. Olip semakin merasa tida
Ridwan merasa bingung malam ini. Setelah keluar dari kontrakan, dia tidak tahu harus pergi ke mana. "Balik ke kontrakan males. Pulang ke ruang Ibu, apa iya nggak bakal diajar lagi?" Ridwan bertanya pada dirinya sendiri.Kini, Ridwan tengah berada di sebuah warung kopi. Dia ingin menenangkan dirinya dari rasa stress yang ditimbulkan oleh Olip. "Punya istri gini amat. Bayangannya habis nikah enak ada yang ngurusin, malah kek gini." Dia mendengus.Malam semakin gelap, udara juga semakin dingin. Dia pun memutuskan untuk pulang. Pulang ke kontrakan, bukan ke rumah orang tuanya. Dia masih waras untuk pergi ke sana mengingat bagamana seramnya sang Bapak kalau mengamuk.Bukannya dia merasa takut. Ridwan hanya menghomarti bapaknya. Kalau masalah duel, sih dia yakin bakalan menang melawan bapaknya. Hanya saja, kembali pada kenyataan kalau pria itu adalah orang tuanya. Mana Berani dia melawan? Takut dianggap durhaka nanti.Motor berhenti di depan kontrakan. Dia memasuki kontrakan dan melihat ist
Datangnya Olip pagi itu je rumahnya Pak Purnomo membuat dia lebih sering datang. Bahkan dia sudah berani menginap di rumah orang tuanya meski di awal-awal dia mendapatkan penolakan dari Mika.Olip tidak peduli, dia tetap menginap. Rumah tangga Olip dan Ridwan semakin hari semakin renggang. Mereka lebih sering menginap di rumah orang tua masing-masing.Contohnya saja hari ini. Hari minggu setelah sarapan, Olip memilih duduk santai di depan rumah, melihat orang-orang yang berlalu kalang. "Paling enak emang tinggal di rumah orang tua." Dia menyandarkan punggung pada sandaran kursi.Tatapan Olip mengarah pada tanah yang ada di depan rumahnya. Dulu tanah itu kosong, Sekarang sudah berdiri sebuah rumah megah berlantai dua. "Rumahnya sangat cantik. Seperti rumah yang dulu aku impikan," ujar Olip dengan senyuman."Andi saja ruamh itu adalah rumahku." Olip beramgan. Sayangnya itu hanya khayalannya saja. Perempuan itu pun mengembuskan napas kasar dan menurunkan kesua bahunya."Apa iya mimpiku
Olip yang mulai muak mendengar perkataan warga pun memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya saja. Apalagi banner yang ingin dia ketahui tulisannya apa tidak kunjung dibuka. Membuat moodnya semakin buruk saja."Sudah ah. Saya pulang saja. Nggak penting juga di sini." Dia menggerutu."Ya ... nggak ada yang ngajak kamu ke sini juga," ujar Sinta yang tiba-tiba sudah ada di sana.Olip menatap Sinta. "Ngapain lo di sini?" tanyanya sewot."Dih. Terserah gue mau gue ada di mana. Mending lo pulang sana. Lo tadi bi lang kan mau pulang, kan? Sana-sana. Hus-Hus," ujar Sinta mengusir Olip layaknya unggas. Apa yang dilakukan Sinta pun membuat warga yang lain tertawa.Olip tak menggubris dan dia terus melangkah meninggalkan lokasi. Namun, sebelum dia sampai ke rumah orang tuanya, dia melihat Noval dan Mika yang keluar dari rumah.Langkah Olip pun terhenti, menatap kedua pasangan suami istri itu dengan aneh. "Ngapain mereka begitu?" tanyanya pada diri sendiri. Dia masih berdiri di tempatnya me
Bu Tuti dan Olip sama-sama melotot dan membuka mulutnya lebar-lebar kala semua warga bersorak seiring bersamanya banner yang sejak tadi ditunggu kini sudah terbuka menampilkan sebuah tulisan yang tidak bisa dia percaya."Jadi itu beneran rumah mereka?" tanya Olip kemudian. Entah kenapa tiba-tiba saja dia merasakan panik saat ini.Mata perempuan itu tiba-tiba saja berkaca-kaca, dia menggeleng pelan dan meremas rambutnya dengan kasar. "Tidak mungkin!" teriaknya kemudian.Dia menatap ibunya dengan tangis yang mana air matanya sudah berjatuhan banyak. "Bu. Tidak mungkin, kan, Bu? Tidak mungkin, kan itu rumah Noval dan Kak Mika?" Dia bertanya pada ibunyaSedangkan Bu Tuti yang mendengar pertanyaan putrinya pun merasa bingung harus menjawab apa. Dia menatap putrinya yang menangis lalu menatap kumpulan para warga yang ikut Noval memberi kejutan pada Mika."Em ... em ...." Bu Tuti bingung harus mengatakan apa. Mau dibilang tidak pun nyatanya itu memang rumahnya Noval dan Mika."Bu. Kok diam s
