Pagi ini aku joging dengan Kakek Jaya di depan rumah.
"Kakek tiap hari joging seperti ini, ya?" tanyaku dengan menggerakkan tangan ke kanan dan ke kiri.
"Iya, Nay. Sudah jadi rutinitas wajib untuk Kakek. Dulu Yogi selalu menemani Kakek. Sekarang dia terlalu sibuk dengan kerjaannya."
"Iya tuh, Kek. Di kamar saja sibuk dengan laptopnya."
Kakek Jaya tersenyum dengan pandangan tetap ke depan. "Tapi kamu cinta 'kan Nay dengan cucu Kakek?"
"Cinta? Pak Yogi itu bukan type Nayla, Kek. Jadi mana mung ... kin." Astaga. Keceplosan. Aduh, Nay ... to*ol banget sih, kamu, ucapku dalam hati dengan menepuk bibirku sendiri.
Kakek Jaya langsung menghentikan gerakan jogingnya. "Apa, Nay?"
Ma*pus. Tamat riwayatmu, Nay.
Belum sempat aku menjawab. Pak Yogi tiba-tiba datang di situasi yang begitu menegangkan.
"Kek. Besok Yogi sudah mulai berangkat ke kantor lagi." Kakek Jaya tidak menjawab ucapan Pak Yogi. Beliau masih terus menatapku dengan serius.
"Ini ada apa sih, Kek? Kenapa Kakek diam saja? Dan kamu, Nay. Kenapa wajahmu pucat seperti itu? Kamu sakit?" cecar Pak Yogi yang semakin membuatku gugup.
Aku mencoba mengerdipkan kedua netra pada Pak Yogi. Berharap dia bisa membantuku saat ini.
"Naya. Kenapa malah diam? Coba kamu ulangi ucapanmu tadi!"
"Mak - maksud Naya. Naya dulu tidak cinta sama Mas Yogi. Iya 'kan Sayang? Tapi setelah Naya kenal lebih dekat. Perasaan cinta dan sayang tumbuh di hati Naya, Kek. Makanya, Naya langsung mau ketika Mas Yogi meminang Naya."
Pak Yogi menatapku dengan pandangan aneh. Dahinya terlihat mengernyit. Mungkin dia kaget ketika aku menyebut dia dengan sebutan Mas dan Sayang.
Aku mendekati Pak Yogi dan mencubit kecil pingganya. "Iya 'kan Sayang?" tegasku lagi dengan berusaha memberi senyum manis.
"Ekhem. Iya, Kek."
"Alhamdulillah. Kakek lega mendengarnya, Nay. Tadi Kakek pikir kamu tidak cinta sama Yogi."
"Tadi Naya belum selesai bicara, Kek."
"Oh iya, Gi. Tadi kamu bilang, besok mau ke kantor? Kakek tidak ngizinin. Kalian 'kan baru tiga hari ini menikah. Setidaknya satu minggu lah menikmati pengantin baru. Apalagi kalian tidak honeymoon di luar," terang Kakek dengan menepuk bahu Pak Yogi dan berlalu dari hadapan kami.
Hah ... kuhembuskan napas lega setelah Kakek Jaya pergi.
Kini tatapan tajam Pak Yogi mengarah padaku. "Kamu bikin ulah, ya?"
Aku menggelengkan kepala mencoba mengelak.
"Kamu itu harus hati-hati, Nay! Jangan sampai keceplosan kalau bicara!" Pak Yogi pun berlalu begitu saja.
Kamu itu harus hati-hati, Nay, ucapku pelan menirukan gaya bicara Pak Yogi. Namanya juga keceplosan. 'Kan reflek, gerutuku.
Tapi aku memang harus hati-hati. Bagaimana kalau Kakek Jaya sampai tau dengan perjanjian pernikahan kami. Aku mulai membayangkan seperti di sinetron. Kakek sakit jantung. Terus meningg .... Tidakkkk.
Teriakanku seketika membuat Pak Yogi menghentikan langkahnya. Dia menoleh le arahku.
"Da*ar perempuan aneh," celetuk Pak Yogi dengan menggelengkan kepala.
