PoV Widya***Tok tok tok!Eh, tiba-tiba ada suara ketukan pintu. Dari balik jendela langsung kulahap habis memandang siapa yang datang.Kaget, aku benar-benar kaget. Di luar sana ada orang yang menakutkan lebih dari hantu."Siapa?" gertak si Bang Panjul. Aku masih belum bisa menjawab. Di luar ada Bang Furqon si tukang meminjamkan uang. Gawat, pasti dia mau nagih."Wid, buka! Gue tahu loe ada di dalam! Tadi gue lihat loe masuk ke dalam!" teriaknya dari luar. Sontak suara itu membuat Bang Panjul loncat dan langsung mendekatiku ke jendela."Eh, siapa dia? Bang Furqon?" kagetnya. Bang Panjul melirikku dengan horor, "kamu ngutang, ya?" imbuhnya."Ngutang? Ngutang apaan?" Aku dengan gelagat pura-pura. Seharusnya ini belum terjadi. Ini gara-gara investasi itu, aku jadi gali tutup lobang."Udah, jangan bohong. Tapi kamu kasih apa sebagai jaminannya. Kan harus ada jaminan?" Dia melotot dengan slow.Seketika ludahku pun tertelan pelan. Bagaimana lagi, memang harus jujur. "Emm … anu … em … BPKB
"Gue mau cari si Panjul! Dia sudah Nunggak cicilan!"Bagaimana aku tidak syok mendengar pernyataan laki-laki barusan. Cicilan? Kugepelengkan leher spontan menatap pria di sampingku ini.Lantas bola mataku melotot dengan horor menatapnya. Ada bau-bau kebohongannya yang membuat dia tak mau jujur. "Bang, cicilan apa?"Dia seakan tersangka."Aduh." Dia malah meringis takut dan serba salah. Wajahnya juga polos-polos asem."Woy, keluar? Gue tahu loe ada di dalam. Motor loe ada!" Orang asing yang baru saja datang itu berteriak. Dari nadanya, sepertinya bukan datang dengan membawa kabar baik. Malah ini seperti akan ada bencana. "Mau nih motor gue bawa!" Lagi orang itu berteriak, tapi ada suara Bang Furqon menyanggah. "Enak saja, ini motor milik gue. BPKB-nya milik gue ini." Deg!Gawat! Ini benar-benar gawat. Dua orang datang untuk menagih hutang. Sialan!Brag! Brag! Brag!Pintu digedor-gedor dengan kerasnya. Aku tidak tahu, untuk apa si Bang Panjul pinjam uang ke orang itu. Tidak jujur!K
PoV Nur***"Selamat pagi, Mas. Sarapan pagi ini, sarapan pertama di rumah ini. Hehe." Aku nyengir kuda malu-malu menyambut kedatangan suami, eh, maksudnya suami yang baru turun dari lantai atas. Tentu dari kamar pribadi kami."Terima kasih. Pantas udah wangi aja dari tadi." Dia tersenyum. Pakaian sudah rapi, karena hari ini katanya dia mau keluar."Ayok, Mas, duduk, kita sarapan. Si Laras dah berangkat, ada kelas pagi banget," imbuhku lagi sembari menuang air putih ke gelas."Makasih. Seharusnya kita tinggal di kediaman Mas saja. Biar di sana isi rumah bapak sama ibu almarhum. Tapi, karena Adek mau di sini, Mas sudah tabung uang untuk bikin rumah baru di sini. Yang namanya pria, kalau mampu, wajib menghadiahkan rumah untuk istri. Tapi Mas sembari nabung, ya."Kalimat Mas Aryo membuatku belum bisa mengambil centong nasi. Sungguh, aku terkejut. "Ah, ini juga rumah besar, Mas. Mas gak perlu repot-repot dulu. Kalau buat rumah baru, ini rumah gimana?" sanggahku."Sudah, kita sarapan saja.
