PoV Panjul***"Gimana, Bang? Saya ini mantan mandor di kota. Saya bisa jadi mandor di sini, pasti kualitas saya juga baik. Apalagi ini skala kampung." Dengan jumawa penuh keahlian kujelaskan pada pria dewasa di hadapanku ini."Paling di sini ada juga lowongan laden, Bang. Kalau ini proyeknya sudah diberikan pada orang lain yang jadi mandornya. Ini sesuai keinginan pemilik rumah 'kan, dan ini juga gak sembarangan. Saya tidak bisa masukin kalau jadi pegawai yang lainnya. Apalagi para tukang juga ini hasil seleksi. Saya di sini cuma wakil dari si calon pemilik rumah, Bang. Sudah saya bilang, Abang bisa jadi laden." Orang ini bercanda, masak iya aku turun jabatan. Kan aneh. Aku bisa menjadi tukang yang baik, tapi dia menawariku pekerjaan seperti itu."Halah, masak gak bisa sih, Bang? Apa perlu saya kasih tahu keahlian saya?" Aku menatap heran pria itu. Dia seperti menyepelekan keahlianku."Memang kalau Abang pernah jadi mandor, Abang bisa apa? Lihainya Abang dalam segi apa?" Dia malah b
"Sepertinya kurang pekerja, Bang kalau pengen cepet-cepet beres."Terdengar percakapan orang yang melaporkan pada orang tadi. Sepertinya mereka sedang butuh pekerja."Tapi mencari tukang kerja yang bisa bener itu sulit. Saya tidak mau salah orang yang mengakibatkan kerjanya asal cepat. Kalian kerjakan saja ini tidak perlu cepat-cepat kok Yang penting hasilnya maksimal.""Oh baik, Bang, baik. Kami akan bekerja semaksimal mungkin. Oiya, barang sudah saya cek, Bang, sejauh ini semuanya sesuai dan lengkap. Kalau nanti ada kekurangan, biar saya catat." Orang tadi menyambung lagi.Aku pun segera mendekati mereka untuk mencari tahu. Tapi lumayan juga kalau aku kerja di sini upahnya pasti lebih dari 100.000 per hari. Aku harus membayar hutang dan juga menabung untuk kelahiran nanti Widya. Huwh, susah juga hidup begini. Apa karma bohongin si Nur terus?"Bang, saya boleh deh kerja apapun di sini. Saya bisa kerja kok!" Kudekati orang yang tadi itu untuk meminta pekerjaan.Dia menyelidik tubuhku
PoV PanjulKutatapi keduanya. Kupikir sudah tua atau reyot. Ternyata mereka masih belia. Andai tidak pakai masker, pasti aku melihat siapa mereka. Oiya, kami semua juga pakai masker. Jadi pasti wajahku juga tak akan dikenali mereka. Baguslah, gengsi wajahku kalau diketahui orang-orang hanya tukang kuli bangunan.Yang aku heran, setelah kutoleh lagi ke arah si yang katanya akan menghuni rumah ini, wanita yang berhijab plus pakai masker itu menatap ke arahku. Aku yang penasaran pun pura-pura bangkit dan akan mengambil semen atau sebagainya yang masih ada di dekat Pak Mandor dan calon penghuni rumah ini.Ya, wanita itu menatapku seperti tak asing. Aneh, ada bola mata yang tak asing di otakku. Lalu, tatapan itu seperti pernah aku temui sebelumnya. Seperti saat Nur sedang merajuk saat dia tahu aku selingkuh dengan Widya.Ah, apaan, tidak mungkin! Tapi, kok bisa mirip? Eh, bola mataku saja mirip orang Korea, ya wajarlah, wanita itu bola matanya mirip si Nur."Silahkan Bapak cek saja. Sampai
