"Kenapa bisa itu jadi atas namamu? Berani-beraninya kamu ya, Nur!" Mbak Widya yang masih memakai pakaian seksi kurang bahan itu murka padaku. Apa mereka memang sudah merencanakan ini supaya aku tahu? Sempat-sempatnya pakai baju seperti itu!Darah ini mendidih sekali. Sekilat juga kumasukkan lagi dokumen penting ini ke tas. Nanti direbut dia, lagi!"Diam kamu, Mbak, dasar Mbak tidak tahu diri. Aku sudah tahu semuanya soal harta peninggalan bapakku. Dan aku juga sudah tahu, kita bukan satu bapak. Kita hanya saudara seibu!"Kutunjuk moncong busuknya itu. Bang Panjul saat ini malah kaget atas ketahuanku. Pasti dia juga sudah tahu sejak awal."Kurang ajar kamu, Nur!" Mbak Widya ingin coba menyentuhku, tapi tangan ini berhasil mendorongnya."Ah!" Dia meringis kesakitan. Sedang si Panjul, ternyata dia kurang berenergik ingin membela siapa di sini."Nur, jangan kasar, dia Mbakmu!" Suara si Panjul jelas terdengar. Aku pun terkekeh puas, karena meski tidak bisa merekam adegan mereka karena pani
Tiba-tiba datanglah tetanggaku. Dia tadi bareng pergi ke desa, bersama si Menul juga. Eh, tapi ditangannya seperti membawa dompetku. Ampun, aku baru ingat, dompetku pasti ketinggalan Setelah pamit pulang duluan."Loh, kok suamimu pakek kolor, Nur? Mbakmu juga pakai baju kayak gitu?" celetuk si Menul.~~"Mereka memang selingkuh, Nul. Mereka tertangkap basah olehku sedang berduaan mendesah di ruangan dekat dapur!" jelasku dengan emosi."Eh, astaghfirullahaladzim, jangan-jangan dugaan saya juga bener, ya? Kalian berdua ada hubungan? Soalnya saya waktu itu pernah lihat kalian berdua keluar dari semak-semak di kebun juragan Dartawi itu! Ah, iya. Saya sudah curiga juga! Soalanya suamimu ya, Nur, dia benerin resleting dan setelahnya mbakmu keluar juga dengan wajah cemas!" Mbak Atun ikut menguatkan dugaan."Ah, iyakah, Mbak!?" "Betul, saya gak akan salah lihat!"iniWajah Bang Panjul dengan Mbak Widya kini memar. Mereka seperti kurang kekuatan, apalagi si Menul malah mengabadikan momen ini m
Akhirnya kami disidang juga oleh Pak RT. Maksudnya bukan kami, tapi Bang Panjul dan Mbak Widya, di rumahku, beserta warga lain, yang ternyata mereka telah bersaksi, pernah melihat sepasang hewan itu berduaan. Ada yang katanya memergoki di semak-semak, ada yang katanya di kebun jagung tak terurus. Rendah sekali mereka berdua. Sadis sekali. Sudah rendah, murahan pula. Andai di hotel mereka selingkuh, atau di losmen, ya itu mungkin bisa dibilang cukup lumayan. Lah ini, di kebun, astoge, mereka benar-benar tidak tahu malu. Telah membawa kampung ini ke jebakkan aib perzinahan mereka."Pak RT, saya mau menikahi kakaknya istri saya saja. Saya tidak akan menceraikan Nurul, Pak."Si Bang Panjul lebih dulu mengutarakan maksudnya di hadapan kami semua. Sinting, siapa yang mau? Aku? Ogah."Tidak diperbolehkan. Lagipula, Dek Nurul tidak akan setuju." Pak RT dengan tegas tidak mengindahkan. Saat ini wajah Mbak Widya dengan Bang Panjul seperti gosong oleh rasa malu mereka. Pasti keduanya semalam mi
