"Aku mau operasi, Din. Aku nggak tahan lagi!" Suara Mas Sandi menggema di telingaku, sarat dengan keputusasaan. Aku menggenggam ponsel erat, napasku tercekat. "Mas, aku—" "Jangan bilang sabar lagi!" bentaknya. "Kalau kamu memang peduli, carikan aku uang buat operasi! Aku capek jadi cacat!" Dadaku sesak. Aku ingin menolongnya, tapi bagaimana? Dompetku kosong, pekerjaanku sebagai pengasuh anak tak cukup untuk biaya operasi yang puluhan juta. Aku bahkan baru mulai bekerja, lalu bagaimana aku bisa mendapatkan uang untuk operasi? Mas Sandi menghela napas berat, lalu suaranya merendah. "Atau kamu udah nggak peduli lagi? Udah punya laki-laki lain di kota?" Dada ini semakin perih. "Jangan bilang gitu, Mas! Aku cuma butuh waktu." "Berapa lama lagi? Sampai aku mati?" sambungnya tajam. Sambungan terputus. Aku menatap layar ponsel yang menggelap, lalu menutup wajah dengan kedua tangan. Aku harus bagaimana? Detik itu juga, getaran ponsel di tangan Dini membuatnya terlonjak. Layar menyala, m
Dengan langkah hati-hati, aku mengikuti Pak Juan menuju ruang kerjanya. Denyut jantungku terasa kencang, terpacu oleh harapan dan ketakutan. Di kamar Pak Juan, Dean masih terlelap dalam tidurnya, tidak menyadari bahwa hidupku sedang berada di persimpangan jalan. Kami tiba di ruangan kerja yang cukup luas, dindingnya penuh dengan sertifikat dan penghargaan yang membuktikan kehebatan majikanku ini. Pak Juan duduk di kursinya , lalu mengambil beberapa lembar kertas dari map cokelat yang tersusun rapi di mejanya. "Silakan duduk," katanya singkat, namun dengan nada yang membuatku merasa canggung. Aku duduk perlahan di kursi di depannya, berusaha menenangkan diri. "Terima kasih, Pak," ucapku hampir berbisik. Pak Juan menyodorkan kertas-kertas itu ke arahku. "Ini surat perjanjiannya. Baca dulu sebelum kamu tanda tangan." Aku mengambil kertas itu dengan tangan bergetar. Pandanganku menyapu tulisan di atasnya, tapi otakku terlalu kacau untuk mencerna isinya. Ada klausul tentang jangka wak
Dentang jam di ruang tengah mengisi kesunyian, sementara aku duduk termenung di dekat stroller Dean. Pandangan mataku kosong, meskipun di depan mata bocah kecil itu tertawa ceria sambil memegang mainan favoritnya. Pikiranku masih terpaku pada nama "Kiranti" yang di sebutkan Pak Juan tadi siang "Ah, bukankah nama Kiranti di kota Hasta sangat banyak? Nggak mungkin kalau Kiranti, perempuan yang aku kenal," batinku berusaha menenangkan diri. Namun ada sesuatu yang aneh. Nama itu menggantung di pikiranku seperti bayangan kelabu. Aku menggelengkan kepala, mencoba fokus pada Dean bermain. Aku kembali menemani Dean bermain hingga denting ponselku kembali terdengar. Melihat nama Mas Sandi di layar, aku segera mengangkatnya. "Iya Mas," sapaku lembut pada Mas Sandi yang berada di seberang telepon. "Din, besok pagi aku operasi. Dan ini aku sudah berada di rumah sakit," ucap Mas Sandi yang terdengar sangat besemangat. Ia memperlihatkan ruangan tempatnya di rawat lewat video call. Ibu mertua
