Moreau hampir tak bisa mengomentari apa pun mengenai rumah futurisik yang baru saja dia masuki. Di sampingnya, Abihirt melangkahkan kaki, seolah hanya memiliki satu niat menuntun langkah mereka ke suatu tempat. Tidak tahu ruang seperti apa dan sampai di mana mereka akan berakhir. Sesekali Moreau menoleh, sadar bahwa dinding – dinding yang membentang memiliki kesan mengerikan. Dia tak mengerti mengapa Abihirt memilih saat – saat seperti ini, saat mereka bahkan tidak memberitahu Barbara tentang—setidaknya alasan yang dibuat - buat. Atau barangkali Abihirt sudah, dan pria itu sengaja membuatnya melewatkan informasi demikian, seh8ngga dia tidak mengatakan kepada ibunya. Tidak setelah mati – matian berdamai dengan perasaan ambigu selama dalam perjalanan. “Tunggu sebentar di sini. Aku ada sedikit urusan.” Suara serak dan dalam Abihirt mencuak ke permukaan. Moreau menahan napas ketika pria itu mengambil langkah lebar hanya untuk memastikann
“Apa yang kau lakukan, Abi?” Dia bertanya dengan suara nyaris tercekat selagi ayah sambungnya sedang mengerjakan sesuatu. Moreau yakin pria itu telah membagi rambut panjangnya menjadi tiga bagian. Dia tak pernah memiliki poni, tetapi sisa – sisa anak rambut akan terurai sendirinya. Membuat kepang. Ya, sekarang Moreau yakin atas satu kebutuhan tersebut. Tanpa sadar dia mengetatkan genggaman tangan setelah tindakan Abihir hampir selesai. Ayah sambungnya hanya perlu mengikat dengan karet. Segala hal telah disiapkan. Moreau terpaku memperhatikan bagaimana pria itu terlihat luwes memisahkan karet yang merekat menggunakan bibir, barangkali menggigitnya. Dia bahkan menipiskan bibir menyadari tangan Abihirt bergerak tentatif menunjukkan kemampuan khusus ketika sedang mengikat di bagian ujung. Jantung Moreau lantas bertalu – talu liar pada momen iris matanya bertemu sorot kelabu yang tajam di cermin. Perasaan tak t
Bagaimanapun Moreau harus bergerak tanpa dihadapkan pilihan tambahan. Dia ragu – ragu menyingkirkan tas selempang berisi ponsel dan dompet di bagian pinggir, perlahan mulai menekuk kaki di atas ranjang sementara kedua tangannya menekan di kasur yang sama diliputi suara berderak. “Kau bisa memintaku berhenti jika aku melakukannya secara berlebihan.” “Melakukan ap—“ Suara Moreau terhenti sepaket dengan napas tercekat saat pukulan di bokongnya terasa cukup panas. Dia memberanikan diri menoleh ke belakang. Tangan besar Abihirt sungguh masih menggenggam satu hal yang Moreau perhatikan. Rasanya begitu takut ketika sekali lagi tamparan dari cambuk membuat dia tersentak. Diam – diam, tangan yang menekan di atas ranjang berusaha menggenggam kain di sana. Moreau tidak cukup berani bersuara setelah beberapa kali cambukan keras. Perlahan, dia kembali memalingkan wajah me
[Kau ke mana saja, Moreau? Ponsel ayahmu juga tidak bisa dihubungi. Kenapa kalian kompak sekali tidak memberiku kabar?] Moreau menjauhkan seluler genggam beberapa saat sebelum mengatur napasnya agar lebih tenang. Dia menatap wajah Abihirt sebentar dan segera memutuskan kontak mata setelah menemukan alasan yang tepat. “Aku ada latihan tambahan, Mom. Dan mungkin akan pulang lebih larut. Tidak usah menungguku.” Tentang Abihirt. Moreau tak ingin melibatkan pria itu ke dalam percakapan. Biarkan ayah sambungnya yang mengatasi sisa urusan mengambang bersama Barbara—nanti. Paling tidak, sampai suara ponsel tidak lagi terungkap di antara mereka, Moreau segera menyiapkan kebutuhan untuk merenggut kain yang teronggok di lantai. Dia melirik Abihirt supaya ayah sambungnya mengerti. Cukup mengerti sehingga pria itu akhirnya melangkahkan kaki menuju ke sudut ruang sekadar meletakkan kembali cambuk berbulu ke dalam rak bertingkat. Wajah tampan itu menoleh ketika Moreau sedang mengenakan ka