Lontaran dari sungut ibu mertuaku benar-benar mengganjal di hati. Otakku yang sudah memanas ini semakin mendidih mendengar pernyataannya. Sadis sekali, apa dia tidak bisa pura-pura mengiba di hadapan yang lain?~~"Astaga! Nyebut, Bu, nyebut! Apa yang barusan Ibu bilang? Hey, angkuh sekali ya Anda, Bu!" Si Menul menimpali sungut mertuaku barusan.Ibunya si Bang Panjul menyerang si Menul dengan tatapan kuda liarnya. "Heh, ya bener, kalau ketahuan selingkuh seperti ini lebih baik, biar si Panjul istrinya si Widya saja. Apaan si Nur, dia pelit, dan gaya juga Ndeso!" tegas mertuaku lagi dengan sarkas. Dia sepertinya ingin perang denganku.Pak RT pun sampai geleng-geleng kepala. "Sudah, sudah, Ibu ini membela anak Ibu yang sudah mengotori kampung kami? Astaghfirullah! Dan kalau begitu, lebih baik kita selesaikan saja masalah ini sekarang dengan surat perjanjian." "Pak RT, surat perjanjian apa? Jangan ngawur ya, Pak! Saya bisa bawa ini ke hukum kalau macam-macam!" cungur Mbak Widya menyang
"Bu, bangun, Bu! Bangun!"Bang Panjul terus menyadarkan ibu mertuaku yang tengah jatuh pingsan. Dia syok yang mengetahui kalau rumah ini adalah rumahku, bukan rumah Mbak Widya. Bahkan, aku juga sudah memberikan bukti pada Pak RT, kalau Mbak Widya telah merampas semu milikku. Aku banyak harta peninggalan bapak. Sedangkan dia dan aku beda turuan."Biarkan dulu saja, sekarang lebih baik kamu tanda tangan saja. Kamu juga segera manalak Dek Nur di depan kami semua." Pak RT menekankan lagi."Itu aturan kenapa rumit sih, Pak RT? Kenapa harus bayar-bayar denda segala?" Si Bang Panjul emosi."Iya, jangan membodohi kami ya, Nur!" sungut Mbak Widya."Oke, terserah saja. Tapi, kalau kasus perselingkuhan ini dibawa ke pengadilan, kata temannya temanku yang pengacara, kamu akan lebih melarat Bang. Karena kamu harus membayar gegara kamu selingkuh, juga kasih aku uang santunan!" jelasku dengan tegas. Ya, kalau tidak salah menurut buku yang aku baca ya begitu. Lalu siapa temanku yang punya teman penga
Dadaku sakit sekali, tapi harus kebal. Kebodoa amatan ini harus kupupuk supaya lebih subur makmur."Ya sudah Kenapa harus lama-lama! Ayo tanda tangani sekarang dan segera talak aku!" tandasku lagi.Dan dengan penuh tekanan dan juga penuh pertimbangan akhirnya dia menandatangani juga surat perjanjian di atas materai. Aku menginginkan Mbak Widya menikah dengan Si Panjul itu supaya mereka bisa saling merasakan bagaimana menjadi seorang pasangan yang dulunya selingkuh namun menjadi suami istri. Sok perhatian dan sok sayang-sayangan itu pasti pas cuma pacaran saja, sedangkan setelah menikah dengan adanya kebutuhan ekonomi pasti yang tadinya romantis sedikit demi sedikit akan semakin hambar. Apalagi mereka sama-sama mata duitan."Baiklah, aku talak kamu, Nur."Dan akhirnya kalimat yang aku tunggu pun telah keluar dari mulutnya yang bau jengkol itu. Benar-benar lega sekali karena sebentar lagi aku akan bercerai darinya.Dan setelah penandatanganan selesai juga talak terhadapku telah diucapka
Ah, aku lega, kini aku sudah ditalak oleh si Bang Panjul. Dan di rumah ini, dia sudah tidak ada lagi. Dia sudah kuhempas, tinggal menunggu sidang pertama perceraian kami berlangsung. Bukan hanya sidang perceraian aku, tapi juga sidang Mbak Widya. Semoga saja tidak ada kendala, biar si tukang selingkuh itu bisa cepat menikah dan merasakan bagaimana bila hidup bersama dalam sebuah pernikahan.Aku duduk-duduk manis di kasur empuk lantai atas tempat Mbak Widya sejak awal. Dan kini sudah aku tempati. Dia tidak bisa menolak karena aku juga berontak, tidak bisa diam.Kakakku itu masih di rumah ini. Ya, setidaknya sebelum dia dengan si Panjul belum menikah, bolehlah kukasih tumpangan dia sebentar. Aku juga tak kejam-kejam amat.Pagi ini adalah pagi pertama setelah statusku di mata agama sudah menjadi janda. Meski kecewa pada pernikahan ini, tapi hidup harus terus dijalani, seperti sebuah lagu yang sering diputar saat hatiku merasa hancur."Humh, wangi." Aku bergumam sendiri setelah usai masa
