"Eh, eh, eh, apaan itu? Mobil pick up tadi bawa apa itu, Nur?"Tiba-tiba nyelonong Mbak Widya yang dandanannya super nyentrik. Matanya melirik dengan apik.Dia seperti Mbak Kunkun, tidak kelihatan dari arah mana, tahu-tahu sudah muncul. Belakang tubuhnya juga sama-sama bolong. Hanya saja si Mbak Widya tidak kelihatan usus dan tulang rusuknya. Kalau kelihatan aku mungkin semakin takut.Di sini tersisa hanya aku saja. Yang membantu pekerjaan katering sudah pulang sejak tadi setelah pekerjaan beres. Laras juga masih di kampus karena ada kelas tambahan katanya.Bola mata Mbak Widya menyipit ke arah mobil pick up yang kini telah lenyap dari pandangan kami. "Kamu barusan kasih apa? Kok banyak dusnya? Jangan-jangan ada barangmu yang dijabel ya?" Dia penasaran.Sudah malas saja menjawabnya. Kurang-kurang beristighfar, sudah kutampol dia! Ngomong-ngomong ada apa dia. "Heem, barangku dijabel. Kenapa, Mbak? Memang apa urusan Mbak? Apa kepentingan Mbak ke mari?" tanyaku langsung dengan hati yang
"Alhamdulillah kalau Mbak suka ya, Mbak. Setelah dapat pesanan pertama dari Mbak Wati. Saya memutuskan untuk ambil orderan kalau ada yang perlu jasa katering lagi, Mbak. Mbak Wati kalau punya kenalan yang mau hajatan. Mbak bisa kasih nomor saya ya, Mbak!" seruku di keesokan hari setelah acara Mbak Wati usai. Ngomong-ngomong dulu aku yang serundul kalau ngomong, sekarang agak dikurang-kurangi. Hihi."Siap, Mbak. Nanti saya sembari iklanin deh. Rasa masakannya juga lumayan enak. Hehe. Maaf ya kalau pakai lumayan." Dia tipikal orang yang jujur dan tak suka cari muka."Gak apa-apa, Mbak. Semoga nanti saya bisa lebih enak dan lebih bagus lagi kalau membuat katering seperti itu. Makasih loh ya, Mbak, saya gak ada ide buat katering kayak begitu. Tapi Mbak menginspirasi saya."Mbak Wati tak percaya. "Lah, jadi Mbak Nur ini bukan tukang buat kateringan beneran? Jadi perdana dong saya? Tapi bagus ini, Mbak. Packingnya rapih juga. Ini kayak yang udah lihai dan sering bikin pesanan!" pujinya lagi
Tok tok tok!Kuketuk pintu rumah pribadi untuk melihat siapa pria yang sedang duduk itu. Sejak aku datang baru terlihat belakang kepalanya saja. Badannya lumayan tinggi dan berisi. Pacar si Laras? Rambutnya juga bagus. Hemh, habis cukur kayaknya.Setelah mengetuk pintu pura-pura, pada akhirnya pria itu menoleh. Laras tidak terlihat di sekitar, apa dia sedang membuatkan minuman? Eh, tidak, minuman sudah ada di meja. Dengan cemilan sedikit menemani supaya si gelas tidak sepi."Lah, Mas Aryo?" batinku kaget saat pria itu menampakkan wajahnya. Lalu ia pun tersenyum dan setelah itu menundukkan pandangannya sejenak.Lanjut dia berdiri dan aku masih diam mematung di ambang pintu. Ada dag Dig dug serrr tidak bisa berhenti. Ini seperti melihat hantu berenkarnasi. Eh iya, istilahnya aku lupa. Maklum, bukan penggemar film-film seperti itu."Eh, Mbak Nur udah pulang? Ada tamu, Mbak!" seru Laras yang saat ini membuat pandanganku beralih menatapnya. Liurku terteguk saat Laras bilang ada tamu."Em,
