Diana tidak bodoh. Ia tahu jika ingin kembali menguasai rumah ini, ia harus melakukannya dengan strategi yang cerdik. Dan langkah pertamanya adalah mendapatkan sekutu di dalam rumah ini. Ia mengamati semua orang yang bekerja di rumah Juan. Matanya akhirnya tertuju pada Mira, asisten rumah tangga yang tampaknya memiliki hubungan cukup baik dengan Dini. Siang itu, ketika Dini sedang sibuk menemani Dean di taman, Diana sengaja menghampiri Mira yang sedang menyapu teras belakang. “Mira, ya?” Diana menyapa dengan senyum ramah. Mira menoleh, sedikit terkejut. Sejak kedatangan Diana, wanita itu memang jarang berinteraksi dengannya. "Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" Diana melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar. "Aku hanya ingin ngobrol santai. Aku dengar kau sudah lama bekerja di sini?" Mira mengangguk. "Ya, Bu. Sudah hampir tiga tahun." Diana tersenyum tipis. "Pasti kau tahu banyak hal tentang rumah ini, termasuk tentang Dini, bukan?" Mira sedik
Diana menjatuhkan dirinya sendiri ke tanah sambil memegangi pipinya, seolah-olah baru saja ditampar. Dini terkejut, matanya membelalak tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. "Diana?!" Saat itulah langkah kaki terdengar mendekat dengan cepat. "Dini! Apa yang kau lakukan?!" Dini menoleh dan mendapati Juan berdiri di sana, wajahnya dipenuhi keterkejutan dan kemarahan. Diana mulai menangis, suaranya terdengar penuh kepedihan. "Juan... dia menamparku!" ujarnya dengan suara bergetar. "Aku hanya ingin berbicara baik-baik, tapi dia malah menamparku!" Dini merasa darahnya berdesir kencang. "Juan, aku tidak—" "Dia menamparku hanya karena aku ingin kembali ke Dean! Aku hanya ingin memperbaiki semuanya!" Diana memotong ucapan Dini, semakin meyakinkan Juan dengan air mata yang mengalir di pipinya. Juan terdiam, ekspresinya sulit ditebak. Ia menatap Diana yang terisak di tanah, lalu beralih ke Dini yang tampak panik. "Dini," katanya akhirnya, suaranya lebih tenang, tetapi tetap men
Pagi itu, suasana di rumah Juan terasa lebih dingin dari biasanya. Tidak ada sapaan ramah antara Dini dan Juan saat mereka berpapasan di ruang makan. Dini sibuk menyiapkan sarapan Dean, sementara Juan duduk diam dengan pikirannya sendiri. Diana, di sisi lain, tampak lebih percaya diri dari sebelumnya. Mira, yang sejak awal tidak menyukai kehadiran Diana, memperhatikan bagaimana wanita itu duduk santai di meja makan seolah sudah kembali menjadi nyonya rumah. "Mbak Dini," bisik Mira saat mereka berdua berada di dapur. "Kayaknya Bu Diana makin nyaman aja di sini. Aku takut dia benar-benar mau tinggal lama." Dini hanya tersenyum lemah. "Aku juga tidak tahu, Mir. Tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa. Ini rumah Pak Juan." "Tapi Mbak… aku kasihan sama Dean. Dia takut banget sama ibunya sendiri," lanjut Mira. Dini menoleh ke arah ruang makan, melihat bagaimana Dean duduk kaku di kursinya, menghindari tatapan Diana. Anak itu bahkan tidak mau makan jika bukan Dini yang menyuapiny