Tidak ada tanggapan dan tiba – tiba Abihirt telah menggenggam di pergelangan tangannya untuk sama – sama meninggalkan gedung mentereng. Moreau tak berharap dia akan patuh, tetapi tubuhnya tak berdaya untuk mengenyakkan punggung di sandaran jok. Pria itu menyusul ke kursi kemudi, seolah telah lama membiarkan kebisuan menang di antara mereka. “Gabriel di belakang.” Moreau menoleh setelah pemberitahuan yang cenderung mendadak. Gabriel persis dikhususkan untuk menyusul di belakang. Sambil menelan ludah kasar dia menatap ayah sambungnya dengan perasaan bingung masih menyergap. “Apa yang harus kukatakan nanti jika ibuku bertanya?” “Aku yang akan mengurusnya.” Jika itu benar, Moreau mungkin tak perlu berusaha keras memikirkan jawaban. Tidak tahu lagi apa yang perlu mereka bicarakan, dia menatap setengah kosong ke luar jendela. Malam dan
“Mengapa Juan harus mengajakku pergi?” tanya Moreau lambat, sesaat setelahnya dia menipiskan bibir nyaris begitu samar. Biarkan Barbara menimbang. Wanita itu tahu apa yang perlu diucapkan. “Aku tahu kebiasaan kalian berdua.” Moreau menggeleng sedikit tak percaya. “Tapi hari ini aku memang hanya latihan,” sergahnya sebagai satu bentuk penjelmaan jahat. Dia tak berdaya untuk mengucapkan kata – kata bohong. Masa sulit menuntut supaya apa pun yang Abihirt inginkan menjadi nyata. Moreau tahu pengkhianatan yang dilakukan kepada ibunya melampaui batas. Dia tak pernah berharap hal seperti ini muncul ke dalam daftar hidupnya, tetapi semua yang tak pernah Moreau dambakan sudah sepaket dengan bayangan – bayangan buruk yang mengikat. Antara bertahan dan menempatkan posisi terlalu jauh adalah dua pilihan sulit yang dia tahu bukanlah prospek bagus untuk memilih salah satunya.
Napas Barbara menggebu setelah menyingkir dari tubuh suaminya. Dia menarik selimut lebih tinggi, lalu bergelayut manja di lengan Abihirt, pria yang membuatnya benar – benar puas malam ini. Sambil sesekali akan mengecup otot – otot yang teras begitu keras, Barbara menengadah menatap wajah Abihirt yang sungguh mengagumkan. Suaminya sedang serius saat mengulik ponsel yang menyala. “Aku mungkin sedikit terlambat memberitahumu, tapi besok lusa akan ada pergelaran fashion di Paris. Aku terpilih sebagai salah satu designer yang harus memamerkan rancanganku. Kau tidak keberatan jika aku pergi beberapa waktu, Darling?” Setelah mengintip segala aktivitas Abihirt ketika sedang memeriksa email masuk, Barbara kembali memindahkan perhatian ke wajah suaminya. Sebelah alis pria itu terangkat tinggi menanggapi pernyataan yang dia berikan, sehingga dia buru – buru menggerakkan tangan untuk mengusap dada liat Abihirt. Berniat merayu suaminya supaya memberi izin.
Napas Moreau berembus dan mulai menyerah untuk melanjutkan sisa langkah di lorong lantai dua. Dia terbangun sedikit siang karena peristiwa semalam. Ada yang perlu ditanyakan kepada Barbara tentang jaket yang sempat wanita itu pinjam, tetapi keberadaan ibunya tak kunjung ditemukan. Moreau tidak tahu apakah dia perlu berani masuk ke dalam kamar wanita itu atau tidak. Dugaan bahwa Barbara, begitu pun dengan ayah sambungnya, yang sudah berangkat ke kantor seolah mendesak sangat deras. Moreau pikir—dia perlu melakukan hal secara diam – diam dan nanti ... akan memberitahu Barbara lewat pesan suara. Jaket yang dia inginkan saat ini adalah salah satu benda berharga pemberian mendiang ayahnya. Dia merasa tidak tahan jika Barbara tak berniat memberi petunjuk untuk mengembalikan. Ntah – ntah lupa, atau memang terlalu senang terhadap bahan berbulu yang akan terasa sangat lembut. Sambil melirik ke s