PoV Panjul***Pria yang statusnya katanya pemilik bangunan ini pun pelan membuka maskernya. Sungguh, semoga hanya kebetulan saja nama mereka , suami istri sama.Degh!Wajah di balik masker itu sudah nampak jelas di bola mataku yang indah ini. Sontak, liur ini pun kuteguk lagi dan lagi. Bahkan, sepertinya persediaan sudah habis."Hah? M–Mas Aryo?" Aku sangat-sangat kaget. Dadaku bergemuruh cepat menabuh peperangan mempersiapkan aliran darah yang tensinya pasti tidak normal. Benar, pria itu mantan kakak iparku. Bagaimana bisa dia ada di sini? Dia juga turun dari mobil putih yang harganya di atas 200 jutaan. Ah, mimpi buruk apa ini?"Kamu kenal saya?" Dia bertanya. Iya, dia Mas Aryo. Bagaimana tidak aku menatapnya gengsi. Dia tidak boleh tahu kalau aku ini Panjul mantan adik iparnya."Mas, kenapa Mas Aryo bertanya begitu? Apa kita sepemikiran?"Deg!Aku lagi-lagi kaget. Kalau itu Mas Aryo, suara yang tak asing di dekatku ini juga pasti si Nur. Astaga, astaga naga! Iya, itu dia. Pasti d
PoV Panjul***"Bang! Abang!""Bang Panjul! Baaaaaangggg! Bangun, Bang, Banguuuun! Udah siang!"Seketika suara teriakan Widya membuatku loncat dari kasur yang keras ini. Dengan ilmu pencak silat leluhur Almarhum Engkong, aku bersiap menghadapi Widya."Ciyat, ciyat, HA!" Aku sudah pasang kuda-kuda. Sarung masih terselendang karena tadi refleks kutarik. Melihatku wajah Widya saat ini begitu sangat asem sekali. Pandangannya sengit seperti melihatku sebagai hantu saja. Eh bukan, musuh bebuyutan."Eh, maaf, Abang mimpi bertempur tadi. Haha."Aku tersadar, ternyata baru saja terbangun dari tidur yang pulas.Bek!Widya memukul badanku. "Kerja! Kerja! Kamu jangan tidur Mulu, Bang! Kamu KERJAAAA!" Ow, ow, ow. Widya meraung. Suaranya dan keseramannya mengalahkan singa dari Timur Tengah. Lihat saja, bola matanya itu melebar seperti akan loncat untuk membunuhku. Memang istriku yang ini sangat sadis."Iya, iya, Abang denger kok!" Dia berkacak pinggang. "Kamu tadi mimpi apaan sebut-sebut si Nur,
PoV Panjul***"Ah, aku pusing! Mertua cerewet. Hih, amit-amit, amit-amit!"Nah, terdengar suara Widya yang melempar balik emosinya ke Ibu. Begitulah mereka seringnya, akurnya bahkan seperti tidak pernah. AMSYONG nasibku!Cepat aku berjalan keluar dari halaman rumah. Percekcokan dan adu fisik mereka sudah tak ada yang bisa melerai. Biar saja, nanti juga capek sendiri.Menaiki angkot untuk sampai di tempat kerja, karena proyek pembangunan rumah belum selesai. Ya, tinggal finishing. Tapi sekarang, aku kesiangan. Sudah jam 8 lewat, dan semoga Pak Mandor tidak sedang ada di sana. Jadi aku bisa nyelundup masuk pura-pura sudah datang sejak tadi.Sejak aku sibuk kerja jadi Laden. Pagi, siang, sore dan malam itu penuh jadwal. Aku lembur untuk melunasi hutang satu persatu. Tidak enak juga banyak hutang. Ini semua gara-gara Widya. Gara-gara sesibuk ini, aku jadi tidak sempat memandang wajah Nur yang kini katanya semakin cantik setelah menikah dengan Mas Aryo. Aku seharusnya bisa lebih mendekat
PoV Panjul***"Kamu di sini, Bang?" Dia begitu heran akan adanya aku di sini. Ah, dasar pura-pura. "Nur, kamu jangan terkejut begitu. Kamu nyatanya belok ke mari. Mau samperin Abang, ya? Wah, wah, wah, kamu cantik sekali. Memang hati Abang sudah menyatu dengan kamu, ya. Tadi Abang kesiangan bangun, Nur. Alhamdulillah, masih bisa kerja dan ketemu sama kamu. Sudah satu bulan kita tidak ketemu karena Abang sibuk. Lihat, ini rumah bakal Abang. Tapi akan Abang sewakan. Nur tahu Abang di sini dari siapa? Jauh lho, dari rumah kamu. Segitunya kamu sampai nyamperin Abang. Ternyata, ck, ck." Aku nyerocos panjang lebar dengan jumawa. Si Karso dan yang lain menatapku sembari senyam-senyum. Sepertinya mereka tahu kalau aku cocok dengan wanita ini. Jelas, Nur ke mari untuk mendatangiku. Ah, dia sekerja keras ini untuk datang?"Ah, jadi ini rumah kamu, Bang? Beneran?" ~Nah, nah, nah, lihat, dia kaget? Ini sebuah kesempatan untukku. Aku yakin, sepertinya si Nur ini cewek yang materialistis juga.