KRIET!!Nada-nadanya seperti suara pagar besi dibuka seseorang. Karena penasaran, aku langsung kembali ke halaman, dan melihat siapa yang datang. Begitu dikagetkannya bola mataku. "Eh, Bang Pinjol? Ngapain ke mari? Pergi kamu, Bang, kita bukan mahram, ya! Pergi!" Aku segera menyeret tubuhnya keluar pagar lagi. Lalu pagar besi aku kunci secepatnya. Jujur, ini pagar tingginya hanya sekepala orang dewasa, apalagi jarang-jarang, jadi wajah memuakkannya masih terlihat."Nur, kamu kenapa sih? Kamu tadi malam bagaimana? Disentuh gak? Aku yakin enggak ya. Tapi rambut kepalamu kayak masih ada rembes basah dari kerudung!"Aku langsung geleng-geleng kepala. Berkacak pinggang lalu menghela napas dengan kesal. "Kurang waras kamu, Bang! Kamu korslet ya tuh otak? Saban hari ketemu aku, nanya itu lagi, itu lagi, itu lagi! Apa yang kamu harapkan? Jelaslah namamya juga pengantin baru, ya kami malam pertama lah. Apalagi Mas Aryo dengan halal menyentuhku. Ih!" Aku menggidikkan bahu dengan risi."Ah, kam
PoV Panjul***"Jul, ini gimana ceritanya kamu mau numpang lama di rumah Ibu? Apalagi kamu udah gak kerja? Haaah, mau ngasih uang ke Ibu dari mana?" Ibu tiba-tiba menegurku dengan kesal setelah sekarang aku tiba di rumahnya untuk minta ijin. Nanti sore, kami akan tinggal di rumah Ibu untuk sementara. Sampai batas waktu yang tidak ditentukan, dan dalam tempo yang sepanjang-panjangngnya. Eh, aku malah pidato."Aduh, Bu, maaf, Bu. Sebentar aja ya, Bu. Entah kenapa Panjul dipecat, lalu sekarang susah dapat kerja." Aku mengerang kesal.Ibu membanting posisi menjadi duduk di kursi meja makan. Tangannya melipat di bawah dada bermaksud merajuk atas permohonanku."Jul, sudah Ibu bilang, gak perlu kamu sok mewah begitu. Tuh si Widya juga makin ke sini meski cantik bikin Ibu mual. Dia gak bisa jadi istri sejati!" tandas Ibu, "sekarang si Nur udah menikah lagi sama mantan kakak iparnya. Kalian ini sebenarnya sengaja tukar jodoh ya? Ibu lihat, gak pernah lihat si Nur sengsara. Dengar dari tetangg
PoV Panjul***Bek!Bek!Widya memukuli bahu dan lenganku dengan kasar. "Euh, euh, euh, penipu kamu, Bang! Kamu bilang ini rumah dibeli, tapi ini sewa. Lalu kita sekarang harus pindah ke rumah ibumu yang sumpek. Ogah!" Dia benar-benar marah dan kesal. Memang aku bohong, tapi malu juga sama si Nur kalau aku tak berhasil membawa Widya pada jalur kebahagiaan. Ya beginilah jadinya. Dulu cinta sekali sama si Widya, sekarang kok hambar ya."Yang, jangan ngambek. Maafin Abang, ya. Maaf!" Aku mengadukan kedua telapak tangan untuk meminta maaf kepadanya dengan. Em, Tulus seperti nama vokalis band yang terkenal pada masanya itu.Bibirnya mencebik seketika. "Tahu, ah! Pokoknya aku nggak mau tahu, Aku mau rumah baru. Rumah baru, titik!" "Yang, jangan ngambek. Aku janji akan beli lagi rumah baru. Tapi kamu jangan ngambek begitu ya. Nanti aku ganti rumahnya yang lebih besar daripada ini." Bagaimanapun juga aku harus bisa merayu Widya. Dia sih boleh marah tapi soal di ranjang Aku tidak mau dia sam