***
"Nay, Nay ...," panggil Pak Yogi ketika aku sedang merebahkan tubuh di sofa sembari bermain ponsel.
"Hemm ..., kenapa, Pak?"
"Tolongin saya bicara sama Kakek!"
"Bicara apa?" jawabku santai.
"Tadi kamu dengar 'kan Kakek bicara apa? Kakek minta saya menunggu sampai satu minggu baru boleh ke kantor lagi."
"Terus. Saya mesti ngapain, Pak?"
"Kamu bilang saja kalau kita tidak perlu honeymoon di rumah sampai satu minggu."
Aku membalikkan badan dan menatap Pak Yogi yang sedang sibuk dengan laptop'nya.
"Bapak mau saya bohong sama Kakek? Iya? Saya ngga mau. Titik."
"Kenapa tidak mau? Kamu pengen berlama-lama sama saya di rumah?"
"Enak saja. Saya juga bosen, Pak, di rumah terus. Apalagi Pak Yogi cuma ngajakin saya ke kamar terus."
Seketika Pak Yogi menghentikan jemarinya dan gantian menatapku. "Kamu jangan berpikir macam-macam, Nay! Saya ngajakin kamu ke kamar biar aman. Saya takut, kamu terlalu sering bertemu dengan Kakek di rumah ini. Nanti keceplosan seperti tadi pagi."
Gimana ngga sering ketemu. Orang kita memang satu rumah.
"Yah ... baterainya habis. Bapak sih, ngajakin ngomong terus."
"Memang apa hubungannya dengan saya? Mau kita diam pun baterai kamu tetap bakalan habis."
Aku segera beranjak dari sofa untuk mengambil charger di dalam tas.
"Pak. Colokannya mana, ya?"
Pak Yogi menunjuk arah samping nakas di samping tempat tidurnya.
"Pak. Saya boleh 'kan duduk di sini? Soalnya kalau duduk di sofa ngga nyampai."
"Kamu itu banyak maunya ya, Nay. Sekalinya saya mintain tolong, nolak."
"Saya ngga mau bohongin Kakek lagi, Pak. Takut kualat. Memangnya Pak Yogi tidak takut?"
Ternyata kasurnya empuk banget. Aku duduk dengan memantul-mantulkan pa*tat.
"Ekhem." Pak Yogi berdehem. Sepertinya dia tidak nyaman dengan apa yang kulakukan.
Segera kuhentikan dan duduk manis di samping Pak Yogi.
"Pak. Serius amat. Memangnya Pak Yogi tidak jenuh tiap hari mantengin laptop gitu?"
Seperti biasa. Pak Yogi tidak banyak bicara. Meskipun aku selalu membuka obrolan. Beda sekali dia dengan kakeknya. Yang begitu ramah, bahkan kadang juga humoris.
Ya sudahlah. Lebih baik aku mainan ponsel lagi.
"Yogi, Naya .... Kalian sudah tidur belum?" Terdengar suara Kakek Jaya dengan beberapa kali mengetuk pintu. "Kakek boleh masuk?"
"Kakek," ucapku dan Pak Yogi bersamaan.
"Pak, bagaimana ini? Kita pura-pura diam saja! Biar Kakek taunya kita sudah tidur."
Tiba-tiba terdengar putaran knop pintu dari luar.
"Naya. Cepetan kamu duduk disamping saya!" pinta Pak Yogi dengan menyingkirkan laptopnya. "Cepat, Naya!"
"Iya, iya ...."
Gegas aku pun duduk di samping Pak Yogi. Dan Pak Yogi langsung menutup setengah badan kami dengan selimut. Tangan yang kanan merangkul pundakku. Dan tangan yang kiri menggenggam erat tanganku.
"Pak Yogi. Apa-apaan, sih?"
"Diam!"
Tiba-tiba Kakek Jaya sudah muncul dari balik pintu. "Yogi, Naya. Maaf kalau Kakek sudah mengganggu kalian." Kakek memandang kami dan tersenyum.
Pak Yogi mempererat genggamannya sampai jari-jariku sakit. "Tidak apa-apa, Kek. Yogi malah senang Kakek mau datang ke kamar Yogi. Iya 'kan Sayang?"