Malam semakin larut, tetapi pikiranku terus berputar. Kalimat Pak Juan tadi sore masih menghantui, seperti pintu yang tiba-tiba terbuka, menunjukkan jalan lain yang selama ini tidak pernah kulihat. “Kadang kita harus memilih. Antara bertahan atau membebaskan diri.” Apa maksudnya?Aku memandang ke arah Dean yang terlelap di tempat tidurnya. Wajah polosnya selalu menjadi alasanku untuk bertahan. Tapi sampai kapan aku bisa terus menjalani semuanya sendirian?Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Mas Sandi masuk."Maaf kalau tadi aku kasar. Aku cuma ingin kita punya kehidupan yang lebih baik, Din."Aku membaca pesan itu berkali-kali, tetapi ada rasa lelah yang tak bisa hilang. Semua perjuangan ini, apakah benar-benar untuk kami berdua? Atau hanya untuk dia? Aku menutup ponsel tanpa membalas pesan itu dan mencoba memejamkan mata.Pagi hari, suasana rumah terasa lebih sibuk dari biasanya. Mbak Mira datang membawa kabar kalau Pak Juan akan tiba lebih awal dari yang dijadwalkan."Pak Juan hari
Setelah pertengkaran semalam, Mas Sandi tak lagi menghubungiku. Aku pun masih enggan untuk meneleponnya. Rasanya kesal—aku sudah bekerja keras untuknya, tapi malah dituduh yang tidak-tidak. Kuletakkan ponselku di meja dan segera keluar untuk memulai rutinitasku sebagai pengasuh.Namun, betapa terkejutnya aku saat membuka pintu kamar, pria tinggi nan tampan sudah berdiri di depanku. "Pak Juan," ucapku gugup.Entah kenapa jantungku berdebar kencang. Tatapannya tajam bak elang, membuatku merasa kecil di hadapannya."Dean... Dean demam," ujarnya cepat, panik.Aku segera melangkah ke kamar Dean tanpa berpikir panjang. Di sana, kulihat bocah kecil itu berbaring dengan tubuh mungilnya yang panas. Bibirnya pucat, dan napasnya sedikit berat."Astaga, demamnya tinggi, Pak. Kita harus bawa bos kecil ke rumah sakit sekarang juga," ucapku sambil menggendong Dean dengan hati-hati.Aku sempatkan untuk mengambil ponselku. Pasti aku akan sangat membutuhkan benda itu nantinya jika di rumah sakit.Pak J
Keesokan harinya, aku mencoba fokus pada pekerjaanku, tetapi pikiranku terus di ganggu oleh percakapan kemarin dengan ibu mertuaku."Dini, kamu harus tanggung jawab. Sertifikat rumah sudah di ambil sama juragan Kardi. Semua gara-gara kamu yang nggak ngirim uang buat lunasin hutang-hutang ibu waktu Sandi kecelakaan. Sekarang ibu nggak mau tau, kamu harus menebus sertifikat itu!" Kata-kata itu terus saja terngiang di kepalaku. Aku ingat betul, setelah Mas Sandi mengalami kecelakaan, ibu meminta uang untuk menebus sertifikat itu, tapi kenapa sekarang ibu mertuaku menuntutku lagi? Hari itu, Dean sedang bermain di ruang tengah dengan mainan barunya, sementara aku sibuk membuatkan sarapannya di dapur. "Mbak Dini, bos kecil mana kok nggak ada suaranya?" tanya Mbak Mira tiba-tiba sesaat setelah ia selesai menyajikan sarapan untuk Pak Juan di ruang makan. Aku yang membawa semangkok bubur untuk Dean pun terkejut. "Tadi lagi main di ruang tengah Mbak. Jangan-jangan.." Aku langsung meletakka
Aku masih terpaku di kasur, memandangi layar ponsel yang kini terasa seperti bara panas di tanganku. Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku: "Sandi menikah dengan Kiranti." Pikiranku kacau. Aku mencoba menyangkal, mencari alasan bahwa temanku pasti salah. Tapi bayangan semua kejadian selama ini mulai terangkai seperti potongan puzzle yang akhirnya menyatu. Uang yang tidak pernah sampai ke juragan Kardi. Sikap Mas Sandi yang semakin dingin dan selalu menghindari pembicaraan serius. Desakan ibu mertuaku yang tiba-tiba semakin intens. Semuanya masuk akal sekarang. Aku tidak bisa diam saja. Tanganku gemetar saat mencoba menghubungi Mas Sandi. Ponsel berdering beberapa kali sebelum akhirnya dia mengangkatnya. "Ada apa, Din? Malam-malam gini kok telepon?" tanyanya dengan nada datar. "Aku mau tanya, Mas. Jujur sama aku. Apa benar Mas menikah lagi?" tanyaku langsung, tanpa basa-basi. Mas Sandi terdiam sejenak, lalu terdengar helaan napas panjang. "Siapa yang bilang begitu?" "Bukan i