PoV Panjul***"Gimana, Bang? Saya ini mantan mandor di kota. Saya bisa jadi mandor di sini, pasti kualitas saya juga baik. Apalagi ini skala kampung." Dengan jumawa penuh keahlian kujelaskan pada pria dewasa di hadapanku ini."Paling di sini ada juga lowongan laden, Bang. Kalau ini proyeknya sudah diberikan pada orang lain yang jadi mandornya. Ini sesuai keinginan pemilik rumah 'kan, dan ini juga gak sembarangan. Saya tidak bisa masukin kalau jadi pegawai yang lainnya. Apalagi para tukang juga ini hasil seleksi. Saya di sini cuma wakil dari si calon pemilik rumah, Bang. Sudah saya bilang, Abang bisa jadi laden." Orang ini bercanda, masak iya aku turun jabatan. Kan aneh. Aku bisa menjadi tukang yang baik, tapi dia menawariku pekerjaan seperti itu."Halah, masak gak bisa sih, Bang? Apa perlu saya kasih tahu keahlian saya?" Aku menatap heran pria itu. Dia seperti menyepelekan keahlianku."Memang kalau Abang pernah jadi mandor, Abang bisa apa? Lihainya Abang dalam segi apa?" Dia malah b
"Sepertinya kurang pekerja, Bang kalau pengen cepet-cepet beres."Terdengar percakapan orang yang melaporkan pada orang tadi. Sepertinya mereka sedang butuh pekerja."Tapi mencari tukang kerja yang bisa bener itu sulit. Saya tidak mau salah orang yang mengakibatkan kerjanya asal cepat. Kalian kerjakan saja ini tidak perlu cepat-cepat kok Yang penting hasilnya maksimal.""Oh baik, Bang, baik. Kami akan bekerja semaksimal mungkin. Oiya, barang sudah saya cek, Bang, sejauh ini semuanya sesuai dan lengkap. Kalau nanti ada kekurangan, biar saya catat." Orang tadi menyambung lagi.Aku pun segera mendekati mereka untuk mencari tahu. Tapi lumayan juga kalau aku kerja di sini upahnya pasti lebih dari 100.000 per hari. Aku harus membayar hutang dan juga menabung untuk kelahiran nanti Widya. Huwh, susah juga hidup begini. Apa karma bohongin si Nur terus?"Bang, saya boleh deh kerja apapun di sini. Saya bisa kerja kok!" Kudekati orang yang tadi itu untuk meminta pekerjaan.Dia menyelidik tubuhku
Saat ini ada kesempatan Bang Panjul untuk mengurung Mbak Widya di kamar. Dia langsung menguncinya hingga kini suara godor-gedor pintu pun terdengar dari balik kamar pribadi mereka."Bang! Bang! Buka! Buka, eh, buka! Itu di sana ada Mas Aryo yang mau datang untuk mengajak aku jalan-jalan. Kamu jangan terlalu cemburu Bang Panjul, biarkan aku jalan sama dia sekarang. Buka pintu ini! Cepetan muka!"Dari balik kamar sana Mbak Widya masih terus berteriak dan menggedor-gedor pintu. Aku dan Mas Aryo benar-benar jadi bingung untuk membawa Mbak Widya ke psikiater. Kalau dibiarkan pasti gangguan emosinya pasti lebih parah.Kini si Bang Panjul duduk di kursi dengan tatapan lesu dan lunglai. Dia juga mengacak rambut seolah-olah pusing dengan keadaan yang saat ini ia hadapi."Kenapa si Widya jadi begitu? Kenapa dia malah parah seperti ini ya?" Dia bicara sendiri di depan kami berdua."Istri kamu memang gila, Panjul! Pokoknya kamu harus ganti semua barang ibu yang pecah ini. Pokoknya Ibu juga nggak
PoV Nur***"Mau ngapain? Pokoknya aku gak mau, ya? Awas kalau kalian berani bawa aku ke mana-mana. Mati kalian!" Akan dibawa ke psikiater, Mbak Widya malah ngamuk-ngamuk di depan aku dan Mas Aryo, di depan Bang Panjul dan juga ibunya. Dia benar-benar brutal. Baru kali ini aku melihat Mbak Widya sengamuk ini. Betul-betul, otaknya sudah berat sebelah."Ya udah, kalau gak mau ya udah. Jangan kamu rusak semua barang saya, Widya!" Mantan mertua ngomel. Lihat saja apa yang terjadi, Mbak Widya acak-acak isi rumah. Sampai panci, wajan, centongan, semuanya berhamburan keluar. Seperti ada pertempuran antara istri dan selingkuhan suaminya.Brang! BRENG!Pluk!"Sinting kamu, Widya! Apa yang kamu lakukan? Rusak saja barang lain, jangan barang milik saya! Heurkh!"Bu Nengsih murka habis-habisan. Apalagi karena kekacauan ini malah berhasil mengundang perhatian para tetangga. Beberapa warga berhamburan menjadikan rumah Bu Nengsih ini sebagai pusat perhatian.Aku dan Mas Aryo pun bingung harus bag