Ish ... suka berdusta kau Yogi Adijaya, ucapku dalam hati dengan menahan kesal.
"Kamu kenapa, Nay? Sepertinya menahan sakit."
"Oh. Biasa, Kek. Naya itu alergi dengan AC. Sini, Sayang! Aku peluk."
"Sampai Pak Yogi berani meluk saya, awas," bisikku pelan di telinga Pak Yogi.
Aku berusaha tersenyum di depan Kakek. "Iya, Kek. Yang dikatakan Mas Yogi memang benar. Naya alergi dingin. Maklum, Kek, di rumah Naya tidak pakai AC soalnya."
Aku sedikit menurunkan posisi duduk dan meraih betis Pak Yogi. Kucubit dengan sedikit memlintir. Dia terlihat menahan sakit atas cubitanku yang tidak segera kulepas. Rasain kamu, Pak Yogi.
"Ini kenapa di sofa ada bantal, guling dan juga selimut? Kalian tidak tidur terpisah 'kan?" tanya Kakek membuat kami gelagapan.
"Bagaimana ini, Pak?" bisikku lagi dengan lebih mengencangkan cubitan.
"Tidak lah, Kek. Iya 'kan Sayang?" Pak Yogi berusaha bersikap tenang dengan kegugupannya. Dan juga menahan rasa sakit atas cubitanku.
"Terus. Ini buat tidur siapa?" Sepertinya Kakek benar-benar ingin menginterogasi kami.
"Yogi."
"Naya."
Kami menjawab secara bersamaan.
Aduh. Pak Yogiii .... Kenapa harus ikut menjawab, sih?
Kakek Jaya langsung menatap tajam aku dan Pak Yogi.
"Mak - maksud Mas Yogi. Kadang untuk tidur Naya. Kadang juga untuk tidur Mas Yogi. Cuma buat nyantai saja, Kek."
"Kakek tumben datang ke kamar Yogi?" tanya Pak Yogi berusaha mengalihkan obrolan.
"Iya, Gi. Ada sesuatu yang ingin Kakek berikan pada Naya. Kebetulan besok pagi Kakek ada urusan. Takutnya kamu dan Naya belum bangun."
"Sesuatu buat Naya, Kek? Memangnya apa?"
Kakek memberikan sebuah kotak padaku. "Kamu buka nanti saja setelah Kakek ke luar! Selamat malam Yogi, Naya."
"Malam, Kek."
Setelah Kakek ke luar dari kamar. Pak Yogi langsung membuka selimut dan melihat betisnya yang sudah berwarna merah. "Keterlaluan kamu, Nay. Sakit sekali betis saya."
Ya memang sakit. Orang aku cubit. Siapa suruh akting begitu di depan Kakek.
"Bapak pikir, jari saya tidak sakit digenggam seperti tadi? Lagian, Bapak sudah mencari kesempatan dekat-dekat dengan saya."
"Tidak usah GR? Saya bersikap seperti tadi juga terpaksa, Nay. Mana rambutnya bau apek lagi."
"Apa, Pak? Rambut saya apek? Nih rasain." Aku kembali mencubit betis Pak Yogi. Kali ini lebih kenceng lagi nyubitnya.
"Nay. Cukup, Nay. Sakit."
Pak Yogi meraih tanganku. Kali ini dia menggenggam begitu hangat. Wajahnya yang tampan membuatku salah tingkah.
"Kamu cinta ya, sama saya?" tanya Pak Yogi dengan terus memandangku. "Wajah kamu selalu merah ketika saya dekati."
"Ngga usah GR, Pak. Mana mungkin saya suka dengan Bapak," jawabku dengan menempelkan kotak pemberian Kakek ke wajahnya.
Aku pun gegas pindah ke sofa dan segera membuka kotak tersebut.
Penasaran dengan isinya.