Kupingku jingkrak-jingkrak mendengar suara nyeleneh dari pintu depan. Ternyata eh ternyata, yang datang adalah ibunya si Bang Panjul. Dia datang ke rumah ini membawa rantang makanan. Oh, pasti request-an dari calon mantunya. Hebat, hebat."Iya, Wid, ini Ibu sengaja bawakan buat kamu. Sebentar lagi kamu 'kan akan jadi mantu Ibu yang paling cantik dan montok. Ibu akan sangat bangga!" sahut mulut si mantan mertuaku itu. Karena secara agama, dia telah jadi mantan mertua.Oh, mereka pasti sengaja ingin memanas-manasiku. "Ehm!" Aku hanya berdehem."Masuk, Bu, masuk! Aduh, wangi sekali masakan Ibu," kata si Mbak Widya sok manis. Sengaja ia lantangkan suaranya supaya aku mendengar. "Iya, Wid, sengaja, ini spesial buat kamu." Ibunya Bang Panjul menyahut lagi."Aduh, Ibu memang mertua yang baik. Eh, calon. Hihi." Si Mbak Widya sok manis."Iya, Ibu gak pernah gini sama si Nur dulu, tapi sama kamu, kamu 'kan spesial, Wid. Spesial, mantu cakep, ah!" Terus saja wanita paruh baya itu mengindahkan k
Saat ini ada kesempatan Bang Panjul untuk mengurung Mbak Widya di kamar. Dia langsung menguncinya hingga kini suara godor-gedor pintu pun terdengar dari balik kamar pribadi mereka."Bang! Bang! Buka! Buka, eh, buka! Itu di sana ada Mas Aryo yang mau datang untuk mengajak aku jalan-jalan. Kamu jangan terlalu cemburu Bang Panjul, biarkan aku jalan sama dia sekarang. Buka pintu ini! Cepetan muka!"Dari balik kamar sana Mbak Widya masih terus berteriak dan menggedor-gedor pintu. Aku dan Mas Aryo benar-benar jadi bingung untuk membawa Mbak Widya ke psikiater. Kalau dibiarkan pasti gangguan emosinya pasti lebih parah.Kini si Bang Panjul duduk di kursi dengan tatapan lesu dan lunglai. Dia juga mengacak rambut seolah-olah pusing dengan keadaan yang saat ini ia hadapi."Kenapa si Widya jadi begitu? Kenapa dia malah parah seperti ini ya?" Dia bicara sendiri di depan kami berdua."Istri kamu memang gila, Panjul! Pokoknya kamu harus ganti semua barang ibu yang pecah ini. Pokoknya Ibu juga nggak
PoV Nur***"Mau ngapain? Pokoknya aku gak mau, ya? Awas kalau kalian berani bawa aku ke mana-mana. Mati kalian!" Akan dibawa ke psikiater, Mbak Widya malah ngamuk-ngamuk di depan aku dan Mas Aryo, di depan Bang Panjul dan juga ibunya. Dia benar-benar brutal. Baru kali ini aku melihat Mbak Widya sengamuk ini. Betul-betul, otaknya sudah berat sebelah."Ya udah, kalau gak mau ya udah. Jangan kamu rusak semua barang saya, Widya!" Mantan mertua ngomel. Lihat saja apa yang terjadi, Mbak Widya acak-acak isi rumah. Sampai panci, wajan, centongan, semuanya berhamburan keluar. Seperti ada pertempuran antara istri dan selingkuhan suaminya.Brang! BRENG!Pluk!"Sinting kamu, Widya! Apa yang kamu lakukan? Rusak saja barang lain, jangan barang milik saya! Heurkh!"Bu Nengsih murka habis-habisan. Apalagi karena kekacauan ini malah berhasil mengundang perhatian para tetangga. Beberapa warga berhamburan menjadikan rumah Bu Nengsih ini sebagai pusat perhatian.Aku dan Mas Aryo pun bingung harus bag