Semakin aneh lagi Mbak Widya. Jangan-jangan …"Sebenarnya ada apa, Bang?" Aku sangat penasaran dan langsung menanyakan pada si Bang Panjul."Sejak minum baygon sama so Klin lantai, otaknya jadi gesrek, Nur! Abang 'kan pernah cerita sama kamu waktu itu." Bang Panjul menjelaskan dengan fasih."Hah, jadi itu beneran?" Aku kaget, Mas Aryo pun masih ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."Beneran, Nur. Sepertinya kalau tidak keburu dicegah, dia bisa mati. Eh, malah stres!" kesal si Bang Panjul."Astaghfirullahaladzim!""Heh, jangan bilang aku stres ya, Bang? Kurang ajar! Kamu yang stres, kamu gak bisa kasih aku uang banyak! Kamu yang stres!" Mbak Widya nyolot.Aku tak habis pikir dengan tingkah Mbak Widya saat ini. Dia seperti lain, ini bukan dia. Kalau pembahasannya sih masih sama, tapi cara dia tampil dan dia ngelantur, ini beda."Lihat 'kan, Nur? Dia tidak gila semacam amesia, dia masih sadar, hanya kadang ngelantur dan kayak orang gila. Lihat aja, baju dia pakai dobel-dobel kayak gitu
PoV Nur***"Sebenarnya istri saya kenapa, Dok? Kok bisa sampai muntah-muntah begini, ya? Apa asam lambung?" Dokter malah senyam-senyum. "Selamat, Bu Nur sedang mengandung. Sepertinya sudah mau jalan 4 Minggu."Deg!Aku dan Mas Aryo yang duduk di depan dokter, di ruang pemeriksaan ini pun terkaget-kaget sekaligus bahagia. "Yang bener, Dok? Jadi istri saya hamil?"Aku hanya mampu berkali-kali meneguk liur saking terharunya. Kalau ini benar, alhamdulillah, kami memang benar-benar menanti. Itu alasan kenapa aku tidak ikut KB."Betul sekali. Apalagi istri Bapak telat datang bulan, ya?" ucap dokter lagi.Mas Aryo melirikku. "Kamu telat datang bulan?" tanyanya padaku.Aku pun manggut-manggut dengan senyum yang ragu. Memang tadi dokter bertanya mengenai hal itu."Alhamdulillah, jadi beneran hamil, ya?" Mas Aryo memastikan lagi pada dokter perempuan yang tengah memeriksaku.Begitu bahagianya kami. Ini adalah rezeki terindah sepanjang sejarah. Ah, aku hamil? Jadi pusing-pusing belakangan ini
"Ya pakek nomor suamimu lah! Pakek nomor siapa lagi? Lagian, pasti pesannya udah dihapus. Tadi, barusan aja suamimu hubungi aku. Eh, kamu keburu datang aja, Nur. Hemh." Seharusnya ini bisa membangkitkan emosi anak kurang ajar ini. Tapi, bukannya dia marah, wajahnya malah lesu dan malas."Pakai nomor yang mana, Mbak? Pakai nomor yang ini?" Ia merogoh hp dari tas kecilnya, "ini hp Mas Aryo kebawa sama aku waktu tadi Mas Aryo peluk aku dan genggam-genggam tangan aku, kayaknya dia simpan hp di keranjang belanjaan tanpa sadar. Kayaknya gak ada kiriman pesan atau pesan masuk dari kamu deh, Mbak. Atau Mas Aryo pakai nomor mana ya?" Dengan penuh keyakinan dia membuat emosiku berapi-api. Hah? Bagaimana bisa hp Mas Aryo tertinggal di keranjang si Nur? Ah, lalu tertinggal saat si Mas Aryo meluk dia?"Eh, kamu lancang ya bawa-bawa hp suami!" tegurku kesal. Entah kenapa kesempatan membuat mereka adu mulut jalannya sesulit ini. Kenapa kebetulan? Lalu alasan apalagi?"Sudahlah, Wid, kamu pulang sa