"Kalau begitu Mas pamit dulu ya, Dek. Jangan sebut siapa dan mau apa kalau Mas datang lagi ke mari!" ujarnya sebelum pamit malam-malam seperti ini.Aku pun agak sedikit cemas. "Iya, Mas. Mas sudah saya anggap sebagai saudara. Tapi .. apa Mas tidak kembali besok saja. Mas bisa menginap di rumah Pak RT!" saranku.Dia pun menjawab. "Oh jangan khawatir. Mas tidak akan pergi ke Jawa langsung. Mas akan ke rumah teman dulu yang ada di perbatasan kabupaten ini. Mas akan menginap di sana karena ada urusan."Aku pun paham. "Oh begituh, ya sudah, Mas hati-hati ya. Salam untuk orang di sana!" sahutku."Insyaallah Mas salamkan. Kamu gak nitip salam juga buat yang sampein salam?" ucapnya. Namun saat aku sadar karena telmi, entah kenapa dadaku memburu. "Hemh? Maksudnya, Mas?" heranku.Mas Aryo malah tertawa kecil. "Sudah, jangan bahas." Dia pun menyalakan mesin kendaraan miliknya. Eh iya, punya dia atau punya temannya? Ah masa bodo."Ya sudah, Mas, hati-hati di jalan. Salamkan buat Mas Aryo dari sa
PoV Nur***"Nur, asyik banget. Abang ada perlu sama kamu!"Degh!Di sela-sela perselorohan antara aku dan Menul, tiba-tiba muncullah seorang pria yang membuat mataku membola. Si Menul saja sampai kaget. Ada apa lagi dia datang? Apalagi ini dalam suasana ramai. Ah, mau cari mati kah?"Bang Panjul, ngapain?" protes si Menul. Aku melihat dari raut wajahnya dia sama sekali tak suka dengan kedatangan pria ini. Aku juga sama, tidak suka sama sekali."Aku mau bicara sama kamu, Nur!" ujarnya lagi dengan nada yang agak naik. Bola matanya tidak berhenti tatap sana dan tatap sini. Apa dia aneh dengan tempat kerjaku ini?"Halah, sepertinya mau minjem duit, Nur!" celetuk si Menul lagi. Aku pun hanya diam tanpa menanggapi si Bang Panjul."Diam kamu gentong minyak!" hujat si Bang Panjul pada si Menul. Dia sok iye. Ngomong-ngomong, pelangganku yang sedang duduk menikmati makan siang pun sama gendutnya. Semoga tidak tersinggung.Si Menul pun tak diam. "Enakkan aku gentong minyak. Itu tandanya aku se
PoV Nur**"Huhah, huhah, ayok bayar 128 rebu. Es teh manisnya 4 gelas. 4 kali 5 rebu. Terus kerupuknya tadi habis 10 rebu. Jadi total 158 rebu. Ayok bayar!" Aku menagih janjinya yang akan membayar si pelanggan tadi."Hah? Kira-kira dong, Nur. Kamu namanya memeras aku. Mana mungkin dia makan segitu. Dia bukan buto ijo!" Dia malah berdalih."Heh, Bang, dia itu memang segitu makannya. Saya dekat dengan rumah dia. Ayok bayar!" Pria di sana membela dan meminta si Panjul langsung bayar. Untung saja ada saksi. Haha."Eh, tapi …." Si Bang Panjul keteteran."Jangan tapi-tapian, ayok bayar!" gertakku."Nur, sini, kita bicara dulu!"Dia malah menarik tanganku sampai keluar kedai. Orang-orang di sana pun heran. Aku memaksa supaya dia lepaskan tarikan tangannya. "Lepaskan!""Eh, Nur. Jangan berontak kenapa. Kita bisa bicara baik-baik. Abang bayar 30 ribu dulu, ya. Abang gak ada uang. Abang belum gajian. Gajian baru Minggu depan!" Dia mengelak."Enak saja. Pelangganku tadi sudah lari, dan itu gara
Panjul PoV*"Bang, kata temanku, dia lihat kamu di sebuah warung di perbatasan kota dekat yang mau ke arah jalan tol. Kamu ngapain, Bang? Jam 2 siang lagi. Kamu ngapain? Proyek di sana?" Widya menyergapku yang sedang duduk santai menikmati kopi hitam buatan sendiri. Karena dia tidak pernah membikinkanku kopi kalau tidak sedang manja-manjaan. Aku sudah biasa. Aku langsung tercengang dengan pertanyaan darinya barusan. Apa yang dia duga? "Maksudnya kamu apa, Sayang?" tanyaku langsung berdiri dan memegang kedua tangannya. Tak kulupakan senyum manis terpaksa ini supaya dia suka."Maksudnya, ada temanku yang suka arisan bilang kalau lihat kamu lagi duduk-duduk santai di warung sana. Di dekat yang mau masuk gerbang tol itu. Tapi kamu ngapain, Bang? Bukannya jam segitu kamu kerja di kota ya? Atau ada proyek di sana?" Dia mengulang lagi pertanyaan. Mungkin dipikirnya aku belum jelas mendengar, padahal sudah jelas dan paham. Hanya bingung ingin menjawab apa karena itu memang benar. Aku seri