PoV Panjul***"Tensi Pak Panjul 160 per 100. Dirujuk ke rumah sakit, ya?" pesan dokter setelah memeriksa keadaanku yang lunglai ini. Sejak kapan tensiku melonjak begitu. Lihat saja, Widya dan Ibu saja kaget setengah mati."Hah? 160?""160? Per-nya juga tinggi. Aduh, untung gak setruk ya kamu, Jul? Tetangga kita, 150 udah struk!" Ibu malah membuatku semakin syok."Bu!" Aku menegurnya. Petikan yang keluar dari mulut Ibu membuatku kesal. Siapa yang tahu itu malah jadi do'a. Amit-amit, amit-amit."Bagaimana, mau dirujuk ke rumah sakit?" Dokter menanti jawaban kami. Bola matanya melirik ke arahku, sesekali ke arah Ibu dan Widya yang manyun.Aku segera menolak. "Gak, Dok, jangan ah. Saya mau obat dari dokter saja deh yang bagus. Lagian saya bisa jalan, bisa bicara, dan gak ada keluhan lain selain pusing, Dok. Berobat jalan aja, Dok!" Aku meringis ketakutan. Ini pasti gara-gara si Aryo dan si Nur. Ternyata hipertensi bisa disebabkan karena rasa cemburu, iri dan dengki. Eh!Widya sangat ketu
Saat ini ada kesempatan Bang Panjul untuk mengurung Mbak Widya di kamar. Dia langsung menguncinya hingga kini suara godor-gedor pintu pun terdengar dari balik kamar pribadi mereka."Bang! Bang! Buka! Buka, eh, buka! Itu di sana ada Mas Aryo yang mau datang untuk mengajak aku jalan-jalan. Kamu jangan terlalu cemburu Bang Panjul, biarkan aku jalan sama dia sekarang. Buka pintu ini! Cepetan muka!"Dari balik kamar sana Mbak Widya masih terus berteriak dan menggedor-gedor pintu. Aku dan Mas Aryo benar-benar jadi bingung untuk membawa Mbak Widya ke psikiater. Kalau dibiarkan pasti gangguan emosinya pasti lebih parah.Kini si Bang Panjul duduk di kursi dengan tatapan lesu dan lunglai. Dia juga mengacak rambut seolah-olah pusing dengan keadaan yang saat ini ia hadapi."Kenapa si Widya jadi begitu? Kenapa dia malah parah seperti ini ya?" Dia bicara sendiri di depan kami berdua."Istri kamu memang gila, Panjul! Pokoknya kamu harus ganti semua barang ibu yang pecah ini. Pokoknya Ibu juga nggak
PoV Nur***"Mau ngapain? Pokoknya aku gak mau, ya? Awas kalau kalian berani bawa aku ke mana-mana. Mati kalian!" Akan dibawa ke psikiater, Mbak Widya malah ngamuk-ngamuk di depan aku dan Mas Aryo, di depan Bang Panjul dan juga ibunya. Dia benar-benar brutal. Baru kali ini aku melihat Mbak Widya sengamuk ini. Betul-betul, otaknya sudah berat sebelah."Ya udah, kalau gak mau ya udah. Jangan kamu rusak semua barang saya, Widya!" Mantan mertua ngomel. Lihat saja apa yang terjadi, Mbak Widya acak-acak isi rumah. Sampai panci, wajan, centongan, semuanya berhamburan keluar. Seperti ada pertempuran antara istri dan selingkuhan suaminya.Brang! BRENG!Pluk!"Sinting kamu, Widya! Apa yang kamu lakukan? Rusak saja barang lain, jangan barang milik saya! Heurkh!"Bu Nengsih murka habis-habisan. Apalagi karena kekacauan ini malah berhasil mengundang perhatian para tetangga. Beberapa warga berhamburan menjadikan rumah Bu Nengsih ini sebagai pusat perhatian.Aku dan Mas Aryo pun bingung harus bag