Bersambung
Netraku membulat sempurna ketika melihat isi kotak yang diberikan Kakek Jaya.Sebuah kalung yang begitu indah. Sangat indah. Dan juga sebuah kunci. Tapi aku sendiri tidak tahu itu kunci apa.Di dalam kotak tersebut terselip sebuah surat.Untuk Kanaya, cucu mantu tersayang.Kanaya. Kakek berharap, kamu mau memakai kalung tersebut.Sebelum neneknya Yogi meninggal, dia pernah berpesan agar kalung tersebut diberikan pada siapapun perempuan yang menjadi istrinya, Yogi. Dan Kakek sudah memenuhi wasiat dari neneknya Yogi.Sedangkan untuk kunci. Kamu simpan baik-baik! Jangan sampai siapapun tahu tentang kunci tersebut! Bahkan Yogi sekalipun.Suatu saat, kamu pasti akan membutuhkan kunci itu.Salam sayang dari Kakek Jaya.Memangnya ini kunci apa? Kenapa Kakek memberikannya padaku? tanyaku dalam hati dengan begitu penasaran."Apa isi kotak itu, Nay?"Segera kusimpan kunci dan surat di kantong celana sebel
"Dari tadi Kakek perhatikan, sikap kalian tidak seperti biasanya? Ada apa? Kalian sedang bertengkar?" Setelah kejadian tadi malam, sikap Pak Yogi lebih banyak diam. Ya ... meskipun setiap hari memang cuek, tapi ada kalanya dia bicara. Meskipun menyebalkan. Apa dia marah karena kejadian tadi malam? Aku 'kan tidak sengaja tidur di kasurnya. Lagian aku sudah berusaha bangunin, juga. Terus. Salahku di mana? "Ng - ngga ada apa-apa kok, Kek," jawabku dengan senyum kaku. "Mas Yogi mau sarapan roti pake selai apa? Biar Naya ambilin?" Aku berusaha bersikap perhatian. Semua ini kulakukan untuk Kakek Jaya. Sama sekali Pak Yogi tidak menanggapi ucapanku. Hih, benar-benar ya, nih, cowok. Kaya' anak kecil saja ngambeknya. "Sayang ... pake selai apa?" tanyaku dengan suara halus sembari menginjak kakinya. "Aaa ...," teriak Pak Yogi karena kakinya kuinjak. "Ada apa, Gi? Kamu seperti kesakitan." Pak Yogi men
POV Author--------Yogi segera mengunci pintu kamar setelah Kanaya keluar dengan membawa bunga yang sangat mengganggunya."Lama-lama bisa gila menghadapi kelakuan Kanaya. Kenapa bisa, waktu itu saya memilih dia untuk perjanjian menikah selama enam bulan? Hahh ..., tapi semua sudah terjadi," gerutu Yogi dengan memegang kepala.Baru saja Yogi sedikit tenang. Tiba-tiba Kanaya sudah balik lagi.Dok dok dok"Pak Yogi ... bukain pintunya! Saya mau ambil ponsel!" teriak Kanaya dengan terus menggedor pintu."Hari ini kamu tidak boleh masuk kamar, Nay! Saya mau istirahat tanpa ada gangguan dari kamu.""Okey. Tapi ambilin ponsel dan baju saya, Pak! Nanti saya ganti pakai baju apa?""Bukan urusan saya," jawab Yogi ketus."Iiih ... awas saja kamu, Pak Yogi." Dengan perasaan kesal, Kanaya pun langsung pergi."Ada apa, Mbak Naya? Kok cemberut begitu?" tanya Minah salah satu ART yang sedang sibuk memb
Tin tin tin Ketika Kakek Jaya dan Kanaya sedang asyik berjoged. Tiba-tiba datang sebuah mobil mewah berwarna hitam. Kakek Jaya pun langsung menghentikan gerakan tangan dan kaki yang dari tadi membuat beliau tertawa begitu lepas. Satpam yang berada di pos jaga dengan cepat membukakan pintu gerbang. Kini pandangan Kakek Jaya, Yogi serta Kanaya tertuju pada mobil yang sudah berhenti di halaman. Terlihat perempuan cantik dengan rambut berwarna cokelat serta berpakaian seksi keluar dari mobil. Dia menatap Yogi sembari mengulas senyum indah. Kakek Jaya langsung menoleh ke arah Yogi ketika melihat perempuan tersebut. Tidak berapa lama, datang lagi sebuah mobil yang tak asing bagi Kakek Jaya dan Yogi. Terlihat Papa dan mamanya Yogi serta laki-laki tampan keluar dari mobil tersebut. Kejutan yang luar biasa. Ketika mereka semua datang secara bersamaan tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Apalagi per