"Lah? Dia pingsan?" Para warga menatap heran Olip."Dia kenapa?" tanya pria yang tadi datang bersama perempuan tua yang memanggil Mika cucu."Biasa itu, Om. Drama queen lagi tantrum," ujar Sinta yang sudah berhasil menguasai rasa terkejutnya melihat adegan sang sahabat bersama orang-orang yang baru dia lihat keberadaannya."Astaga. Ada-ada saja." Pria bernama Andra itu menggeleng pelan menatap Olip.Sedangkan Bu Tuti yang melihat putrinya tak sadarkan diri langsung panik. Dia berjongkok di samping Olip. "Olip. Olip. Bangun Olip. Bangun. Kamu kenapa pingsan di sini sih?" Astaga. Itu pertanyaan macam apa? Bukankah orang pingsan tak bisa merencanakan di mana dia akan pingsan?"Aduh." Bu Tuti pun langsung menatap orang-orang yang berkumpul di depan ruang baru Mika."Hei kalian! Kenapa diam aja sih? Bantuin dong. Angkatin kek minimal," ujar Bu Tuti yang merasa mesa sebab anaknya pingsan malah dilihatin saja tanpa ada yang membantu.Para warga saling tatap satu sama lain. "Kita tolongin jan
"Sumpah. Ibu nggak pernah menyangka kalau keluarga kandung mendiang ayahnya Mika akan datang, Pak," ujar Bu Tuti dengan menggeleng pelan.Pasangan suami istri itu tengah duduk di ranjang kamar Olip sembari menjaga anak mereka yang masih belum sadarkan diri. Mereka menatap ke depan sembari memikirkan apa yang baru saja mereka lewati."Bapak juga, Bu," sambung Pak Purnomo. Pria itu menunpu dagu pada kepalan tangannya."Mengingat bagaimana hubungan mendiang orang tuanya Mika dulu, rasa-rasanya seperti mustahil kalau mereka akan memikirkan satu sama lain," lanjut Pak Purnomo."Ya, kan tapi dulu yang marah akan hubungan kedua orang tua Mika itu yang pria, Pak. Kita dengar sendiri tadi kalau dia sudah meninggal." Bu Tuti berujar dengan ingatannya akan pemicaraan Mika tadi."Bisa jadi, Bu. Neneknya juga, kan yang mencari. Apalagi neneknya tadi sedang sakit, bukan?"Dua orang itu mengangguk beberapa kali. Tiba-tiba saja Bu Tuti mengingat sesuatu. "Pak. Kira-kira Mika akan tinggal di rumah kel
Setelah menutup panggilan telepon dari ibunya beberapa menit lalu, itu membuat Olip termenung. Perempuan itu berpikir cukup lama dengan acara syukuran di rumah baru Mika."Datang nggak ya?" tanyanya pada diri sendri. Tentu kita tahu apa yang dikatakan oleh Olip pada ibunya tadi di telepon kalau dia tidak mau datang ke acara itu.Ya. Kita tahu kalau Olip semakin merasa kesal dengan apa yang dicapai oleh kakanya, apalagi kelakuan Ridwan akhir-akhir ini yang memperlihatkan seperti dirinya tida ada artinya lagi untuk Ridwan.Olip menggigit bibir bawahnya dengan ekspresi gelisah. Dia menunduk melihat perutnya yang rata. Dia mengelusnya pelan dengan ekspresi sedih."Pasti di sana sekarang banyak makanan. Pasti banyak yang enak-enak juga." Olip membayangkan makanan yang kini ada di rumah Mika. Ayam, daging, sayur, buah dan juga jajanan. Belum lagi kue-kuenya."Apa aku ke sana saja, ya? Sudah lama banget nggak makan enak. Udah berapa hari ini makanya cuma emi," ujarnya sekali lagi. Dia masih