Dini tidak bisa tidur malam itu. Percakapan antara Juan dan Diana terus terngiang di kepalanya. Meski ia tidak mendengar semuanya, nada suara Diana yang menggoda dan respon Juan yang terdengar lelah sudah cukup membuat hatinya kacau. Ia menghela napas panjang, menatap langit-langit kamarnya yang gelap. "Aku harus pergi dari sini." Pikirannya semakin mantap. Ia tahu sejak awal bahwa dirinya hanyalah seorang pengasuh Dean. Tidak lebih. Tidak seharusnya ia terlibat lebih jauh dalam kehidupan Juan dan mantan istrinya. Namun, ketika ia menoleh ke sisi tempat tidurnya, ia melihat Dean yang tertidur pulas sambil memeluk gulingnya. Anak itu begitu polos, begitu rapuh, dan Dini tahu Dean sangat bergantung padanya. "Tapi... bagaimana dengan Dean?" Dini menggigit bibir. Ia tidak bisa begitu saja pergi tanpa memikirkan perasaan anak kecil itu. Keesokan paginya, suasana rumah terasa tegang. Diana sengaja duduk bersebelahan dengan Juan saat sarapan, berbicara dengan nada ceria se
Pagi itu, Dini berusaha bersikap seperti biasa. Ia tetap mengurus Dean, memastikan anak itu sarapan dengan lahap sebelum bermain di taman. Namun, hatinya masih terasa berat setelah kejadian tadi malam. Ia tidak bisa menghilangkan bayangan Diana yang dengan berani menyelinap ke kamar Juan. Meskipun Juan menolaknya, tetap saja Dini merasa gelisah. Di dapur, Mira datang membawa nampan berisi cangkir teh. Wanita itu memandang Dini dengan tatapan penuh arti. "Mbak Dini, kamu baik-baik saja?" tanyanya pelan. Dini tersentak dari lamunannya. "Hah? Aku baik-baik saja, kenapa, Mir?" Mira mendekat, menurunkan suara. "Tadi pagi aku lihat Bu Diana keluar dari kamar Pak Juan. Mukanya kelihatan kesal, tapi bajunya masih pakai baju tidur." Dini berusaha menahan ekspresi wajahnya agar tetap netral. "Aku nggak tahu, Mir. Itu urusan mereka." Mira menghela napas pelan. "Aku cuma kasihan sama Mbak. Aku tahu Mbak ada perasaan sama Pak Juan. Tapi kalau Bu Diana masih di sini... hati-hati, Mbak
Dini menghindari tatapan Juan, berusaha menarik tangannya dari genggamannya. Tapi Juan tidak melepaskannya begitu saja. “Dini, aku serius.” Suara Juan terdengar lebih pelan, nyaris seperti bisikan. Dini menelan ludah. “Pak, jangan seperti ini. Saya hanya pengasuh Dean. Dan… Diana masih ada di sini.” Juan mengepalkan rahangnya, jelas tidak menyukai nama itu disebut. “Diana bukan masalahku lagi. Aku hanya ingin kamu percaya padaku.” Dini tersenyum tipis, tapi matanya menyiratkan kesedihan. “Tapi dia tetap menganggap kalian masih bersama. Dan saya…” Ia menggigit bibir, berusaha meredam emosi yang berkecamuk dalam dadanya. “Saya tidak mau terjebak dalam situasi yang membuat saya harus memilih antara perasaan saya atau harga diri saya.” Juan terdiam. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi Dini lebih dulu melangkah mundur. “Selamat malam, Pak Juan.” Dini berbalik dan pergi, meninggalkan Juan yang hanya bisa menatap kepergiannya dengan ekspresi penuh penyesalan. "Maaf Pak, aku ngg
Diana berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya dengan ekspresi kesal. Usahanya mendekati Juan selalu gagal, apalagi sejak insiden fitnahnya terhadap Dini. Juan tampaknya mulai meragukan kata-katanya, dan itu membuatnya frustrasi. Tak ingin menyerah begitu saja, Diana mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. "Besok malam, pastikan semuanya berjalan sesuai rencana," katanya dengan suara dingin. Di ujung telepon, seseorang tertawa kecil. "Tenang saja, Nona Diana. Wanita itu akan tersingkir dari kehidupan Juan secepat yang Anda inginkan." Diana tersenyum licik. "Bagus. Aku ingin Dini menyesal sudah berani mengambil tempatku." *** Keesokan harinya, suasana di rumah Juan terasa sedikit tegang. Dini bisa merasakan ada sesuatu yang janggal, tetapi ia tak bisa menjelaskan apa itu. Saat ia sedang menyiapkan sarapan, Mira tiba-tiba mendekat dengan wajah gelisah. "Mbak Dini, aku dengar sesuatu tadi malam..." Mira berbisik pelan, matanya melirik ke arah tangga, memast