"Kenapa, Siska? Kamu kok sedih begitu?" tanya Dina dengan mendekati Siska."Kakek sudah berubah, Tante. Dulu sebelum Yogi menikah, sikap Kakek begitu baik. Tapi sekarang, sepertinya Kakek tidak suka dengan kedatangan Siska di rumah ini," adu Siska.Ketika Siska dan Dina sedang bicara, Kakek Jaya, Yogi dan Kanaya datang."Yah, boleh Dina bicara sebentar?""Nanti saja!" jawab Kakek Jaya tegas.Tiba-tiba Kanaya mendekati mama mertuanya. Dia mengulurkan tangan hendak berpamitan karena mau diajak pergi oleh Kakek Jaya. Tapi niat baik Kanaya diabaikan begitu saja. Siska terlihat begitu senang atas sikap Dina tersebut.Kanaya menarik kembali tangannya. Dia tetap mengulas senyum meskipun sudah diacuhkan oleh mama mertuanya sendiri."Kanaya, ayo!" ajak Kakek Jaya dengan menepuk bahu cucu mantu kesayangannya. Kakek Jaya menatap tajam Dina-menantunya dan juga Siska sebelum akhirnya beranjak pergi.***"Pak Yogi. Mama
Malam sudah semakin larut. Setelah tiga puluh menit Yogi pergi meninggalkan Kanaya di taman sendirian. Akhirnya Kanaya pun masuk ke dalam.Berkali-kali Kanaya menguap karena sudah mengantuk. Dia pun langsung berjalan menuju ke kamar. Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika sudah di depan pintu. Kanaya merasa ragu untuk masuk ke dalam."Masuk ngga, ya? Kalau masuk, takutnya ganggu Pak Yogi. Apa lebih baik aku tidur di kamar lain saja? Tapi bagaimana kalau Kakek tahu? Ya sudahlah. Aku tidur di kamar lain saja. Besok pagi-pagi sekali aku akan bangun. Sebelum semua orang di villa ini terbangun. Dengan seperti itu, Pak Yogi tidak akan terganggu olehku." Kanaya bicara sendiri.KlekKanaya begitu kaget ketika Yogi tiba-tiba membuka pintu."Kamu ngapain berdiri di sini? Mau ngerjain saya lagi?" cecar Yogi."Tidak, Pak Yogi. Permisi," ucap Kanaya langsung membalikkan badan dan pergi meninggalkan Yogi."Tunggu!" titah Yogi menghentik
"Turun!" titah Yogi setelah sampai di villa.Dengan pelan Kanaya pun turun dari gendongan Yogi."Yogi .... Antar Kanaya sampai ke kamar sekalian!" titah Kakek Jaya.Yogi terlihat keberatan dengan perintah kakeknya. Tapi dia tidak berani membantah."Kek. Naya jalan sendiri saja. Lagian sudah lebih enakan kakinya.""Ayo, Yogi! Gendong Kanaya sampai kamar!"Dengan cepat Yogi langsung mengangkat tubuh Kanaya.Perasaan Kanaya semakin tidak karuan ketika menatap wajah Yogi begitu dekat.'Ya Tuhan. Pak Yogi benar-benar tampan. Eits. Aku tidak boleh terpesona dengan dia. Lagian, dia itu laki-laki nyebelin, Kanaya. Ingat itu!' ucap Kanaya dalam hati. Kata-kata yang selalu Kanaya lontarkan untuk dirinya sendiri ketika dia tidak bisa mengontrol perasaannya.Yogi menurunkan Kanaya di kasur sesaat setelah sampai di kamar. "Jangan kelamaan aktingnya!"Ucapan Yogi membuat Kanaya marah. "Akti