Semakin aneh lagi Mbak Widya. Jangan-jangan …"Sebenarnya ada apa, Bang?" Aku sangat penasaran dan langsung menanyakan pada si Bang Panjul."Sejak minum baygon sama so Klin lantai, otaknya jadi gesrek, Nur! Abang 'kan pernah cerita sama kamu waktu itu." Bang Panjul menjelaskan dengan fasih."Hah, jadi itu beneran?" Aku kaget, Mas Aryo pun masih ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."Beneran, Nur. Sepertinya kalau tidak keburu dicegah, dia bisa mati. Eh, malah stres!" kesal si Bang Panjul."Astaghfirullahaladzim!""Heh, jangan bilang aku stres ya, Bang? Kurang ajar! Kamu yang stres, kamu gak bisa kasih aku uang banyak! Kamu yang stres!" Mbak Widya nyolot.Aku tak habis pikir dengan tingkah Mbak Widya saat ini. Dia seperti lain, ini bukan dia. Kalau pembahasannya sih masih sama, tapi cara dia tampil dan dia ngelantur, ini beda."Lihat 'kan, Nur? Dia tidak gila semacam amesia, dia masih sadar, hanya kadang ngelantur dan kayak orang gila. Lihat aja, baju dia pakai dobel-dobel kayak gitu
PoV Nur***"Sebenarnya istri saya kenapa, Dok? Kok bisa sampai muntah-muntah begini, ya? Apa asam lambung?" Dokter malah senyam-senyum. "Selamat, Bu Nur sedang mengandung. Sepertinya sudah mau jalan 4 Minggu."Deg!Aku dan Mas Aryo yang duduk di depan dokter, di ruang pemeriksaan ini pun terkaget-kaget sekaligus bahagia. "Yang bener, Dok? Jadi istri saya hamil?"Aku hanya mampu berkali-kali meneguk liur saking terharunya. Kalau ini benar, alhamdulillah, kami memang benar-benar menanti. Itu alasan kenapa aku tidak ikut KB."Betul sekali. Apalagi istri Bapak telat datang bulan, ya?" ucap dokter lagi.Mas Aryo melirikku. "Kamu telat datang bulan?" tanyanya padaku.Aku pun manggut-manggut dengan senyum yang ragu. Memang tadi dokter bertanya mengenai hal itu."Alhamdulillah, jadi beneran hamil, ya?" Mas Aryo memastikan lagi pada dokter perempuan yang tengah memeriksaku.Begitu bahagianya kami. Ini adalah rezeki terindah sepanjang sejarah. Ah, aku hamil? Jadi pusing-pusing belakangan ini
"Ya pakek nomor suamimu lah! Pakek nomor siapa lagi? Lagian, pasti pesannya udah dihapus. Tadi, barusan aja suamimu hubungi aku. Eh, kamu keburu datang aja, Nur. Hemh." Seharusnya ini bisa membangkitkan emosi anak kurang ajar ini. Tapi, bukannya dia marah, wajahnya malah lesu dan malas."Pakai nomor yang mana, Mbak? Pakai nomor yang ini?" Ia merogoh hp dari tas kecilnya, "ini hp Mas Aryo kebawa sama aku waktu tadi Mas Aryo peluk aku dan genggam-genggam tangan aku, kayaknya dia simpan hp di keranjang belanjaan tanpa sadar. Kayaknya gak ada kiriman pesan atau pesan masuk dari kamu deh, Mbak. Atau Mas Aryo pakai nomor mana ya?" Dengan penuh keyakinan dia membuat emosiku berapi-api. Hah? Bagaimana bisa hp Mas Aryo tertinggal di keranjang si Nur? Ah, lalu tertinggal saat si Mas Aryo meluk dia?"Eh, kamu lancang ya bawa-bawa hp suami!" tegurku kesal. Entah kenapa kesempatan membuat mereka adu mulut jalannya sesulit ini. Kenapa kebetulan? Lalu alasan apalagi?"Sudahlah, Wid, kamu pulang sa
PoV Widya***"Eh, eh, eh, apaan ini?"Seorang wanita paruh baya yang kehadirannya membuatku terkejut itu sudah berkacak pinggang. Ia menatapku dengan sengit. Ibu, kenapa mertuaku ada di sini?"Ibu?""Dasar istri kurang ajar! Bilang mau nyari kerja, kenapa kamu di sini? Mau ngapain di sini? Jangan-jangan kalian berdua main di belakang lagi ya?" cerocosnya. Mas Aryo pun bukannya kaget tapi dia malah geleng-geleng kepala. "Jangan asal tuduh, Bu. Lihat menantu Ibu yang menyodorkan dirinya pada saya. Sudah saya suruh pergi malah makin nyosor." Mas Aryo tega seserius itu membicarakan aku.Aku di sini panik."Eh, eh, eh, si Widya ini bikin malu. Sudah lagi perut bunting, sekarang malah begini. Gak waras kamu, ya?" celetuk mertua."Bu, diam dulu. Aku ke mari … aku ke mari karena ada urusan. Iya 'kan, Mas?" Aku melirik Mas Aryo berharap dia mau kongkalingkong. Kukedip-kedipkan mata memberikan kode."Urusan apa, Wid? Kamu mau ganggu aku lagi ya? Aku malu sih pernah jadi suami kamu. Lebih baik