PoV Panjul**"Eh, Bang, hari ini aku mau ke arisan. Uang yang kemarin tinggal sedikit. Besok aku minta lagi. Cicilan ke si Engkoh sudah Abang yang handle ya. Kalau gitu Widya berangkat dulu!" pamitnya tanpa beban. Sedang aku di sini mikir, dari mana cari uang untuk tutupi kebutuhan. Masak iya harus gali lobang tutup lobang terus!"Eh, eh, eh, mau ke mana kamu, Wid?"Baru saja akan duduk lagi, terdengar suara ibu yang menegur istriku yang molek dan cantik itu. Tak menunggu lama aku langsung bangkit dan lari ke sumber suara."Apaan sih, Bu! Widya mau nyalon. Ibu mau ikut? Tapi maaf, gak ada jatah. Minta dulu aja uangnya sama anak Ibu!" sungut Widya menanggapi ibuku. Ternyata beda sekali dengan Nur. Harkh, apaan! Jelas Widya lebih dari segalanya. Mainnya juga dia lihai. Apalagi saat aku sogok dia dengan uang yang merah-merah. Semalaman dia sanggup di atas. Huwh …"Nyalon, nyalon! Sekali-kali pas Ibu ke sini lihat kamu itu lagi beberes atau lagi msak. Malah nyalon! Hemh!" sinis Ibu."Ah,
Saat ini ada kesempatan Bang Panjul untuk mengurung Mbak Widya di kamar. Dia langsung menguncinya hingga kini suara godor-gedor pintu pun terdengar dari balik kamar pribadi mereka."Bang! Bang! Buka! Buka, eh, buka! Itu di sana ada Mas Aryo yang mau datang untuk mengajak aku jalan-jalan. Kamu jangan terlalu cemburu Bang Panjul, biarkan aku jalan sama dia sekarang. Buka pintu ini! Cepetan muka!"Dari balik kamar sana Mbak Widya masih terus berteriak dan menggedor-gedor pintu. Aku dan Mas Aryo benar-benar jadi bingung untuk membawa Mbak Widya ke psikiater. Kalau dibiarkan pasti gangguan emosinya pasti lebih parah.Kini si Bang Panjul duduk di kursi dengan tatapan lesu dan lunglai. Dia juga mengacak rambut seolah-olah pusing dengan keadaan yang saat ini ia hadapi."Kenapa si Widya jadi begitu? Kenapa dia malah parah seperti ini ya?" Dia bicara sendiri di depan kami berdua."Istri kamu memang gila, Panjul! Pokoknya kamu harus ganti semua barang ibu yang pecah ini. Pokoknya Ibu juga nggak
PoV Nur***"Mau ngapain? Pokoknya aku gak mau, ya? Awas kalau kalian berani bawa aku ke mana-mana. Mati kalian!" Akan dibawa ke psikiater, Mbak Widya malah ngamuk-ngamuk di depan aku dan Mas Aryo, di depan Bang Panjul dan juga ibunya. Dia benar-benar brutal. Baru kali ini aku melihat Mbak Widya sengamuk ini. Betul-betul, otaknya sudah berat sebelah."Ya udah, kalau gak mau ya udah. Jangan kamu rusak semua barang saya, Widya!" Mantan mertua ngomel. Lihat saja apa yang terjadi, Mbak Widya acak-acak isi rumah. Sampai panci, wajan, centongan, semuanya berhamburan keluar. Seperti ada pertempuran antara istri dan selingkuhan suaminya.Brang! BRENG!Pluk!"Sinting kamu, Widya! Apa yang kamu lakukan? Rusak saja barang lain, jangan barang milik saya! Heurkh!"Bu Nengsih murka habis-habisan. Apalagi karena kekacauan ini malah berhasil mengundang perhatian para tetangga. Beberapa warga berhamburan menjadikan rumah Bu Nengsih ini sebagai pusat perhatian.Aku dan Mas Aryo pun bingung harus bag