PoV Widya***"Eh, eh, eh, apaan ini?"Seorang wanita paruh baya yang kehadirannya membuatku terkejut itu sudah berkacak pinggang. Ia menatapku dengan sengit. Ibu, kenapa mertuaku ada di sini?"Ibu?""Dasar istri kurang ajar! Bilang mau nyari kerja, kenapa kamu di sini? Mau ngapain di sini? Jangan-jangan kalian berdua main di belakang lagi ya?" cerocosnya. Mas Aryo pun bukannya kaget tapi dia malah geleng-geleng kepala. "Jangan asal tuduh, Bu. Lihat menantu Ibu yang menyodorkan dirinya pada saya. Sudah saya suruh pergi malah makin nyosor." Mas Aryo tega seserius itu membicarakan aku.Aku di sini panik."Eh, eh, eh, si Widya ini bikin malu. Sudah lagi perut bunting, sekarang malah begini. Gak waras kamu, ya?" celetuk mertua."Bu, diam dulu. Aku ke mari … aku ke mari karena ada urusan. Iya 'kan, Mas?" Aku melirik Mas Aryo berharap dia mau kongkalingkong. Kukedip-kedipkan mata memberikan kode."Urusan apa, Wid? Kamu mau ganggu aku lagi ya? Aku malu sih pernah jadi suami kamu. Lebih baik
PoV Widya***Tok tok tok!Ehm!Aku pun berdehem untuk menetralisir kegugupan. Mungkin sudah jodohnya, pintu pun langsung dibukanya dan kini Mas Aryo pun telah menatap wajahku yang cantik ini."Eh, Wid? Ngapain?" Sepertinya urat malu ku bermunculan. Betapa tampannya dia, masih sama seperti dulu. Bahkan, jam tangan di pergelangan tangannya menambah kesan elegan dan sangat rupawan."Mas Aryo, boleh masuk aku, Mas?" ujarku malu-malu."Ada apa? Duduk saja di sana, ayok!" sarannya. Huwh, sebenarnya aku kesal, dia tak membawa aku masuk ke dalam rumahnya. Padahal, sat-set, sat-set, di kamar 5 menit juga beres. Dia pasti klepek-klepek.Mas Aryo duluan duduk, aku pun mengekor dan duduk di kursi kayu yang ada di teras ini. Wangi parfumnya meski masih berkeringat tetap melekat. Apalagi sekarang dia sudah kaya, pasti parfum ini juga mahal harganya."Ada apa, Wid? Nur sedang ke warung. Lebih baik kalau ada perlu, nanti saja ke sini lagi. Aku mau mandi ini."Mendengar kalimat 'mau mandi' entah ken
PoV Widya***Seharusnya aku tak melepaskan Mas Aryo kalau pada akhirnya dia akan jadi kaya seperti ini. Setelah aku telusuri lebih jauh sampai ke kota tempat ia tinggal, ternyata Mas Aryo dapat warisan dari kakeknya yang baru saja meninggal. Aku tidak ke sana, hanya menghubungi, cari informasi dari tetangganya yang kontaknya masih tersimpan.Huwh … kenapa si kakek tidak meninggal sejak dulu? Kenapa harus setelah aku cerai. Lagipula, yang aku tahu Mas Aryo ini hanya orang-orang biasa. Bukan keturunansultan.Pantas dia beli tanah dan bangun rumah sebesar ini. Di sini harga tanah masih relatif murah. Mendengar warisan yang disebutkan dari tetangga si Mas Aryo.Kuelus perut yang sudah semakin buncit ini. Darah daging siapa? Hurkh … si miskin! Si penipu!Aku sekarang dari kejauhan sedang menatapi rumah si Nur yang dibangunnya menggunakan jasa suamiku, mantan suaminya. Apa keduanya termasuk si Bang Panjul tidak sadar dengan posisi masing-masing sejak awal? Lihatlah, si Bang Panjul sampai
PoV Panjul***"Huwh … huwh …." Hanya mampu mengatur pernapasan tanpa bicara. Ibu juga pasti mendengar gunjingan barusan."Oh, begitu? Mujur ya nasib perempuan itu. Sudah punya kedai makanan, punya kontrakan, katering, sekarang punya suami kaya. Ck, ck, ck."Aku malah semakin sesak napas dan gemetar mendengar kehidupan keduanya. Kenapa harus kebetulan ada tetangga rempong di sini. Meski aku pernah melihat dua orang ibu-ibu ini namun tak begitu akrab, bicaranya tak bisa membuat telingaku seketika mati pendengaran."Sialan! Mereka ngoceh apaan? Aku yakin, si Mas Aryo hanya nipu kayak laki-laki di sampingku ini. Aku juga yakin, beberapa bulan akan terbongkar apa sebenarnya maksud dari si Mas Aryo. Tidak mungkin dia baru menikah langsung membuatkan rumah mewah itu untuk si Nur. Apa berharganya anak itu." Dengarlah ocehan pedas Widya. Tapi sebenarnya bisa jadi. Oh tidak, aku kebas dan kesemutan."Aneh, dari jalan keluar rumah sampai Ibu ke pasar, sampai ibu ke warung balik lagi ke rumah sa