Keluarga Noval dan juga neneknya Mika saling mengobrol bersama di sebuah ruangan yang terpisah dengan tempat acara syukuran berjalan. Kedua keluarga berkenan dan bercerita mengenai kilas balik.Mika dan Noval memasuki ruangan. "Maaf, ya. Kami baru bisa menemani," ujar Mika merasa bersalah."Tidak apa. Namanya juga lagi punya hajatan. Pasti sibuk ngurusin para tamu." Nenek Saseka berujar dengan senyuman.Nyonya Maysa tersenyum. Dia menepuk punggung tangan Mika. "Semoga di rumah baru ini hubungan kalian semakin erat," ujarnya mendoakan yang terbaik."Dan yang pasti, semoga kalian segera mendapat momongan," lanjutnya dengan senyuman mengembang.Noval yang mendengar itu langsung menatap papanya di mana sang papa hanya memberikan senyum miring di sana."Benar tidak Nyonya Saseka?" tanya Nyonya Maysa pada nenek Mika."Betul itu. Saya juga pengen segera dapat cicit dari Mika. Saya sudah tua. Harus cepet. Takutnya keburu diambil sama yang maha kuasa." Nyonya Saseka berujar.Mika yang mendenga
Bu Tuti yang kepikiran mengenai Olip setelah mendapat pertanyaan dari beberapa tetangganya tadi gegas menuju tempat paling belakang agar tida diketahui orang. Tidak. Dia bukannya ingin berbuat curang. Dia hanya ingin mencoba menghubungi Olip karena merasa heran putrinya itu bum datang juga. Padahal, dia sudah memberitahu mengenai acara ini."Jangan-jangan dia beneran tidak mau datang lagi. Kemarin, kan dia bilang gitu." Bu Tuti mulai berkutat dengan ponsel miliknya, mencari nomor milik Olip dan mencoba untuk menghubunginya.Panggilan pertama tidak mendapat jawaban meski dia tahu kalau nomor Olip aktif. Hingga percobaan ketempat, dia pun akhirnya bisa mendengar suata Olip. Bu Tuti terlihat lega akan hal itu."Olip. Kamu ini ke man aja sih? Dihubungi dari tadi coba," ujar Bu Tuti yang langsung mengomel. Padahal beberapa saat lalu dia terlihat khawatir."Maaf, Bu. Tadi Olip dari kamar mandi. Ibu tahu sendiri kalau kamar mandi di kontrakan ini harus antre." Olip berujar dari seberang sana
Acara syukuran rumah Mika berlangsung. Jika siang ini diperuntukan untuk para ibu-ibu, naka di acara malam nanti akan diperuntukan untuk para bapak-bapak. Biar tidak tercampur begitu. Terlihat Bu Tuti yang tampak sibuk dan juga kerepotan karena perempuan itu memang diserahi tugas untuk mengatur makanan oleh Mika. Bukan karena semangat, tetapi diahanya tidak ingin kalau acara ini apan memiliki masalah pada makanannya karena itu akan menjadi hal yang tidak baik nantinya. Para tamu sudah datang. Mereka mulai pengajian dengan seseorang yang memimpin. Namun, kita tahu kalau seperti ini pasti ada saja beberapa orang yang tidak fokus. "Bu Tuti tumben giat gitu bantuin Mika." Ya. Beberapa ibu-ibu malah salfok sama keberadaan Bu Tuti yang terlihat sangat sibuk mengatur menu yang ada di acara syukuran ini. "Iya. Dia seperti paling sibuk ngatur menu sejak tadi." 'Tumben. Kan ini acaranya Mika." "Memang kenapa kalau acaranya Mika?" tanya salah satu ibu-ibu yang sejak tadi mendengar pembicar
Olip meringkuk ketakutan. Dia menunduk sembari menangis, sesekali melirik ke arah keberadaan suaminya dengan tubuh bergetar. Bagamana tidak? Ridwan yang biasanya akan selalu menurutmu kemauannya, selalu mengalah kikadia marah, kini berubah seratus delapan pukul derajat. Bahkan kini Olip sangat ketakutan melihat suaminya itu. "Enak?" tanya Ridwan dengan senyum miring. Pria itu pun bangkit lalu mengenakan pakaianya secara cepat semampu melirik sinis ke arah Olip. Terlihat ekspresi penuh kepuasan di wajah pria itu. Setelah mengenakan pakaiannya dengan lengkap, dia pun mendekati Olip. Hal itu membuat Olip kembali merasakan takut. Dia menarik tubuhnya untuk semakin merapat ke dinding yang ada di belakangnya. Sedikit gerakan saja dia sudah berdesis. Olip merasakan kesakitan di sekujur tubuhnya karena mendapat penyiksaan dari Ridwan. Yang paling parah adalah bagian intinya karena Ridwan sudah menggangg*hinya secara brutal dan kasar. "Jangan," bisik Olip. Ridwan pun hanya terkekeh. Tak