Semakin aneh lagi Mbak Widya. Jangan-jangan …"Sebenarnya ada apa, Bang?" Aku sangat penasaran dan langsung menanyakan pada si Bang Panjul."Sejak minum baygon sama so Klin lantai, otaknya jadi gesrek, Nur! Abang 'kan pernah cerita sama kamu waktu itu." Bang Panjul menjelaskan dengan fasih."Hah, jadi itu beneran?" Aku kaget, Mas Aryo pun masih ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."Beneran, Nur. Sepertinya kalau tidak keburu dicegah, dia bisa mati. Eh, malah stres!" kesal si Bang Panjul."Astaghfirullahaladzim!""Heh, jangan bilang aku stres ya, Bang? Kurang ajar! Kamu yang stres, kamu gak bisa kasih aku uang banyak! Kamu yang stres!" Mbak Widya nyolot.Aku tak habis pikir dengan tingkah Mbak Widya saat ini. Dia seperti lain, ini bukan dia. Kalau pembahasannya sih masih sama, tapi cara dia tampil dan dia ngelantur, ini beda."Lihat 'kan, Nur? Dia tidak gila semacam amesia, dia masih sadar, hanya kadang ngelantur dan kayak orang gila. Lihat aja, baju dia pakai dobel-dobel kayak gitu
PoV Nur***"Sebenarnya istri saya kenapa, Dok? Kok bisa sampai muntah-muntah begini, ya? Apa asam lambung?" Dokter malah senyam-senyum. "Selamat, Bu Nur sedang mengandung. Sepertinya sudah mau jalan 4 Minggu."Deg!Aku dan Mas Aryo yang duduk di depan dokter, di ruang pemeriksaan ini pun terkaget-kaget sekaligus bahagia. "Yang bener, Dok? Jadi istri saya hamil?"Aku hanya mampu berkali-kali meneguk liur saking terharunya. Kalau ini benar, alhamdulillah, kami memang benar-benar menanti. Itu alasan kenapa aku tidak ikut KB."Betul sekali. Apalagi istri Bapak telat datang bulan, ya?" ucap dokter lagi.Mas Aryo melirikku. "Kamu telat datang bulan?" tanyanya padaku.Aku pun manggut-manggut dengan senyum yang ragu. Memang tadi dokter bertanya mengenai hal itu."Alhamdulillah, jadi beneran hamil, ya?" Mas Aryo memastikan lagi pada dokter perempuan yang tengah memeriksaku.Begitu bahagianya kami. Ini adalah rezeki terindah sepanjang sejarah. Ah, aku hamil? Jadi pusing-pusing belakangan ini
"Ya pakek nomor suamimu lah! Pakek nomor siapa lagi? Lagian, pasti pesannya udah dihapus. Tadi, barusan aja suamimu hubungi aku. Eh, kamu keburu datang aja, Nur. Hemh." Seharusnya ini bisa membangkitkan emosi anak kurang ajar ini. Tapi, bukannya dia marah, wajahnya malah lesu dan malas."Pakai nomor yang mana, Mbak? Pakai nomor yang ini?" Ia merogoh hp dari tas kecilnya, "ini hp Mas Aryo kebawa sama aku waktu tadi Mas Aryo peluk aku dan genggam-genggam tangan aku, kayaknya dia simpan hp di keranjang belanjaan tanpa sadar. Kayaknya gak ada kiriman pesan atau pesan masuk dari kamu deh, Mbak. Atau Mas Aryo pakai nomor mana ya?" Dengan penuh keyakinan dia membuat emosiku berapi-api. Hah? Bagaimana bisa hp Mas Aryo tertinggal di keranjang si Nur? Ah, lalu tertinggal saat si Mas Aryo meluk dia?"Eh, kamu lancang ya bawa-bawa hp suami!" tegurku kesal. Entah kenapa kesempatan membuat mereka adu mulut jalannya sesulit ini. Kenapa kebetulan? Lalu alasan apalagi?"Sudahlah, Wid, kamu pulang sa
PoV Widya***"Eh, eh, eh, apaan ini?"Seorang wanita paruh baya yang kehadirannya membuatku terkejut itu sudah berkacak pinggang. Ia menatapku dengan sengit. Ibu, kenapa mertuaku ada di sini?"Ibu?""Dasar istri kurang ajar! Bilang mau nyari kerja, kenapa kamu di sini? Mau ngapain di sini? Jangan-jangan kalian berdua main di belakang lagi ya?" cerocosnya. Mas Aryo pun bukannya kaget tapi dia malah geleng-geleng kepala. "Jangan asal tuduh, Bu. Lihat menantu Ibu yang menyodorkan dirinya pada saya. Sudah saya suruh pergi malah makin nyosor." Mas Aryo tega seserius itu membicarakan aku.Aku di sini panik."Eh, eh, eh, si Widya ini bikin malu. Sudah lagi perut bunting, sekarang malah begini. Gak waras kamu, ya?" celetuk mertua."Bu, diam dulu. Aku ke mari … aku ke mari karena ada urusan. Iya 'kan, Mas?" Aku melirik Mas Aryo berharap dia mau kongkalingkong. Kukedip-kedipkan mata memberikan kode."Urusan apa, Wid? Kamu mau ganggu aku lagi ya? Aku malu sih pernah jadi suami kamu. Lebih baik