Malam itu, Dini berusaha menghindari Juan dan Diana. Ia sibuk di dapur, membantu Mira membereskan peralatan makan malam. Namun, pikirannya terus dipenuhi dengan peringatan Mira tadi pagi. Sementara itu, Diana tampak semakin percaya diri. Ia mengenakan gaun hitam yang elegan, rambutnya ditata rapi, dan riasannya sempurna. Dengan senyum penuh arti, ia melangkah menuju ruang kerja Juan. Saat Dini beranjak ke kamar, Mira menahannya. "Mbak, aku lihat Bu Diana masuk ke kamar Pak Juan lagi." Dini menggigit bibirnya. Ini sudah kesekian kalinya Diana mencoba mendekati Juan secara terang-terangan. "Mbak nggak mau lihat?" tanya Mira hati-hati. Dini ragu. Ia ingin tetap profesional, tapi rasa penasarannya semakin besar. Akhirnya, ia mengangguk pelan. Dini melangkah menuju kamar Juan dengan hati-hati. Namun, sebelum ia sampai, suara Diana terdengar dari balik pintu. "Juan, kenapa kamu begitu keras kepala? Apa kamu benar-benar sudah melupakanku?" "Diana, aku sudah bilang, ja
Keesokan paginya, Dini bangun dengan perasaan gelisah. Ia masih mengingat percakapannya dengan Juan semalam—tentang Diana, tentang Dean, tentang segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Saat ia turun ke dapur, Mira sedang menyiapkan sarapan. Wanita itu menoleh dan tersenyum kecil. “Pagi, Mbak Dini. Pak Juan sudah pergi ke kantor.” Dini mengangguk pelan, pikirannya masih melayang. Ia duduk di kursi dan menatap secangkir teh yang sudah disiapkan Mira. “Ada yang mengganggu pikiranmu, Mbak?” tanya Mira hati-hati. Dini menghela napas. “Aku hanya… memikirkan sesuatu.” Mira menatapnya penuh selidik, lalu mendekat. “Ini soal Diana, kan?” Dini menegang. “Mira tahu?” Mira mengangguk. “Aku melihat bagaimana dia berusaha mendekati Pak Juan lagi. Dan kemarin malam, aku juga melihat dia berdiri di depan kamar Pak Juan cukup lama sebelum akhirnya pergi. Dia tidak akan menyerah begitu saja.” Dini menggigit bibirnya. “Aku juga berpikir begitu. Tapi aku dan Juan akan mencari
Juan menghela napas panjang sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu. Dini menunggu dengan hati berdebar, berusaha membaca ekspresi pria itu. "Diana, ada apa?" suara Juan terdengar datar, jelas tak ingin berbasa-basi. Dari seberang, suara wanita itu terdengar manja. "Juan, aku ingin bertemu. Kita harus bicara." "Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan," balas Juan tegas. Diana tertawa kecil, terdengar puas. "Oh, kamu pasti ingin mendengar ini, Juan. Ini tentang Dean... dan tentang masa depan kita." Mata Juan menyipit. "Jangan libatkan Dean dalam permainanmu, Diana." "Terlalu terlambat," balas Diana ringan. "Aku sudah mempersiapkan semuanya. Jika kamu tidak mau bertemu denganku, aku mungkin akan mengambil langkah yang lebih drastis." Dini yang sedari tadi diam mulai merasa gelisah. Ia tidak bisa mendengar isi pembicaraan, tapi sorot mata Juan mengatakan semuanya—ini bukan kabar baik. Setelah beberapa detik hening, Juan akhirnya menjawab dengan suara dingin. "Di m