Perjalanan ke kampung halaman terasa begitu panjang, meskipun sebenarnya hanya membutuhkan beberapa jam. Sepanjang jalan, aku terjebak dalam pikiranku sendiri. Juan yang duduk di sampingku sesekali melirik, mungkin ingin memastikan aku baik-baik saja. "Kalau kamu butuh waktu sendiri nanti, aku bisa menunggu di tempat lain," kata Juan memecah keheningan. Aku hanya mengangguk kecil tanpa benar-benar menanggapi. Pikiran tentang apa yang akan aku hadapi begitu mendominasi. Apa yang akan aku katakan pada ibu mertua? Apa aku harus menanyakan langsung pada Sandi? Atau sebaiknya aku diam saja dan menyerahkan semuanya pada waktu? Ketika kami tiba di depan rumah orang tuaku, suasana begitu sunyi. Rumah kecil itu terlihat seperti biasa, tetapi kali ini terasa asing. Aku menghela napas panjang sebelum turun dari mobil. "Din, aku tunggu di sini. Kalau ada apa-apa, panggil aku," kata Juan, suaranya lembut. Aku memaksakan senyum. "Terima kasih, Pak." *** Saat aku melangkah masuk ke rumah ibu
Malam itu, Dini duduk di tepi tempat tidur, mengelus perutnya yang mulai membuncit. Rasa bahagia dan haru bercampur menjadi satu. Di sampingnya, Juan baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut masih sedikit basah. Ia tersenyum melihat istrinya yang tampak termenung. “Kamu kenapa?” Juan bertanya seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk. Dini menghela napas pelan, lalu tersenyum. “Aku hanya nggak menyangka waktu berjalan secepat ini. Rasanya baru kemarin aku masih takut untuk menjalani semua ini, dan sekarang… kita menunggu kelahiran anak kedua.” Juan duduk di sebelahnya, menggenggam tangan Dini dengan hangat. “Aku juga tidak menyangka akan sejauh ini. Dulu, aku hanya seorang pengacara yang sibuk dengan pekerjaannya, sementara kamu adalah perempuan yang terus mencoba menghindariku.” Dini terkekeh, mengingat bagaimana dulu ia begitu ragu dengan perasaannya sendiri. “Aku nggak nyangka bisa sebahagia ini bersamamu, Juan.” Juan tersenyum kecil, lalu perlahan membaringkan k
Juan duduk di ruang kerjanya, menatap tumpukan berkas yang tersusun rapi di atas meja. Sebagai pengacara handal, tanggung jawabnya semakin besar. Kasus yang ia tangani bukan hanya tentang memenangkan perkara, tetapi juga tentang menegakkan keadilan bagi mereka yang benar-benar membutuhkannya. Namun, malam ini pikirannya bukan hanya soal pekerjaan—ada hal lain yang lebih besar yang sedang ia rencanakan. Pintu terbuka pelan, dan Dini muncul dengan secangkir kopi di tangannya. “Sejak tadi kamu belum keluar dari sini. Pasti ada sesuatu yang sedang kamu pikirkan,” katanya sambil meletakkan cangkir itu di meja. Juan menghela napas dan tersenyum kecil. “Aku memikirkan sesuatu yang penting. Sesuatu yang akan mengubah hidup kita.” Dini mengernyitkan dahi. “Apa itu?” Juan menatap istrinya dalam-dalam. “Aku ingin membangun firma hukum sendiri.” Mata Dini sedikit membesar. “Kamu serius?” Juan mengangguk. “Selama ini aku bekerja di firma orang lain, menangani banyak kasus, tapi a