"Aduh ... laper, banget. Tadi 'kan aku belum sarapan. Mendingan aku ke dapur saja ambil makanan," ucap Kanaya.Dia beranjak dari kasur dan keluar kamar untuk mengambil makanan."Mbak. Ada makanan apa, ya? Tadi Naya belum sempat sarapan," tanyanya pada ART."Mbak Naya mau dimasakin?""Ngga usah, Mbak. Naya makan roti saja." Naya mengambil dua tangkup roti tawar yang diberi selai berbeda. Dia juga mengambil susu kotak yang ada di kulkas.Kanaya hendak duduk di meja makan. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada Yogi yang terlihat sedang bicara. 'Bicara sama siapa, Pak Yogi? Masa' ngomong sendirian?' tanyanya dalam hati.Kanaya yang penasaran segera berjalan ke samping rumah di mana Yogi berdiri. 'Siska? Ternyata Pak Yogi bicara dengan Siska?' Kanaya yang semakin penasaran, berjalan lebih dekat lagi sembari makan roti yang dia bawa.Uhuk uhuk uhuk. Kanaya tersedak roti yang baru saja masuk ke tenggorokan. Dia melihat Sisk
Sudah sore, tapi Yogi belum pulang dari kantor. Dia masih sibuk menyelesaikan masalah yang terjadi di perusahaan selama dipegang oleh Zein.Kanaya yang sudah selesai membantu Dina memasak. Dia langsung mandi dan dandan begitu cantik. Malam ini Kanaya ingin menyambut kepulangan Yogi dengan penampilan spesial. Tidak berapa lama, terdengar suara mobil Yogi. Kanaya merasa senang sekali. Akhirnya yang dia tunggu pulang juga.Yogi pun langsung masuk ke dalam kamar. Dia meletakkan tas kerja dan langsung merenggangkan dasi."Ekhem ...." Kanaya berdehem kecil.Yogi hanya diam. Dia sama sekali tidak menanggapi Kanaya. "Mas, kamu capek, ya?" tanya Kanaya dengan mendekatkan wajahnya agar Yogi melihat dia yang sudah dandan cantik.Lagi-lagi Yogi mengabaikan Kanaya.'Ini orang kenapa, sih? Apa karena masalah di kantor? Ya ... percuma dong aku dandan cantik begini. Kalau Mas Yogi saja cuek,' Kanaya pun duduk di sampingnya."Kamu kenapa, Mas? Apa karena masalah kantor yang kemarin?" Kanaya ingin me
Pagi yang sangat indah. Kanaya terlihat enggan untuk beranjak dari tempat tidur. Semalam, Yogi memeluk erat dirinya. Meskipun sampai saat ini, mereka belum melakukan malam pertama sebagai suami istri.Kanaya belum tersadar kalau sebelahnya sudah tidak ada Yogi. Melainkan guling yang ditutup selimut."Mbak Naya. Mbak ...," panggil ART sembari mengetuk pintu."Ya ... sebentar!"Kanaya segera beranjak dari tempat tidur untuk membukakan pintu."Ini, Mbak, sarapannya. Tadi Mas Yogi yang meminta saya untuk mengantar sarapan buat Mbak Naya.""Mas Yogi? Lha. Mas Yogi 'kan masih tidur."ART yang mengantar sarapan tersenyum. "Mas Yogi sudah berangkat ke kantor dari tadi, Mbak Naya.""Terima kasih ya, Mbak." Kanaya segera mengambil nampan dari tangan Mbak Minah dan meletakkan di atas meja. Lalu balik lagi ke tempat tidur dan menyibak selimut. "Guling? Aku pikir Mas Yogi masih tidur." Drrttt drrrttt drrtttPonsel di atas nakas bergetar. Kanaya pun langsung mengambilnya."Mas Yogi, VC? Tumben."K