PoV Widya***Tok tok tok!Ehm!Aku pun berdehem untuk menetralisir kegugupan. Mungkin sudah jodohnya, pintu pun langsung dibukanya dan kini Mas Aryo pun telah menatap wajahku yang cantik ini."Eh, Wid? Ngapain?" Sepertinya urat malu ku bermunculan. Betapa tampannya dia, masih sama seperti dulu. Bahkan, jam tangan di pergelangan tangannya menambah kesan elegan dan sangat rupawan."Mas Aryo, boleh masuk aku, Mas?" ujarku malu-malu."Ada apa? Duduk saja di sana, ayok!" sarannya. Huwh, sebenarnya aku kesal, dia tak membawa aku masuk ke dalam rumahnya. Padahal, sat-set, sat-set, di kamar 5 menit juga beres. Dia pasti klepek-klepek.Mas Aryo duluan duduk, aku pun mengekor dan duduk di kursi kayu yang ada di teras ini. Wangi parfumnya meski masih berkeringat tetap melekat. Apalagi sekarang dia sudah kaya, pasti parfum ini juga mahal harganya."Ada apa, Wid? Nur sedang ke warung. Lebih baik kalau ada perlu, nanti saja ke sini lagi. Aku mau mandi ini."Mendengar kalimat 'mau mandi' entah ken
PoV Widya***Seharusnya aku tak melepaskan Mas Aryo kalau pada akhirnya dia akan jadi kaya seperti ini. Setelah aku telusuri lebih jauh sampai ke kota tempat ia tinggal, ternyata Mas Aryo dapat warisan dari kakeknya yang baru saja meninggal. Aku tidak ke sana, hanya menghubungi, cari informasi dari tetangganya yang kontaknya masih tersimpan.Huwh … kenapa si kakek tidak meninggal sejak dulu? Kenapa harus setelah aku cerai. Lagipula, yang aku tahu Mas Aryo ini hanya orang-orang biasa. Bukan keturunansultan.Pantas dia beli tanah dan bangun rumah sebesar ini. Di sini harga tanah masih relatif murah. Mendengar warisan yang disebutkan dari tetangga si Mas Aryo.Kuelus perut yang sudah semakin buncit ini. Darah daging siapa? Hurkh … si miskin! Si penipu!Aku sekarang dari kejauhan sedang menatapi rumah si Nur yang dibangunnya menggunakan jasa suamiku, mantan suaminya. Apa keduanya termasuk si Bang Panjul tidak sadar dengan posisi masing-masing sejak awal? Lihatlah, si Bang Panjul sampai
PoV Panjul***"Huwh … huwh …." Hanya mampu mengatur pernapasan tanpa bicara. Ibu juga pasti mendengar gunjingan barusan."Oh, begitu? Mujur ya nasib perempuan itu. Sudah punya kedai makanan, punya kontrakan, katering, sekarang punya suami kaya. Ck, ck, ck."Aku malah semakin sesak napas dan gemetar mendengar kehidupan keduanya. Kenapa harus kebetulan ada tetangga rempong di sini. Meski aku pernah melihat dua orang ibu-ibu ini namun tak begitu akrab, bicaranya tak bisa membuat telingaku seketika mati pendengaran."Sialan! Mereka ngoceh apaan? Aku yakin, si Mas Aryo hanya nipu kayak laki-laki di sampingku ini. Aku juga yakin, beberapa bulan akan terbongkar apa sebenarnya maksud dari si Mas Aryo. Tidak mungkin dia baru menikah langsung membuatkan rumah mewah itu untuk si Nur. Apa berharganya anak itu." Dengarlah ocehan pedas Widya. Tapi sebenarnya bisa jadi. Oh tidak, aku kebas dan kesemutan."Aneh, dari jalan keluar rumah sampai Ibu ke pasar, sampai ibu ke warung balik lagi ke rumah sa