Pagi itu, Juan sudah bersiap lebih awal dari biasanya. Setelan jasnya rapi, dasinya terpasang sempurna, dan tatapannya penuh tekad. Dini memperhatikan dari dapur sambil menyiapkan sarapan untuk Dean, menyadari betapa bersemangatnya suaminya pagi ini. “Kamu kelihatan berbeda hari ini,” kata Dini sambil meletakkan secangkir kopi di meja. Juan mengambil cangkir itu dan tersenyum. “Hari ini ada sidang penting. Ini bisa menjadi tonggak besar untuk karierku.” Dini mengangguk mengerti. “Aku yakin kamu akan melakukannya dengan baik. Kamu selalu memberikan yang terbaik dalam setiap kasus.” Sebelum berangkat, Juan mencium kening Dini dan mengusap kepala Dean yang masih mengunyah rotinya. “Doakan Ayah, ya, Nak.” Dean mengangkat kepalan tangannya dengan penuh semangat. “Semangat, Ayah! Kamu pasti menang!” Juan tertawa dan mengangguk. “Terima kasih, jagoan.” Di ruang sidang, suasana begitu tegang. Kasus yang ditangani Juan kali ini melibatkan seorang klien yang dituduh melakuk
Pagi itu, matahari bersinar lembut di atas gedung firma hukum *Juan & Associates Law Firm*. Hari ini menandai babak baru dalam hidup Juan, dan ia merasa seperti seorang prajurit yang baru saja memasuki medan perang. Dengan setelan jas rapi dan berkas-berkas di tangannya, ia melangkah mantap ke dalam ruangannya. Dini, yang sejak pagi telah menyiapkan bekal makan siang untuknya, tersenyum bangga. “Hari ini sidang pertamamu sebagai pemilik firma, kan?” tanyanya sambil menyerahkan kotak makan siang yang telah dihias rapi. Juan mengangguk, menerima bekal itu dengan penuh rasa terima kasih. “Ya, kasus ini penting, Din. Ini bukan sekadar kasus bisnis biasa, tapi soal hak seorang ibu yang ditinggalkan begitu saja oleh suaminya yang kaya dan berkuasa. Aku harus memastikan dia mendapatkan keadilan.” Dini menggenggam tangannya erat. “Kamu bisa melakukannya. Kamu selalu berjuang untuk yang benar.” Setelah mencium kening Dini dan mengucapkan selamat tinggal pada Dean, Juan bergegas ke
Juan berdiri di depan sebuah gedung tiga lantai yang masih dalam tahap renovasi. Plang besar bertuliskan "Juan & Associates Law Firm" terpampang di depan, menandakan langkah barunya dalam dunia hukum. Hari ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar—bukan hanya untuknya, tapi untuk banyak orang yang membutuhkan keadilan. Di sampingnya, Dini menggenggam tangannya erat, matanya berbinar melihat impian Juan semakin nyata. “Aku masih tak percaya kita ada di sini,” ucapnya dengan nada penuh kebanggaan. Juan mengangguk sambil tersenyum. “Semua ini tidak akan mungkin terjadi tanpa dukunganmu.” Mereka melangkah masuk ke dalam, melewati beberapa pekerja yang sibuk mengecat dinding dan memasang rak buku di ruang utama. Juan telah menginvestasikan banyak hal untuk membangun firma hukum ini, tapi lebih dari itu, ia ingin menciptakan tempat di mana hukum bisa diakses oleh semua orang—bukan hanya mereka yang mampu membayar mahal. Saat mereka tengah berbincang, seorang pria paruh baya
Pagi itu, Juan duduk di ruang kerjanya di rumah, menatap beberapa dokumen di meja. Ia sedang menyusun proposal untuk mendirikan firma hukumnya sendiri. Meski sudah bertahun-tahun menjadi pengacara handal, memulai sesuatu dari nol tetap terasa menantang. Namun, kali ini, ia tidak sendiri. Dini datang membawa secangkir kopi dan meletakkannya di meja. “Aku tahu kamu pasti butuh ini,” katanya dengan senyum hangat. Juan menatapnya dengan penuh rasa terima kasih. “Seperti biasa, kamu selalu tahu apa yang aku butuhkan.” Dini duduk di kursi di seberangnya dan menatap tumpukan dokumen. “Jadi, bagaimana rencananya? Kamu sudah menentukan lokasi?” Juan menghela napas sambil menyandarkan tubuhnya. “Aku sudah melihat beberapa tempat. Tapi aku ingin sesuatu yang lebih strategis, tidak terlalu besar untuk permulaan, tapi cukup representatif.” Dini berpikir sejenak. “Bagaimana kalau kita mencari tempat yang dekat dengan pusat bisnis tapi juga mudah diakses oleh masyarakat umum? Karena k