PoV Widya***Tok tok tok!Ehm!Aku pun berdehem untuk menetralisir kegugupan. Mungkin sudah jodohnya, pintu pun langsung dibukanya dan kini Mas Aryo pun telah menatap wajahku yang cantik ini."Eh, Wid? Ngapain?" Sepertinya urat malu ku bermunculan. Betapa tampannya dia, masih sama seperti dulu. Bahkan, jam tangan di pergelangan tangannya menambah kesan elegan dan sangat rupawan."Mas Aryo, boleh masuk aku, Mas?" ujarku malu-malu."Ada apa? Duduk saja di sana, ayok!" sarannya. Huwh, sebenarnya aku kesal, dia tak membawa aku masuk ke dalam rumahnya. Padahal, sat-set, sat-set, di kamar 5 menit juga beres. Dia pasti klepek-klepek.Mas Aryo duluan duduk, aku pun mengekor dan duduk di kursi kayu yang ada di teras ini. Wangi parfumnya meski masih berkeringat tetap melekat. Apalagi sekarang dia sudah kaya, pasti parfum ini juga mahal harganya."Ada apa, Wid? Nur sedang ke warung. Lebih baik kalau ada perlu, nanti saja ke sini lagi. Aku mau mandi ini."Mendengar kalimat 'mau mandi' entah ken
PoV Widya***Seharusnya aku tak melepaskan Mas Aryo kalau pada akhirnya dia akan jadi kaya seperti ini. Setelah aku telusuri lebih jauh sampai ke kota tempat ia tinggal, ternyata Mas Aryo dapat warisan dari kakeknya yang baru saja meninggal. Aku tidak ke sana, hanya menghubungi, cari informasi dari tetangganya yang kontaknya masih tersimpan.Huwh … kenapa si kakek tidak meninggal sejak dulu? Kenapa harus setelah aku cerai. Lagipula, yang aku tahu Mas Aryo ini hanya orang-orang biasa. Bukan keturunansultan.Pantas dia beli tanah dan bangun rumah sebesar ini. Di sini harga tanah masih relatif murah. Mendengar warisan yang disebutkan dari tetangga si Mas Aryo.Kuelus perut yang sudah semakin buncit ini. Darah daging siapa? Hurkh … si miskin! Si penipu!Aku sekarang dari kejauhan sedang menatapi rumah si Nur yang dibangunnya menggunakan jasa suamiku, mantan suaminya. Apa keduanya termasuk si Bang Panjul tidak sadar dengan posisi masing-masing sejak awal? Lihatlah, si Bang Panjul sampai
PoV Panjul***"Huwh … huwh …." Hanya mampu mengatur pernapasan tanpa bicara. Ibu juga pasti mendengar gunjingan barusan."Oh, begitu? Mujur ya nasib perempuan itu. Sudah punya kedai makanan, punya kontrakan, katering, sekarang punya suami kaya. Ck, ck, ck."Aku malah semakin sesak napas dan gemetar mendengar kehidupan keduanya. Kenapa harus kebetulan ada tetangga rempong di sini. Meski aku pernah melihat dua orang ibu-ibu ini namun tak begitu akrab, bicaranya tak bisa membuat telingaku seketika mati pendengaran."Sialan! Mereka ngoceh apaan? Aku yakin, si Mas Aryo hanya nipu kayak laki-laki di sampingku ini. Aku juga yakin, beberapa bulan akan terbongkar apa sebenarnya maksud dari si Mas Aryo. Tidak mungkin dia baru menikah langsung membuatkan rumah mewah itu untuk si Nur. Apa berharganya anak itu." Dengarlah ocehan pedas Widya. Tapi sebenarnya bisa jadi. Oh tidak, aku kebas dan kesemutan."Aneh, dari jalan keluar rumah sampai Ibu ke pasar, sampai ibu ke warung balik lagi ke rumah sa