Dini menyadari satu hal—ia tidak boleh terjebak di sini terlalu lama. Tidak setelah ia melihat bagaimana ekspresi Sandi yang semakin gelap dan penuh perhitungan. _"Kamu benar-benar keterlaluan, Sandi,"_ ucap Dini, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdetak cepat. Sandi menyeringai. "Kamu terlalu baik, Dini. Terlalu mudah percaya." Bu Marlinah, yang tadinya tampak lemah, kini duduk tegak. Wajahnya yang berpura-pura kesakitan kini berubah sinis. "Dulu kamu begitu mudah dibodohi, Dini. Aku pikir kali ini pun akan sama." Dini merasa darahnya mendidih. Ia bukan lagi perempuan lemah yang dulu bisa mereka tipu begitu saja. _"Apa yang sebenarnya kalian inginkan?"_ tanyanya dingin. Sandi melangkah lebih dekat, kali ini tanpa basa-basi. "Uang. Dan kamu akan membantuku mendapatkannya." Dini menggeleng. "Aku tidak punya uang sebanyak itu." Sandi mencibir. "Tapi Juan punya. Dan kamu bisa memanfaatkannya." Dini menahan napas. Jadi ini rencana mereka? Memanfaatkannya
Langkah Dini terasa berat saat meninggalkan rumah Juan. Setiap detik terasa seperti pengkhianatan terhadap hatinya sendiri. Namun, ia tahu, bertahan hanya akan membuat semuanya lebih sulit. Diana menatap kepergian Dini dengan seringai puas. Setelah memastikan Dini benar-benar keluar dari rumah, ia berbalik ke,, arah Juan yang masih berdiri di ambang pintu dapur, matanya terpaku pada punggung Dini yang semakin menjauh. "Kamu seharusnya berterima kasih padaku," ujar Diana dengan nada mengejek. "Aku baru saja menyingkirkan masalahmu." Juan menoleh dengan tatapan tajam. "Kamu yang menjadi masalah, Diana." Diana terkekeh. "Oh, ayolah, Juan. Aku ini ibu dari anakmu. Kamu tidak bisa begitu saja menghapus keberadaanku." Juan menghela napas panjang, menekan amarah yang mendidih di dadanya. "Keberadaanmu bukan masalahnya. Tapi cara dan niatmu yang selalu penuh tipu daya, itulah yang membuatku muak." Diana mendekat, meletakkan tangannya di dada Juan. "Kita bisa kembali seperti
Dini duduk di taman belakang rumah, menatap langit malam yang gelap tanpa bintang. Dadanya sesak. Hatinya terasa hancur, meskipun ia sendiri tidak tahu pasti apa yang ia rasakan. Adegan di kamar Juan tadi terus terputar di benaknya. Diana di sana, bersikap seolah-olah masih memiliki hak atas pria itu. Dan Juan… pria itu tidak menolaknya dengan cukup tegas di awal. Dini menghela napas panjang. Mungkin selama ini ia terlalu berharap. Terlalu nyaman di dalam rumah ini, terlalu nyaman berada di samping Juan dan Dean. Tapi siapa dia? Hanya seorang pengasuh, bukan siapa-siapa. Ponselnya bergetar. Nama Juan terpampang di layar. Dini menatapnya ragu, sebelum akhirnya memutuskan untuk tidak menjawab. Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar mendekat. "Dini," suara Juan terdengar serak, namun tetap tegas. Dini tetap diam, berpura-pura tidak mendengar. "Aku tahu kau di sini," lanjut Juan, lalu duduk di bangku taman di sampingnya. Hening. "Aku tidak tahu apa yang kau l
Dini mengamati dari jauh saat Diana semakin berani bergerak di dalam rumah Juan. Wanita itu kini sering terlihat di dapur, berbincang dengan Mira, asisten rumah tangga yang mulai menunjukkan ketertarikannya pada Diana. Tidak hanya itu, Diana juga mulai lebih sering menghabiskan waktu di ruang tamu, seolah sengaja menunggu kesempatan untuk berbicara dengan Juan atau mendekati Dean. Dini merasa tak nyaman, tetapi ia memilih untuk tetap diam. Ia tak ingin membuat masalah bertambah rumit. Namun, rasa gelisah itu semakin besar ketika suatu sore, ia melihat Diana duduk di teras belakang bersama Juan, membawa dua cangkir kopi. Juan tampak enggan, tetapi Diana tetap tersenyum dan berbicara dengan lembut. "Kau masih ingat kopi favoritmu, kan?" suara Diana terdengar begitu akrab. "Aku sengaja membuatnya sendiri. Dulu kau suka sekali kopi buatanku." Juan menatap cangkir itu dengan ragu. "Diana, kita tidak bisa kembali ke masa lalu." "Aku tahu," Diana menghela napas pura-pura sedih. "Ak