Teriakan amarah terdengar dari kamar Zein. Semua barang-barang dia lempar sampai berserakan. Dia sangat kecewa dan kesal dengan keputusan Kakek yang menurutnya tidak adil. Sangat tidak adil. "Zein. Kamu tidak boleh menyerah begitu saja!" ucap Dina yang langsung masuk ke kamar anaknya. "Rayu Kakek kamu, Zein!" Menoleh dengan wajah yang memerah. "Mama pikir, Kakek mau mendengar ucapan Zein? Tidak, Ma." "Semua ini gara-gara Yogi. Dia selalu mendapat apa yang Kakek punya. Mama juga kecewa dengan keputusan kakekmu." Dina tak kalah kesal. "Mama jangan salahkan Yogi! Tadi kalian dengar sendiri 'kan? Sebenarnya Yogi juga berat menerima keputusan tersebut." Dina yang tadi duduk di tepi tempat tidur langsung beranjak mendekati suaminya dengan tatapan penuh amarah. "Apa Papa tidak lihat? Zein begitu terpukul dengan keputusan kakeknya. Dan sekarang, Papa justru membela Yogi. Apa karena dia anak kandung Papa? Iya?" Rudi menghembuskan napas berat. Dia berjalan menuju arah jendela. Berdiri d
Sampai juga Yogi dan Kanaya di rumah Kakek. Rumah yang telah menumbuhkan benih-benih cinta pada mereka. Yogi hanya terdiam. Ketika Pak Didik sudah memarkirkan mobil di depan rumah. Pandangan lurus ke depan seakan Yogi masih ragu untuk keluar. Kanaya pun memandang laki-laki tampan yang telah memikat hatinya tersebut. Tangannya dikibaskan di depan wajah Yogi. "Mas ... Mas Yogi."Seketika Yogi menoleh ke arah Kanaya."Sudah sampai, Mas. Kenapa diam saja? Ayo turun!" Dengan langsung membuka pintu mobil. Kanaya turun lebih dulu.Dia segera membukakan pintu mobil untuk Yogi. "Ayo turun! Kalau ngga mau turun, ngapain tadi ke sini?" Kanaya menarik tangan Yogi.Yogi akhirnya menerima ajakan Kanaya untuk keluar dari mobil. Netranya langsung terarah pada mobil milik papanya. Yogi hanya diam dan berdiri di depan rumah. Lagi-lagi Kanaya harus sedikit memaksa agar Yogi mau masuk ke dalam."Assalamu'alaikum. Kakek ...," ucap Kanaya. Sikapnya masih sama seperti dulu. "Wa - Wa'alaikumsalam." Terden
"Ka - Kakek," ucap Kanaya begitu terkejut melihat Kakek Jaya yang tiba-tiba datang."Zein. Pulang!" titah Kakek dengan menatap tajam Zein. Sesaat Kakek memandang Yogi dan Kanaya. Lalu pergi meninggalkan mereka begitu saja. Tanpa ada sepatah katapun yang terucap untuk Yogi dan Kanaya.Zein segera mengikuti langkah kakeknya tersebut. Yang berjalan keluar dari restaurant."Kakek tunggu di rumah!" Zein pun hanya menjawab dengan anggukan. Kakek Jaya langsung masuk ke dalam mobil meninggalkan Zein yang masih berdiri di halaman restaurant.Dengan cepat, Zein pun langsung menuju mobilnya untuk segera pulang ke rumah.---"Duduk!" titah Kakek sesaat setelah Zein sampai di rumah.Zein pun duduk berhadapan dengan kakeknya. "Ada apa, Kek? Kenapa menyuruh Zein pulang? 'Kan masih jam kerja kantor.""Kakek tidak suka dengan sikapmu tadi. Memalukan.""Memalukan? Maksud Kakek?" Zein benar-benar tidak tahu diri. Dia masih bersikap seolah-olah tidak melakukan hal yang salah. Dia selalu merasa benar
Hari begitu cepat berlalu. Tak terasa sudah hampir satu bulan Yogi tinggal di rumah orang tua Kanaya. Yogi masih terus menekuni pekerjaannya sebagai tukang becak menggantikan Heru—mertuanya.Sebenarnya, bisa saja Yogi mencari pekerjaan di kantor. Apalagi dengan kemampuannya yang sudah tidak diragukan lagi sebagai mantan seorang direktur. Tapi dia merasa mendapat kenyamanan tersendiri sebagai tukang becak. Untung saja kedua mertuanya tidak pernah memandang Yogi dari segi materi. Meskipun sekarang dia tidak memiliki kemewahan seperti dulu, tapi Tari dan Heru tetap menerimanya sebagai suami dari putri semata wayang mereka. Justru dengan kejadian ini. Orang tua Kanaya merasa bersyukur. Karena pada akhirnya bisa menyatukan Yogi dan Kanaya dalam sebuah pernikahan sebenarnya. Bukan pernikahan dengan perjanjian.Hubungan Yogi dan Kanaya sendiri sebagai suami istri masih tetap sama. Mereka belum pernah melakukan hal yang sebenarnya sudah halal dalam pernikahan. Meskipun demikian, semakin har