Ridwan merasa marah dan kesal dengan insiden yang terjadi padanya di warung kopi tadi. Niat hati bertemu teman lama yang dulunya sama-sama bekerja mejadi guru, dia malah dipermalukan oleh ibu mertuanya. "Sial*n! Kurang ajar sekali orang tua itu. Berani-beraninya dia mempermalukan aku di tempat umum," ujar Ridwan yang terus menggerutu sepanjang perjalanan tadi. "Mana pukulannya sakit semua lagi?" Dia masih di atas motor menuju kontrakannya. Sesekali Ridwan melihat lengannya yang tadi juga terkena pukulan dari Bu Tuti. Terlihat beberapa ruam di sana akibat cubitan juga. Tiba-tiba pandangannya menajam lurus ke arah depan. Giginya bergemerut satu sama lain menandakan amarah pria itu. "Olip" Dia mengucapkan nama istrinya dengan suara menggeram. Kilat emosi terpancar di sorot matanya. Entah seberapa marah pria itu saat ini. "Awas saja kau Olip. Kau sudah membuat aku dipermalukan oleh ibumu di tempat umum. Tungu saja pembalasanku," ujarnya kemudian. Meski sejak dipukuli tadi dia terus
Tepat ketika mobil sampai di rumahnya Bu Tuti langsung turun dan berjalan cepat memasuki rumahnya."Ada apa, Bu?" tanya Pak Purnomo yang melihat istrinya baru datang. Namun, ekspresinya membuat dia bertanya-tanya.Bu Tuti hanya menoleh sekilas pada suaminya lalu kembali membuang muka dan melanjutkan langkah untuk memasuki rumah. Dia kembali merasa kesal pada sang suami kala mengingat kalau suaminy itu duku tidk mau membela Olip ketika mendapat perlakuan tidak baik dari Ridwan.Pak Purnomo semakin merasa bingung dengan keadaan istrinya. "Ada apa sih? Ditanya bukannya jawab malah nyelonong aja." Dia menggeleng pelan sembari berkacak pinggang.Pak Purnomo berniat duduk kembali ketika pandangannya menangkap keberadaan Bu Ane yang sedang menurunkan belanjaan dibantu sopir Mika.Dia pun mengurungkan niatnya untuk duduk dan memilih untuk membantu Bu Ane. "Banyak sekali belanjaannya, Bu?" tanya Oak Purnomo uang terkejut melihat isi bagasi mobil itu.Bu Ane mengangguk. "Iya, Pak. Ini saja belu
"Dasar laki-laki tidak tahu diri. Tidak berguna. Bisanya hanya menyusahkan saja. Laki-laki macam apa kamu. Tidak bertanggung jawab. Pria macam apa kamu? Sukanya main tangan. Kurang ajar!" Bu Tuti terus menyerocos tiada henti untuk meluapkan kekesalannya. Tak lupa tangannya yang terus bergerak memukuli Ridwan."Berani-beraninya kamu, ya. Berani-beraninya kamu menampar putriku. Kurang ajar kamu. Laki-laki kurang ajar kamu," ujar Bu Tuti dengan terus memukuli pundak Ridwan."Apa sih, Bu?" tanya Ridwan yang mencoba menghindari pukulan Bu Tuti. Namun, ibu mertuanya itu terus saja memukulinya."Apa sih, Bu. Apa sih, Bu. Jangan pura-pura kamu. Laki-laki tidak tahu malu. Beraninya main tangan sama perempuan. Kamu laki-laki apa banc*?" Bu Tuti terus memberikan pukulan pada Ridwan.Ridwan yang terkejut akan kedatangan Bu Tuti dan segala tingkah lakunya kini mulai merasa kesal. Dia pun segera menepis tangan ibu mertuanya itu."Apa-apaan sih, Bu? Bikin malu aja," ujar Ridwan. Dia menatap ke seki
"Ke mana sih si Ridwan ini? Udah beberapa hari kok nggak datang. Biasanya datang cari makanan?" tanya Bu Lestari yang merasa bingung karena tidak melihat Ridwan datang beberapa hari ini."Kan mau ada yang aku tanyakan," ujarnya sekali lagi. Dia bahkan mondar-mandir di ruang tamu sembari menggigit jarinya.Suara motor terdengar mendekat. Bu Lestari tahu itu suara motor siapa. "Itu suara motor Ridwan," ujarnya semangat.Bu Lestari pun dengan bersemangat langsung keluar dari rumah. Dia tersenyum melihat putranya memarkirkan motornya."Kamu ini ke mana aja sih, Wan? Kok dua hari ini nggak ke sini?" tanya Bu Lestari.Ridwan yang mendengar perkataan ibunya pun mengerutkan keningnya, merasa heran dengan ibunya. "Ada apa memang, Bu?" tanyanya kemudian."Ada yang mau ibu tanyain," ujar Bu Lestari. Dia langsung meraih tangan Ridwan dan menariknya memasuki rumah dan mengajaknya duduk."Ibu mau tanya," ujar Bu Lestari kemudian.Ridwan berdecak. "Nanti aja deh, Bu. Ridwan laper nih. Pengen makan,"