Dini berjalan cepat menuju kamarnya, berusaha mengabaikan suara Diana yang masih terdengar dari belakang. Dadanya terasa sesak, seolah ada sesuatu yang menghimpit perasaannya. Sesampainya di kamar, ia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke dinding. Pikiran-pikiran buruk mulai merayapi benaknya. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam kamar Juan tadi, tetapi pemandangan Diana keluar dari sana dengan pakaian tidur yang menggoda sudah cukup membuat hatinya hancur. Tak lama, ketukan terdengar di pintu. Dini terdiam, tidak berniat menjawab. Namun, suara yang menyusul ketukan itu membuatnya kembali tersadar. "Dini, aku tahu kau ada di dalam. Tolong buka pintunya," suara Juan terdengar dari luar. Dini menggigit bibirnya. Ia ragu. Namun, hatinya juga ingin mendengar penjelasan. Dengan langkah pelan, ia akhirnya membuka pintu. Juan berdiri di sana, masih mengenakan kemeja yang sedikit berantakan, menunjukkan bahwa ia memang baru saja terlibat dalam sesuatu yang membuatny
Malam itu, Dini berusaha menghindari Juan dan Diana. Ia sibuk di dapur, membantu Mira membereskan peralatan makan malam. Namun, pikirannya terus dipenuhi dengan peringatan Mira tadi pagi. Sementara itu, Diana tampak semakin percaya diri. Ia mengenakan gaun hitam yang elegan, rambutnya ditata rapi, dan riasannya sempurna. Dengan senyum penuh arti, ia melangkah menuju ruang kerja Juan. Saat Dini beranjak ke kamar, Mira menahannya. "Mbak, aku lihat Bu Diana masuk ke kamar Pak Juan lagi." Dini menggigit bibirnya. Ini sudah kesekian kalinya Diana mencoba mendekati Juan secara terang-terangan. "Mbak nggak mau lihat?" tanya Mira hati-hati. Dini ragu. Ia ingin tetap profesional, tapi rasa penasarannya semakin besar. Akhirnya, ia mengangguk pelan. Dini melangkah menuju kamar Juan dengan hati-hati. Namun, sebelum ia sampai, suara Diana terdengar dari balik pintu. "Juan, kenapa kamu begitu keras kepala? Apa kamu benar-benar sudah melupakanku?" "Diana, aku sudah bilang, ja
Diana berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya dengan ekspresi kesal. Usahanya mendekati Juan selalu gagal, apalagi sejak insiden fitnahnya terhadap Dini. Juan tampaknya mulai meragukan kata-katanya, dan itu membuatnya frustrasi. Tak ingin menyerah begitu saja, Diana mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. "Besok malam, pastikan semuanya berjalan sesuai rencana," katanya dengan suara dingin. Di ujung telepon, seseorang tertawa kecil. "Tenang saja, Nona Diana. Wanita itu akan tersingkir dari kehidupan Juan secepat yang Anda inginkan." Diana tersenyum licik. "Bagus. Aku ingin Dini menyesal sudah berani mengambil tempatku." *** Keesokan harinya, suasana di rumah Juan terasa sedikit tegang. Dini bisa merasakan ada sesuatu yang janggal, tetapi ia tak bisa menjelaskan apa itu. Saat ia sedang menyiapkan sarapan, Mira tiba-tiba mendekat dengan wajah gelisah. "Mbak Dini, aku dengar sesuatu tadi malam..." Mira berbisik pelan, matanya melirik ke arah tangga, memast