Senyum mengembang membingkai bibir Zein. Dia begitu senang karena akhirnya Kakek memberi kesempatan padanya untuk menggantikan posisi Yogi di kantor.Zein berdiri di depan cermin dan menatap bangga dirinya sendiri."Aku memang lebih pantas menjadi direktur. Harusnya dari dulu Kakek mengambil keputusan seperti ini." Senyum jahat Zein mengembang."Kenapa Kakek mengusir Yogi? Harusnya office girl itu saja yang Kakek usir! Yogi menikah dengan perjanjian karena dia tidak mencintai perempuan itu. Semua juga gara-gara Kakek yang memaksa Yogi untuk segera menikah." Suara lantang Siska membuat Zein keluar dari kamarnya.Kakek tidak menghiraukan ucapan Siska. Beliau hanya diam saja."Siska. Jaga bicara kamu!" tegur Zein mencari muka di depan kakeknya. Dia langsung menarik tangan Siska dan mengajaknya keluar."Lepas! Apa-apaan sih kamu, Zein?"'Perempuan ini bisa bahaya juga untukku. Dia pasti berharap Yogi kembali dan menjadi direktur lagi di p
BrakkkZein menggebrak meja. 'Seenaknya saja Yogi memukulku seperti tadi,' batinnya dengan menahan kesal.Kakek Jaya yang baru saja pulang. Beliau memandang ke arah Zein dan mendekatinya. "Kamu kenapa, Zein?""Kakek mau tau kenapa? Lihat ini, Kek!" ucap Zein sembari menunjuk wajahnya yang lebam. "Semua ini karena Yogi.""Yogi? Memangnya kenapa dia sampai melakukan hal seperti itu?"'Saya tau. Yogi bukan orang yang ringan tangan. Pasti ada sebab, kenapa dia sampai menyakiti Zein,' batin kakek."Zein hanya bilang jangan mempermalukan keluarga Adijaya. Hanya itu saja. Tapi Yogi tiba-tiba emosi."Zein tidak mengakui kesalahannya di depan Kakek. Padahal sudah jelas, Yogi memukul dia karena telah merendahkan Kanaya."Bikin malu?" Kakek terlihat penasaran dengan ucapan Zein."Iya, Kek. Kakek tau, sekarang Yogi menjadi tukang becak. Memalukan sekali 'kan Kek?"'Yogi menjadi tukang becak? Apa dia bisa mel
Heru mengajak menantunya mangkal di pertigaan tak begitu jauh dari rumahnya."Kita mangkal di sini saja, Nak Yogi! Yang dekat-dekat dulu.""Baik, Pak."Yogi dan Heru duduk di samping becak sembari menunggu penumpang datang."Nak Yogi apa tidak malu menarik becak seperti ini?" tanya Heru membuka obrolan."Apa Bapak malu menjadi tukang becak?" Sebuah pertanyaan kembali dibalikkan Yogi pada mertuanya."Tidak, Nak Yogi. Kenapa harus malu? Kalau kita kerja dengan cara halal.""Itu juga jawaban dari saya, Pak.""Tapi Nak Yogi 'kan beda dengan Bapak. Nak Yogi orang kaya. Selalu mendapatkan apa yang diinginkan dengan mudah. Tanpa harus bersusah payah."Yogi memandang ke arah jalan. Dia tersenyum mendengar ucapan mertuanya tersebut."Sekarang saya bukan orang kaya lagi, Pak. Dan Bapak salah kalau menganggap semua yang saya inginkan bisa didapat dengan mudah. Sejak kecil, saya tidak pernah mendapat kasih sayang