Semakin aneh lagi Mbak Widya. Jangan-jangan …"Sebenarnya ada apa, Bang?" Aku sangat penasaran dan langsung menanyakan pada si Bang Panjul."Sejak minum baygon sama so Klin lantai, otaknya jadi gesrek, Nur! Abang 'kan pernah cerita sama kamu waktu itu." Bang Panjul menjelaskan dengan fasih."Hah, jadi itu beneran?" Aku kaget, Mas Aryo pun masih ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."Beneran, Nur. Sepertinya kalau tidak keburu dicegah, dia bisa mati. Eh, malah stres!" kesal si Bang Panjul."Astaghfirullahaladzim!""Heh, jangan bilang aku stres ya, Bang? Kurang ajar! Kamu yang stres, kamu gak bisa kasih aku uang banyak! Kamu yang stres!" Mbak Widya nyolot.Aku tak habis pikir dengan tingkah Mbak Widya saat ini. Dia seperti lain, ini bukan dia. Kalau pembahasannya sih masih sama, tapi cara dia tampil dan dia ngelantur, ini beda."Lihat 'kan, Nur? Dia tidak gila semacam amesia, dia masih sadar, hanya kadang ngelantur dan kayak orang gila. Lihat aja, baju dia pakai dobel-dobel kayak gitu
PoV Nur***"Sebenarnya istri saya kenapa, Dok? Kok bisa sampai muntah-muntah begini, ya? Apa asam lambung?" Dokter malah senyam-senyum. "Selamat, Bu Nur sedang mengandung. Sepertinya sudah mau jalan 4 Minggu."Deg!Aku dan Mas Aryo yang duduk di depan dokter, di ruang pemeriksaan ini pun terkaget-kaget sekaligus bahagia. "Yang bener, Dok? Jadi istri saya hamil?"Aku hanya mampu berkali-kali meneguk liur saking terharunya. Kalau ini benar, alhamdulillah, kami memang benar-benar menanti. Itu alasan kenapa aku tidak ikut KB."Betul sekali. Apalagi istri Bapak telat datang bulan, ya?" ucap dokter lagi.Mas Aryo melirikku. "Kamu telat datang bulan?" tanyanya padaku.Aku pun manggut-manggut dengan senyum yang ragu. Memang tadi dokter bertanya mengenai hal itu."Alhamdulillah, jadi beneran hamil, ya?" Mas Aryo memastikan lagi pada dokter perempuan yang tengah memeriksaku.Begitu bahagianya kami. Ini adalah rezeki terindah sepanjang sejarah. Ah, aku hamil? Jadi pusing-pusing belakangan ini
"Ya pakek nomor suamimu lah! Pakek nomor siapa lagi? Lagian, pasti pesannya udah dihapus. Tadi, barusan aja suamimu hubungi aku. Eh, kamu keburu datang aja, Nur. Hemh." Seharusnya ini bisa membangkitkan emosi anak kurang ajar ini. Tapi, bukannya dia marah, wajahnya malah lesu dan malas."Pakai nomor yang mana, Mbak? Pakai nomor yang ini?" Ia merogoh hp dari tas kecilnya, "ini hp Mas Aryo kebawa sama aku waktu tadi Mas Aryo peluk aku dan genggam-genggam tangan aku, kayaknya dia simpan hp di keranjang belanjaan tanpa sadar. Kayaknya gak ada kiriman pesan atau pesan masuk dari kamu deh, Mbak. Atau Mas Aryo pakai nomor mana ya?" Dengan penuh keyakinan dia membuat emosiku berapi-api. Hah? Bagaimana bisa hp Mas Aryo tertinggal di keranjang si Nur? Ah, lalu tertinggal saat si Mas Aryo meluk dia?"Eh, kamu lancang ya bawa-bawa hp suami!" tegurku kesal. Entah kenapa kesempatan membuat mereka adu mulut jalannya sesulit ini. Kenapa kebetulan? Lalu alasan apalagi?"Sudahlah, Wid, kamu pulang sa
PoV Widya***"Eh, eh, eh, apaan ini?"Seorang wanita paruh baya yang kehadirannya membuatku terkejut itu sudah berkacak pinggang. Ia menatapku dengan sengit. Ibu, kenapa mertuaku ada di sini?"Ibu?""Dasar istri kurang ajar! Bilang mau nyari kerja, kenapa kamu di sini? Mau ngapain di sini? Jangan-jangan kalian berdua main di belakang lagi ya?" cerocosnya. Mas Aryo pun bukannya kaget tapi dia malah geleng-geleng kepala. "Jangan asal tuduh, Bu. Lihat menantu Ibu yang menyodorkan dirinya pada saya. Sudah saya suruh pergi malah makin nyosor." Mas Aryo tega seserius itu membicarakan aku.Aku di sini panik."Eh, eh, eh, si Widya ini bikin malu. Sudah lagi perut bunting, sekarang malah begini. Gak waras kamu, ya?" celetuk mertua."Bu, diam dulu. Aku ke mari … aku ke mari karena ada urusan. Iya 'kan, Mas?" Aku melirik Mas Aryo berharap dia mau kongkalingkong. Kukedip-kedipkan mata memberikan kode."Urusan apa, Wid? Kamu mau ganggu aku lagi ya? Aku malu sih pernah jadi suami kamu. Lebih baik