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk melalui celah tirai, menghangatkan ruangan dengan lembut. Dini menggeliat pelan, matanya masih terasa berat, tetapi senyuman kecil terbit di wajahnya saat ia menyadari kenyataan baru yang kini ia jalani. Ia menoleh ke samping dan melihat Juan yang masih tertidur, napasnya teratur, wajahnya terlihat lebih damai dari sebelumnya. Dini mengulurkan tangan, mengusap rambut Juan dengan lembut. Ia masih belum sepenuhnya percaya bahwa akhirnya mereka sampai di titik ini. Setelah semua badai yang menerpa, kini mereka benar-benar bisa menikmati ketenangan. Namun, keheningan pagi itu segera dipecahkan oleh suara kecil yang begitu mereka kenali. “Papa! Mama!” Dean berlari masuk ke dalam kamar dengan wajah penuh semangat. Matanya berbinar cerah, dan senyum polosnya membuat segala kelelahan yang tersisa seketika menguap. Juan menggeliat, mengerjapkan mata sebelum akhirnya tersenyum melihat anak kecil itu berdiri di pinggir tempat tidur. “Hey, p
Pagi itu terasa berbeda. Udara lebih segar, angin bertiup lembut, dan sinar matahari yang menerobos jendela memberikan kehangatan yang nyaman. Juan membuka matanya perlahan, melihat Dini yang masih terlelap di sampingnya. Wajah istrinya terlihat damai, seolah beban-beban masa lalu telah benar-benar sirna. Juan tersenyum kecil, menyingkirkan beberapa helai rambut yang jatuh di wajah Dini. Ia menatapnya dengan penuh cinta, menyadari betapa besar pengorbanan yang telah mereka lakukan untuk bisa sampai ke titik ini. Tepat saat Juan hendak bangkit dari tempat tidur, Dini menggeliat kecil dan perlahan membuka matanya. “Pagi, suamiku,” bisiknya dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur. “Pagi, istriku,” balas Juan, lalu mengecup kening Dini dengan lembut. Dini tersenyum dan menyandarkan kepalanya ke bahu Juan. “Aku masih seperti bermimpi. Semua yang kita lalui… sekarang terasa begitu jauh.” Juan mengangguk. “Itu karena kita sudah menutup lembaran lama dan memulai hi
Pagi itu, sinar mentari menyusup melalui tirai jendela, memberikan kehangatan lembut pada dinding rumah yang telah melalui banyak badai. Meskipun keputusan pengadilan telah mengukir titik balik dalam perjuangan mereka, kehidupan Juan dan Dini belum sepenuhnya bebas dari bayang-bayang masa lalu. Namun, pagi itu adalah awal dari sesuatu yang baru, sebuah kesempatan untuk benar-benar membangun masa depan bersama. Di ruang makan, suasana tampak damai. Dean, yang kini telah mulai memahami sedikit tentang dunia di sekelilingnya, bermain dengan mobil-mobilan kecil sambil sesekali melirik ke arah orang tuanya yang tengah menikmati secangkir kopi hangat. Juan dan Dini duduk berhadapan di meja yang sederhana, namun setiap tatapan dan senyum di antara mereka bercerita tentang harapan yang tak terucapkan dan tekad yang semakin menguat. Juan membuka pembicaraan dengan lembut, “Dini, aku tahu kita telah melewati begitu banyak hal. Persidangan, ancaman, dan segala intrik yang menguji kita. Tapi ak