PoV Widya***Tok tok tok!Ehm!Aku pun berdehem untuk menetralisir kegugupan. Mungkin sudah jodohnya, pintu pun langsung dibukanya dan kini Mas Aryo pun telah menatap wajahku yang cantik ini."Eh, Wid? Ngapain?" Sepertinya urat malu ku bermunculan. Betapa tampannya dia, masih sama seperti dulu. Bahkan, jam tangan di pergelangan tangannya menambah kesan elegan dan sangat rupawan."Mas Aryo, boleh masuk aku, Mas?" ujarku malu-malu."Ada apa? Duduk saja di sana, ayok!" sarannya. Huwh, sebenarnya aku kesal, dia tak membawa aku masuk ke dalam rumahnya. Padahal, sat-set, sat-set, di kamar 5 menit juga beres. Dia pasti klepek-klepek.Mas Aryo duluan duduk, aku pun mengekor dan duduk di kursi kayu yang ada di teras ini. Wangi parfumnya meski masih berkeringat tetap melekat. Apalagi sekarang dia sudah kaya, pasti parfum ini juga mahal harganya."Ada apa, Wid? Nur sedang ke warung. Lebih baik kalau ada perlu, nanti saja ke sini lagi. Aku mau mandi ini."Mendengar kalimat 'mau mandi' entah ken
PoV Widya***Seharusnya aku tak melepaskan Mas Aryo kalau pada akhirnya dia akan jadi kaya seperti ini. Setelah aku telusuri lebih jauh sampai ke kota tempat ia tinggal, ternyata Mas Aryo dapat warisan dari kakeknya yang baru saja meninggal. Aku tidak ke sana, hanya menghubungi, cari informasi dari tetangganya yang kontaknya masih tersimpan.Huwh … kenapa si kakek tidak meninggal sejak dulu? Kenapa harus setelah aku cerai. Lagipula, yang aku tahu Mas Aryo ini hanya orang-orang biasa. Bukan keturunansultan.Pantas dia beli tanah dan bangun rumah sebesar ini. Di sini harga tanah masih relatif murah. Mendengar warisan yang disebutkan dari tetangga si Mas Aryo.Kuelus perut yang sudah semakin buncit ini. Darah daging siapa? Hurkh … si miskin! Si penipu!Aku sekarang dari kejauhan sedang menatapi rumah si Nur yang dibangunnya menggunakan jasa suamiku, mantan suaminya. Apa keduanya termasuk si Bang Panjul tidak sadar dengan posisi masing-masing sejak awal? Lihatlah, si Bang Panjul sampai
PoV Panjul***"Huwh … huwh …." Hanya mampu mengatur pernapasan tanpa bicara. Ibu juga pasti mendengar gunjingan barusan."Oh, begitu? Mujur ya nasib perempuan itu. Sudah punya kedai makanan, punya kontrakan, katering, sekarang punya suami kaya. Ck, ck, ck."Aku malah semakin sesak napas dan gemetar mendengar kehidupan keduanya. Kenapa harus kebetulan ada tetangga rempong di sini. Meski aku pernah melihat dua orang ibu-ibu ini namun tak begitu akrab, bicaranya tak bisa membuat telingaku seketika mati pendengaran."Sialan! Mereka ngoceh apaan? Aku yakin, si Mas Aryo hanya nipu kayak laki-laki di sampingku ini. Aku juga yakin, beberapa bulan akan terbongkar apa sebenarnya maksud dari si Mas Aryo. Tidak mungkin dia baru menikah langsung membuatkan rumah mewah itu untuk si Nur. Apa berharganya anak itu." Dengarlah ocehan pedas Widya. Tapi sebenarnya bisa jadi. Oh tidak, aku kebas dan kesemutan."Aneh, dari jalan keluar rumah sampai Ibu ke pasar, sampai ibu ke warung balik lagi ke rumah sa